LOGIN[Sayang, aku pusing]
Kalimat itu merupakan pesan dari Adrian yang ia terima setelah selesai membersihkan diri. [Kamu kira aku dokter, setelah mengeluh pusing sama aku bakalan langsung dikasih obat terus sembuh gitu] Lea membalas pesan Adrian dengan raut wajah kesal mengingat lagi momen percintaannya di mobil tadi. Meski lambat laun ia larut dan menikmati sentuhan Adrian, tak menutupi kemungkinan ia terasa cemas, rasanya seperti naik roller coaster, tidakkah Adrian berpikir seperti itu. Ah, dasar lelaki kalau sudah nafsu mana mungkin lihat-lihat tempat. Ia memasang wajah jutek, dengan bibir yang manyun seakan-akan Adrian akan melihatnya. [Dokter mah gak akan tahu obat yang aku butuhkan, sayang. Soalnya segala obat pada rasa sakitku ada di kamu. Kamu pasti tahu kan apa yang aku butuhkan.] [Sinting!] Lea mendengus setelah melemparkan ponselnya ke atas kasur secara asal, setelah sebelumnya membalas pesan Adrian dengan kalimat umpatan tersebut. Beranjak dari tempat duduknya ke meja rias mengambil hair dryer mengeringkan rambutnya. “Kirim-kirim pesan ke aku seperti itu. Dia gak takut apa kalau calon istrinya itu tahu.” Sambil terus menggerakkan hair dryernya, menyisirnya kemudian kembali ke ranjang, ia rebahkan tubuhnya di sana. Rasanya ia begitu lelah, baru saja ingin memejamkan matanya getaran ponselnya kembali mengganggunya. [Gak usah pasang wajah jutek, terus pake bibir manyun-manyun, sayang. Soalnya kita lagi gak dekat, jadi aku gak bisa nyium deh.] Lea meraup wajahnya membaca pesan Adrian. Entah sedang apa lelaki itu bisa mengirim pesan padanya dengan sesantai itu. Meski penasaran tak pernah ia ada niat untuk bertanya. Lea mati-matian menahan dirinya untuk ikut campur akan urusan pribadi Adrian. [Ber cinta di mobil asyik juga ya. Kayaknya kita perlu ganti suasana deh. Bosan kan cuma di apartemen terus. Lama-lama itu bisa jadi apartemen bersejarah] Lea hanya berdecak malas tanpa ingin membacanya. [Oh iya aku ada ide. Bagaimana kalau besok kita lakukan di kebun] Bola mata Lea seketika membeliak nyaris keluar dari tempatnya mendengarnya pesan terakhir Adrian. Seketika ponselnya ia lempar secara asal, sambil mengumpat kesal. “Laki-laki ini semakin berbahaya. Ya Tuhan... Bisa-bisanya aku terperangkap padanya.” Lea mengeluh sambil merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang. “Tapi, aku akui di balik kebrengsekannya itu dia baik sama aku,” lanjutnya. **** Sementara Adrian yang kini tengah berada di salah satu gedung menahan tawanya, saat membayangkan wajah Lea yang ia pastikan tengah kesal padanya. Bibirnya manyun, wajahnya terlihat jutek, pasti terlihat menggemaskan. Seandainya saat ini tengah berada di dekatnya, sudah ia pastikan bibir perempuan itu akan habis untuk ia raup. “Dia memang cantik dan menarik.” “Siapa yang cantik dan menarik?” Belinda yang berniat mengambil air mineral, menatap Adrian penuh curiga. Adrian menghela napas panjang, lamunan tentang Lea seketika buyar karena kehadiran Belinda berhasil mengacaukannya. “Kamu,” dustanya. Detik berikutnya wajah Belinda langsung bersemu, hatinya melayang tinggi mendengar pujian sang pujaan hati. “Aku memang cantik dan menarik. Maka tak salah jika kamu menikah denganku,” katanya percaya diri sambil meneguk minumannya. Adrian tersenyum malas. Entah setiap membahas pernikahan ia merasa malas. “Memangnya kamu yakin mau dimajukan? Bukankah kerjaanmu masih padat.” “Iya, memang. Hanya saja aku merasa takut jika terlalu lama kamu akan berpaling dariku.” Belinda memasang wajah sendu. “Enggak tenang saja, aku itu enggak macam-macam.” Adrian berusaha menenangkan. Belinda hanya menghela napasnya tanpa menjawab ucapan Adrian ia menghampiri lelaki itu, sedikit membungkuk mengecup pipi Adrian sebelum kemudian kembali melakukan pemotretan. 'Aku benar bukan? Aku tidak macam-macam, hanya melakukan satu macam saja,' gumam Adrian mengeratkan genggaman ponselnya. Matanya menerawang ke atas pemandangan gedung luar yang tinggi. Namun, pikirannya mengembara pada sosok perempuan yang berhasil mengusik dirinya. Perempuan yang berhasil membuat dirinya belakangan ini tersenyum. Ia kembali menatap ponselnya, membuka pesan yang sudah ia kirimkan untuk Lea. Terbaca namun tidak dibalas. “Bisa-bisanya dia tidak membalas pesanku,” gerutunya kesal. Matanya menatap ke arah calon istrinya yang tengah melakukan pemotretan dengan gaun mewah. Namun, memperlihatkan sebagian tubuhnya. Ia memalingkan wajahnya tak suka. Sebagian orang mengira dirinya beruntung akan mempunyai istri seorang model, anak pengusaha tentunya cantik dan berkelas. Namun, hingga detik ini Adrian sendiri kurang memahami perasaannya. Ia kurang menyukai profesi calon istrinya tersebut, tapi ia sendiri tak bisa melakukan apapun. Belinda yang kerap berpakaian mini, tentunya seksi tak sekalipun membuat dirinya tergoda. Ia justru kerap merasa risih. Berbeda dengan Lea yang selalu berpakaian sopan. Lea memang bukan perempuan yang alim, tapi pakaiannya yang terlihat sopan, wajahnya yang jutek itu justru membuat dirinya merasa penasaran. Seketika ia teringat tengah pertemuannya dengan Lea, tiga tahun yang lalu. Malam Minggu yang cerah di salah satu pusat perbelanjaan tepatnya di kota Solo. Adrian tengah mengandeng tangan Zalina — sang keponakan. Ia yang sudah dipusingkan dengan urusan kerjaan berniat menjernihkan otaknya dengan pergi keluar mumpung lagi ada kunjungan kerjaan di kota tersebut. Namun, tanpa di sangka Zalina merengek ikut dengannya, membuat ia tak kuasa untuk menolak. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan Maya — kakak pertamanya, mana mungkin ia bisa mengelak dan mencari alasan. Adrian berniat membawa Zalina ke time zoon. Namun, sebelum itu ia berniat membelikan jajanan. Tapi, Zalina mengeluh capek dan ingin duduk. Karena merasa tempatnya tak jauh, ia pun meninggalkannya. Selang beberapa menit ia kembali dan terkejut mendapati Zalina tengah menangis dalam dekapan seseorang. Bahkan di sana ada sekumpulan orang-orang, ada security juga. “Zalina apa yang terjadi?” Adrian menghampiri keduanya, meletakkan bawang bawaannya di kursi dan mengambil alih Zalina. “Sayang... Sayang....” “Huhuhu...." Zalina memeluk Adrian dengan erat sambil menangis ketakutan. Membuat lelaki itu menghela napas lega. Manik matanya kini beradu pandang dengan perempuan cantik yang menatap dirinya dengan tajam. Tak sadar Adrian menelan ludahnya, baru saja ia hendak bicara. Omelan pengunjung lainnya menyela. “Gimana sih anak sekecil itu kok ditinggalin sendirian di tempat umum seperti ini. Bahaya tahu. Hampir saja dia celaka. Untung ada Mba ini yang sigap menolong!” “Maaf.... Maaf semua,” sesal Adrian kemudian. “Heran sama anak jaman sekarang. Pada senang buatnya doang, jagainnya gak becus,” gerutu pengunjung lainnya. Ia menghela napas kasar, bahkan ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Namun, melihat Zalina menangis tentu sesuatu telah terjadi, hal