INICIAR SESIÓNBelinda melirik arloji di tangannya, ini sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Adrian pamit ke toilet.
“Adrian kemana sih? Toilet doang masa bisa selama ini,” gerutunya yang tentu di dengar oleh Evan. ”Iya ini juga Lea mana ya? Apa toiletnya ngantri ya.” Belinda menghela napas kesal. Kembali melirik arloji di tangannya. Ia ingat lima belas menit lagi ia ada pemotretan. Seharusnya hari Minggu itu libur. Namun, karena memang jadwalnya padat sedang banyak penawaran, jadi terpaksa tetap ia ambil, demi melambungkan namanya semakin terkenal. Ia yakin Adrian akan merasa sangat bahagia dan beruntung jika bisa menikah dengan dirinya. Selain karena dia seorang publik figur ia merupakan anak seorang pengusaha sukses di kotanya, dengan digabungkan dua perusahaan raksasa milik keluarga Adrian dan juga keluarganya mereka akan semakin sukses. Ya, memang keduanya akan menikah karena perjodohan. “Aku akan menyusulnya.” Belinda beranjak dari tempat duduknya. Namun, belum sempat berlalu, ia melihat sosok yang sejak tadi ia cari sudah melangkah masuk. “Kok lama banget sih, Adrian!” protesnya kemudian. “Macet,” jawab Adrian asal. “Ck!” terdengar decakan sebal dari bibir Belinda. “Apanya yang macet sih Adrian? Orang cuma ke toilet doang. Kamu sebenarnya ke toilet mana? Ke Arab apa kemana,” cerocosnya kian membuat Adrian malas. Sementara Evan meringis merasa tak enak mendengar percekcokan pasangan itu. “Maksudku ngantri,” ralat Adrian kemudian. “Awas saja kalau itu kamu berbohong. Aku bisa melakukan apapun loh Adrian,” ancam Belinda yang terdengar tak main-main. “Kamu itu kenapa sih bawaannya curiga terus sama aku. Namanya ini tempat umum jelas saja ngantri. Gitu saja masih gak percaya.” Adrian memandang Belinda dengan rasa malas penuh kesal. Namun, kekesalannya sirna saat melihat Lea melangkah ke arahnya. Seketika hatinya berdesir, seakan lupa dengan apa yang barusan terjadi. Diam-diam ia tersenyum mengingat kejadian di parkiran mobil tadi. “Evan sorry ya lama.” “Iya gak apa-apa kok, toiletnya antri kan?” balas Evan balik. Lea menoleh ke arah ketiganya secara bergantian. “Kok...” “Oh itu cuma nebak saja. Soalnya kata Pak Adrian juga kan gitu.” Lea langsung menoleh ke arah Adrian yang saat ini tengah tersenyum samar, ia bisa menangkap senyum kemenangan penuh kepuasan di sana. Sementara Belinda tengah bergelayut manja di lengannya. Memutuskan kontak pandangannya, Lea langsung membereskan barang-barang bawaannya. Entahlah setiap melihat kemesraan keduanya ada yang menggelitik dalam dadanya, hingga ia merasa sesak, tapi ia sadar diri siapa dirinya. “Evan, aku pulang dulu ya. Ayahku menunggu di rumah.” “Kamu mau pulang?” Itu suara Belinda yang bertanya. “Em iya Nona.” “Tapi, makanan kamu belum habis.” Belinda menunjuk ke arah makanan Lea yang tentunya sudah terasa dingin. Kemudian beralih ke arah Evan. “Kasihan juga cowok kamu udah nungguin. Eh malah ditinggal pulang.” Raut wajah Lea seketika berubah, wajah terasa pias. Sementara Adrian memandangnya tak suka, namun sebisa mungkin ia mampu menguasai sikapnya. “Dia bukan...” “Calon maksudnya.” Belinda meralat ucapannya cepat tanpa membiarkan Lea melanjutkan ucapannya lebih dulu. “Kalian berdua itu cocok kok.” Perasaan Lea semakin terasa tak nyaman. Ia membereskan kantong belanjanya. “Aku duluan ya, Van.” “Aku antar.” “Gak perlu, Van. Aku mau pake taksi saja.” Cepat-cepat Lea ingin berlalu dari sana. Sesekali melemparkan tatapan pada Adrian penuh kekesalan. Melihat wajahnya ia merasa ingin mencabik-cabik wajahnya. Bisa-bisanya Adrian mengajaknya ber cinta di dalam mobil. Selain itu Adrian juga melakukannya sangat kasar, hingga menimbulkan rasa sakit, bahkan kini masih terasa saat ia