Home / Romansa / Sebatas Teman Ranjang / Part 3: Last Day

Share

Part 3: Last Day

Author: X ChaLvin
last update Huling Na-update: 2025-05-01 22:49:18

Satu hari, dua hari, tiga hari....

Hingga tak terasa sudah tujuh hari Fazia menghabiskan waktunya bersama Mirza, dan selama itu pula hubungan mereka kian terasa nyata. Layaknya pasangan yang baru saja menikah, mereka selalu tampak harmonis dan penuh cinta. Tidak ada rasa keterpaksaan di kedua belah pihak, semua mengalir begitu saja.

Ini aneh. Sebenarnya Mirza tipikal pria yang sulit membangun hubungan, apalagi dengan orang baru seperti Fazia. Namun, entah mengapa kali ini terasa berbeda. Wanita itu memang pandai mencairkan suasana, bahkan dia yang sering memulai perbincangan. Sejak kedatangan Fazia, Mirza seakan lupa pada masalahnya.

Fazia sendiri merasa nyaman di tempat itu. Lupakan tentang pekerjaannya yang memalukan, dia hanya ingin menikmati suasana yang begitu tenang. Tidak ada suara teriakan dari ayahnya, tidak ada suara tangis dari ibu dan ketiga adiknya. Jika boleh berkata jujur, dia ingin berada di sana dalam waktu yang cukup lama.

“Kak ....” Fazia berhasil membuyarkan fokus Mirza.

Dengan napas terengah-engah, Mirza menghentikan olahraganya sejenak. “Bikin apa pagi ini?” tanyanya sembari tersenyum manis.

“Macem-macem.” Fazia menunjukkan isi nampan yang dibawanya. “Soalnya aku gak cukup kalo cuma satu macem.”

“Kayaknya enak-enak.” Mirza bergegas meninggalkan aktivitasnya tanpa pikir panjang.

“Kalo gak enak, Kakak bikin sarapan sendiri aja sana.” Fazia mendelik, lalu berjalan ke bangku halaman.

“Pasti enak, kok. Makanan bikinan kamu gak pernah gagal.” Mirza lantas mengikuti langkah Fazia.

“Ada sandwich, oatmeal ... Ada sayuran juga nih, brokoli sama kentang. Buahnya udah jelas, pasti ada alpukat, ada—” Fazia menghentikan ucapannya ketika Mirza mengambil potongan sandwich tanpa menunggunya selesai bicara.

“Kelamaan, By.” Mirza langsung melahapnya dengan penuh semangat.

“Aku udah bikin salad sama puding buat Kakak makan entar siang atau sore,” kata Fazia sambil mencicipi sarapannya. “Mau dimasakin apa buat makan siang? Sekalian aku masakin buat makan malamnya, ya? Tinggal Kakak angetin kalo mau makan.”

Alih-alih menyahuti, Mirza malah memelankan kunyahan dengan tatapan kosong. Ucapan Fazia berhasil membuat hatinya terhenyak, baru sadar bahwa hari ini adalah hari terakhir Fazia berada di sana. Mirza memang tidak menghitung hari, dan sejujurnya dia belum siap 'kehilangan' wanita itu. Tidak secepat ini, tidak esok atau lusa....

“Gak enak, ya?” Fazia menatap cemas.

“Enak.” Mirza mengangguk pelan.

“Kalo gak enak jangan maksain makan.” Fazia tak percaya. Ekspresi Mirza sudah cukup menandakan adanya sesuatu yang kurang nyaman. “Aku bikinin sarapan baru, ya?”

“Ini enak, By. Serius.” Mirza menegaskan, tapi lagi-lagi wajahnya terlihat tak biasa.

“Terus?” Fazia meminta penjelasan. “Mood Kakak cepet banget berubah. Tadi gak kenapa-kenapa, sekarang jadi gitu,” gerutunya.

“Kamu pulang hari ini?” Mirza ingin memastikan.

“Udah seminggu, 'kan?” Fazia mengingatkan.

“Hm.” Mirza hanya berdeham singkat sebagai respons, padahal otaknya sedang menyusun kata untuk dia ucapkan. “Kamu ada acara lain setelah pulang dari sini?”

“Maksud Kakak? Acara lain gimana?” Fazia tak mengerti.

“Kalo misal ... saya perpanjang ... gimana?” tanya Mirza sangat hati-hati.

