Tanpa adanya saudara, teman, atau sekadar kenalan, Fazia nekat pergi ke Jakarta dan memulai hidup barunya sebagai seorang mahasiswi. Kalina hanya memberi uang sebesar lima juta atas pekerjaannya selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi Mirza memberi tambahan sebesar dua puluh lima juta tanpa sepengetahuan Kalina.
Uang sebesar itu Fazia gunakan untuk membeli barang-barang yang sudah lama dia mimpikan. Mulai dari ponsel, segala jenis pakaian, aksesoris, perawatan diri, peralatan kecantikan, dan masih banyak lagi. Ya, wanita itu tidak bisa mengontrol nafsu foya-foya hingga telat menyadari bahwa uangnya semakin menipis dari hari ke hari. Beruntung Fazia mendapatkan teman baru di kampusnya—Citra, gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Selain tidak memandang kasta, dia juga sangat baik dan selalu bersedia membantu. Gadis itulah yang memperkenalkan Fazia pada segala hal, terutama kehidupan modern yang tidak ia ketahui sama sekali. “Cie ... yang diajakin nge-date sama kating idaman." Citra terus menggoda, menyikut lengan temannya yang tampak kesal. "Basi!" Fazia tak suka mendengarnya. "Mana ada nge-date di club!" "Ya anggap aja nge-date." Citra rasa tidak ada bedanya. "Atau lo maunya berduaan sama Kak Ken?" tembaknya penuh curiga. "Emang gue kelihatan tertarik sama Kak Ken?" Fazia tak percaya temannya mengira demikian. "Gak ada salahnya dijalanin dulu." Citra percaya Fazia tak tertarik pada percintaan, hanya saja sosok kakak tingkatnya sayang untuk diabaikan. "Apalagi Kak Ken banyak duit. Lo gak usah capek-capek kerja." "Sesempit itu pikiran lo? Dia ngajak clubbing aja udah salah banget di mata gue." Fazia menggelengkan kepalanya. "Haduh ... Turutin aja, sih. Gue temenin." Citra tak bosan memberi dukungan. Tidak, Fazia menganggapnya paksaan. "Gak usah. Gue mau masuk kerja.” Fazia menolak untuk yang kesekian kalinya. “Malam minggu, Cit, pasti rame restoran lo.” “Sebagai bos, gue izinin lo bolos kerja! Sekalian gue jagain lo di club!” tegas Citra seakan apa yang dia ucapkan adalah kebaikan. “Gak kebalik?” Fazia memincingkan sebelah alisnya. “Kayaknya gue, deh, yang harus jagain lo.” “Ayok.” Citra langsung menarik tangan Fazia untuk ikut. Demi apapun, Fazia malas menuruti ajakan kakak tingkatnya yang bernama Kenzo. Bukan apa-apa, hampir mustahil laki-laki yang terkenal sering memamerkan mobil sport di kampusnya itu menaruh perasaan terhadapnya. Fazia yakin, pertemuan yang diinginkan Kenzo ini bukan karena dasar perasaan, tapi ada alasan lain yang tidak ia ketahui. Berbanding balik dengan Fazia yang enggan pergi, Citra malah semangat mempersiapkan diri. Demi kelangsungan pertemuan, dia bahkan rela membelikan pakaian baru untuk Fazia. Ya, seperti sekarang ini, kedua wanita itu sibuk memilah-milah pakaian yang akan mereka kenakan. Masalahnya, Citra juga yang memilih pakaian untuk Fazia pakai. "Kita cancel aja, gimana?" Fazia memperhatikan penampilannya sendiri di sebuah cermin ruang ganti. "Lagian ngapain juga Kak Ken ngajak ketemuan di club? Kayak gak ada tempat lain aja! Emang gue kelihatan kayak cewek nakal?" "Udah, sih. Kapan lagi bisa jalan sama dia?" Citra mulai bosan mendengar rengekan temannya sejak tadi. "Dih, lo aja sana yang ketemuan sama dia. Gue sih mending kerja!" Fazia