bawa berjalan. Benar-benar tak tahu aturan bukan? Lea benar-benar kesal mengingatnya. Padahal baru tadi pagi keduanya menghabiskan waktu bersama di apartemen, bisa-bisanya di tempat seperti itupun Adrian memanfaatkan kesempatan. “Ayolah, Lea. Aku kasihan.” “Dasar cowok pemaksa.” Evan langsung terdiam mendengarnya. Padahal yang dimaksud oleh Lea itu umpatan untuk Adrian, namun Evan salah tanggap. “Lea sorry, aku hanya...” “Maaf Evan. Aku cuma lagi kesal sama seseorang bukan sama kamu kok. Dan soal tumpangan tidak perlu. Aku sudah pesan taksi online di depan kok. Terima kasih untuk traktirannya ya.” Lea langsung berbalik pergi di susul oleh Evan. Semua tak lepas dari pandangan Adrian. “Kenapa natap Lea seperti itu?” tanya Belinda dengan bau-bau curiga. “Bukannya mata itu untuk melihat ya.” Adrian berkata dengan santai, mengambil minuman di depannya meneguknya hingga tandas. Gara-gara meneguk manisnya madu, berbagi peluh keringat di mobil bersama Lea, tenggorokannya terasa kering, ia hampir merasa kehilangan cairan. Belinda tengah memainkan ponselnya, sesekali menatap ke arah Adrian yang tengah memasang wajah datar. “Heran cuma baru dari toilet bisa sehaus itu?” Mendengarnya, Adrian sontak menoleh ke arahnya. Lalu menghela nafasnya dengan kasar. “Kamu itu sebenarnya kenapa sih? Sejak tadi bawaannya curiga terus.” “Kalau pernikahan kita dipercepat saja gimana ya Adrian?” Pertanyaan Belinda selanjutnya membuat kedua mata Adrian terbelalak. **** Taksi yang ditumpangi Lea tiba di rumah. Setelah membayar argo ia segera keluar tak lupa membawa barang belanjaannya. Kedatangannya sudah di sambut oleh Ayahnya tercinta yang saat ini tengah berada di teras, seketika rasa kesal pada Adrian sirna. “Baru pulang, Nak?” “Iya Ayah.” Lea membungkuk menyalami sang telapak tangan Ferdinan dengan takzim. Setiap kali ia mengecup telapak tangannya, ia merasa ada yang berdesir, rasa bersalah itu kian menyergap dalam dirinya. Tak dapat membayangkan akan sekecewa apa lelaki itu jika mengetahui perbuatannya selama empat bulan ini. Ferdinan selalu mewanti-wanti untuk tak menjadi perempuan murahan apalagi sampai menyerahkan mahkota berharganya pada lelaki yang bukan suaminya. Tapi, kini ia telah menghancurkan semuanya. Lea bahkan merasa takut untuk membayangkan masa depannya kelak, ia merasa semuanya terasa suram. “Kamu kenapa nak? Kok melamun. Pekerjaan hari ini melelahkan ya? Maafkan Ayah ya yang justru merepotkanmu.” Perkataan Ferdinan membuat lamunannya tersentak. Lea merubah mimik wajahnya mengulas senyum tipisnya. “Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya merasa sedikit lelah, nanti dibawa istirahat juga baikan.” Lea mengamati tubuh Ayahnya yang masih berada di kursi roda. “Dan ayah harus tahu. Ayah sama sekali tidak membuat aku repot. Karena kesembuhan Ayah itu semangatku. Aku merasa senang sekarang sudah bisa bicara, lambat lain Ayah pasti bisa berjalan.” Ferdinan tersenyum mengusap wajah Lea. “Terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang sangat luar biasa. Ayah yakin kelak laki-laki yang mendapatkan kamu sangat beruntung.” Lea terhenyak, rasanya jantungnya bagai ditikam belati yang tajam. Doa tulus ayahnya seperti sebuah tikaman yang tajam. Tak salah, sejatinya setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, kepercayaan itu ia sendiri yang merusaknya. “Amin, Yah. Kebahagiaanku hanya terletak dalam diri Ayah dan Leo. Aku merasa tidak perlu menikah.” Lea merasa setelah kejadian malam di mana ia menyerahkan mahkotanya pada Adrian, ia seakan tidak punya mimpi untuk menikah. “Jangan seperti itu. Ayah sudah tua, dan kelak kalau Leo sudah sadar dan kembali sehat. Dia pasti juga ingin melihat Kakaknya menikah. Ayah juga ingin