Home / Romansa / Sebatas Teman Ranjang / Part 2: Lost Control

Share

Part 2: Lost Control

Author: X ChaLvin
last update Last Updated: 2025-05-01 22:47:44

Langkah Mirza terhenti di ambang pintu, terpaku melihat sosok Fazia yang sedang berada di dapur. Meski gadis itu berdiri menyamping, wajahnya tetap terlihat cukup jelas. Dia sangat cantik walau tanpa riasan, terlebih ikatan rambutnya yang asal malah semakin menarik dan menggoda iman.

Hey, ke mana saja Mirza semalam? Mengapa dia baru tergoda melihat Fazia yang hanya memakai kemeja tanpa bawahan sekarang? Jelas saja kaki mulusnya menjadi pemandangan indah, membuat pikiran Mirza mendadak dipenuhi adegan-adegan sensual dan menggairahkan.

Sadar ada seseorang yang sedang mengawasi, Fazia menengok ke arah pintu. Saat itu juga, jantungnya berdegup tanpa alasan. “Pagi, Kak,” sapanya canggung.

“Pagi.” Mirza sedikit gelagapan karena ketahuan.

“Tadi ada ibu-ibu yang datang, bawa banyak belanjaan. Katanya dia yang bersih-bersih sama masak di sini, tapi aku bilang aku aja yang ngerjain.” Fazia menceritakan pertemuannya bersama Ratri, wanita tua yang biasa datang di pagi hari.

“Kamu dibayar buat jadi asisten juga?” Mirza tak mengerti. Apa Gustaf menyewa Fazia untuk melakukan banyak pekerjaan selain di ranjang?

“Enggak.” Fazia jelas menyangkal. “Cuma udah biasa aja kalo soal masak sama beres-beres. Lagian tempat ini gak begitu luas, gampang diberesin,” lanjutnya.

“Kamu bisa masak?” Mirza lantas melangkah, penasaran apa yang sedang dimasak gadis itu.

“Skill basic, sih. Apalagi cewek miskin kayak aku yang tentunya gak punya asisten rumah, ya harus segala bisa,” jawab Fazia santai.

“Bisa ngendaliin api sama air berarti?” gurau Mirza terkesan mengejek.

“Bisa, dong.” Fazia menanggapinya dengan gaya sombong. “Jangankan itu. Aku bahkan bisa ngendaliin angin, petir, gempa bumi, dan mungkin aku juga bisa ngendaliin perasaan Kakak.”

Mirza terkekeh seketika. Ah, sudah lama dia tidak menggerakkan bibirnya untuk tersenyum, apalagi tertawa lepas seperti sekarang ini. Candaan Fazia yang sebenarnya tidak seberapa, cukup menghibur hatinya. Gadis muda yang sedang bersamanya kini ternyata periang dan pandai bicara.

Di sisi lain, Fazia terpesona melihat senyuman manis Mirza yang berhasil menggetarkan hatinya. Bisakah dia melihat senyuman itu setiap waktu? Entah perasaannya saja atau memang begitu, nada bicara Mirza terdengar lebih hangat dan bernyawa, tidak seperti semalam yang amat kaku dan dingin.

“Bik Ratri bawa alpukat, gak?” tanya Mirza sembari mengedarkan pandangan.

“Bawa, tuh. Banyak banget malah.” Fazia menunjuk kantong plastik yang belum dia rapikan.

“Saya yang pesan. Gak bisa satu hari tanpa alpukat soalnya.” Mirza tidak kaget mengetahui Ratri membawa banyak buah pesanannya.

“Oh ....” Fazia baru tahu Mirza sangat suka buah alpukat.

“Kita sarapan di belakang aja, ya?” ajak Mirza sekaligus meminta persetujuan.

“Boleh, Kak.” Fazia manggut-manggut.

“Abis sarapan mesti olahraga kayaknya.” Mirza merasakan tubuhnya kurang sehat dan pegal.

“O—oke.” Fazia mendadak gugup, membayangkan yang iya-iya.

“Kamu mau ikut olahraga juga?” Mirza ingin tahu.

“Emang bisa aku gak ikut? Terus Kakak olahraga sama siapa?” Fazia bertanya dengan wajah polosnya.

