Home / Romansa / Sebatas Teman Tidur / Part 7. Ketakutan Lea

Share

Part 7. Ketakutan Lea

last update Huling Na-update: 2025-01-17 15:24:29

Belinda melirik arloji di tangannya, ini sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Adrian pamit ke toilet.

“Adrian kemana sih? Toilet doang masa bisa selama ini,” gerutunya yang tentu di dengar oleh Evan.

”Iya ini juga Lea mana ya? Apa toiletnya ngantri ya.”

Belinda menghela napas kesal. Kembali melirik arloji di tangannya. Ia ingat lima belas menit lagi ia ada pemotretan. Seharusnya hari Minggu itu libur. Namun, karena memang jadwalnya padat sedang banyak penawaran, jadi terpaksa tetap ia ambil, demi melambungkan namanya semakin terkenal. Ia yakin Adrian akan merasa sangat bahagia dan beruntung jika bisa menikah dengan dirinya. Selain karena dia seorang publik figur ia merupakan anak seorang pengusaha sukses di kotanya, dengan digabungkan dua perusahaan raksasa milik keluarga Adrian dan juga keluarganya mereka akan semakin sukses. Ya, memang keduanya akan menikah karena perjodohan.

“Aku akan menyusulnya.” Belinda beranjak dari tempat duduknya. Namun, belum sempat berlalu, ia melihat sosok yang sejak tadi ia cari sudah melangkah masuk. “Kok lama banget sih, Adrian!” protesnya kemudian.

“Macet,” jawab Adrian asal.

“Ck!” terdengar decakan sebal dari bibir Belinda. “Apanya yang macet sih Adrian? Orang cuma ke toilet doang. Kamu sebenarnya ke toilet mana? Ke Arab apa kemana,” cerocosnya kian membuat Adrian malas. Sementara Evan meringis merasa tak enak mendengar percekcokan pasangan itu.

“Maksudku ngantri,” ralat Adrian kemudian.

“Awas saja kalau itu kamu berbohong. Aku bisa melakukan apapun loh Adrian,” ancam Belinda yang terdengar tak main-main.

“Kamu itu kenapa sih bawaannya curiga terus sama aku. Namanya ini tempat umum jelas saja ngantri. Gitu saja masih gak percaya.” Adrian memandang Belinda dengan rasa malas penuh kesal. Namun, kekesalannya sirna saat melihat Lea melangkah ke arahnya. Seketika hatinya berdesir, seakan lupa dengan apa yang barusan terjadi. Diam-diam ia tersenyum mengingat kejadian di parkiran mobil tadi.

“Evan sorry ya lama.”

“Iya gak apa-apa kok, toiletnya antri kan?” balas Evan balik. Lea menoleh ke arah ketiganya secara bergantian.

“Kok...”

“Oh itu cuma nebak saja. Soalnya kata Pak Adrian juga kan gitu.”

Lea langsung menoleh ke arah Adrian yang saat ini tengah tersenyum samar, ia bisa menangkap senyum kemenangan penuh kepuasan di sana. Sementara Belinda tengah bergelayut manja di lengannya. Memutuskan kontak pandangannya, Lea langsung membereskan barang-barang bawaannya. Entahlah setiap melihat kemesraan keduanya ada yang menggelitik dalam dadanya, hingga ia merasa sesak, tapi ia sadar diri siapa dirinya.

“Evan, aku pulang dulu ya. Ayahku menunggu di rumah.”

“Kamu mau pulang?” Itu suara Belinda yang bertanya.

“Em iya Nona.”

“Tapi, makanan kamu belum habis.” Belinda menunjuk ke arah makanan Lea yang tentunya sudah terasa dingin. Kemudian beralih ke arah Evan. “Kasihan juga cowok kamu udah nungguin. Eh malah ditinggal pulang.”

Raut wajah Lea seketika berubah, wajah terasa pias. Sementara Adrian memandangnya tak suka, namun sebisa mungkin ia mampu menguasai sikapnya.

“Dia bukan...”

“Calon maksudnya.” Belinda meralat ucapannya cepat tanpa membiarkan Lea melanjutkan ucapannya lebih dulu. “Kalian berdua itu cocok kok.”

Perasaan Lea semakin terasa tak nyaman. Ia membereskan kantong belanjanya. “Aku duluan ya, Van.”

“Aku antar.”

“Gak perlu, Van. Aku mau pake taksi saja.” Cepat-cepat Lea ingin berlalu dari sana. Sesekali melemparkan tatapan pada Adrian penuh kekesalan. Melihat wajahnya ia merasa ingin mencabik-cabik wajahnya. Bisa-bisanya Adrian mengajaknya ber cinta di dalam mobil. Selain itu Adrian juga melakukannya sangat kasar, hingga menimbulkan rasa sakit, bahkan kini masih terasa saat ia bawa berjalan. Benar-benar tak tahu aturan bukan? Lea benar-benar kesal mengingatnya. Padahal baru tadi pagi keduanya menghabiskan waktu bersama di apartemen, bisa-bisanya di tempat seperti itupun Adrian memanfaatkan kesempatan.

