Satu hari, dua hari, tiga hari....
Hingga tak terasa sudah tujuh hari Fazia menghabiskan waktunya bersama Mirza, dan selama itu pula hubungan mereka kian terasa nyata. Layaknya pasangan yang baru saja menikah, mereka selalu tampak harmonis dan penuh cinta. Tidak ada rasa keterpaksaan di kedua belah pihak, semua mengalir begitu saja. Ini aneh. Sebenarnya Mirza tipikal pria yang sulit membangun hubungan, apalagi dengan orang baru seperti Fazia. Namun, entah mengapa kali ini terasa berbeda. Wanita itu memang pandai mencairkan suasana, bahkan dia yang sering memulai perbincangan. Sejak kedatangan Fazia, Mirza seakan lupa pada masalahnya. Fazia sendiri merasa nyaman di tempat itu. Lupakan tentang pekerjaannya yang memalukan, dia hanya ingin menikmati suasana yang begitu tenang. Tidak ada suara teriakan dari ayahnya, tidak ada suara tangis dari ibu dan ketiga adiknya. Jika boleh berkata jujur, dia ingin berada di sana dalam waktu yang cukup lama. “Kak ....” Fazia berhasil membuyarkan fokus Mirza. Dengan napas terengah-engah, Mirza menghentikan olahraganya sejenak. “Bikin apa pagi ini?” tanyanya sembari tersenyum manis. “Macem-macem.” Fazia menunjukkan isi nampan yang dibawanya. “Soalnya aku gak cukup kalo cuma satu macem.” “Kayaknya enak-enak.” Mirza bergegas meninggalkan aktivitasnya tanpa pikir panjang. “Kalo gak enak, Kakak bikin sarapan sendiri aja sana.” Fazia mendelik, lalu berjalan ke bangku halaman. “Pasti enak, kok. Makanan bikinan kamu gak pernah gagal.” Mirza lantas mengikuti langkah Fazia. “Ada sandwich, oatmeal ... Ada sayuran juga nih, brokoli sama kentang. Buahnya udah jelas, pasti ada alpukat, ada—” Fazia menghentikan ucapannya ketika Mirza mengambil potongan sandwich tanpa menunggunya selesai bicara. “Kelamaan, By.” Mirza langsung melahapnya dengan penuh semangat. “Aku udah bikin salad sama puding buat Kakak makan entar siang atau sore,” kata Fazia sambil mencicipi sarapannya. “Mau dimasakin apa buat makan siang? Sekalian aku masakin buat makan malamnya, ya? Tinggal Kakak angetin kalo mau makan.” Alih-alih menyahuti, Mirza malah memelankan kunyahan dengan tatapan kosong. Ucapan Fazia berhasil membuat hatinya terhenyak, baru sadar bahwa hari ini adalah hari terakhir Fazia berada di sana. Mirza memang tidak menghitung hari, dan sejujurnya dia belum siap 'kehilangan' wanita itu. Tidak secepat ini, tidak esok atau lusa.... “Gak enak, ya?” Fazia menatap cemas. “Enak.” Mirza mengangguk pelan. “Kalo gak enak jangan maksain makan.” Fazia tak percaya. Ekspresi Mirza sudah cukup menandakan adanya sesuatu yang kurang nyaman. “Aku bikinin sarapan baru, ya?” “Ini enak, By. Serius.” Mirza menegaskan, tapi lagi-lagi wajahnya terlihat tak biasa. “Terus?” Fazia meminta penjelasan. “Mood Kakak cepet banget berubah. Tadi gak kenapa-kenapa, sekarang jadi gitu,” gerutunya. “Kamu pulang hari ini?” Mirza ingin memastikan. “Udah seminggu, 'kan?” Fazia mengingatkan. “Hm.” Mirza hanya berdeham singkat sebagai respons, padahal otaknya sedang menyusun kata untuk dia ucapkan. “Kamu ada acara lain setelah pulang dari sini?” “Maksud Kakak? Acara lain gimana?” Fazia tak mengerti. “Kalo misal ... saya perpanjang ... gimana?” tanya Mirza sangat hati-hati. Tak langsung menjawab, Fazia sendiri bingung harus berkata apa. “Jangan ngelakuin hal-hal yang gak berguna secara terus menerus. Bukannya Kakak sendiri yang bilang, harus ada kemauan biar bisa lebih baik lagi kedepannya? Kalo di sini terus, kapan memperbaiki hidupnya?” “Kamu mau nyuruh saya pulang juga?” Mirza tersenyum kecil, merasa lucu dinasehati bocah ingusan seperti Fazia. “Walaupun Kakak udah dewasa, perjalanan Kakak juga bisa jadi masih panjang kayak aku. Jadi, jangan buang-buang waktu buat hal gak penting.” Fazia tidak merasa ada yang salah dari ucapannya. “Itu kata-kata saya buat kamu, By.” Mirza tak terima Fazia