***"Lu, itu kamu seriusan enggak apa-apa?"Berdiri dengan wajah khawatir, Arka sama sekali tak beranjak dari depan pintu kamar mandi—menunggu Aludra yang kini menghabiskan waktunya di dalam sana.Makanan pedas memang sangat manjur untuk Aludra. Hanya makan satu buah corndog dengan saus pedas, Aludra harus menerima resikonya.Sakit perut. Hanya berselang setengah jam setelah menyantap corndog tersebut, Aludra langsung merasakan sakit di perutnya dan tentu saja setelah itu, dia diare karena memang begitulah yang sering terjadi jika Aludra nekad menyantap makanan pedas.Ah, Alula. Dia harus tahu kalau demi dirinya, Aludra rela mengalami hal seperti ini."Sakit perut," jawab Aludra dari dalam kamar mandi."Mau ke dokter?" tanya Arka. "Kalau mau yuk, aku antar.""Enggak mau, mager," ucap Aludra. Sesakit apapun dirinya, kata mager tetap yang utama diucapkan Aludra karena memang selain mager, dia tak terlalu suka tiga hal. Rumah sakit, dokter, dan obat-obatan tentunya."Aku takut kamu kenap
***"Hati-hati.""Iya."Setelah sehari kemarin hanya berdiam diri di hotel karena Aludra yang masih lemas setelah sakit perut yang mendera. Hari ini, hari kedua di Seoul, Arka mengajak gadis itu untuk keluar.Tak pergi jauh, pagi ini—sekitar jam sembilan waktu setempat, Arka membawa Aludra ke Namsan tower—menara ikonic di kota Seoul yang cukup terkenal di kalangan turis lokal maupun mancanegara."Kenapa kita turun di sini?" tanya Aludra. "Harusnya kan di halte yang deket tempat sewa cable car.""Emang siapa yang bilang kalau kita mau naik calbe car?" tanya Arka, yang membuat Aludra menautkan kedua alisnya."Lah, kan emang naik itu," jawab Aludra yakin. Bukan sekali dua kali berkunjung ke Namsan tower, rasanya Aludra cukup hafal bagaimana caranya naik ke puncak dan setiap berlibur bersama kedua orang tuanya juga Alula, dia selalu menggunakan cable car. "Aku kalau sama Papa ke sini, suka naik itu, dan kalau naik bis, kita turun di halte yang tadi. Aku lupa ingetin.""Itu kalau kamu jala
***"Minum."Menoleh, Arka memandang Aludra yang baru saja kembali sambil membawa dua botol air mineral di tangannya.Masih dengan napas yang terengah-engah, Arka mengambil botol minum bertutup hijau dari Aludra lalu meneguknya hingga habis setengah. Lelah? Tentu saja.Menaikki satu-persatu undakkan tangga sambil menggendong Aludra nyatanya bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi, jarak yang dia tempuh dari bawah menuju atas juga tidaklah dekat."Capek ya?" tanya Aludra setelah dirinya duduk di samping Arka.Saat ini keduanya sedang duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke pagar pembatas dengan hiasan ribuan gembok di sana.Gembok cinta. Begitulah panggilan orang-orang pada tempat di mana Arka dan Aludra berada sekarang. Di sana, ribuan gembok dari berbagai warna juga bentuk menggantung. Bertuliskan nama seseorang dan pasangan, mereka semua meyakini dengan menggantung gembok di sana, hubungan yang dijalani akan langgeung."Mas Arka aku tanya, kamu capek?" tanya Aludra
***"Alula bangun, Alula."Aludra yang sejak sore tadi tertidur, lekas membuka mata ketika Arka membangunkannya. Dia yang tidur dengan posisi telungkup lantas menyipitkan mata—memandang Arka yang kini terlihat rapi dengan kemeja garis-garis berwarna biru."Apa?" tanya Aludra dengan suara yang parau."Bangun, kita pergi," ajak Arka."Ke mana? Males ah, capek. Kaki aku pegel.""Aku mau nemuin temen aku," ungkap Arka. "Kebetulan dia tinggal di sini sama istrinya.""Terus ngapain kamu bangunin aku?" tanya Aludra. "Ya karena kamu harus ikut," ucap Arka. "Meskipun temen aku enggak datang, dia tahu aku udah nikah dan dia pengen ketemu sama kamu.""Temen kamu cowok?""Ya iyalah, kan tadi aku udah bilang dia punya istri. Masa cewek?""Oh." Menjawab singkat, yang dilakukan Aludra justru tak bangun. Masih mengantuk, dia menutup kembali matanya dan tentu saja semua itu membuat Arka berdecak."Alula.""Apa sih? Berisik banget.""Bangun, cantik. Mandi. Abis itu kita pergi," ajak Arka untuk yang ke
***"Minum.""Thanks."Mengambil segelas teh manis yang disajikan sang sahabat, Arka meneguk teh manis tersebut lalu menyimpannya kembali di meja.Sudah hampir setengah jam Arka di apartemen Dika—sahabatnya. Mengobrol dan sedikit bernostalgia, entah kenapa perasaan Arka tiba-tiba saja tak enak. Dia teringat Aludra.Sedang apa dia? Apakah masih tidur atau sedang apa? Ah, Arka jadi ingin pulang."Dik," panggil Arka."Ya ka?""Aku kayanya mau pulang sekarang," ungkap Arka yang tak bisa lebih lama lagi meninggalkan Aludra, karena kini perasaannya semakin tak enak."Lah, cepet banget Ka?" tanya Dika. "Belum juga satu jam.""Aku enggak bisa ninggalin istri aku lama-lama, takut ada apa-apa," ungkap Arka."Dasar pengantin baru, maunya nempel terus ya.""Begitulah," jawab Arka. Mengambil ponsel yang semula dia simpan di atas meja, Arka beranjak dari sofa lalu berpamitan pada sahabatnya itu.Keluar dari apartemen, Arka bergegas menuju lantai bawah. Tak akan menggunakan bus, Arka memilih taksi u
***"Jadi Mbak awalnya kerja di sini?"Perempuan berambut sebahu yang kini duduk di samping Aludra lantas menganggukkan kepalanya ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra.Setelah menolong Aludra dari para preman nakal yang menggodanya, perempuan bernama Rania itu setuju saat Aludra mengajaknya ke tempat street food untuk membeli camilan malam.Duduk di bangku yang ada di sana, keduanya kini menyantap corn dog sambil mengobrol. Selain itu, Aludra juga menunggu kedatangan Arka yang akan menjemput setelah dia menelepon pria itu dan menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya barusan."Iya," jawab Rania. "Cuman ya itu, bos saya enggak bertanggungjawab. Dia fitnah saya mencuri di rumahnya. Alhasil saya dipecat, dan sekarang saya bingung. Enggak punya uang buat kembali ke Indonesia.""Kasian banget," ucap Aludra. Sambil menyantap corn dognya, dia menatap Rania iba. Ingin sekali membantu, tapi sepertinya Aludra butuh persetujuan Arka lebih dulu.Meskipun sebenarnya, tanpa bantuan Ar
***"Jadiin dia asisten rumah tangga?"Mengerutkan kening, Arka yang saat ini sedang berdiri sambil melepaskan kancing kemeja di depan cermin, lantas menoleh dan membalikkan badannya lalu menatap Aludra yang duduk di kursi, ketika pernyataan tentang Rania yang akan dijadikan asisten rumah tangga diucapkan gadis itu."Iya," jawab Aludra. "Sebagai ucapan terima kasih karena udah nolong, rencananya aku mau biayain dia pulang ke Indonesia terus mempekerjakan Mbak Rania di rumah baru kita nanti. Gimana, briliant kan ide aku?""Enggak," jawab Arka singkat. Selesai membuka kancing, Arka melepaskan kemejanya lalu menyimpan kemeja garis-garis itu di tempat yang tersedia. Setelah itu, dia berjalan dan menarik kursi untuk duduk di samping Aludra yang kini tengah menyantap fish cakenya. "Menurut aku itu enggak briliant sama sekali.""Kenapa?" tanya Aludra sambil menautkan alis. "Dia kan udah nolongin aku, Mas. Coba bayangin kalau Mbak Rania tadi enggak nolongin, pasti aku udah diapa-apain sama m
***"Sekali lagi terima kasih banyak ya Mbak Alula, saya enggak tahu harus gimana lagi. Berkat Mbak Alula, saya bisa pulang. Makasih Mbak.""Sama-sama Mbak Rania, saya juga makasih banyak. Buat kerjaan, nanti kalau suami saya udah setuju, saya kasih tau lagi ya Mbak Rania. Kalau mau pulang, hati-hati di jalannya. Sampai ketemu di Bandung.""Iya Mbak Alula, Buat Mbak sama Masnya juga selamat liburan ya. Semoga nanti suami Mbak bisa terima saya jadi pekerja. Saya amanah kok.""Iya Mbak Rania, nanti saya bujuk lagi deh suami saya. Dia emang kadang nyebelin.""Iya Mbak, ya sudah kalau begitu saya tutup teleponnya ya, mau siap-siap. Gak sabar pengen pulang.""Iya Mbak Rania, hati-hati di jalan.""Iya."Memutuskan sambungan telepon dengan Aludra, Rania mendesah kecewa sambil menyimpan ponselnya di atas meja. Memandang Seoul dari lantai sepuluh, perempuan itu tak memedulikan angin sepoy yang meniup rambutnya."Siapa yang telepon?"Menoleh, Rania memandang perempuan yang datang menghampiri sa