“Pikiran kamu kotor banget.” Mirza tersenyum geli, yakin Fazia salah paham. “Maksudnya olahraga beneran. Udah beberapa hari saya gak olahraga.”

Pipi Fazia memerah dalam hitungan detik, bahkan rasa-rasanya dia ingin menghilang saja dari tempat itu. Guna menutupi rasa malunya, ia pun bicara asal, “Mau ganti sarapannya? Takutnya Kakak gak suka.”

“Justru saya suka banget nasi goreng. Bangun juga gara-gara nyium harumnya.” Mirza jadi tak sabar ingin mencicipi sarapannya yang menggugah selera. “Oh, iya, boleh request irisan alpukat?”

“Siap, Kak.” Fazia langsung mengangguk.

Beruntung Mirza segera memutar tubuhnya untuk membuka pintu belakang. Jika tidak, Fazia tak yakin bisa menyembunyikan ekspresinya yang tersipu lebih lama lagi. Mengapa dia bisa semesum itu? Tak ingin membuat Mirza menunggu lama, ia pun bergegas menyusul dengan membawa dua piring nasi goreng.

Angin pantai terus bertiup saat Fazia dan Mirza duduk bersebelahan di bangku halaman belakang, memandangi lautan lepas di bawah sana. Suasana terasa damai dan nyaman, hanya deburan ombak yang menghiasi pendengaran. Villa itu memang sangat privat, tidak ada tetangga di sekitarnya.

Fazia hanyut dalam lamunan, sementara Mirza tak henti curi-curi pandang. Sesuatu pada tubuhnya semakin menjadi ketika melihat paha gadis itu yang semakin terekspos bebas saat kemejanya tertiup angin. Sudah sering melihat bagian tubuh wanita tanpa disengaja, tapi kali ini terasakan berbeda.

Entah apa yang menguasai tubuhnya, tiba-tiba saja Mirza menarik Fazia dan melumat bibir gadis itu tanpa aba-aba. Fazia yang terlampau kaget, sempat mengerang dan memberontak, memejamkan mata dan menutup bibirnya rapat-rapat. Sungguh, dia ketakutan hingga jantungnya berdegup hebat.

Teringat tujuannya datang ke tempat itu, Fazia berusaha menyesuaikan diri dan pasrah sebelum Mirza memprotes. Mustahil menolak, dia hanya bisa menerima apa pun yang akan Mirza lakukan pada tubuhnya. Dalam keadaan tak karuan, dia mencoba membuka bibirnya dan membalas ciuman setenang mungkin.

Tampaknya mereka berdua sangat menikmati momen itu hingga ciuman berlangsung cukup lama. Tak sabar ingin melakukan lebih, Mirza memangku tubuh Fazia dan menurunkannya di atas ranjang. Tidak ada pengalaman dalam bercinta, Mirza hanya mengandalkan naluri sebagai laki-laki dewasa.

Desahan dari bibir Fazia terdengar merdu, Mirza sangat menyukainya. Namun, suara itu berubah menjadi rintihan kesakitan ketika dia menerobos pertahanan di bawah sana. Tidak ada lagi desahan kenikmatan, yang ada hanya erangan karena menahan rasa sakit yang Fazia tahan sebisanya.

“Kamu ....” Mirza panik mendapati bercak darah segar di sekitar miliknya yang masih terbenam.

“Lanjutin aja, Kak.” Fazia mencoba meyakinkan, padahal dia sendiri merasa kesakitan.

“Bodoh!” maki Mirza, tepat di atas wajah Fazia. “Pergi kamu!” teriaknya, lalu bangkit dari ranjang secepat kilat.

Kepala Fazia memutar mengikuti pergerakan Mirza. Panik, ia pun mencoba menjelaskan, “Tapi—”

Brak!

Fazia terlonjak hingga matanya sempat terpejam sesaat ketika Mirza membanting pintu kamar mandi dengan sangat kasar. Apa yang salah? Seharusnya pria itu merasa senang karena mendapat gadis yang masih utuh, juga kagum karena Fazia bersikap sebaik mungkin. Namun, dia malah mengusir seakan Fazia melakukan kesalahan besar.