Tak langsung menjawab, Fazia sendiri bingung harus berkata apa. “Jangan ngelakuin hal-hal yang gak berguna secara terus menerus. Bukannya Kakak sendiri yang bilang, harus ada kemauan biar bisa lebih baik lagi kedepannya? Kalo di sini terus, kapan memperbaiki hidupnya?”

“Kamu mau nyuruh saya pulang juga?” Mirza tersenyum kecil, merasa lucu dinasehati bocah ingusan seperti Fazia.

“Walaupun Kakak udah dewasa, perjalanan Kakak juga bisa jadi masih panjang kayak aku. Jadi, jangan buang-buang waktu buat hal gak penting.” Fazia tidak merasa ada yang salah dari ucapannya.

“Itu kata-kata saya buat kamu, By.” Mirza tak terima Fazia memutarbalikkan nasehatnya.

“Dan aku nangkep maksud Kakak, tapi kenapa Kakak sendiri malah kayak gitu?” Fazia tak sungkan menyinggung.

“Saya pulang besok.” Mirza mengangguk pelan.

“Janji?” Fazia berhasil mengunci tatapan Mirza, tak ingin pembahasan ini berlalu begitu saja.

“Kenapa harus janji?” Mirza tampaknya masih bimbang, tak mau terikat pada janjinya sendiri.

“Janji kalo besok Kakak bakal pulang.” Fazia ingin mendengarnya.

“Oke.” Mirza menganggukkan kepalanya lagi.

“Janji dulu.” Fazia menuntut tak mau tahu.

“Janji.” Mirza kembali mengangguk, kali ini terlihat tegas dan meyakinkan.

Fazia merasa lega mengetahui Mirza juga akan meninggalkan tempat itu. Apa jadinya jika Mirza tetap di sana? Mungkin pria itu akan menyewa wanita lain? Untuk membayangkannya saja, Fazia tak mampu. Entah, rasa-rasanya dia tak akan terima jika wanita lain merasakan perhatian serta sikap manis dari seorang Mirza Kalandra Rajasa.

Usai sarapan, Fazia bergegas mengemasi barang-barangnya. Berat rasanya meninggalkan tempat itu, terutama berpisah dengan Mirza. Namun, uang yang dia terima sudah lebih dari cukup untuk merealisasikan rencananya. Lalu, untuk apa melanjutkan pekerjaan hina ini? Tidak lagi, tidak kali ini, maupun di masa mendatang.

Tanpa Fazia sadari, Mirza lebih terpuruk atas 'perpisahan' ini. Sejak dia tahu Fazia akan pergi, suasana hatinya mendadak kacau. Malas melakukan apapun, dia malah melamun di tepi ranjang sembari memperhatikan Fazia yang tengah sibuk mengisi kopernya, persis seperti anak kecil yang tak ingin ditinggalkan ibunya.

“Thanks for seven days,” kata Mirza sembari mendekat.

Fazia menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah Mirza. “My pleasure,” sambutnya.

“Ambil.” Mirza menyodorkan sesuatu yang terlihat sederhana. “Siapa tau kamu kangen.”

“Dih.” Fazia jelas tak menyangka pria itu akan berkata demikian. “Pede banget!” oloknya.

Mirza tak tersinggung, sebaliknya dia tersenyum. Ia pun memasangkan gelang tangan miliknya pada tangan Fazia. “Jangan dijual, ya. Murah soalnya.”

Fazia terkekeh, tahu harga barang itu tidaklah sampai jutaan. “Terus Kakak mau apa dari aku?”

Tak butuh waktu lama untuk berpikir, Mirza melepas ikat rambut Fazia sebagai imbalan. “Kamu lebih menggoda kalo rambutnya gak diiket.”

“Mesum!” Fazia mengira yang tidak-tidak. Namun, pria yang kini duduk di sampingnya itu malah menatapnya dengan intens. “Apa, sih?!” gertaknya salah tingkah.

Mirza lalu memberikan sebuah amplop berwarna coklat. “Saya harap uang ini cukup buat ... sesuatu yang kamu mau. Gak banyak, tapi ... Saya harap kamu stop sampai di sini. Maksudnya ....”

“Terima kasih banyak, Kak. Uang ini lebih dari cukup buat keperluan aku. Dan ... aku gak niat kerja gini lagi.” Fazia paham apa yang dimaksud Mirza, bahkan sebelum pria itu selesai bicara.

“Janji?” Mirza ingin meyakinkan dirinya sendiri.