mengangkat bahunya ogah. "Buka mata lo lebar-lebar! Kak Ken itu ganteng banget, woy!" Citra geregetan bukan main. "Masa lo gak suka sama dia? Gue aja kesemsem, sayangnya dia lebih tertarik sama cewek aneh kayak lo gini." "Jangan cuma karena dia cakep, terus gue harus nurutin ajakan dia buat ketemuan di club!" Fazia menegaskan bahwa ketampanan seorang pria tak bisa menjadi sebuah alasan. "Ayolah, cuma kali ini aja. Gue udah dukung lo abis-abisan. Gimana, sih." Citra ikut mendumal. Fazia kembali memperhatikan penampilannya yang cukup menjijikkan. Make up yang dia gunakan memang masih terbilang wajar, tapi rok mini di atas lutut dan tank top yang dipakainya sangat tak nyaman. Meskipun luaran memakai kemeja tanpa kancing, tetap saja dadanya sedikit terekspos. Baiklah, Fazia akan tetap pergi ke club untuk menemui Kenzo, salah satu kakak tingkatnya yang sangat populer di kampus. Dia tidak datang sendiri, ada Citra yang juga berpakaian cukup menantang. Akhirnya mereka berdua memesan sebuah taksi untuk pergi ke tempat tujuan di jam 9 malam. "Lo sering ke tempat ginian?" Fazia menatap sekelilingnya di mana orang-orang berjoget ria. "Baru kali ini." Citra menggelengkan kepalanya dengan enteng, tak tahu menahu dunia malam. "Astaga." Fazia mengumpat saat itu juga. "Terus ngapain lo maksa gue buat dateng ke sini? Gue pikir lo udah khatam sama tempat-tempat ginian." "Makanya gue semangat buat ikut. Kapan lagi gue tau tempat beginian, 'kan?" Citra menyahuti tak nyambung perkara musik yang terlalu kencang. "Kayaknya lo bangga banget tau tempat ini." Fazia jadi heran melihat keceriaan temannya. "Seenggaknya gue tau sendiri tempatnya kayak gimana, gak cuma denger cerita dari orang-orang." Citra tak menyesal sama sekali datang ke sana. "Hello, ladies." Seorang pria tampan tersenyum menyapa, melangkah panjang ke arah mereka. "Hai, Kak Ken." Citra langsung sumringah. "Gabung temen-temen gue di sana, yuk." Kenzo menujuk salah satu meja yang hampir penuh. "Ayok." Citra mengangguk dengan cepat. "Inget kata-kata gue tadi. Kalo Kak Ken nyuruh minum sesuatu, jangan diminum," bisik Fazia. "Lo gak bosen ngomong gitu mulu? Kuping gue udah penuh sama nasehat lo." Citra cemberut. "Gue cuma ngingetin, Cit. Siapa tau aja otak lo yang kurang seperempat itu gampang lupa." Fazia menggeram, Citra terkesan menyepelekannya. "Iya, bawel!" Citra mendelikkan matanya. Sederetan mahasiswa famous di kampus ada di meja yang sama, termasuk Kenzo. Suasana masih terbilang aman, Kenzo tidak menawarkan minuman beralkohol, teman-temannya juga tidak jelalatan. Mereka mengobrol banyak hal, akan tetapi Fazia lebih banyak diam dan menyahuti seperlunya. Ketika mengamati para pengunjung yang terus berdatangan, penglihatan Fazia menangkap sosok pria yang sedang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Tatapan mereka pun beradu, sama-sama menelisik saksama seakan memastikan sesuatu. Pria itu terus mendekat hingga semakin jelas pula wujudnya. Seketika itu juga wajah Fazia menegang seolah pria itu adalah bangsa jin. Ingin sekali membuang muka, tapi dia malah membatu. Hanya pikirannya yang masih dapat bekerja dan sejumlah pertanyaan langsung berputar di kepalanya. Sedang apa pria itu di tempat ini? Untuk apa juga menghampirinya? Celaka jika Citra bertanya siapa