itulah yang membuatnya timbul rasa bersalah. Setelah kepergian pengunjung itu, Adrian memaku pandangannya pada sosok gadis cantik di depannya yang kini melipat kedua tangannya di dada, seraya menatap dirinya dengan tajam. “Ini tadi—” ”Kalau bawa anaknya itu jangan ditinggal sendirian di tempat umum seperti ini. Bapak gak tahu kan hampir saja anaknya terjepit eskalator.” Terlihat gadis itu menghentikan ucapannya sejenak, memindai penampilan Adrian. “Coba bayangkan mau jadi kalau sampai dia terjepit. Lain kali bawa saja istrinya, Pak. Atau pengasuhnya lah!” Adrian dibuat menganga akan omelannya. Namun, ia masih merasa tak bersuara. Pandangannya dibuat memaku pada sosok di depannya tersebut. Wajahnya terlihat cantik, bola matanya berbentuk bulat terang, pipinya memerah, dan bibirnya berwarna peach yang dipoles dengan cara tak berlebihan. Di matanya ia terlihat cantik, lucu, dan menggemaskan.Melihat keberadaan Adrian di sana. Darwin langsung memutar tubuhnya dan meninggalkan ruangan rawat istrinya tanpa suara. Hal itu membuat Adrian tersenyum masam. Semua tidak luput dari perhatian penghuni ruangan tersebut. Dulu mereka sedekat jantung dan hati. Tapi, sekarang terasa jauh untuk digapai. Lea pun paham mengingat beberapa bulan ia sempat menjadi perusahaan keluarga mereka. Ada rasa sedih yang tiba-tiba mendera, mengingat kehadirannya justru menjadi pemicu keretakan hubungan darah seorang anak pada ayah kandungnya. “Mama, kenapa kakek tidak jadi masuk?” Pertanyaan Naka memecah kesunyian yang sempat tercipta.“Emm.... Mungkin ada yang ketinggalan sayang.” Perempuan yang kini menggunakan dress berwarna biru langit itu berkilah, sambil mengusap rambut putranya yang masih menatapnya dengan bingung.Sementara itu, Darwin yang keluar dari ruangan istrinya langsung berlalu menuju taman rumah sakit. Terdiam, sibuk dengan pemikirannya yang entah apa di dalamnya. “Kakek..." suara an
“Ada apa, Ian?" Lea melepaskan pelukannya menyadari perubahan wajah suaminya yang tidak cukup baik. “Tidak apa-apa.” Adrian berkilau menyimpan kembali ponselnya lalu duduk di kursi.“Gak mungkin gak ada apa-apa, wajah kamu saja terlihat murung seperti itu.” Adrian menghela napas berat, mendongak menatap istrinya. Tapi, belum sempat ia bersuara, Lea sudah kembali bersuara sambil menyodorkan secangkir kopi. “Ini di minum dulu kopinya?”Adrian mengangkat sebelah alisnya menatap secangkir kopi yang terlihat asapnya masih mengepul itu. “Bukannya itu buat kamu sendiri?”“Enggak.” Lea menggeleng lalu duduk di kursi sebelah suaminya. “Aku sengaja buatin untuk kamu loh.”“Makasih.” Adrian menyesap pelan kopi buatan istrinya tersebut. “Kok bisa pas gini sih?” lanjutnya.“Iya pas lah. Kan sudah sesuai takarannya.”“Ck! Bukan begitu maksudnya. Tapi, kebetulan sekali aku baru sampai rumah kok kamu sudah buatin kopi.”“Oh itu...” Lea meringis salah tingkah. “Aku dapat telpon dari Kak Maya kalau ka
Lea menatap wajah polos putranya yang sudah terlelap. Semakin beranjak besar, wajah Naka benar-benar persis seperti Adrian. Ah Adrian... Mengingat suaminya, wajahnya langsung berubah murung. Sejak perdebatannya tadi pagi hingga malam ini Adrian sama sekali tidak memberinya kabar. Hal itu membuat ia benar-benar sedih. Beranjak duduk, ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia gulir layarnya, berharap menemukan suatu pesan ataupun panggilan dari sang suami. Tapi, sama sekali tidak ia temukan apapun di sana. Menghela napas panjang, ia pun akhirnya keluar dari kamar, menuju ruang tamu. Dan saat itu kebetulan ada Leo yang baru pulang bekerja. “Kemana, Kak. Sudah malam bukannya istirahat?” tanya Leo karena memang waktu sudah menunjukkan pukul saat dinihari.“Cuma mau ke ruang tamu kok.” “Ngapain?”“Nunggu kakak ipar kamu.”Kening Leo tampak mengerut heran. “Lho, Kak Adrian belum pulang?”“Iya. Mungkin lembur,” kilah Lea berusaha berpikir positif. Ia tidak ingin adiknya pun menaruh curiga
