“Lea!!” terguran keras membuat lamunan Lea seketika buyar. Gadis itu tersentak dan melangkah mendekat secara perlahan. Bulir bening mengalir dari kedua pelupuk matanya. Segera ia hapus dengan cepat.
‘Ya Tuhan maafkan aku. Aku tahu ini salah, ini berdosa. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku tidak mau kehilangan adikku.’ Lea meremas kedua telapak tangannya, memberanikan diri menatap ke arah sang atasan. “Pak, apakah tawaran yang tadi siang masih berlaku?” tanya Lea memejamkan matanya sejenak. Adrian terperangah hampir tak percaya mendengarnya. Ia pikir Lea akan mempertahankan egonya. Nampaknya gadis itu memang sudah berada di ambang putus asa. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanyanya balik. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea. Dengusan kasar terdengar dari mulut Lea, entah kenapa ia masih merasa kesal dengan penawaran atasannya tersebut. “Tapi, anda punya tunangan, Pak. Bagaimana kalau dia tahu, ternyata calon suaminya punya perempuan lain?” tegurnya kasar. Adrian mengangkat sebelah bahunya tak acuh, matanya terus menatap wajah dan bibir Lea. “Dia tidak akan tahu, jika kamu tidak bicara. Jadilah simpananku, dan aku pasti akan membantumu. Berapapun uang yang kau pinta akan aku berikan.” Lea tersenyum getir, membuang pandangannya ke arah dinding. “Ada begitu banyak wanita. Kenapa harus saya? Apakah Anda memang....” Ia tak dapat melanjutkan ucapannya melainkan hanya tersenyum miris, entah kenapa ia menduga jika Adrian memang seorang cassonava. Hingga mungkin dengan Belinda pun tidak akan cukup. Lama tidak ada jawaban, Adrian asyik menelusuri tiap lekuk wajah Lea dengan matanya. Lea terlihat begitu cantik, hingga ia tidak bisa melawan keinginannya. “Karena aku hanya menginginkanmu, bukan wanita lain.” Lea menghela napas kasar, kembali menoleh, membalas tatapan Adrian. Kepalanya mengangguk dan membuat senyum tipis terukir di bibir Adrian. Perlahan Adrian bergerak maju untuk menempelkan bibirnya pada Lea. Menciumnya lembut. Lagi, Lea menarik napas sebelum membalas ciuman mereka. Menyegel kesepakatan keduanya. Tiba-tiba ia tersentak menyadari apa yang ia lakukan. Lea mendorong pelan tubuh Adrian. “Ada apa?” “Saya sudah menyetujui persyaratan dari Anda, Pak. Sekarang saya minta uangnya, karena saya membutuhkannya dengan segera.” Adrian menarik tubuhnya menjauh. Mengambil kertas polos di atas meja dan juga bolpoin. “Kita buat kesepakatan lebih dulu supaya di antara kita tidak ada yang ingkar janji.” “Saya tidak akan mungkin melakukan itu Pak,” sergah Lea kesal. “Ayolah, Pak. Saya benar-benar membutuhkan uangnya. Adik saya harus segera di operasi, saya tidak ingin dia kenapa-kenapa. Jika tidak ada uangnya, dokternya tidak akan segera menanganinya.” “Di rumah sakit mana adikmu dirawat?” “Rumah Sakit Internasional.” “Bubuhkan tanda tanganmu di sini dan aku akan hubungi pihak rumah sakit agar adikmu segera di tangani. Siapa nama adikmu?” “Leo Prasetyo.” Lea mengambil kertas yang diberikan Adrian. Keningnya mengerut mendapati kertas itu kosong, sementara Adrian terlihat tengah terlibat percakapan di balik telpon. Sampai Adrian selesai menelpon ia masih menatapnya. “Mana tanda tanganmu?” “Kenapa kosong?” “Ya memang belum aku isi. Kamu cukup bubuhkan tanda tanganmu saja.” Lea mengangkat wajahnya menatap Adrian penuh selidik. “Apa yang akan anda isi. Apakah isinya akan ...” “Tenang saja isinya