“Ayolah, Lea. Aku kasihan.”

“Dasar cowok pemaksa.”

Evan langsung terdiam mendengarnya. Padahal yang dimaksud oleh Lea itu umpatan untuk Adrian, namun Evan salah tanggap.

“Lea sorry, aku hanya...”

“Maaf Evan. Aku cuma lagi kesal sama seseorang bukan sama kamu kok. Dan soal tumpangan tidak perlu. Aku sudah pesan taksi online di depan kok. Terima kasih untuk traktirannya ya.” Lea langsung berbalik pergi di susul oleh Evan. Semua tak lepas dari pandangan Adrian.

“Kenapa natap Lea seperti itu?” tanya Belinda dengan bau-bau curiga.

“Bukannya mata itu untuk melihat ya.” Adrian berkata dengan santai, mengambil minuman di depannya meneguknya hingga tandas. Gara-gara meneguk manisnya madu, berbagi peluh keringat di mobil bersama Lea, tenggorokannya terasa kering, ia hampir merasa kehilangan cairan.

Belinda tengah memainkan ponselnya, sesekali menatap ke arah Adrian yang tengah memasang wajah datar. “Heran cuma baru dari toilet bisa sehaus itu?”

Mendengarnya, Adrian sontak menoleh ke arahnya. Lalu menghela nafasnya dengan kasar. “Kamu itu sebenarnya kenapa sih? Sejak tadi bawaannya curiga terus.”

“Kalau pernikahan kita dipercepat saja gimana ya Adrian?”

Pertanyaan Belinda selanjutnya membuat kedua mata Adrian terbelalak.

****

Taksi yang ditumpangi Lea tiba di rumah. Setelah membayar argo ia segera keluar tak lupa membawa barang belanjaannya. Kedatangannya sudah di sambut oleh Ayahnya tercinta yang saat ini tengah berada di teras, seketika rasa kesal pada Adrian sirna.

“Baru pulang, Nak?”

“Iya Ayah.” Lea membungkuk menyalami sang telapak tangan Ferdinan dengan takzim. Setiap kali ia mengecup telapak tangannya, ia merasa ada yang berdesir, rasa bersalah itu kian menyergap dalam dirinya. Tak dapat membayangkan akan sekecewa apa lelaki itu jika mengetahui perbuatannya selama empat bulan ini. Ferdinan selalu mewanti-wanti untuk tak menjadi perempuan murahan apalagi sampai menyerahkan mahkota berharganya pada lelaki yang bukan suaminya. Tapi, kini ia telah menghancurkan semuanya. Lea bahkan merasa takut untuk membayangkan masa depannya kelak, ia merasa semuanya terasa suram.

“Kamu kenapa nak? Kok melamun. Pekerjaan hari ini melelahkan ya? Maafkan Ayah ya yang justru merepotkanmu.” Perkataan Ferdinan membuat lamunannya tersentak. Lea merubah mimik wajahnya mengulas senyum tipisnya.

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya merasa sedikit lelah, nanti dibawa istirahat juga baikan.” Lea mengamati tubuh Ayahnya yang masih berada di kursi roda. “Dan ayah harus tahu. Ayah sama sekali tidak membuat aku repot. Karena kesembuhan Ayah itu semangatku. Aku merasa senang sekarang sudah bisa bicara, lambat lain Ayah pasti bisa berjalan.”

Ferdinan tersenyum mengusap wajah Lea. “Terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang sangat luar biasa. Ayah yakin kelak laki-laki yang mendapatkan kamu sangat beruntung.”

Lea terhenyak, rasanya jantungnya bagai ditikam belati yang tajam. Doa tulus ayahnya seperti sebuah tikaman yang tajam. Tak salah, sejatinya setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, kepercayaan itu ia sendiri yang merusaknya.

“Amin, Yah. Kebahagiaanku hanya terletak dalam diri Ayah dan Leo. Aku merasa tidak perlu menikah.” Lea merasa setelah kejadian malam di mana ia menyerahkan mahkotanya pada Adrian, ia seakan tidak punya mimpi untuk menikah.

“Jangan seperti itu. Ayah sudah tua, dan kelak kalau Leo sudah sadar dan kembali sehat. Dia pasti juga ingin melihat Kakaknya menikah. Ayah juga ingin melihat kamu menikah, Nak.”

