Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sally dan beberapa pelayan lainnya berdiri di depan pintu kamar sambil membawa nampan berisi makanan yang masih mengepulkan asap.Tok! Tok!Arnold yang sudah menunggu sejak tadi langsung berdiri dari duduknya dan membukakan pintu.“Susun di atas meja, Sally,” pintanya sambil tersenyum manis. Dua pelayan di belakang Sally melongo saking terpesonanya. Maklum, mereka jarang—atau bahkan belum pernah—berinteraksi langsung dengan Arnold sebelumnya.Sally menunduk sopan dan masuk, diikuti dua pelayan lainnya. Mereka dengan cekatan menyusun hidangan makan malam penuh warna dan aroma yang telah dipesan khusus oleh Arnold.Setelah selesai, Sally kembali menunduk dan berlalu keluar ruangan.Emily masih tertidur lelap. Ia bahkan tidak terusik oleh suara berisik dari piring-piring yang berbenturan dengan meja marmer.“Sayang, bangun,” bisik Arnold sambil mengusap lembut pundak istrinya dan mendaratkan kecupan di belakang kepalanya.Emily menggeliat pelan.
Emily menatap tajam ke arah Arnold, membuat pria itu salah tingkah. Ia cukup sadar diri dengan kesalahannya—datang bersama Yolanda.Namun, dalam sekejap, ekspresi Emily berubah. Senyum manis kini terulas di bibirnya. Ia segera berdiri dan menghampiri Arnold.Tanpa aba-aba, Emily langsung memeluk suaminya erat dan mengecup pipinya. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucapnya, masih dengan senyum mengembang."Maaf aku terlambat. Tadi Papa datang ke kantor bersama Yolanda, dan saat hendak pulang, mobil Yolanda mogok," jelas Arnold sambil melingkarkan tangannya di pinggang Emily. Keduanya bertingkah seolah Yolanda tak ada di sana."Kenapa Yolanda tidak ikut Papa?" tanya Emily, melirik sekilas ke arah wanita yang masih berdiri di belakang Arnold."Sayangnya Papa sudah pulang lebih dulu," jawab Arnold.Emily mengangguk. "Tak apa. Bagaimana kalau kita pergi sekarang?""Ehem!" Yolanda berdehem demi mendapatkan perhatian."Aku ingin mencoba masakanmu, Emily. Arnold bilang kau pandai memasak!""
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.