akan menguntungkan kedua belah pihak. Aku sudah menghubungi rumah sakit, adikmu akan segera di tangani beres kan? Bubuhkan tanda tanganmu di sana. Aku juga akan transfer ke rekeningmu. Soal kesepakatan kita. Akan kita lakukan nanti aku akan menghubungimu.” Lea menghela napas kasar karena tak ada pilihan lain. Namun, mendengar adiknya segera ditangani ia merasa lega. Segera ia bubuhkan tanda tangannya di sana. “Kalau begitu saya permisi, Pak. Saya harus ke rumah sakit.” “Pergilah.” Sore itu Lea keluar dari gedung perkantoran dengan pikiran berkecamuk. Ada rasa takut menyergap, ia akan bermain api dengan Adrian. Lalu, bagaimana kalau sosok itu perlahan mulai membakar dirinya. Masuk ke dalam taksi ia masih seperti orang yang linglung. Hingga suara notifikasi di ponselnya menyadarkannya. Tak ada gunanya ia memikirkan masa depan. Biarlah semua berjalan sesuai garis takdirnya. Ia buka ponselnya matanya membeliak menatap nominal uang yang masuk ke dalam m.bankingnya di susul notifikasi pesan dari sang direktur. [Aku tahu kau membutuhkan uang itu dengan segera untuk mengganti rugi kerusakan mobil yang dipakai adikmu, untuk itu aku transfer dengan segera. Tapi, ingat Lea aku tidak ingin kamu kabur. Aku percaya kamu tidak akan melakukan hal itu. Besok setelah pulang kerja datanglah ke Luxury Apartment lantai 41 no 7. Kita bertemu dan lakukan kesepakatan kita di sana] *** “Nona kita sudah sampai.” Perkataan sopir taksi membuyarkan lamunannya Lea tentang masa lalunya. Ia tersentak memandang ke arah luar lewat jendela, ternyata sudah tiba di lobi rumah sakit. Segera ia buka tas miliknya, mengambil uang untuk membayar argo. Setelah mengucapkan terima kasih, ia membuka pintu melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan harapan yang besar. Ia berharap akan adanya perubahan kondisi adiknya. Empat bulan pasca operasi itu berlangsung, Leo dinyatakan koma. “Ayolah Leo. Kakak mohon bangun. Jangan biarkan apa yang kakak lakukan untukmu ini terlihat sia-sia.” Lea menatap tubuh pucat adiknya yang berbaring dengan getir. Kontrak perjanjiannya dengan Adrian hanya akan berlangsung enam bulan. Sementara empat bulan sudah berlalu, artinya tinggal dua bulan lagi. Sekarang situasinya masih aman. Namun, setelah perjanjian itu berakhir apakah ia masih sanggup bekerja dalam satu perusahaan dengan lelaki itu. Lea tak yakin. Ia pasti akan merasa hina setelahnya. Apalagi saat melihat Adrian bersama perempuan lain. Meski ia tahu, ini bukan bagian haknya. Empat bulan bukan cuma waktu yang sebentar bukan. Itu cukup bagi dirinya mengenal sosok Adrian. Lelaki itu meski terlihat dingin saat di kantor, namun saat bersamanya terlihat manis dan lembut. Ia bagai melihat dua kepribadian dalam diri Adrian. Lea hanya merasa takut jika lama-lama ia akan jatuh hati pada lelaki itu. Ia genggam jari Leo lalu ia letakkan di pipinya, perlahan hingga tiba-tiba ia merasakan jemari Leo bergerak. Terkejut sangking bahagianya, ia langsung menekan tombol samping, tak lama dokter dan perawat masuk. Ia langsung mengatakan perubahan Leo, sigap dokter memeriksa. Lagi, ia tersenyum lega mendengar ada kemajuan. “Kakak akan datang lagi kesini besok, Leo. Sekarang kakak harus segera pergi. Kakak juga harus segera pulang.” Lea meninggalkan rumah sakit, setelah sebelumnya hanya memandang malas ke arah dokter spesialis kandungan. Rasanya memang malas melangkahkan kakinya di sana. Jadi, ia akan memilih opsi untuk membeli pil kontrasepsi di apotik saja. Taksi yang di tumpangi Lea, membawanya ke suatu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Sesuai dengan perintah Adrian, ia hari ini bebas berbelanja. Rasanya ia juga butuh membeli kebutuhan keluarga, dan memanjakan diri. Masuk ke supermarket, ia mengambil apa saja yang ia butuhkan. Setelahnya, ia berlalu ke toko pakaian. ‘Ah, dalam sekejap aku merasa seperti pelacur.’ gumam Lea memandang lingerie merah menyala yang tersemat di manekin. ‘Tapi, bukankah memang kenyataannya begitu. Aku melayani hasrat Adrian, hanya demi mendapatkan uang bukan?” Memanggil pelayan toko, ia meminta lingerie itu di bungkus. Setelah dibayar, ia berlalu ke toko buku. Ada satu novel terbaru yang ingin ia beli. “Lea...”Sebaik dan semanis apapun caramu berpamitan, nyatanya tetap terasa menyakitkan, Tuan.**“Sakit sekali ya, Tuhan.” Lea menumpahkan tangisnya sesekali menepuk dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sesak. Seolah-olah rasanya ia ingin berhenti bernapas. “Kenapa cinta sesakit ini.”Dia merasa hancur. Sehancur-hancurnya, Adrian benar-benar telah berhasil mengambil segalanya. Tapi, ia sadar semua bukan salah Adrian. Ini salah dirinya yang telah menjadi perempuan tidak tahu diri. Kembali melangkahkan kakinya, menikmati tiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat pucat kedinginan, bahkan ia merasa tubuhnya pun sudah menggigil. Namun, ia tetap terus melangkahkan kakinya. Ia berharap hujan pun mampu menghapus lukanya. Brugghh!“Aduh!!” Lea meringis saat kakinya tersandung membuatnya terjatuh. Ia melihat ujung jempolnya yang terluka, terasa perih saat terguyur air, tapi lebih perih hatinya saat ini. Ia berusaha beranjak dari tempatnya. Namun, usahanya gagal ia kembali terj
“Kau tidak perlu minta maaf, Ian. Sejak awal kita memang tidak hubungan kita hanyalah kompensasi, bukan untuk sesuatu yang serius. Kita terikat dalam sebuah perjanjian, yang kapanpun kau berhak untuk mengakhiri.“ Lea menoleh ke arah Adrian setelah berkali-kali berusaha mengendalikan diri. Berusaha tersenyum, meyakinkan diri bahwa ia harus baik-baik saja. Meski hatinya sakit, dan matanya pun memanas ingin menangis, sebisa mungkin akan ia tahan. “Jangan katakan maaf, karena kamu tidak bersalah. Keputusan kamu ini sudah benar, sejak awal hubungan kita terikat perjanjian yang saling menguntungkan.”“Kamu baik-baik saja kan?” Adrian beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Namun, Lea justru melangkah mundur seolah menghindarinya. “Tentu saja aku baik-baik saja. Kau berpikir apa?” Ia memalingkan wajahnya menahan gemuruh dada yang hampir meletup. Menyembunyikan senyum getirnya yang tertahan.“Kamu tidak pernah menganggap hubungan kita lebih dari itu kan?” tanya Adrian lagi. Lea kembal
Adrian sontak menoleh sejenak. “Perasaan kamu saja kali. Aku biasa saja.”“Mungkin.” Lea menarik minuman di depannya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa gelisah. “Tapi aku senang sih akhirnya bisa ngerasain kaya orang-orang pacaran merayakan ulang tahun sama pasangan.”“Aku nyalain lilinnya ya. Nanti kamu tiup lilin deh.” Adrian menyalakan lilinnya. Kemudian keduanya bernyanyi bersama sebelum kemudian Adrian meminta ia untuk meniupnya.“Aku make wish dulu ya.”“Iya.”Lea pun memejamkan matanya berdoa di dalam hatinya. Sebelum kemudian membuka matanya, lalu meniup lilinnya. Mereka tertawa bersama. Lea memotong kue itu sebelum kemudian menyuapi Adrian. Pria itu terlihat pasrah melihat Lea melakukan apapun padanya. “Sorry, Ian. Kena pipi kamu.” Lea menunjuk ke arah pipi Adrian yang terkena noda coklat.“Mana.” Adrian berusaha membersihkannya tapi yang ada nodanya justru belepotan. “Bukan di situ, jadi kemana-mana kan!” Lea berdecak mengambil tisu di atas meja menghampiri Adrian. Ia
