6 Bulan yang lalu..
Soekarno Hatta Airport, Terminal 3, Kedatangan Luar Negeri.
Sosok gadis berwajah oriental dengan balutan asimetris dusty blue blouse dan rok midi plisket berwarna putih berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya memindai sekeliling, mencari sosok yang bertanggung jawab atas kedatangannya hari itu.
“Anjani ... !”
Samar-samar ia mencari sumber suara. Arahnya berbalik 180 derajat. Namun belum menemukan si pemilik suara tersebut.
“Hei! Anjani Samitha!”
Anjani kembali menoleh, kini berbalik searah jarum jam. Matanya memicing. Dilihatnya seorang gadis berambut pendek sebahu dengan setelan kemeja putih dan celana kerja krem. Gadis itu, melambaikan tangan dengan senyum bahagia.
“Hei!” sahut Anjani lantas berhambur ke arahnya.
“Kau terlihat semakin cantik, Anjani.”
Anjani tersenyum lalu mencolek sahabatnya sambil tersenyum malu. “Kau jelas lebih cantik, Naomi,” balasnya.
Mereka tertawa disaat berikutnya.
“Kau sendirian?” Tanya Naomi sambil mengelilingi pandangannya.
“As always.”
“Baiklah. Kita ke hotel dulu antar barang-barang, setelah itu kita ke tempat meeting,” tawar Naomi sambil mengambil koper berukuran 14 inci dari tangan gadis itu.
“Biar aku saja.” sela Anjani.
“Kau tamu disini ... jadi biar aku yang bawa.”
Anjani tersenyum melirik gadis itu. Rasanya baru kemarin mereka lulus kuliah. Namun, kesibukan kini memisahkan kebersamaan mereka.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, mobil berhenti tepat di depan lobi hotel ternama di kawasan Jakarta Selatan. Akhirnya Anjani tiba di penginapannya. Hmm, keberadaannya di Indonesia ini tentu tidak akan lama, mengingat bahwa tak ada lagi sanak keluarga yang bisa dijumpai disana. Sejatinya, Anjani adalah kewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Negeri Jiran.
Anjani Samitha merupakan Chief Marketing Officer sebuah perusahan Startup bidang digital technology real estate yang berada di Johor Bahru, Malaysia. Perusahaan skala menengah ke atas berbasis layanan itu mulai menunjukkan eksistensinya di jagad industri. Kedatangannya saat ini tentu saja bukan untuk liburan, melainkan urusan bisnis. Kebetulan Naomi salah satu rekan yang menjembatani antara dirinya dengan salah satu investor di Indonesia. Meski demikian, mereka adalah sahabat karib yang sudah saling mengenal selama satu dekade.
Anjani juga lulusan Perguruan Tinggi di Malaysia yang mengambil jurusan School of Management. Kini dirinya menyandang gelar PhD bidang Manajemen. Keputusan Anjani menetap di Malaysia setelah lulus itulah yang memisahkan jarak antara dirinya dan sang sahabat.
“Kita sudah sampai!” seru Naomi membuyarkan lamunan gadis disana. Anjani menoleh dengan pandangan kikuk. Terpancar bahwa ada sorot kerinduan di matanya.
Kehidupan yang tragis, membawa Anjani pada takdir yang dramatis. Anjani terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya meninggal akibat insiden kebakaran yang melahap habis seluruh isi rumah beserta ayah dan ibunya. Saat itu, ia tak bisa pulang ke Jakarta karena tengah mengikuti final semester assessment. Jika gagal, ada konsekuensi yang harus ia terima, yaitu mengembalikan seluruh biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk beasiswanya. Sungguh malang. Kehilangan tentu menyakitkan, tapi Anjani bisa apa? Ia tak memiliki pilihan. Guncangan terbesar dalam hidupnya, ketika ia harus kehilangan orang yang begitu dicinta. Meski sulit, ia mencoba bangkit.
“Kau baik-baik saja?”
Naomi memastikan dengan hati-hati, meskipun ia tahu bahwa sang sahabat sedang tidak baik-baik saja. Saat yang sama, Anjani memeluk Naomi dengan erat. Rasa rindu yang menggebu, kian membelenggu.
“Aku merindukan mereka, Nao.” Anjani terisak. Lima tahun, kejadian itu masih saja membekas di hatinya.
“It's okay, Anjani! I'll be with you! Jangan pernah merasa sendiri. Aku selalu ada untukmu,” ucap Naomi memberi sedikit ketenangan pada Anjani.
***
Anjani berdiri dengan gugup di depan mimbar. Bahan presentasinya sudah standby di layar proyektor sejak lima belas menit yang lalu. Dalam co-working space berukuran medium, Anjani memandang silih berganti sahabat serta dua pria berjas hitam di ujung meja. Waktu berlalu namun Anjani terus bergeming. Diam-diam, matanya memandang sosok yang tengah duduk di kursi utama. Entah mengapa, kepercayaan dirinya lenyap seketika. Naomi yang merasa kebingungan, kini mencoba mengambil perhatian sang sahabat.
"Hust! Anjani!" bisik Naomi.
Naomi dari sisi kanannya memberi kode agar gadis itu segera memulai presentasi.
"Bisa kita mulai sekarang?" tanya sosok pria yang kini tengah fokus memandang layar ipad-nya. Meski tak menatap secara langsung, namun Anjani bisa merasakan atmosfer dingin tersebut.