Di dalam kamar mandi, Mirza berdiri di bawah guyuran shower dengan pikiran yang sangat kacau. Sialan! Gustaf tidak memberitahu bahwa gadis yang dia kirim masih perawan! Apa dia ingin memberinya kejutan? Bodohnya lagi Fazia seolah tidak peduli, malah memintanya untuk melanjutkan permainan.

Sepertinya Mirza memerlukan pengakuan dosa karena telah menodai gadis yang masih seumuran dengan adik tercintanya. Sial! Entah sudah berapa puluh kali dia mengumpat dalam hati, sedangkan gairahnya sebagai pria normal tetap bertahan bahkan terus memuncak. Demi apa pun, dia merasa ingin meledak!

Tidak, Fazia harus bertanggung jawab dengan membantunya mengakhiri apa yang sudah dimulai. Dia datang untuk itu, bukan? Lagi pula, Mirza sudah terlanjur membobolnya. Tak ingin memikirkan yang lainnya lagi, Mirza kembali ke ranjang dan menyergap Fazia yang menerimanya tanpa perlawanan.

Rasanya tidak lagi sama, tidak seperti tadi yang begitu menggebu-gebu. Ada perasaan bersalah dalam benak Mirza, akan tetapi besar pula gairahnya yang semakin membara. Berusaha mengesampingkan pikiran tak penting, ia pun tetap melakukan apa yang diinginkan tubuhnya.

Usai mencapai puncaknya, Mirza tumbang dengan napas berat. Menatap langit kamar itu, perasaan bersalah tadi muncul kembali meski sudah sangat terlambat untuk dia sesali. Tanpa dia sadari, wanita yang berbaring di sampingnya kini sedang meratapi diri, bahkan air matanya mulai menetes tanpa suara.

“Jangan bilang kamu gak KB,” ucap Mirza bagai peringatan.

“Nanti aku minum pil KB. Kakak tenang aja.” Fazia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.

“Kenapa kamu lakuin ini?” Mirza bertanya lirih, tapi ekspresinya berubah dalam hitungan detik. “Ah, gak usah dijawab. Alasannya pasti uang!” cibirnya tak santai. “Berapa yang kamu dapet?”

“Kakak gak tau?” Fazia terheran-heran.

“Temen saya yang atur soal ini.” Mirza memang tidak tahu apa-apa, Gustaf yang merencanakan.

“Sepuluh juta selama satu minggu.” Fazia menjawab jujur, percuma menutupinya.

“Hah?” Mirza menoleh dengan cepat, terkejut. “Sepuluh juta selama seminggu?” tanyanya tak percaya.

“Kegedean, ya?” Fazia menatap malu, tak tahu harga sewa seorang PSK, apalagi harga virgin.

“Kamu ... dipaksa seseorang?” Mirza jadi curiga Fazia dijual mucikari yang memanfaatkannya.

“Enggak, Kak.” Fazia menggeleng lemah.

“Ngaku aja. Jangan takut. Biar saya jeblosin dia ke penjara!” Mirza mendadak kesal sendiri.

“Aku gak dipaksa.” Fazia menegaskan.

“Jadi ....” Mirza menggerakan bola matanya dengan asal, berusaha mencerna apa yang terjadi pada gadis itu. “Kamu terima masa depan kamu dihargai sepuluh juta, dalam seminggu pula?”

“Aku terpaksa.” Fazia manggut-manggut.

“Sekarang nyesel, gak?” Mirza penasaran, memperhatikan raut Fazia yang terlihat santai.

“Udah terjadi.” Fazia tersenyum miris.

Mirza menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Semalam Fazia bilang tidak amatir, tapi kenyataannya dia malah belum pernah melakukan hubungan intim. Namun, jujur saja Mirza merasa bangga. Pertama kalinya bercinta dan dia mendapat wanita yang juga belum pernah melakukannya.

Sementara Fazia, hanya bisa menerima nasib tanpa penyesalan. Pilihan ini memang sangat buruk, terpaksa dia lakukan untuk mengubah hidup. Jauh di lubuk hatinya ia pun kecewa. Andai saja kedua orang tuanya mau mengerti, hal memalukan ini tak mungkin terjadi. Namun, mau bagaimana lagi?