Lea hanya tersenyum getir mendengarnya. “Ayah sudah makan?” Lea berusaha mengalihkan pembahasan tentang pernikahan.

“Sudah tadi, sama Sus Rini.” Ferdinan tersenyum menunjuk suster pribadi yang dipekerjakan oleh dirinya. Ya, berkat uang dari Adrian ia bisa memperkerjakan suster pribadi untuk merawat ayahnya, hingga ketika ia tinggal di luar ia tak perlu merasa khawatir.

“Syukurlah. Aku masuk dulu ya ayah. Mau bersih-bersih.”

“Iya nak.”

Lea beranjak masuk, dan di ambang pintu ia kembali menoleh ke arah ayahnya

‘Maafkan aku ayah,’ gumamnya.

Lea beranjak masuk ke dapur meletakkan barang belanjaannya yang berisi buah-buahan serta makanan sehat lainnya. Setelahnya kembali masuk ke kamar meletakkan tas miliknya. Baru saja ia ingin mengambil handuknya ia dikejutkan dengan notifikasi dari m..banking. Segera ia ambil dan baca, seketika ia mendesah resah. Belum selesai ia dikejutkan lagi dengan pesan dari Adrian.

[Aku sudah transfer lagi ya. Terima kasih untuk hari ini, sayang. Kamu memang terbaik.]

Ia memegang dadanya saat membaca panggilan lelaki itu padanya, ada yang berdesir. Namun, secepat itu ia menepisnya menggantikan dengan rasa pedih. “Ah, aku memang pelacur,” gumamnya pelan sebelum kemudian memilih beranjak ke kamar mandi. Bagaimanapun sisa percintaannya dengan Adrian tadi membuat tubuhnya lengket. Selain tempatnya yang memang tidak leluasa, cara Adrian juga yang terlalu kasar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebatas Teman Tidur    PART 37

    Sebaik dan semanis apapun caramu berpamitan, nyatanya tetap terasa menyakitkan, Tuan.**“Sakit sekali ya, Tuhan.” Lea menumpahkan tangisnya sesekali menepuk dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sesak. Seolah-olah rasanya ia ingin berhenti bernapas. “Kenapa cinta sesakit ini.”Dia merasa hancur. Sehancur-hancurnya, Adrian benar-benar telah berhasil mengambil segalanya. Tapi, ia sadar semua bukan salah Adrian. Ini salah dirinya yang telah menjadi perempuan tidak tahu diri. Kembali melangkahkan kakinya, menikmati tiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat pucat kedinginan, bahkan ia merasa tubuhnya pun sudah menggigil. Namun, ia tetap terus melangkahkan kakinya. Ia berharap hujan pun mampu menghapus lukanya. Brugghh!“Aduh!!” Lea meringis saat kakinya tersandung membuatnya terjatuh. Ia melihat ujung jempolnya yang terluka, terasa perih saat terguyur air, tapi lebih perih hatinya saat ini. Ia berusaha beranjak dari tempatnya. Namun, usahanya gagal ia kembali terj

  • Sebatas Teman Tidur    PART 36

    “Kau tidak perlu minta maaf, Ian. Sejak awal kita memang tidak hubungan kita hanyalah kompensasi, bukan untuk sesuatu yang serius. Kita terikat dalam sebuah perjanjian, yang kapanpun kau berhak untuk mengakhiri.“ Lea menoleh ke arah Adrian setelah berkali-kali berusaha mengendalikan diri. Berusaha tersenyum, meyakinkan diri bahwa ia harus baik-baik saja. Meski hatinya sakit, dan matanya pun memanas ingin menangis, sebisa mungkin akan ia tahan. “Jangan katakan maaf, karena kamu tidak bersalah. Keputusan kamu ini sudah benar, sejak awal hubungan kita terikat perjanjian yang saling menguntungkan.”“Kamu baik-baik saja kan?” Adrian beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Namun, Lea justru melangkah mundur seolah menghindarinya. “Tentu saja aku baik-baik saja. Kau berpikir apa?” Ia memalingkan wajahnya menahan gemuruh dada yang hampir meletup. Menyembunyikan senyum getirnya yang tertahan.“Kamu tidak pernah menganggap hubungan kita lebih dari itu kan?” tanya Adrian lagi. Lea kembal