pria tampan itu, Fazia tak tahu harus menjawab apa. Tak dapat disangkal hatinya begitu senang bisa bertemu lagi, tapi mengapa harus di tempat tidak terpuji seperti sekarang ini? Kenangan manis bersamanya masih terekam jelas, terlalu berkesan tuk dilupakan. Penampakan pria itu tidak berubah sedikit pun, tetap tampan dan mempesona. Namun, sekarang dia terlihat sangat berwibawa dengan pakaian rapi dan blazer mewah yang membalut tubuh kekarnya. Tunggu, sepertinya ada yang hilang. Wajahnya kini terasa sangat dingin, tidak ada tatapan hangat.Untuk sesaat, Fazia tertegun memandangi bangunan villa di hadapannya, teringat saat pertama kali dia datang ke sana. Tempat itu tak hanya menjadi saksi hancurnya kesucian seorang wanita, tapi tempat itu juga menjadi saksi berseminya cinta yang tercipta dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Fazia tersenyum penuh arti. Dulu dia datang sebagai wanita bayaran, sekarang dia datang sebagai istri dari pemilik villa itu sendiri. Ya, mudah bagi takdir untuk membolak-balikan keadaan, menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang bahkan tak pernah Fazia bayangkan sebelumnya. Semua ruangan sudah dibersihkan oleh Ratri sebelum mereka datang, jadi mereka hanya perlu merapikan bahan-bahan makanan yang dibawa dari kota. Selesai merapikan semua bahan makan, Fazia membuat beberapa camilan untuk melengkapi sore hari di halaman belakang, tempat favoritnya. Mirza berlalu dari pandangan, lalu kembali dengan celana boxer tanpa atasan. Pria itu melewati Fazia begitu saja, berjalan menuju alat
Kamar kedua yang semula ditempati Mirza untuk beristirahat, kini menjadi ruangan kerja meski tidak ada meja komputer di dalamnya. Tak apa, yang penting dia bisa menyelesaikan pekerjaannya malam ini agar besok tak perlu ke kantor dan dia bisa membawa sang istri ke villa untuk berlibur sesuai rencananya. Mendengar percakapan Fazia bersama Citra melalui sambungan telepon, sekali lagi Mirza merasa tak percaya dengan statusnya, yaitu memiliki seorang istri. Sekarang tempat itu tak lagi sunyi seperti dulu, tak hanya ada dirinya yang biasanya membisu. Ah, dia tidak sabar ingin mendengar tangis dari anaknya.Tunggu ... Konsentrasi Mirza mulai terganggu karena sesuatu. Walaupun posisi dia di dalam kamar sedangkan Fazia berada di ruang TV, pintu kamar terbuka lebar, tentu saja obrolan istri dan adiknya dapat dia dengar, terlebih Fazia mengaktifkan pengeras suara. Tak mau diam saja, ia pun segera menghampiri. “Masa, sih, Kak Rio suka nanyain gue?” Fazia mengerutkan keningnya usai Citra bicara
Entah sudah berapa kali Citra menelpon, yang jelas Fazia sedang malas menjawabnya. Dia lebih asyik memasak seraya menyanyikan lagu-lagu romantis yang mengiringi keceriaan hatinya saat ini. Tak hanya sering tersenyum kecil, pikirannya pun sibuk berkhayal hal indah. Sikap manis nan romantis seorang Mirza pagi ini benar-benar membuat suasana hati Fazia teramat berbunga-bunga. Dulu dia sering kali membayangkan Mirza menjadi suaminya, tapi ternyata bayangan itu tidak ada apa-apanya. Kehangatan Mirza sekarang melebihi sebatas teman ranjang yang pernah terjadi dulu. Melihat beberapa menu makan yang sudah matang di atas meja, Fazia jadi memikirkan sesuatu. Sepertinya tidak masalah jika dia membawa makanan itu ke kantor dan makan siang bersama suaminya di sana, karena sejujurnya dia penasaran isi kantor itu seperti apa dan siapa saja penghuninya. FaziaKak, kalo aku ke sana bawa makan siang, gimana?11:03MirzaNanti kamu repot, By. 11:05FaziaGak apa-apa. Aku gak repot, kok. 11:06Mirza