memutarbalikkan nasehatnya. “Dan aku nangkep maksud Kakak, tapi kenapa Kakak sendiri malah kayak gitu?” Fazia tak sungkan menyinggung. “Saya pulang besok.” Mirza mengangguk pelan. “Janji?” Fazia berhasil mengunci tatapan Mirza, tak ingin pembahasan ini berlalu begitu saja. “Kenapa harus janji?” Mirza tampaknya masih bimbang, tak mau terikat pada janjinya sendiri. “Janji kalo besok Kakak bakal pulang.” Fazia ingin mendengarnya. “Oke.” Mirza menganggukkan kepalanya lagi. “Janji dulu.” Fazia menuntut tak mau tahu. “Janji.” Mirza kembali mengangguk, kali ini terlihat tegas dan meyakinkan. Fazia merasa lega mengetahui Mirza juga akan meninggalkan tempat itu. Apa jadinya jika Mirza tetap di sana? Mungkin pria itu akan menyewa wanita lain? Untuk membayangkannya saja, Fazia tak mampu. Entah, rasa-rasanya dia tak akan terima jika wanita lain merasakan perhatian serta sikap manis dari seorang Mirza Kalandra Rajasa. Usai sarapan, Fazia bergegas mengemasi barang-barangnya. Berat rasanya meninggalkan tempat itu, terutama berpisah dengan Mirza. Namun, uang yang dia terima sudah lebih dari cukup untuk merealisasikan rencananya. Lalu, untuk apa melanjutkan pekerjaan hina ini? Tidak lagi, tidak kali ini, maupun di masa mendatang. Tanpa Fazia sadari, Mirza lebih terpuruk atas 'perpisahan' ini. Sejak dia tahu Fazia akan pergi, suasana hatinya mendadak kacau. Malas melakukan apapun, dia malah melamun di tepi ranjang sembari memperhatikan Fazia yang tengah sibuk mengisi kopernya, persis seperti anak kecil yang tak ingin ditinggalkan ibunya. “Thanks for seven days,” kata Mirza sembari mendekat. Fazia menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah Mirza. “My pleasure,” sambutnya. “Ambil.” Mirza menyodorkan sesuatu yang terlihat sederhana. “Siapa tau kamu kangen.” “Dih.” Fazia jelas tak menyangka pria itu akan berkata demikian. “Pede banget!” oloknya. Mirza tak tersinggung, sebaliknya dia tersenyum. Ia pun memasangkan gelang tangan miliknya pada tangan Fazia. “Jangan dijual, ya. Murah soalnya.” Fazia terkekeh, tahu harga barang itu tidaklah sampai jutaan. “Terus Kakak mau apa dari aku?” Tak butuh waktu lama untuk berpikir, Mirza melepas ikat rambut Fazia sebagai imbalan. “Kamu lebih menggoda kalo rambutnya gak diiket.” “Mesum!” Fazia mengira yang tidak-tidak. Namun, pria yang kini duduk di sampingnya itu malah menatapnya dengan intens. “Apa, sih?!” gertaknya salah tingkah. Mirza lalu memberikan sebuah amplop berwarna coklat. “Saya harap uang ini cukup buat ... sesuatu yang kamu mau. Gak banyak, tapi ... Saya harap kamu stop sampai di sini. Maksudnya ....” “Terima kasih banyak, Kak. Uang ini lebih dari cukup buat keperluan aku. Dan ... aku gak niat kerja gini lagi.” Fazia paham apa yang dimaksud Mirza, bahkan sebelum pria itu selesai bicara. “Janji?” Mirza ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Kenapa harus janji?” Fazia mengulang kata yang tadi sempat Mirza ucapkan. “Masa depan kamu masih panjang. Kalo ngikutin gengsi, gak bakal ada abisnya. Pendidikan itu lebih penting, By.” Mirza mengomel layaknya seorang kakak. “Iya, iya. Aku janji.” Fazia malas berdebat, manggut-manggut tanda setuju. “Janji apa dulu?” Mirza ingin memastikan sekali lagi. “Janji gak kerja gini lagi.” Fazia berhasil meyakinkan lawan bicaranya. “Good girl.” Mirza tersenyum puas, mengusap puncak kepala Fazia dengan gemas. Hari terakhir... Tampaknya Fazia sudah kehilangan rasa malu hingga dia berani mencium Mirza dan menggodanya lebih dulu. Tak peduli bagaimana penilaian Mirza terhadapnya, Fazia hanya ingin melakukan pelayanan terakhir sebelum meninggalkan tempat itu, tempat yang menurutnya begitu banyak keindahan. *** Sudah Fazia duga, kepulangannya hanya akan mendapat makian, bukan sambutan. Sang ayah—Wiryo, langsung mengoceh panjang lebar, baru diam setelah Fazia memberikan alasan yang dia buat-buat