Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar, menerpa wajah Sarah yang masih terlelap. Ia menggeliat pelan, matanya mulai terbuka dengan kantuk yang masih tersisa.Namun, saat ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur, yang ia temukan hanyalah ranjang kosong yang sudah dingin.Keningnya mengernyit.Arnold tidak ada di sana.Sarah segera bangun, rasa kantuknya langsung menguap. Semalam, setelah mandi, Arnold langsung tidur tanpa banyak bicara. Ia tidak menyentuhnya, tidak memperhatikannya seperti biasanya. Sarah berpikir mungkin pagi ini ia bisa bermanja-manja, memperbaiki keadaan yang terasa semakin renggang di antara mereka.Tapi suaminya malah menghilang.Tanpa membuang waktu, Sarah bangkit dari tempat tidur dan berjalan cepat menuju kamar mandi.“Hon?” panggilnya seraya mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Dengan sedikit tergesa, Sarah memutar kenop pintu dan membukanya. Namun, yang ia temukan hanyalah ruangan kosong. Tak ada tanda-tanda Arnold di sana. Han
Langit masih gelap ketika Arnold terbangun dari tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia mencoba memejamkan mata lagi, tapi percuma. Pikirannya terlalu penuh. Terlalu gelisah.Emily.Nama itu terus menggema di benaknya. Wanita itu tak membalas pesannya semalam, bahkan tak mencoba menghubunginya. Arnold tahu itu bukan kebiasaan Emily.Emily selalu menunggunya, selalu siap kapan pun ia datang. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.Arnold menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati. Ia melirik ke samping, memastikan Sarah masih tertidur pulas.Ia tidak ingin membangunkannya.Bukan karena ia merasa bersalah, tapi karena ia tahu pasti Sarah akan komplain jika tahu dirinya menyusul Emily ke hotel. Dan saat ini, Arnold tidak ingin berdebat dengan siapa pun.Dengan gerakan cepat dan tenang, ia mengambil kunci mobilnya, mengenakan jaket, lalu keluar dari kamar.Langkahnya terdengar ringan di lantai marmer, namun hatinya terasa berat.
Emily duduk di sofa dengan sikap waspada. Ia sengaja memilih duduk di sana, menjauh dari tempat tidur. Ia tidak ingin menciptakan situasi yang bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan.Sementara itu, Arnold menutup pintu dengan perlahan dan berjalan masuk. Tatapannya sulit diartikan, campuran antara sesuatu yang tak terucapkan dan emosi yang ia sembunyikan dengan baik.Hening menyelimuti ruangan sesaat.Emily melipat tangan di dadanya, menunggu Arnold berbicara lebih dulu.Pria itu menatapnya tajam sebelum akhirnya membuka suara."Kamu ingat statusmu, bukan?" tanyanya, nada suaranya tegas.Emily menatap Arnold lurus-lurus, lalu tersenyum miring. Senyum yang jelas bukan tanda kebahagiaan, melainkan kepahitan yang selama ini ia pendam."Tentu," jawabnya dengan nada ringan, tetapi ada kepedihan di baliknya. "Aku sangat mengingatnya."Arnold menunggu, tapi Emily masih diam.Hingga akhirnya, wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap suaminya dengan mata tajam."Me
"Berhenti bicara omong kosong," ucap Arnold dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya.Emily tetap duduk di tempatnya, tidak bereaksi sama sekali terhadap nada tinggi suaminya. Ia hanya menatap Arnold dengan ekspresi yang sulit ditebak.Arnold mengalihkan pandangannya, matanya menyapu sekeliling kamar, mencari sesuatu. Wine. Mungkin Emily mabuk, itulah alasan mengapa dia berbicara seenaknya pagi ini.Tapi, tidak ada botol wine, tidak ada gelas anggur. Kamar ini bersih, rapi, tanpa tanda-tanda Emily mengonsumsi alkohol.Kening Arnold berkerut. Kalau bukan karena mabuk, lalu apa yang membuat Emily berbicara seperti ini?Dengan kesal, Arnold bangkit dari sofa dan berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur. Tangannya langsung mengambil handphone Emily yang tergeletak di sana.Emily mengangkat alis. "Apa yang kamu lakukan?"Arnold tidak menjawab, matanya sudah sibuk menelusuri layar ponsel itu.Ia menemukan sesuatu yang membuat dadanya terasa panas seketika.Ada banyak panggilan tak