Nama Fazia Azara sudah tidak asing di kancah persekolahan, baik guru maupun murid di beberapa sekolah sudah mengenalnya sebagai siswi cantik dan pintar hingga selalu mendapat ranking teratas setiap tahunnya. Tapi, siapa yang akan menyangka takdirnya akan sepahit ini? Menjadi PSK muda!

“Kakak di mana? Kenapa baru aktif? Kakak lagi butuh bantuan? Aku minta Pak Hardi buat jemput Kakak, ya? Shareloc sekarang juga, Kak.”

“Gimana kabar kamu?” Mirza tersenyum haru, senang bisa mendengar suara adiknya yang bawel.

“Aku baik, Kak. Kak Mirza sendiri gimana? Aku khawatir banget sama Kakak. Tapi Mama pelit, gak mau cerita soal Kakak lagi ada di mana sekarang.”

“Kakak baik-baik aja.” Mirza berusaha menenangkan.

“Kakak kapan pulang?”

“Kamu mau sesuatu?” tanya Mirza lembut.

“Maksud Kakak?”

“Mau HP baru? Tas? Parfum? Sepatu? Atau yang lainnya? Bilang aja.” Mirza tak mempedulikan adiknya yang kebingungan, malah bertanya secara bertubi.

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

“Kakak cuma nawarin. Siapa tau aja kamu lagi mau sesuatu. Barang mahal misalnya.” Mirza jadi kikuk, tak bisa menjelaskan kekhawatirannya.

“Kak Ravin suka beliin barang mahal buat aku. Apalagi kalo pulang dari luar negeri, pasti aja bawa oleh-oleh.”

“Maafin Kakak, ya.” Mirza menyesali dirinya yang tidak terlalu memperhatikan sang adik.

“Kakak kenapa, sih? Tiba-tiba telepon aku, tiba-tiba nanya aku mau apa, tiba-tiba minta maaf! Sumpah, kalo Mama tau Kakak ngomong gitu, pasti nangis kejer-kejer.”

“Kakak gak pamitan mau mati, cuma nanya kamu mau sesuatu apa engga, sama minta maaf.” Mirza yakin adiknya sedang menduga sesuatu, mungkin mengiranya akan bunuh diri?

“Iya, kenapa?! Kakak tuh aneh banget tau! Pake minta maaf segala! Lebaran masih jauh! Lagian Kakak pikir aku bakal maafin Kakak? Gak semudah itu, ya!”

Mirza mengakhiri telepon tanpa kata, lalu kembali menonaktifkan ponselnya. Adiknya itu malah salah paham, padahal Mirza hanya rindu, juga khawatir dia terjerumus pergaulan bebas seperti Fazia. Setahunya kebutuhan sang adik memang selalu tercukupi, tapi bukan berarti pergaulannya sehat dan wajar.

Ravindra, kakaknya yang entah Mirza benci atau tidak. Pria itu tak hanya berhasil menduduki tempat istimewa di hati adik bungsunya, tapi juga di hati Agnia, wanita yang sangat Mirza cintai yang kini menjadi kakak iparnya. Terkadang takdir memang selucu itu, membolak-balikan keadaan dengan mudah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 4:

    Tanpa adanya saudara, teman, atau sekadar kenalan, Fazia nekat pergi ke Jakarta dan memulai hidup barunya sebagai seorang mahasiswi. Kalina hanya memberi uang sebesar lima juta atas pekerjaannya selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi Mirza memberi tambahan sebesar dua puluh lima juta tanpa sepengetahuan Kalina. Uang sebesar itu Fazia gunakan untuk membeli barang-barang yang sudah lama dia mimpikan. Mulai dari ponsel, segala jenis pakaian, aksesoris, perawatan diri, peralatan kecantikan, dan masih banyak lagi. Ya, wanita itu tidak bisa mengontrol nafsu foya-foya hingga telat menyadari bahwa uangnya semakin menipis dari hari ke hari. Beruntung Fazia mendapatkan teman baru di kampusnya—Citra, gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Selain tidak memandang kasta, dia juga sangat baik dan selalu bersedia membantu. Gadis itulah yang memperkenalkan Fazia pada segala hal, terutama kehidupan modern yang tidak ia ketahui sama sekali. “Cie ... yang diajakin nge-date sama kating idam