melihat kamu menikah, Nak.” Lea hanya tersenyum getir mendengarnya. “Ayah sudah makan?” Lea berusaha mengalihkan pembahasan tentang pernikahan. “Sudah tadi, sama Sus Rini.” Ferdinan tersenyum menunjuk suster pribadi yang dipekerjakan oleh dirinya. Ya, berkat uang dari Adrian ia bisa memperkerjakan suster pribadi untuk merawat ayahnya, hingga ketika ia tinggal di luar ia tak perlu merasa khawatir. “Syukurlah. Aku masuk dulu ya ayah. Mau bersih-bersih.” “Iya nak.” Lea beranjak masuk, dan di ambang pintu ia kembali menoleh ke arah ayahnya ‘Maafkan aku ayah,’ gumamnya. Lea beranjak masuk ke dapur meletakkan barang belanjaannya yang berisi buah-buahan serta makanan sehat lainnya. Setelahnya kembali masuk ke kamar meletakkan tas miliknya. Baru saja ia ingin mengambil handuknya ia dikejutkan dengan notifikasi dari m..banking. Segera ia ambil dan baca, seketika ia mendesah resah. Belum selesai ia dikejutkan lagi dengan pesan dari Adrian. [Aku sudah transfer lagi ya. Terima kasih untuk hari ini, sayang. Kamu memang terbaik.] Ia memegang dadanya saat membaca panggilan lelaki itu padanya, ada yang berdesir. Namun, secepat itu ia menepisnya menggantikan dengan rasa pedih. “Ah, aku memang pelacur,” gumamnya pelan sebelum kemudian memilih beranjak ke kamar mandi. Bagaimanapun sisa percintaannya dengan Adrian tadi membuat tubuhnya lengket. Selain tempatnya yang memang tidak leluasa, cara Adrian juga yang terlalu kasar.Melihat keberadaan Adrian di sana. Darwin langsung memutar tubuhnya dan meninggalkan ruangan rawat istrinya tanpa suara. Hal itu membuat Adrian tersenyum masam. Semua tidak luput dari perhatian penghuni ruangan tersebut. Dulu mereka sedekat jantung dan hati. Tapi, sekarang terasa jauh untuk digapai. Lea pun paham mengingat beberapa bulan ia sempat menjadi perusahaan keluarga mereka. Ada rasa sedih yang tiba-tiba mendera, mengingat kehadirannya justru menjadi pemicu keretakan hubungan darah seorang anak pada ayah kandungnya. “Mama, kenapa kakek tidak jadi masuk?” Pertanyaan Naka memecah kesunyian yang sempat tercipta.“Emm.... Mungkin ada yang ketinggalan sayang.” Perempuan yang kini menggunakan dress berwarna biru langit itu berkilah, sambil mengusap rambut putranya yang masih menatapnya dengan bingung.Sementara itu, Darwin yang keluar dari ruangan istrinya langsung berlalu menuju taman rumah sakit. Terdiam, sibuk dengan pemikirannya yang entah apa di dalamnya. “Kakek..." suara an
“Ada apa, Ian?" Lea melepaskan pelukannya menyadari perubahan wajah suaminya yang tidak cukup baik. “Tidak apa-apa.” Adrian berkilau menyimpan kembali ponselnya lalu duduk di kursi.“Gak mungkin gak ada apa-apa, wajah kamu saja terlihat murung seperti itu.” Adrian menghela napas berat, mendongak menatap istrinya. Tapi, belum sempat ia bersuara, Lea sudah kembali bersuara sambil menyodorkan secangkir kopi. “Ini di minum dulu kopinya?”Adrian mengangkat sebelah alisnya menatap secangkir kopi yang terlihat asapnya masih mengepul itu. “Bukannya itu buat kamu sendiri?”“Enggak.” Lea menggeleng lalu duduk di kursi sebelah suaminya. “Aku sengaja buatin untuk kamu loh.”“Makasih.” Adrian menyesap pelan kopi buatan istrinya tersebut. “Kok bisa pas gini sih?” lanjutnya.“Iya pas lah. Kan sudah sesuai takarannya.”“Ck! Bukan begitu maksudnya. Tapi, kebetulan sekali aku baru sampai rumah kok kamu sudah buatin kopi.”“Oh itu...” Lea meringis salah tingkah. “Aku dapat telpon dari Kak Maya kalau ka