Arnold menatapnya tajam, tetapi dalam sekejap, sesuatu dalam dirinya seperti tersadar. Ia bisa merasakan tubuh Emily yang sedikit gemetar, wajahnya yang pucat, dan sorot matanya yang tidak lagi menunjukkan perlawanan—hanya ketakutan. Arnold mengembuskan napas kasar, lalu perlahan melepaskan genggamannya. Emily segera mendorong tubuh Arnold dengan sekuat tenaga hingga pria itu terdorong ke belakang. Dengan cepat, ia merapatkan jubah tidurnya, lalu bangkit dan mundur menjauh. "Keluar!" suara Emily bergetar, tapi tatapannya penuh dengan kebencian. Arnold masih duduk di tepi kasur, menatap Emily dengan mata yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam hatinya yang berkecamuk, tapi ia tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Emily mengatupkan bibirnya erat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Aku bilang keluar, Arnold!" kali ini suaranya lebih keras, nyaris berteriak. Tak pernah sebelumnya Emily bersikap seperti ini. Arnold mengepalkan tangannya, l
Sarah mengetuk pintu kamar Emily dengan ragu. Dentingan halus itu terdengar begitu kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan. Di dalam, Emily masih bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada tempat tidur. Napasnya masih belum stabil, sisa isakan tadi masih terasa di dadanya. Saat ketukan kedua terdengar, Emily menghela napas dalam. Dengan berat hati, ia akhirnya bangkit. Langkahnya lambat saat menuju pintu, seakan ada beban tak kasat mata yang menariknya kembali ke tempatnya semula. Sesampainya di depan pintu, Emily tak langsung membukanya. Sama seperti saat Arnold datang sebelumnya, ia lebih dulu mengintip lewat lubang kecil. Di luar, berdiri seorang wanita dengan wajah penuh kehangatan yang sudah terlalu familiar baginya—Sarah. Namun, melihatnya saat ini justru membuat Emily semakin ragu. Haruskah ia membuka pintu? Jika tidak sekarang, Sarah pasti akan tetap mencarinya, bukan? Emily menggigit bibirnya, lalu cepat-cepat menghapus sisa air mata yang mungkin masih m
Matahari menyengat ketika Emily dan Sarah melangkah berdampingan meninggalkan hotel. Tak seperti biasanya, tak ada ketegangan di antara mereka. Tidak ada sindiran tajam atau tatapan penuh perhitungan. Untuk pertama kalinya, mereka terlihat akur. Emily sendiri tidak tahu pasti bagaimana perasaannya. Ia lelah, itu sudah jelas. Namun, di balik kelelahan itu, ada sedikit harapan yang mulai tumbuh—harapan untuk terbebas dari Arnold, dari kehidupan yang semakin menyesakkan ini. Begitu tiba di rumah, Sarah membuka pintu lebih dulu dan memberi isyarat agar Emily masuk. Emily menurut, melangkah masuk tanpa banyak bicara. Rumah itu sunyi, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Sarah menatap Emily sejenak sebelum berkata dengan nada meyakinkan, "Istirahatlah. Aku akan mengabarimu kalau uangnya sudah siap." Emily mendongak, menatap Sarah dengan mata lelah. Tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan. Hanya sebuah anggukan pelan yang ia berikan sebagai jawaban. Pikiran
Langkah Emily tertahan di depan pintu. Jantungnya masih berdegup kencang. Arnold berdiri di ambang pintu kamar Sarah, wajahnya dingin seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—auranya lebih gelap, lebih mengancam. Padahal, menurut Sarah, laki-laki itu seharusnya berada di luar kota. Dia tidak pernah pergi. Emily menahan napas, pikirannya berputar cepat. Apa ini semua jebakan? Atau Sarah yang telah melakukan kesalahan? Emily menoleh ke belakang, ke tempat Sarah berada. Matanya membelalak. Yang lebih mengejutkan dari kehadiran Arnold adalah kondisi Sarah. Wanita itu berdiri dengan tubuh sedikit goyah, rambutnya berantakan, dan sudut bibirnya pecah—berdarah. Matanya menyiratkan keterkejutan dan ketakutan yang jarang terlihat darinya. Emily merasakan tenggorokannya mengering. Ada apa ini? Pikiran itu berulang kali terngiang di benaknya. Hanya beberapa menit lalu, Sarah masih begitu tenang, begitu yakin dengan rencana mereka. Tapi sekarang? Ia terlihat seolah
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.
Emily beranjak dari duduknya sambil membawa nampan berisi piring kosong. Lama-lama di dekat Arnold bisa membuatnya darah tinggi, jadi menghindar lebih baik daripada harus bertengkar untuk sesuatu yang tidak jelas. "Sayang, tunggu dulu!" Arnold bergegas mengejar Emily setelah menarik jas dan tas kerjanya. Dengan langkah kakinya yang lebar, secepat kilat Arnold sudah berada di sisi Emily. "Jangan bilang kau marah lagi padaku?" tanya Arnold penuh selidik. Lebih tepatnya Arnold takut istrinya marah lagi karena perkataannya barusan. "Aku marah kalau kau menuduhku berselingkuh." "Aku tidak menuduhmu, aku hanya menceritakan fenomena yang sekarang sering terjadi. Tapi aku percaya kamu," ucapnya sembari memeluk Emily dari belakang. Emily menoleh, Arnold pun tidak melewatkan kesempatan mengulum bibir ranum itu. "Syukurlah!" jawab Emily singkat, setelah Arnold melepaskannya. Emily melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk meletakkan piring kotornya, sementara itu Arnold menunggunya di
Arnold semakin merapatkan tubuhnya ke arah Emily. Hanya handuk yang melilit di pinggangnya, mempertegas keintiman yang memanas di antara mereka. "Karena sudah menolakmu," bisik Emily lirih, penuh penyesalan. "Kau ingin meminta maaf untuk itu?" gumam Arnold, matanya menyala penuh gairah. "Bagaimana kalau kau membayarnya pagi ini?" lanjutnya seraya menggigit pelan cuping telinga Emily. Seketika tubuh Emily menegang. Sensasi yang merambat cepat dari telinganya ke seluruh tubuh membuatnya menggigit bibir bawah agar desahannya tak lolos keluar. Ia tahu, ia takkan bisa menolak terlalu lama. Melihat Emily memejamkan matanya, Arnold menurunkan bibirnya ke rahang halus istrinya, mengecup perlahan. “Arnold!” desah Emily akhirnya pecah, napasnya tercekat oleh gelombang rasa yang mulai menguasainya. Dengan lembut tapi pasti, Arnold mengangkat tubuh Emily dan menurunkannya perlahan ke atas tempat tidur mereka. Ia kembali mengecupi leher jenjang yang begitu ia kagumi, jemarinya mulai bergerak
Arnold menjauhkan wajahnya agar bisa menatap Emily lebih jelas, sorot matanya penuh tanya, berusaha menangkap maksud tersembunyi dari pertanyaan sang istri. "Harus memilih? Tidak bisa keduanya?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh tekanan, memperjelas apa yang barusan dikatakan Emily. "Iya, kamu harus memilih salah satunya, tidak boleh keduanya," jawab Emily dengan nada tegas, tanpa keraguan, seolah sudah memikirkannya matang-matang. Helaan napas berat keluar dari dada Arnold. Ia menarik tubuh Emily ke dalam pelukannya lagi, kali ini lebih erat, seolah takut kehilangannya jika melepas. Ia menundukkan kepala, bibirnya hampir menyentuh telinga Emily saat ia berbicara lirih. "Sulit, aku tidak bisa memilih, dua-duanya aku sayangi dan aku cintai. Mama adalah wanita yang melahirkanku, sampai kapanpun aku memiliki hutang budi yang tidak bisa aku bayar dengan apapun. Kamu, istriku, wanita yang akan menemaniku hingga aku menutup usia. Keduanya punya kedudukan masing-masing yang sama k