“Aku ini tunanganmu, Adrian. Dan sebentar lagi kita akan menikah, wajar aku melakukan hal demikian.”“Selagi aku belum berstatus suamimu aku masih bebas. Dan kau tidak berhak menekanku. Aku bebas melakukan apapun. Menjalin hubungan dengan siapapun. Toh pernikahan kita hanya akan terjadi karena jalinan bisnis bukan?” Adrian masih menjawab dengan tenang. Wajah Belinda tampak geram tidak terima. “Jadi, kamu lebih memilih reputasi keluargamu hancur?”“Apa maksudmu?”Belinda menyeringai. “Kau tahu bagaimana aku bukan? Aku bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang aku sukai. Jika foto ini tersebar ke seluruh media kau bayangkan apa yang terjadi kedepannya!”Adrian terkejut mendengarnya, memikirkan akibat yang akan terjadi bila skandal itu akhirnya harus terbongkar ke publik. “Aku bahkan bisa menghancurkan Lea sehancur-hancurnya!” Belinda kembali memberikan ultimatum mematikan.“Apa yang kau inginkan?”****Dua hari kemudian....Lea baru selesai membersihkan diri, karena ia baru tib
“Ada apa, Bel?” tanya Ben.Belinda menoleh ke arahnya. “Kemana Adrian?”“Ada pekerjaan di luar kota. Tumben sekali kamu peduli dengan pekerjaannya.”“Yakin urusan pekerjaan?” tanyanya dengan nada sinis. Tangannya meremat kuat tas miliknya. Wajahnya memerah kala melihat notifikasi foto yang dikirimkan seseorang. Ben tertegun sejenak memandang ke arah Belinda dengan heran. “Ya iyalah. Kerjaan dia lagi banyak. Bukannya bentar lagi kalian mau menikah otomatis harus mengambil cuti yang cukup banyak.”Belinda menggelengkan kepalanya. “Ternyata kalian bersekongkol.” Detik berikutnya Ben terperangah mendengarnya. “Maksudnya?”“Di mana ruangan Lea?” Bukannya menjawab pertanyaan Ben. Belinda justru bertanya hal lain, pertanyaan yang cukup membuat Ben terkejut. “Untuk apa kamu bertanya soal Lea. Ada masalah apa sih?”“Gak usah pura-pura!” cibir Belinda mendekati Ben lalu berbisik pelan. “Aku hanya ingin memberi wejangan sedikit sama dia!” lanjutnya kakinya melangkah berbalik mencari keberadaa
“Gak asyik! Membosankan!” celetuk Adrian membuat Lea menoleh ke arahnya.“Asyik kok.”“Kamu kok gak ada takut-takutnya sih, Le. Kaya yang lain tuh menjerit-jerit teriak, minta dipeluk atau dicium gitu akan enak,” katanya frontal membuat Lea melongo.“Emang kenapa harus takut? Aku milih film ini kan karena berani.”“Ya kan ini film horor menakutkan, Le. Minimal kaya perempuan yang lain tuh menjerit, terus meluk pasangannya gitu.”Detik berikutnya terdengar decakan menyebalkan dari bibir Lea, lalu mencibir. “Film ini tidak apa-apanya dibandingkan jalan hidupku, Ian. Aku bahkan sempat mengalami hal yang menakutkan dari ini. Hidupku jauh lebih horor dibandingkan film ini.”Adrian melongo tak percaya, sementara Lea tergelak kecil. Kembali konsentrasi menonton, hingga pada adegan selanjutnya Lea melotot lalu memalingkan wajahnya. “Dih ngapain diselipun adegan begini,” protesnya saat melihat adegan lebih intim. Berbeda dengan reaksi Lea yang tampak kesal. Adrian justru tersenyum senang, tang