“Eung? I-iya ... ”
Dan bodohnya lagi, lidah Anjani kelu. Jantungnya berdebar tanpa bisa ia kendalikan. Padahal, ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan investor. Sekali lagi Naomi memberi isyarat agar sang sahabat tidak membuang-buang waktu. Sebab, menurut pria itu waktu adalah uang.
“Waktuku tidak banyak, Nona. Jika kau terus melamun, maka kita batalkan saja pertemuan hari ini,” ujarnya formal.
Pria itu hendak beranjak dari kursi. Namun, Anjani langsung mencegahnya dengan memutar company profile sambil memberikan kata pembukaan.
“Presentasi ini akan berlangsung selama lima belas menit dengan jumlah sepuluh slide ... ”
Anjani menarik nafas dalam sebelum melanjutkan presentasinya, “menjadi pioneer dalam mengedepankan kebutuhan customer adalah visi dari perusahaan kami.”
Menit betikutnya, Anjani tersenyum menunjukkan bahwa dirinya mulai enjoy. Slide demi slide dipresentasikan dengan sangat detail hingga mendapatkan respon yang baik.
“So, any question?” tanyanya di akhir presentasi. Anjani melihat pria bermata tajam itu berbisik pada sang asisten. Tanpa tahu apa yang mereka bicarakan menambah rasa gugup dalam dirinya. Satu detik, dua detik, hingga akhirnya di detik kesepuluh, sang asisten melontarkan pertanyaan.
“Dalam dunia bisnis, kami membutuhkan keuntungan.” Asisten itu berkata dengan serius hingga Anjani bergidik ngeri. “Darimana revenue yang akan Anda peroleh? Lalu, siapa saja yang jadi kompetitor Anda?”
Anjani menoleh pada Naomi. Rasa gugup yang menyerbu, ia tutupi dengan memainkan jemarinya. Model bisnis yang sudah disusun seketika lari dari otaknya.
“Eung ... mari saya jelaskan dulu proyek ini, dimana proyek kami memberikan layanan kustom pembelian real estate di Asia Tenggara dengan target market milenial, harapannya banyak developer bergabung dengan memberikan penawaran harga sesuai pangsa pasar. Dengan begitu, investasi di sektor properti semakin mendominasi.”
Anjani menarik nafas sejenak ketika melihat pria itu hanya memandang kosong layarnya.
"..."
Hening, tak ada sanggahan.
“Revenue bisa didapat melalui SEO, subscription, sistem referral, dan service lainnya,” jawab Anjani, mantap. “Beberapa kompetitor kami diantaranya, East2West, Divvy, dan Loft,” lanjutnya.
Meski begitu, Anjani meyakinkan bahwa mereka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kompetitor mereka.
“Baiklah, Nona.” Lagi-lagi hanya sang asisten yang bersuara. Dan hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Apa presentasinya akan gagal?
Tiga puluh detik berlalu tanpa pertanyaan. Tiba-tiba pria itu bertanya, “oh, sorry, what's your name?”
“Anjani ... ”
Anjani menilik ragu, “Anjani Samitha.”
Pria itu pun mengangguk. Ketika itu pula, Anjani bernafas lega. Setidaknya, pria dingin itu menyadari keberadaannya.
Pertemuan berlangsung selama tiga puluh menit, namun belum mereka tidak memberikan keputusan langsung.
Setelah kepergian mereka, Naomi memandang sang sahabat dengan senyum tak biasa.
“Orang itu sungguh menegangkan. Kau tahu siapa dia?”
Anjani mendesah. Nafasnya terasa berat. Ia berdesis sambil membenahi bahan presentasinya. Melihat ekspresi datar dari investor tersebut, membuat Anjani tidak bahagia.
“Tentu saja. Aku yang membawanya kemari.” Naomi terkekeh.
“Kau yakin tidak tahu siapa dia?” Naomi melanjutkan ucapannya sambil terheran-heran.
Anjani menggeleng.
"Astaga, Anjani!"
Naomi tepuk jidat melihat sahabatnya itu.
“Kau bisa cari namanya di kolom pencarian. Arjuna Barathawardana."
Anjani meraih gawainya sambil Naomi yang tengah berpangku tangan. Mata Anjani mendelik. Ia benar-benar tak percaya.
“Arjuna ... Barathawardana,” gumamnya pelan.
“Yups! Selain itu, dia senior kita saat kuliah. Itupun kalau kau ingat," cicit Naomi membuat Anjani menerka-nerka. Sebenarnya Anjani tidak begitu yakin, tapi rasanya memang wajah itu tidak begitu asing.
***
Usai meninggalkan co-working space, Arjuna melangkah penuh kharisma. Pria tampan nan mapan itu, kerap mencuri perhatian. Siapa yang tidak tertarik dengannya? Walau terbilang dingin, tempramen dan irit bicara, pesonanya tidak pernah diragukan.
“Tolong cari tahu semua tentang gadis itu, perusahaan, dan keluarganya,” titah Arjuna pada sang asisten.
Pria bertubuh atletis itu melangkah tergesa sambil memerintahkan asistennya.
“Baik Tuan.”
Tiba-tiba langkah kakinya berhenti saat suara dering ponsel berbunyi nyaring. Layar itu menampilkan sebuah nama Sweetheart. Arjuna tak bisa mengabaikan, tentunya. Tanpa membuang waktu, ia langsung menjawabanya.
"Halo Sweety. No, I won't forget. I’ll be there in thirty minutes. Ok! See you. Bye!”
Setelah panggilan berakhir, pria itu tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya kembali.
***
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal