Air matanya bercucuran, Sarah terduduk di lantai dengan tangisan yang semakin pilu. Empat tahun pernikahan mereka, Sarah tidak pernah selemah ini, ia sangat ceria, wajahnya selalu dihiasi oleh senyuman, bahkan tak pernah sekalipun Arnold melihatnya menangis. Melihat Sarah yang terluka karena perbuatannya, sorot mata Arnold mendadak sayu. Bagaimanapun hidupnya hingga hari ini adalah pemberian Sarah, lalu bagaimana bisa ia menyakiti wanita rapuh ini? Arnold merunduk, diraihnya tubuh Sarah dan dibantunya untuk berdiri. Arnold menatap lamat wajah yang penuh dengan air mata itu dan diusapnya kedua pipinya. "Maaf, aku tidak bermaksud melukai hatimu, aku terbawa emosi." Arnold memberi kecupan pada puncak kepalanya. Kepandaian Sarah meratapi kemalangannya membuat Arnold kembali jatuh pada permainan wanita itu. Empat tahun, bukan waktu yang sebentar, Sarah sudah terlatih memanfaatkan kondisinya pasca kejadian waktu itu untuk menarik simpati Arnold. Dan dalam pelukan Arnold, diam-dia
Suara dalam dan datar yang sangat familier di telinga Sarah terdengar menusuk di telinganya. Wajah Sarah seketika memucat. Bak maling yang tertangkap basah, Sarah tidak bisa menjawab pertanyaan Arnold. "Sarah! Apa yang kau buang?" ulangnya dengan tatapan tajam yang menusuk manik matanya. Arnold keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk pergi, ia mencari-cari Sarah untuk berpamitan dan tidak menemukan istrinya tersebut di mana pun, saat ia hendak keluar, Arnold tidak sengaja melihat pintu ruang kerjanya terbuka. Arnold membawa langkahnya memasuki ruangan itu dan melihat Sarah membuang sesuatu ke dalam tempat sampah. "Ti-Tidak ada, itu aku hanya membuang kertas tidak terpakai," jawabnya terbata-bata. Arnold tidak percaya begitu saja, sampah seperti apa yang barusan Sarah buang? Kenapa Arnold merasa Sarah membuang sesuatu yang penting? Arnold bergegas maju dan hendak meraih penutup bak sampah, namun Sarah memeluknya dari belakang. "Honey, aku tahu di mana Emily." Arn
"Tuan, Nona bekerja di Kediaman Sebastian sebagai pengasuh Nyonya Besar Sebastian." Kata-kata Robert memecah suasana hening di dalam mobil. Arnold seketika sadar dan mencoba menghapus semua isi pertengkaran tentang Sarah di benaknya. Arnold sontak membuka matanya. "Sebastian Building Group, maksudmu?" "Betul sekali, Tuan!" Rahang Arnold tampak berkedut, ia tidak suka miliknya tinggal bersama laki-laki lain. Terlebih itu dengan Arlen! "Nona Emily tinggal bersama neneknya Tuan Arlen, sementara Tuan Arlen sendiri hanya seminggu sekali mengunjungi sang nenek!" jelas Robert, ia tidak ingin masalah ini semakin melebar karena Arlen sendiri adalah salah satu pebisnis ternama saingan Arnold. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam, mobil yang membawa Arnold tiba di depan Kediaman Sebastian. "Jadi, di rumah ini istriku bersembunyi?" Arnold menyeringai. Mobil memasuki pintu masuk, tidak sulit untuk Arnold masuk ke dalam pagar tinggi kediaman Sebastian dengan identitasnya seb
Emily menggeleng keras. "Tidak akan! Kembalilah ke rumahmu dan urus saja istri kesayanganmu itu!" Suara Emily melengking, membuat sudut bibir Arlen terangkat ke atas. "Emily!" bentak Arnold. "Anda tuli?" tanya Arlen sarkas. Ia tak pernah semuak ini sebelumnya dengan orang, tapi Arnold benar-benar menyebalkan. Arnold mengepalkan tangan, amarahnya memuncak. Tak terima diejek, ia melayangkan pukulannya ke wajah Arlen. Tinju keras itu mendarat di pipi kanan lelaki itu, membuatnya terhuyung ke belakang. Tak jauh dari dua lelaki itu, Emily menjerit histeris. Tanpa pikir panjang, Emily merangsek maju dan memukuli dada Arnold dengan kedua tangannya. Amarah dan luka hatinya meledak begitu saja. Semua yang ia pendam selama ini, rasa sakit, kecewa, air mata dan pengorbanan melebur jadi satu. "Dasar laki-laki kurang ajar!" Namun, pukulan Emily tak berarti apa-apa bagi Arnold. Lelaki itu tetap berdiri kokoh, seolah tak merasakan apapun. Ia bahkan menatap Emily dengan tatapan sendu, s
Selepas kepergian Arnold, Arlen mencari Emily, ia tahu wanita itu butuh dukungan. "Emily, apa kita bisa bicara berdua?" Pertanyaan Arlen membuat Emily tersentak, ia yang sedang melamun di depan wastafel setelah mencuci mukanya berbalik menghadap Arlen, yang entah sejak kapan berada di belakangnya. "Bi-bicara apa?" jawab Emily dengan gugup. "Bicara tentang hidupmu, ke depannya." Kening Emily tampak berkerut, ia tidak mengerti dengan maksud Arlen. Arlen bergerak lebih dekat, ia lalu menarik tangan Emily hingga membuat Emily terkesiap. Tidak biasanya Arlen memperlakukannya seperti ini. "Apa kamu mau menjadi sekretarisku? Emily menatap Arlen dengan tatapan tak percaya. "Maaf, Tuan. Bisa diulangi? Apa maksudnya?" Mendengar perkataan Emily, Arlen malah tertawa. "Maukah kamu menjadi sekretarisku?" ulangnya. "Sekretaris?" Arlen mengangguk. "Tapi… Nyonya?" "Nanti aku yang akan mengurusnya, kamu tinggal jawab mau atau tidak?" Sedikit mendesak, Arlen butuh jawab
Keesokan harinya. Arnold berangkat ke kantor. Baru saja melangkahkan kaki di lobby, Nyonya Ruby, ibunya, menghampirinya. "Mama? Apa yang Mama lakukan?" Arnold kaget bukan main, tidak biasanya ibunya mengunjungi Arnold di kantor, biasanya ia selalu mengunjunginya ke rumah. "Kamu harus lihat ini!" ucapnya sembari menyodorkan sebuah flashdisk ke hadapan Arnold. Arnold menatap flashdisk itu dengan bingung. "Semuanya, kamu akan tahu apa yang terjadi pada Emily dan juga Sarah," tekan ibunya, lalu pergi meninggalkan anaknya, Sesaat Arnold membeku, tetapi buru-buru ia memencet lift. Begitu sampai di lantai ruangannya, ia bergegas masuk dan menuju laptopnya. Dinyalakannya kemudian ia masukkan flashdisk itu. Satu per satu kejadian yang menunjukkan kebohongan Sarah terkuak. Hatinya bagai diremas-remas, semua yang pembelaan diri Emily waktu itu benar adanya dan semua yang keluar dari mulut Sarah adalah kebohongan. Napasnya tampak memburu, hatinya berkecamuk. "Jadi, selama ini aku dib
Sarah membelalak. "Arnold, ini hanya salah paham, aku–" "DIAM!" sentak Arnold. Emosi yang sejak tadi ditahannya akhirnya meledak, Arnold hanya butuh satu pengakuan untuk mengungkapkan bahwa Sarahl-ah yang membuat rencana kecelakaan waktu itu, kecelakaan yang membuat Emily harus kehilangan anak di rahimnya. "Sayang, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku mohon. Ini semua memang salahku, rem mobil yang aku pakai blong, sehingga aku tidak bisa mengendalikannya!" "Mobil di kediaman kita rutin dibawa ke bengkel, jadi berhenti mengada-ada." "Sungguh, Arnold. Kejadiannya begitu cepat, aku tidak bisa menghindar, kalau kamu tidak percaya padaku kamu bisa meminta datanya pada polisi." Sarah dengan putus asa membantah, berusaha membuat Arnold percaya pada kata-katanya. Tapi Arnold bertingkah dengan acuh dan tak acuh, lalu memandangnya dengan tenang. "Lalu, kenapa kamu bilang Emily yang menabrakkan mobilnya ke mobilmu?" Pertanyaan Arnold kali ini sukses membuat Sara