dan uang sebesar satu juta. Sementara sang ibu—Susi, memasang wajah memelas dan tak berdaya seperti biasa. “Kamu dari mana aja, Zia?” Susi hanya basa-basi dengan suara lembutnya. “'Kan tadi udah aku jawab ke Bapak, aku ikut Mbak Lina ke Bandung.” Fazia menjawab malas. “Zia, coba kamu pikir-pikir, kalo kamu nikah sama Pak Romi, hidup kita semua bakal tercukupi.” Susi menaruh banyak harapan melalui tatapannya. “Setelah aku pikir-pikir, aku bisa gila kalo jadi istri ketiga Pak Romi!” Fazia tersenyum sungging. “Kita gak punya pilihan, Zi. Rumah ini diancam jadi milik Pak Romi kalo kamu nolak—” “Itu 'kan salah Bapak! Main judi sampe hutang numpuk. Kok jadi aku yang harus tanggung jawab buat nutupin hutangnya?” Fazia menggerutu. “Sttt... Gak baik kalo kedengeran Bapak.” Susi berbisik panik, takut-takut suaminya datang. “Aku mau kuliah, Bu. Aku udah bilang berulang kali, 'kan, kalo aku dapet beasiswa?” Fazia kembali mengingatkan dengan nada penuh penekanan. “Kuliah itu lama, sedangkan Pak Romi—” “Aku gak peduli sama orang itu, aku gak peduli sama Bapak, mungkin aku juga gak peduli sama Ibu.” Fazia sudah amat lelah membahas ini. “Zia—” “Ibu tenang aja. Kuliah aku gratis, gak bakalan nyusahin Ibu. Aku juga mau nyari kerjaan biar ada penghasilan.” Fazia bicara dengan percaya diri. “Gaji kamu gak bakal cukup buat bayar hutang Bapak.” Susi menunduk lemah, tidak ada solusi. “Lagian siapa yang bilang aku kerja buat bayar hutang Bapak?” Fazia segera meluruskan ucapan ibunya. “Aku mau kerja buat diri aku sendiri!” “Pikirin juga masa depan adik-adik kamu. Kalo kamu mau nikah sama Pak Romi, Pak Romi bersedia buat sekolahin adik-adik kamu dan—” “Adik-adik juga tanggung jawab Bapak, bukan tanggung jawab aku! Kenapa harus aku yang mikirin sekolah mereka? Kenapa harus aku yang berkorban buat keluarga?!” Fazia tak bisa lagi bersikap santai, menatap penuh kekecewaan pada sang ibu. “Zi—” “Lagian Ibu itu kenapa selalu bela Bapak, sih? Udah tau Bapak kayak gitu, terus aja Ibu bela. Demi orang kayak Bapak, Ibu rela ngorbanin aku!” Fazia berbalik, tak mau melanjutkan percakapan lagi. Perdebatan ini selalu terjadi seolah sudah menjadi rutinitas di dalam rumahnya. Setiap hari Susi membujuk Fazia untuk menerima tawaran pernikahan, setiap hari pula Wiryo memaki bahkan melakukan kekerasan ketika mendengar penolakan. Berbagai cara dan alasan sudah Fazia coba, akan tetapi mereka tetap memaksa. Sejak kecil, Fazia sudah merasa berbeda. Di saat anak seusianya asyik bermain, dia malah sibuk berjualan untuk membantu perekonomian keluarga. Belum lagi, dia harus selalu mengalah demi ketiga adiknya. Sekarang tidak lagi, dia sudah beranjak dewasa dan tentu memiliki cita-cita yang ingin dicapainya. Ada atau tidaknya restu orang tua, Fazia akan tetap pergi sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi. Tak peduli rumah orang tuanya akan disita, tak peduli ayahnya yang sering keluar masuk jeruji besi kembali dipenjara, tak peduli bagaimana nasib ibunya, dia hanya ingin melarikan diri dari rumah yang telah memberikan banyak luka. Di tempat lain Mirza memperhatikan ikat rambut milik Fazia yang dia pakai di pergelangan tangannya. Gaby, itu nama yang dia tahu. Suaranya masih terngiang di telinga, wajahnya masih terbayang nyata, aroma tubuhnya masih tercium, pelukannya masih terasa hangat, kecupan terakhirnya pun masih tersisa di bibirnya. Bertolak belakang dengan isi pikirannya yang dipenuhi sosok Fazia, hatinya malah merasakan kekosongan. Suasana terasa sangat sunyi, bahkan rasanya tak pernah sesunyi ini. Tak tahu harus berbuat apa guna mengusir rasa bosan yang melanda, akhirnya Mirza memutuskan untuk pulang hari ini juga.Tanpa adanya saudara, teman, atau sekadar kenalan, Fazia nekat pergi ke Jakarta dan memulai hidup barunya sebagai seorang mahasiswi. Kalina hanya memberi uang sebesar lima juta