Lea menatap wajah polos putranya yang sudah terlelap. Semakin beranjak besar, wajah Naka benar-benar persis seperti Adrian. Ah Adrian... Mengingat suaminya, wajahnya langsung berubah murung. Sejak perdebatannya tadi pagi hingga malam ini Adrian sama sekali tidak memberinya kabar. Hal itu membuat ia benar-benar sedih. Beranjak duduk, ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia gulir layarnya, berharap menemukan suatu pesan ataupun panggilan dari sang suami. Tapi, sama sekali tidak ia temukan apapun di sana. Menghela napas panjang, ia pun akhirnya keluar dari kamar, menuju ruang tamu. Dan saat itu kebetulan ada Leo yang baru pulang bekerja. “Kemana, Kak. Sudah malam bukannya istirahat?” tanya Leo karena memang waktu sudah menunjukkan pukul saat dinihari.“Cuma mau ke ruang tamu kok.” “Ngapain?”“Nunggu kakak ipar kamu.”Kening Leo tampak mengerut heran. “Lho, Kak Adrian belum pulang?”“Iya. Mungkin lembur,” kilah Lea berusaha berpikir positif. Ia tidak ingin adiknya pun menaruh curiga
Lea merasa heran karena sejak tadi suaminya tidak kunjung kembali ke meja makan.“Siapa sih tamunya, Kak?” tanya Leo.“Kakak juga gak tahu,” jawab Lea mengedikkan bahunya dengan perasaan bingung. Matanya menatap ke arah pintu seolah menantikan kembalinya sang suami. “Iya. Papa lama ih. Padahal Papa kan belum makan.” Naka yang tengah menikmati sarapannya pun ikut menimpali, membuat Lea pun terdiam sejenak dan berpikir.“Ya sudah. Biar Mama susul Papa dulu ya.” Meninggalkan keduanya, Lea pun beranjak menyusul suaminya. Langkahnya terhenti begitu menginjakkan kakinya di ruang tamu, ia mendengar suara suaminya yang terdengar begitu lantang. Memberanikan diri mendekat, ia singkap gorden rumahnya, matanya melotot melihat papa mertuanyalah yang menjadi tamu. “Oke. Papa tahu apa yang kau inginkan. Kau ingin Papa merestui pernikahan kamu kan?" Darwin menjeda ucapannya sejenak. “Ayo kita tukar persyaratan. Papa restui pernikahan kalian, tapi kamu harus bebaskan Delon.”Deg!Bukan hanya Adrian
“Ian...” Adrian menoleh dan terkejut melihat istrinya sejak tadi berada di dekat jendela, artinya Lea mendengar semua pembicaraannya. “Sayang, kenapa kamu di sini?" tanya Adrian sedikit gugup.“Justru harusnya aku yang tanya sama kamu. Ini ada apa sebenarnya?” Raut wajah Lea terlihat begitu penasaran. “Kamu bilang ....”Tok! Tok! Tok! Brak! Brak! Brak!Ketukan pintu yang terdengar begitu kencang disertai gedoran. “Adrian buka pintunya. Kakak belum selesai bicara?” Lea memandang ke arah suaminya. “Ian...”Adrian justru menggelengkan kepalanya dan berlalu melenggang masuk begitu saja. Sementara gedoran pintu semakin terdengar lebih kencang. “Adrian tolong bebaskan suamiku. Kakak mohon Adrian.” Nada bicara Shana terdengar begitu memelas, membuat Lea yang mendengarnya pun tidak tega. Tangannya bergerak hendak membuka kunci pintu, tapi tiba-tiba...“Kamu ngapain sayang?” Adrian tiba-tiba bersuara menghampirinya, membuat ia pun menoleh. “Mau buka pintu?"Lea mengangguk. “Iya, Ian. Kasih
Shana benar-benar frustasi dan bingung lantaran sudah beberapa pengacara yang ia sewa untuk membuat sang suami bebas. Tapi, tetap saja tidak berhasil lantaran di belakang Adrian ada pengacara Aditya yang tidak pernah terkalahkan dengan siapapun. “Lakukan semua cara untuk bisa membebaskan aku dari sini sayang,” pinta Delon saat ia menjenguk ke lapas. Sudah dua hari suaminya berada di tahanan, terlihat kacau dan tak terawat.“Apa yang harus aku lakukan, Mas? Aku sudah menyewa beberapa pengacara tapi tidak ada satupun yang berhasil.” Delon meraup mukanya, menghela napas kasar. “Lakukan segala cara, Shana. Aku tidak betah berlama-lama di sini."“Apalagi, Mas. Aku bahkan sudah bilang Papa. Bilang juga pada keluargamu tapi sama sekali tidak berhasil.” Shana menghela napas kasar. “Selain kamu telah hampir membunuh Lea. Kamu juga membunuh orang suruhanmu itu kan, Mas.”“Ishh... Sial!!”Setelah sesi jenguk suaminya selesai. Shana pun berlalu ke salah satu cafe, ia ingin membuang pikirannya y