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 3: Last Day

    Satu hari, dua hari, tiga hari.... Hingga tak terasa sudah tujuh hari Fazia menghabiskan waktunya bersama Mirza, dan selama itu pula hubungan mereka kian terasa nyata. Layaknya pasangan yang baru saja menikah, mereka selalu tampak harmonis dan penuh cinta. Tidak ada rasa keterpaksaan di kedua belah pihak, semua mengalir begitu saja.Ini aneh. Sebenarnya Mirza tipikal pria yang sulit membangun hubungan, apalagi dengan orang baru seperti Fazia. Namun, entah mengapa kali ini terasa berbeda. Wanita itu memang pandai mencairkan suasana, bahkan dia yang sering memulai perbincangan. Sejak kedatangan Fazia, Mirza seakan lupa pada masalahnya. Fazia sendiri merasa nyaman di tempat itu. Lupakan tentang pekerjaannya yang memalukan, dia hanya ingin menikmati suasana yang begitu tenang. Tidak ada suara teriakan dari ayahnya, tidak ada suara tangis dari ibu dan ketiga adiknya. Jika boleh berkata jujur, dia ingin berada di sana dalam waktu yang cukup lama. “Kak ....” Fazia berhasil membuyarkan fok

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 2: Lost Control

    Langkah Mirza terhenti di ambang pintu, terpaku melihat sosok Fazia yang sedang berada di dapur. Meski gadis itu berdiri menyamping, wajahnya tetap terlihat cukup jelas. Dia sangat cantik walau tanpa riasan, terlebih ikatan rambutnya yang asal malah semakin menarik dan menggoda iman. Hey, ke mana saja Mirza semalam? Mengapa dia baru tergoda melihat Fazia yang hanya memakai kemeja tanpa bawahan sekarang? Jelas saja kaki mulusnya menjadi pemandangan indah, membuat pikiran Mirza mendadak dipenuhi adegan-adegan sensual dan menggairahkan.Sadar ada seseorang yang sedang mengawasi, Fazia menengok ke arah pintu. Saat itu juga, jantungnya berdegup tanpa alasan. “Pagi, Kak,” sapanya canggung. “Pagi.” Mirza sedikit gelagapan karena ketahuan. “Tadi ada ibu-ibu yang datang, bawa banyak belanjaan. Katanya dia yang bersih-bersih sama masak di sini, tapi aku bilang aku aja yang ngerjain.” Fazia menceritakan pertemuannya bersama Ratri, wanita tua yang biasa datang di pagi hari. “Kamu dibayar buat

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 1: Bad Choice

    “Duh, gimana, dong? Mana Hasan udah OTW mau ke sini! Gue jadi gak bisa ke mana-mana!” Kalina terdengar mengeluh pada seseorang yang sedang dihubunginya. “Masa lo gak bisa paksain, sih? Bantuin gue kali ini, kek.”“Masalahnya itu satu minggu, Lin. Kalo cuma semalem mah gue bisa.” Dona memberi alasan sebelum akhirnya memberi saran, “Lo cancel aja, sih.”“Mana bisa! Lo tau sendiri si botak bakal maki gue habis-habisan! Apalagi dia udah nerima duitnya!” Kalina berteriak frustasi.“Ya, abis gimana? Lagian rencananya mendadak banget. Job gue udah full, Lin.” Dona tetap tak bisa membantu apa-apa. “Kenapa juga si Hasan datang tiba-tiba gitu? Cowok lo aneh! Gak tau jadwal!”“Gue lagi berantem sama dia, terus dia mau ke sini.” Kalina lanjut menceritakan masalahnya.Fazia Azara, gadis yang baru saja lulus SMA itu tak sengaja menguping obrolan sang majikan. Kalina memang seorang janda satu anak yang dikenal sebagai PSK, tapi Fazia tidak peduli karena pekerjaannya hanya sebatas antar jemput anak K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status