  • Sebatas Teman Tidur    PART 35B

    Adrian sontak menoleh sejenak. “Perasaan kamu saja kali. Aku biasa saja.”“Mungkin.” Lea menarik minuman di depannya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa gelisah. “Tapi aku senang sih akhirnya bisa ngerasain kaya orang-orang pacaran merayakan ulang tahun sama pasangan.”“Aku nyalain lilinnya ya. Nanti kamu tiup lilin deh.” Adrian menyalakan lilinnya. Kemudian keduanya bernyanyi bersama sebelum kemudian Adrian meminta ia untuk meniupnya.“Aku make wish dulu ya.”“Iya.”Lea pun memejamkan matanya berdoa di dalam hatinya. Sebelum kemudian membuka matanya, lalu meniup lilinnya. Mereka tertawa bersama. Lea memotong kue itu sebelum kemudian menyuapi Adrian. Pria itu terlihat pasrah melihat Lea melakukan apapun padanya. “Sorry, Ian. Kena pipi kamu.” Lea menunjuk ke arah pipi Adrian yang terkena noda coklat.“Mana.” Adrian berusaha membersihkannya tapi yang ada nodanya justru belepotan. “Bukan di situ, jadi kemana-mana kan!” Lea berdecak mengambil tisu di atas meja menghampiri Adrian. Ia

  • Sebatas Teman Tidur    PART 35A

    “Aku ini tunanganmu, Adrian. Dan sebentar lagi kita akan menikah, wajar aku melakukan hal demikian.”“Selagi aku belum berstatus suamimu aku masih bebas. Dan kau tidak berhak menekanku. Aku bebas melakukan apapun. Menjalin hubungan dengan siapapun. Toh pernikahan kita hanya akan terjadi karena jalinan bisnis bukan?” Adrian masih menjawab dengan tenang. Wajah Belinda tampak geram tidak terima. “Jadi, kamu lebih memilih reputasi keluargamu hancur?”“Apa maksudmu?”Belinda menyeringai. “Kau tahu bagaimana aku bukan? Aku bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang aku sukai. Jika foto ini tersebar ke seluruh media kau bayangkan apa yang terjadi kedepannya!”Adrian terkejut mendengarnya, memikirkan akibat yang akan terjadi bila skandal itu akhirnya harus terbongkar ke publik. “Aku bahkan bisa menghancurkan Lea sehancur-hancurnya!” Belinda kembali memberikan ultimatum mematikan.“Apa yang kau inginkan?”****Dua hari kemudian....Lea baru selesai membersihkan diri, karena ia baru tib

  • Sebatas Teman Tidur    PART 34

    “Ada apa, Bel?” tanya Ben.Belinda menoleh ke arahnya. “Kemana Adrian?”“Ada pekerjaan di luar kota. Tumben sekali kamu peduli dengan pekerjaannya.”“Yakin urusan pekerjaan?” tanyanya dengan nada sinis. Tangannya meremat kuat tas miliknya. Wajahnya memerah kala melihat notifikasi foto yang dikirimkan seseorang. Ben tertegun sejenak memandang ke arah Belinda dengan heran. “Ya iyalah. Kerjaan dia lagi banyak. Bukannya bentar lagi kalian mau menikah otomatis harus mengambil cuti yang cukup banyak.”Belinda menggelengkan kepalanya. “Ternyata kalian bersekongkol.” Detik berikutnya Ben terperangah mendengarnya. “Maksudnya?”“Di mana ruangan Lea?” Bukannya menjawab pertanyaan Ben. Belinda justru bertanya hal lain, pertanyaan yang cukup membuat Ben terkejut. “Untuk apa kamu bertanya soal Lea. Ada masalah apa sih?”“Gak usah pura-pura!” cibir Belinda mendekati Ben lalu berbisik pelan. “Aku hanya ingin memberi wejangan sedikit sama dia!” lanjutnya kakinya melangkah berbalik mencari keberadaa

  • Sebatas Teman Tidur    PART 33B

    “Gak asyik! Membosankan!” celetuk Adrian membuat Lea menoleh ke arahnya.“Asyik kok.”“Kamu kok gak ada takut-takutnya sih, Le. Kaya yang lain tuh menjerit-jerit teriak, minta dipeluk atau dicium gitu akan enak,” katanya frontal membuat Lea melongo.“Emang kenapa harus takut? Aku milih film ini kan karena berani.”“Ya kan ini film horor menakutkan, Le. Minimal kaya perempuan yang lain tuh menjerit, terus meluk pasangannya gitu.”Detik berikutnya terdengar decakan menyebalkan dari bibir Lea, lalu mencibir. “Film ini tidak apa-apanya dibandingkan jalan hidupku, Ian. Aku bahkan sempat mengalami hal yang menakutkan dari ini. Hidupku jauh lebih horor dibandingkan film ini.”Adrian melongo tak percaya, sementara Lea tergelak kecil. Kembali konsentrasi menonton, hingga pada adegan selanjutnya Lea melotot lalu memalingkan wajahnya. “Dih ngapain diselipun adegan begini,” protesnya saat melihat adegan lebih intim. Berbeda dengan reaksi Lea yang tampak kesal. Adrian justru tersenyum senang, tang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status