Lea merasa heran karena sejak tadi suaminya tidak kunjung kembali ke meja makan.“Siapa sih tamunya, Kak?” tanya Leo.“Kakak juga gak tahu,” jawab Lea mengedikkan bahunya dengan perasaan bingung. Matanya menatap ke arah pintu seolah menantikan kembalinya sang suami. “Iya. Papa lama ih. Padahal Papa kan belum makan.” Naka yang tengah menikmati sarapannya pun ikut menimpali, membuat Lea pun terdiam sejenak dan berpikir.“Ya sudah. Biar Mama susul Papa dulu ya.” Meninggalkan keduanya, Lea pun beranjak menyusul suaminya. Langkahnya terhenti begitu menginjakkan kakinya di ruang tamu, ia mendengar suara suaminya yang terdengar begitu lantang. Memberanikan diri mendekat, ia singkap gorden rumahnya, matanya melotot melihat papa mertuanyalah yang menjadi tamu. “Oke. Papa tahu apa yang kau inginkan. Kau ingin Papa merestui pernikahan kamu kan?" Darwin menjeda ucapannya sejenak. “Ayo kita tukar persyaratan. Papa restui pernikahan kalian, tapi kamu harus bebaskan Delon.”Deg!Bukan hanya Adrian
“Ian...” Adrian menoleh dan terkejut melihat istrinya sejak tadi berada di dekat jendela, artinya Lea mendengar semua pembicaraannya. “Sayang, kenapa kamu di sini?" tanya Adrian sedikit gugup.“Justru harusnya aku yang tanya sama kamu. Ini ada apa sebenarnya?” Raut wajah Lea terlihat begitu penasaran. “Kamu bilang ....”Tok! Tok! Tok! Brak! Brak! Brak!Ketukan pintu yang terdengar begitu kencang disertai gedoran. “Adrian buka pintunya. Kakak belum selesai bicara?” Lea memandang ke arah suaminya. “Ian...”Adrian justru menggelengkan kepalanya dan berlalu melenggang masuk begitu saja. Sementara gedoran pintu semakin terdengar lebih kencang. “Adrian tolong bebaskan suamiku. Kakak mohon Adrian.” Nada bicara Shana terdengar begitu memelas, membuat Lea yang mendengarnya pun tidak tega. Tangannya bergerak hendak membuka kunci pintu, tapi tiba-tiba...“Kamu ngapain sayang?” Adrian tiba-tiba bersuara menghampirinya, membuat ia pun menoleh. “Mau buka pintu?"Lea mengangguk. “Iya, Ian. Kasih
Shana benar-benar frustasi dan bingung lantaran sudah beberapa pengacara yang ia sewa untuk membuat sang suami bebas. Tapi, tetap saja tidak berhasil lantaran di belakang Adrian ada pengacara Aditya yang tidak pernah terkalahkan dengan siapapun. “Lakukan semua cara untuk bisa membebaskan aku dari sini sayang,” pinta Delon saat ia menjenguk ke lapas. Sudah dua hari suaminya berada di tahanan, terlihat kacau dan tak terawat.“Apa yang harus aku lakukan, Mas? Aku sudah menyewa beberapa pengacara tapi tidak ada satupun yang berhasil.” Delon meraup mukanya, menghela napas kasar. “Lakukan segala cara, Shana. Aku tidak betah berlama-lama di sini."“Apalagi, Mas. Aku bahkan sudah bilang Papa. Bilang juga pada keluargamu tapi sama sekali tidak berhasil.” Shana menghela napas kasar. “Selain kamu telah hampir membunuh Lea. Kamu juga membunuh orang suruhanmu itu kan, Mas.”“Ishh... Sial!!”Setelah sesi jenguk suaminya selesai. Shana pun berlalu ke salah satu cafe, ia ingin membuang pikirannya y