Makan malam sudah tertata rapi di atas meja, berbagai hidangan kesukaan Mirza pun ada di sana. Penampilan Fazia sangat menantang walaupun potongan lingerie yang dipakainya tidak terlalu terbuka, setidaknya Mirza akan merasa heran sekaligus terkagum-kagum karena dia tak pernah berpakaian seperti itu. Detik demi detik terus Fazia lalui dengan rasa ketidaksabaran, sampai tak terasa sudah berjam-jam lamanya dia menanti kepulangan sang suami yang tak kunjung datang. Sempat ingin menanyakan keberadaannya, tapi Fazia menahan diri untuk tidak melakukan itu agar Mirza mengira dirinya tidak peduli. Entah sudah berapa kali Fazia menguap, menahan rasa kantuk yang semakin kuat. Ia berbaring di sofa, menonton siaran TV tanpa minat. Sampai tiba-tiba, pintu utama yang tak jauh dari sana terbuka. Niatnya tadi untuk menyambut hilang, sebaliknya dia malah memejamkan mata seolah ketiduran di sana.Awalnya Mirza terlihat biasa saja, menutup pintu dan menguncinya seperti biasa. Namun, pria itu mematung k
Pagi yang cerah, secerah senyuman Fazia ketika memandangi wajah Mirza yang masih terlelap di sampingnya. Pelukan hangat pria itu berhasil mengantarkannya ke alam mimpi, bahkan sampai dia terbangun kembali. Mirza sudah menjadi suaminya? Dia bertanya-tanya dalam hati, jujur saja masih tak menyangka. Tunggu! Mirza benar-benar tidak melakukan apa pun selain memeluknya selama dua malam tidur bersama, bahkan memberikan kecupan atau sekadar ucapan ‘Good night’ saja tidak. Apa dia tidak berhasrat? Walaupun Fazia pernah memberi batasan, dia bisa saja membujuk dan menaklukkan egonya, bukan?Entah apa alasannya, Fazia kesal bukan main, ingin sekali meremas-remas wajah Mirza jika saja dia tidak bisa menahan diri. Tangannya hanya bisa meremas angin di hadapan wajah pria itu, sedangkan si pemilik wajah tampan tetap terlelap dalam tidurnya. Merasa konyol, Fazia bangkit untuk menyiapkan sarapan. “By, aku berangkat, ya.” Mirza memakai jam tangannya sembari berjalan ke dapur. Fazia yang baru saja me
Pukul enam pagi, alarm pada tubuh Fazia membangunkan si pemiliknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa suhu tubuh Mirza. Syukurlah, pria itu tidak demam lagi. Fazia lalu pergi ke dapur untuk membuat bubur dan mencampurkan beberapa sayuran ke dalamnya agar kaya gizi dan vitamin.Namun, lagi-lagi selera makan Mirza sedang terganggu. Berulang kali dia menolak disuapi, berulang kali pula Fazia membujuknya seperti kepada anak kecil. Fazia sampai memohon agar Mirza membuka mulutnya, tapi kali ini Mirza benar-benar merasa mual hanya dengan mencium bau makanan di kamarnya. “Paksain makan, Kak. Abis ini minum obat.” Fazia mulai bosan memohon. “Gak mau, By.” Mirza malah berpindah posisi, menempatkan kepalanya di paha Fazia, memeluk pinggangnya di posisi seperti itu. “Terus gimana Kakak mau sembuhnya kalo makan aja gak mau, sedangkan minum obat itu harus makan dulu?!” Fazia rasa bisa gila merawat suaminya yang sulit diatur. “Biarin aja gini.” Mirza terkesan tak peduli. “Kakak mau