atas pekerjaannya selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi Mirza memberi tambahan sebesar dua puluh lima juta tanpa sepengetahuan Kalina. Uang sebesar itu Fazia gunakan untuk membeli barang-barang yang sudah lama dia mimpikan. Mulai dari ponsel, segala jenis pakaian, aksesoris, perawatan diri, peralatan kecantikan, dan masih banyak lagi. Ya, wanita itu tidak bisa mengontrol nafsu foya-foya hingga telat menyadari bahwa uangnya semakin menipis dari hari ke hari. Beruntung Fazia mendapatkan teman baru di kampusnya—Citra, gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Selain tidak memandang kasta, dia juga sangat baik dan selalu bersedia membantu. Gadis itulah yang memperkenalkan Fazia pada segala hal, terutama kehidupan modern yang tidak ia ketahui sama sekali. “Cie ... yang diajakin nge-date sama kating idam
Satu hari, dua hari, tiga hari.... Hingga tak terasa sudah tujuh hari Fazia menghabiskan waktunya bersama Mirza, dan selama itu pula hubungan mereka kian terasa nyata. Layaknya pasangan yang baru saja menikah, mereka selalu tampak harmonis dan penuh cinta. Tidak ada rasa keterpaksaan di kedua belah pihak, semua mengalir begitu saja.Ini aneh. Sebenarnya Mirza tipikal pria yang sulit membangun hubungan, apalagi dengan orang baru seperti Fazia. Namun, entah mengapa kali ini terasa berbeda. Wanita itu memang pandai mencairkan suasana, bahkan dia yang sering memulai perbincangan. Sejak kedatangan Fazia, Mirza seakan lupa pada masalahnya. Fazia sendiri merasa nyaman di tempat itu. Lupakan tentang pekerjaannya yang memalukan, dia hanya ingin menikmati suasana yang begitu tenang. Tidak ada suara teriakan dari ayahnya, tidak ada suara tangis dari ibu dan ketiga adiknya. Jika boleh berkata jujur, dia ingin berada di sana dalam waktu yang cukup lama. “Kak ....” Fazia berhasil membuyarkan fok
Langkah Mirza terhenti di ambang pintu, terpaku melihat sosok Fazia yang sedang berada di dapur. Meski gadis itu berdiri menyamping, wajahnya tetap terlihat cukup jelas. Dia sangat cantik walau tanpa riasan, terlebih ikatan rambutnya yang asal malah semakin menarik dan menggoda iman. Hey, ke mana saja Mirza semalam? Mengapa dia baru tergoda melihat Fazia yang hanya memakai kemeja tanpa bawahan sekarang? Jelas saja kaki mulusnya menjadi pemandangan indah, membuat pikiran Mirza mendadak dipenuhi adegan-adegan sensual dan menggairahkan.Sadar ada seseorang yang sedang mengawasi, Fazia menengok ke arah pintu. Saat itu juga, jantungnya berdegup tanpa alasan. “Pagi, Kak,” sapanya canggung. “Pagi.” Mirza sedikit gelagapan karena ketahuan. “Tadi ada ibu-ibu yang datang, bawa banyak belanjaan. Katanya dia yang bersih-bersih sama masak di sini, tapi aku bilang aku aja yang ngerjain.” Fazia menceritakan pertemuannya bersama Ratri, wanita tua yang biasa datang di pagi hari. “Kamu dibayar buat
“Duh, gimana, dong? Mana Hasan udah OTW mau ke sini! Gue jadi gak bisa ke mana-mana!” Kalina terdengar mengeluh pada seseorang yang sedang dihubunginya. “Masa lo gak bisa paksain, sih? Bantuin gue kali ini, kek.”“Masalahnya itu satu minggu, Lin. Kalo cuma semalem mah gue bisa.” Dona memberi alasan sebelum akhirnya memberi saran, “Lo cancel aja, sih.”“Mana bisa! Lo tau sendiri si botak bakal maki gue habis-habisan! Apalagi dia udah nerima duitnya!” Kalina berteriak frustasi.“Ya, abis gimana? Lagian rencananya mendadak banget. Job gue udah full, Lin.” Dona tetap tak bisa membantu apa-apa. “Kenapa juga si Hasan datang tiba-tiba gitu? Cowok lo aneh! Gak tau jadwal!”“Gue lagi berantem sama dia, terus dia mau ke sini.” Kalina lanjut menceritakan masalahnya.Fazia Azara, gadis yang baru saja lulus SMA itu tak sengaja menguping obrolan sang majikan. Kalina memang seorang janda satu anak yang dikenal sebagai PSK, tapi Fazia tidak peduli karena pekerjaannya hanya sebatas antar jemput anak K