Raut wajah Arlen berubah, ia hendak menghampirinya, tetapi wanita muda tersebut langsung berdiri dan meninggalkan Emily dan Arlen tanpa permisi. Benar-benar tidak mencerminkan kesopanan. "Ada banyak pelamar tapi tidak ada yang memenuhi syarat. Bagaimana aku bisa cepat membawamu ke London kalau begini!" ucap Arlen pelan, tapi Emily masih bisa mendengarnya. "Kalau memang susah mencari pengganti saya, tidak apa apa kalau Tuan Arlen mencari calon sekretarisnya di London saja, biar saya tetap merawat Nyonya Audrey!" "Tidak bisa!" "Kenapa tidak bisa, Tuan? Bukankah di Kota justru kandidat sekretaris dengan pendidikan tinggi berhamburan!" Emily memberanikan diri menatap wajah Arlen, sesuatu yang awalnya sangat di hindarinya. Selain tidak sopan, Emily tidak mau terpesona dengan ketampanan sang majikan. Emily cukup tahu diri, masih lajang pun rasanya Emily tidak pantas bersanding dengan Arlen, apalagi dengan status sekarang yang masih menggantung. "Aku punya pertimbangan sendiri dalam
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sally dan beberapa pelayan lainnya berdiri di depan pintu kamar sambil membawa nampan berisi makanan yang masih mengepulkan asap.Tok! Tok!Arnold yang sudah menunggu sejak tadi langsung berdiri dari duduknya dan membukakan pintu.“Susun di atas meja, Sally,” pintanya sambil tersenyum manis. Dua pelayan di belakang Sally melongo saking terpesonanya. Maklum, mereka jarang—atau bahkan belum pernah—berinteraksi langsung dengan Arnold sebelumnya.Sally menunduk sopan dan masuk, diikuti dua pelayan lainnya. Mereka dengan cekatan menyusun hidangan makan malam penuh warna dan aroma yang telah dipesan khusus oleh Arnold.Setelah selesai, Sally kembali menunduk dan berlalu keluar ruangan.Emily masih tertidur lelap. Ia bahkan tidak terusik oleh suara berisik dari piring-piring yang berbenturan dengan meja marmer.“Sayang, bangun,” bisik Arnold sambil mengusap lembut pundak istrinya dan mendaratkan kecupan di belakang kepalanya.Emily menggeliat pelan.
Emily menatap tajam ke arah Arnold, membuat pria itu salah tingkah. Ia cukup sadar diri dengan kesalahannya—datang bersama Yolanda.Namun, dalam sekejap, ekspresi Emily berubah. Senyum manis kini terulas di bibirnya. Ia segera berdiri dan menghampiri Arnold.Tanpa aba-aba, Emily langsung memeluk suaminya erat dan mengecup pipinya. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucapnya, masih dengan senyum mengembang."Maaf aku terlambat. Tadi Papa datang ke kantor bersama Yolanda, dan saat hendak pulang, mobil Yolanda mogok," jelas Arnold sambil melingkarkan tangannya di pinggang Emily. Keduanya bertingkah seolah Yolanda tak ada di sana."Kenapa Yolanda tidak ikut Papa?" tanya Emily, melirik sekilas ke arah wanita yang masih berdiri di belakang Arnold."Sayangnya Papa sudah pulang lebih dulu," jawab Arnold.Emily mengangguk. "Tak apa. Bagaimana kalau kita pergi sekarang?""Ehem!" Yolanda berdehem demi mendapatkan perhatian."Aku ingin mencoba masakanmu, Emily. Arnold bilang kau pandai memasak!""
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.