“Kenapa harus janji?” Fazia mengulang kata yang tadi sempat Mirza ucapkan.

“Masa depan kamu masih panjang. Kalo ngikutin gengsi, gak bakal ada abisnya. Pendidikan itu lebih penting, By.” Mirza mengomel layaknya seorang kakak.

“Iya, iya. Aku janji.” Fazia malas berdebat, manggut-manggut tanda setuju.

“Janji apa dulu?” Mirza ingin memastikan sekali lagi.

“Janji gak kerja gini lagi.” Fazia berhasil meyakinkan lawan bicaranya.

“Good girl.” Mirza tersenyum puas, mengusap puncak kepala Fazia dengan gemas.

Hari terakhir... Tampaknya Fazia sudah kehilangan rasa malu hingga dia berani mencium Mirza dan menggodanya lebih dulu. Tak peduli bagaimana penilaian Mirza terhadapnya, Fazia hanya ingin melakukan pelayanan terakhir sebelum meninggalkan tempat itu, tempat yang menurutnya begitu banyak keindahan.

***

Sudah Fazia duga, kepulangannya hanya akan mendapat makian, bukan sambutan. Sang ayah—Wiryo, langsung mengoceh panjang lebar, baru diam setelah Fazia memberikan alasan yang dia buat-buat dan uang sebesar satu juta. Sementara sang ibu—Susi, memasang wajah memelas dan tak berdaya seperti biasa.

“Kamu dari mana aja, Zia?” Susi hanya basa-basi dengan suara lembutnya.

“'Kan tadi udah aku jawab ke Bapak, aku ikut Mbak Lina ke Bandung.” Fazia menjawab malas.

“Zia, coba kamu pikir-pikir, kalo kamu nikah sama Pak Romi, hidup kita semua bakal tercukupi.” Susi menaruh banyak harapan melalui tatapannya.

“Setelah aku pikir-pikir, aku bisa gila kalo jadi istri ketiga Pak Romi!” Fazia tersenyum sungging.

“Kita gak punya pilihan, Zi. Rumah ini diancam jadi milik Pak Romi kalo kamu nolak—”

“Itu 'kan salah Bapak! Main judi sampe hutang numpuk. Kok jadi aku yang harus tanggung jawab buat nutupin hutangnya?” Fazia menggerutu.

“Sttt... Gak baik kalo kedengeran Bapak.” Susi berbisik panik, takut-takut suaminya datang.

“Aku mau kuliah, Bu. Aku udah bilang berulang kali, 'kan, kalo aku dapet beasiswa?” Fazia kembali mengingatkan dengan nada penuh penekanan.

“Kuliah itu lama, sedangkan Pak Romi—”

“Aku gak peduli sama orang itu, aku gak peduli sama Bapak, mungkin aku juga gak peduli sama Ibu.” Fazia sudah amat lelah membahas ini.

“Zia—”

“Ibu tenang aja. Kuliah aku gratis, gak bakalan nyusahin Ibu. Aku juga mau nyari kerjaan biar ada penghasilan.” Fazia bicara dengan percaya diri.

“Gaji kamu gak bakal cukup buat bayar hutang Bapak.” Susi menunduk lemah, tidak ada solusi.

“Lagian siapa yang bilang aku kerja buat bayar hutang Bapak?” Fazia segera meluruskan ucapan ibunya. “Aku mau kerja buat diri aku sendiri!”

“Pikirin juga masa depan adik-adik kamu. Kalo kamu mau nikah sama Pak Romi, Pak Romi bersedia buat sekolahin adik-adik kamu dan—”

“Adik-adik juga tanggung jawab Bapak, bukan tanggung jawab aku! Kenapa harus aku yang mikirin sekolah mereka? Kenapa harus aku yang berkorban buat keluarga?!” Fazia tak bisa lagi bersikap santai, menatap penuh kekecewaan pada sang ibu.

“Zi—”

“Lagian Ibu itu kenapa selalu bela Bapak, sih? Udah tau Bapak kayak gitu, terus aja Ibu bela. Demi orang kayak Bapak, Ibu rela ngorbanin aku!” Fazia berbalik, tak mau melanjutkan percakapan lagi.

Perdebatan ini selalu terjadi seolah sudah menjadi rutinitas di dalam rumahnya. Setiap hari Susi membujuk Fazia untuk menerima tawaran pernikahan, setiap hari pula Wiryo memaki bahkan melakukan kekerasan ketika mendengar penolakan. Berbagai cara dan alasan sudah Fazia coba, akan tetapi mereka tetap memaksa.

Sejak kecil, Fazia sudah merasa berbeda. Di saat anak seusianya asyik bermain, dia malah sibuk berjualan untuk membantu perekonomian keluarga. Belum lagi, dia harus selalu mengalah demi ketiga adiknya. Sekarang tidak lagi, dia sudah beranjak dewasa dan tentu memiliki cita-cita yang ingin dicapainya.

Ada atau tidaknya restu orang tua, Fazia akan tetap pergi sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi. Tak peduli rumah orang tuanya akan disita, tak peduli ayahnya yang sering keluar masuk jeruji besi kembali dipenjara, tak peduli bagaimana nasib ibunya, dia hanya ingin melarikan diri dari rumah yang telah memberikan banyak luka.

Di tempat lain

Mirza memperhatikan ikat rambut milik Fazia yang dia pakai di pergelangan tangannya. Gaby, itu nama yang dia tahu. Suaranya masih terngiang di telinga, wajahnya masih terbayang nyata, aroma tubuhnya masih tercium, pelukannya masih terasa hangat, kecupan terakhirnya pun masih tersisa di bibirnya.

Bertolak belakang dengan isi pikirannya yang dipenuhi sosok Fazia, hatinya malah merasakan kekosongan. Suasana terasa sangat sunyi, bahkan rasanya tak pernah sesunyi ini. Tak tahu harus berbuat apa guna mengusir rasa bosan yang melanda, akhirnya Mirza memutuskan untuk pulang hari ini juga.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 50:

    Untuk sesaat, Fazia tertegun memandangi bangunan villa di hadapannya, teringat saat pertama kali dia datang ke sana. Tempat itu tak hanya menjadi saksi hancurnya kesucian seorang wanita, tapi tempat itu juga menjadi saksi berseminya cinta yang tercipta dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Fazia tersenyum penuh arti. Dulu dia datang sebagai wanita bayaran, sekarang dia datang sebagai istri dari pemilik villa itu sendiri. Ya, mudah bagi takdir untuk membolak-balikan keadaan, menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang bahkan tak pernah Fazia bayangkan sebelumnya. Semua ruangan sudah dibersihkan oleh Ratri sebelum mereka datang, jadi mereka hanya perlu merapikan bahan-bahan makanan yang dibawa dari kota. Selesai merapikan semua bahan makan, Fazia membuat beberapa camilan untuk melengkapi sore hari di halaman belakang, tempat favoritnya. Mirza berlalu dari pandangan, lalu kembali dengan celana boxer tanpa atasan. Pria itu melewati Fazia begitu saja, berjalan menuju alat

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 49:

    Kamar kedua yang semula ditempati Mirza untuk beristirahat, kini menjadi ruangan kerja meski tidak ada meja komputer di dalamnya. Tak apa, yang penting dia bisa menyelesaikan pekerjaannya malam ini agar besok tak perlu ke kantor dan dia bisa membawa sang istri ke villa untuk berlibur sesuai rencananya. Mendengar percakapan Fazia bersama Citra melalui sambungan telepon, sekali lagi Mirza merasa tak percaya dengan statusnya, yaitu memiliki seorang istri. Sekarang tempat itu tak lagi sunyi seperti dulu, tak hanya ada dirinya yang biasanya membisu. Ah, dia tidak sabar ingin mendengar tangis dari anaknya.Tunggu ... Konsentrasi Mirza mulai terganggu karena sesuatu. Walaupun posisi dia di dalam kamar sedangkan Fazia berada di ruang TV, pintu kamar terbuka lebar, tentu saja obrolan istri dan adiknya dapat dia dengar, terlebih Fazia mengaktifkan pengeras suara. Tak mau diam saja, ia pun segera menghampiri. “Masa, sih, Kak Rio suka nanyain gue?” Fazia mengerutkan keningnya usai Citra bicara

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 48:

    Entah sudah berapa kali Citra menelpon, yang jelas Fazia sedang malas menjawabnya. Dia lebih asyik memasak seraya menyanyikan lagu-lagu romantis yang mengiringi keceriaan hatinya saat ini. Tak hanya sering tersenyum kecil, pikirannya pun sibuk berkhayal hal indah. Sikap manis nan romantis seorang Mirza pagi ini benar-benar membuat suasana hati Fazia teramat berbunga-bunga. Dulu dia sering kali membayangkan Mirza menjadi suaminya, tapi ternyata bayangan itu tidak ada apa-apanya. Kehangatan Mirza sekarang melebihi sebatas teman ranjang yang pernah terjadi dulu. Melihat beberapa menu makan yang sudah matang di atas meja, Fazia jadi memikirkan sesuatu. Sepertinya tidak masalah jika dia membawa makanan itu ke kantor dan makan siang bersama suaminya di sana, karena sejujurnya dia penasaran isi kantor itu seperti apa dan siapa saja penghuninya. FaziaKak, kalo aku ke sana bawa makan siang, gimana?11:03MirzaNanti kamu repot, By. 11:05FaziaGak apa-apa. Aku gak repot, kok. 11:06Mirza

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 47:

    Makan malam sudah tertata rapi di atas meja, berbagai hidangan kesukaan Mirza pun ada di sana. Penampilan Fazia sangat menantang walaupun potongan lingerie yang dipakainya tidak terlalu terbuka, setidaknya Mirza akan merasa heran sekaligus terkagum-kagum karena dia tak pernah berpakaian seperti itu. Detik demi detik terus Fazia lalui dengan rasa ketidaksabaran, sampai tak terasa sudah berjam-jam lamanya dia menanti kepulangan sang suami yang tak kunjung datang. Sempat ingin menanyakan keberadaannya, tapi Fazia menahan diri untuk tidak melakukan itu agar Mirza mengira dirinya tidak peduli. Entah sudah berapa kali Fazia menguap, menahan rasa kantuk yang semakin kuat. Ia berbaring di sofa, menonton siaran TV tanpa minat. Sampai tiba-tiba, pintu utama yang tak jauh dari sana terbuka. Niatnya tadi untuk menyambut hilang, sebaliknya dia malah memejamkan mata seolah ketiduran di sana.Awalnya Mirza terlihat biasa saja, menutup pintu dan menguncinya seperti biasa. Namun, pria itu mematung k

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 46:

    Pagi yang cerah, secerah senyuman Fazia ketika memandangi wajah Mirza yang masih terlelap di sampingnya. Pelukan hangat pria itu berhasil mengantarkannya ke alam mimpi, bahkan sampai dia terbangun kembali. Mirza sudah menjadi suaminya? Dia bertanya-tanya dalam hati, jujur saja masih tak menyangka. Tunggu! Mirza benar-benar tidak melakukan apa pun selain memeluknya selama dua malam tidur bersama, bahkan memberikan kecupan atau sekadar ucapan ‘Good night’ saja tidak. Apa dia tidak berhasrat? Walaupun Fazia pernah memberi batasan, dia bisa saja membujuk dan menaklukkan egonya, bukan?Entah apa alasannya, Fazia kesal bukan main, ingin sekali meremas-remas wajah Mirza jika saja dia tidak bisa menahan diri. Tangannya hanya bisa meremas angin di hadapan wajah pria itu, sedangkan si pemilik wajah tampan tetap terlelap dalam tidurnya. Merasa konyol, Fazia bangkit untuk menyiapkan sarapan. “By, aku berangkat, ya.” Mirza memakai jam tangannya sembari berjalan ke dapur. Fazia yang baru saja me

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 45:

    Pukul enam pagi, alarm pada tubuh Fazia membangunkan si pemiliknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa suhu tubuh Mirza. Syukurlah, pria itu tidak demam lagi. Fazia lalu pergi ke dapur untuk membuat bubur dan mencampurkan beberapa sayuran ke dalamnya agar kaya gizi dan vitamin.Namun, lagi-lagi selera makan Mirza sedang terganggu. Berulang kali dia menolak disuapi, berulang kali pula Fazia membujuknya seperti kepada anak kecil. Fazia sampai memohon agar Mirza membuka mulutnya, tapi kali ini Mirza benar-benar merasa mual hanya dengan mencium bau makanan di kamarnya. “Paksain makan, Kak. Abis ini minum obat.” Fazia mulai bosan memohon. “Gak mau, By.” Mirza malah berpindah posisi, menempatkan kepalanya di paha Fazia, memeluk pinggangnya di posisi seperti itu. “Terus gimana Kakak mau sembuhnya kalo makan aja gak mau, sedangkan minum obat itu harus makan dulu?!” Fazia rasa bisa gila merawat suaminya yang sulit diatur. “Biarin aja gini.” Mirza terkesan tak peduli. “Kakak mau

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status