"Emily, bicaralah. Kalau Arnold sudah berubah, kau abaikan saja pesan mendiang ibumu." "Aku mencintainya, Sera!" Bulir bening itu akhirnya jatuh juga, Emily tahu Arnold bersalah, tapi rasa cintanya yang begitu besar membuatnya mengabaikan semuanya. Sera kembali memeluk erat Emily dan mengusap pundaknya pelan. "Kau yang menjalaninya, kau tahu mana yang terbaik untukmu, Emily. Kalau kau bilang dia sudah berubah, tidak ada salahnya kau memberinya kesempatan." Sera mencoba untuk bijak, walaupun sebenarnya dia tidak setuju Emily kembali kepada Arnold. Bagi Sera, salah Arnold terlalu banyak dan tak termaafkan. "Sera, apa ibuku meninggalkan pesan yang lain?" Sera menggeleng pelan. "Tidak ada, hanya itu. Tapi dia bilang sangat merindukanmu, dia ingin bertemu denganmu saat itu. Ngomong-ngomong kamu kabur kemana?" "Aku keluar Kota, aku bersembunyi tapi akhirnya aku terpaksa keluar karena uangku habis. Ini salahku, Sera. Harusnya aku tidak lari kalau ujung ujungnya begini. Arnold m
Emily tersenyum kecut, perasaan pahit manis mengaduk di benaknya. Ia tahu betul, kejadian waktu itu pasti masih membekas di kepala Sera—cukup membuatnya enggan menginjakkan kaki di rumahnya lagi. 'Kau mau bertemu di mana? Di rumah makan ku?' tanyanya, mencoba terdengar ringan meski hatinya cemas. 'Bagaimana kalau di luar, di tempat yang agak sepi karena aku ingin menyampaikan sesuatu yang cukup penting.' Alis Emily spontan berkerut, kecurigaan langsung menyusup. 'Menyampaikan apa?' 'Tidak bisa melalui telepon.' Jawaban itu justru membuat rasa penasaran Emily semakin menguat, seperti ada kabut yang menutupi sesuatu yang besar. 'Oke kalau begitu di taman, aku rasa jam-jam sekarang masih sepi.' 'Oke, aku tunggu, save nomorku Emily. Aku on the way sekarang!' 'Baiklah.' Sambungan telepon terputus. Emily menatap layar ponselnya sejenak, lalu menghela napas. "Apa yang ingin Sera sampaikan, sepenting apa sampai-sampai dia menolak ke tempat ramai?" gumamnya pelan, nyaris seperti
Pertanyaan itu sebetulnya sudah Arnold tahu jawabannya, namun entah mengapa, tetap keluar dari mulutnya. "Menurutmu?" Emily membalikkan pertanyaan dengan nada tenang tapi penuh makna. "Tentu saja marah!" jawab Arnold cepat. Ia cukup sadar diri, menyadari rentetan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Emily tersenyum simpul, senyum yang tak bisa dibaca seluruhnya—ada luka, ada penerimaan. "Itu sudah tahu, kenapa masih bertanya?" Arnold menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang menyembunyikan getir. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutmu," katanya pelan sambil meraih jemari istrinya, menggenggam hangat, lalu mengecupnya seolah meminta maaf lagi dan lagi, tanpa kata. Emily memandang Arnold, tak ada kemarahan di matanya, hanya ketegaran. "Bohong kalau aku bilang tidak marah. Tapi cintaku untukmu terlalu besar, sampai-sampai aku bisa memaafkanmu tanpa batas. Mungkin, bagi sebagian orang aku sangat bodoh. Mau menikah dengan laki-laki yang pernah menghancurkan