Sudah dua minggu sejak pernikahan mereka, namun Glen belum pernah sekalipun pulang ke apartemen yang mereka tempati. Aruna lebih sering duduk sendiri, membaca buku, menulis puisi, atau sekadar menatap langit dari balkon lantai 30. Hari-hari berlalu dengan hening yang menggigit, hanya suara detik jam dinding dan deru angin yang menjadi teman setianya.
Hari ini, Aruna memberanikan diri datang ke kantor Glen. Ia membawa makan siang buatan sendiri—nasi kotak dengan lauk favorit Glen yang ia pelajari dari Ibu Glen dulu. Ayam panggang bumbu madu, tumis sayur sederhana, dan seporsi kecil puding mangga kesukaan Glen. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aruna berdiri di depan gedung kantor Armand Corporation. Tinggi dan menjulang, gedung itu tampak dingin dan tak bersahabat—tak jauh berbeda dengan sosok pemiliknya. Tapi ia sudah bulatkan tekad. Mungkin, jika Glen tahu bahwa ia peduli, semuanya akan perlahan berubah. Ia masuk dengan ragu, menyapa resepsionis dengan senyum sopan. “Saya Aruna... Aruna Armand. Istri Pak Glen,” ucapnya pelan. Resepsionis itu terdiam sejenak, lalu memanggil asisten pribadi Glen. Tak lama, seorang wanita muda berpakaian rapi datang menghampiri. Sikapnya profesional, namun jelas terlihat sedikit terkejut melihat Aruna berdiri di sana dengan kotak makan di tangan. “Maaf, Nona Aruna. Tuan Glen sedang ada rapat penting...” “Aku bisa menunggu,” potong Aruna dengan suara lembut namun tegas. Asisten itu ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. “Silakan duduk di ruang tunggu lantai atas. Jika rapat selesai, saya akan beri tahu.” Aruna menaiki lift menuju lantai 25, jantungnya berdegup tak menentu. Ia duduk di sofa empuk ruang tunggu, memeluk kotak makan siang seperti memeluk harapan yang rapuh. Ia menunggu. Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga akhirnya, suara langkah kaki terdengar dari koridor. Glen muncul dengan setelan jas abu tua yang rapi, wajahnya tegang dan jelas kelelahan. Tapi langkahnya terhenti seketika saat melihat Aruna berdiri menyambutnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada dingin. Aruna tersenyum kecil, mencoba tampak kuat. “Aku bawakan makan siang. Aku pikir... kamu mungkin lupa makan.” Glen menatap kotak makan itu, lalu menatap mata Aruna sejenak—mata yang bening dan jujur, yang membuatnya semakin marah, entah kenapa. “Apa kau pikir dengan ini aku akan pulang? Akan menyayangimu?” suaranya rendah tapi tajam, menusuk seperti sembilu. Aruna terdiam, senyumnya memudar perlahan. “Tidak. Aku tidak mengharapkan apa pun, Glen. Aku hanya... ingin berterima kasih. Karena telah tetap menikahiku, walau kau membencinya.” Glen meraih kotak makan itu dari tangan Aruna, lalu meletakkannya di meja sebelah tanpa melihat isinya. “Terima kasihmu tidak dibutuhkan. Dan mulai sekarang, jangan datang ke kantor ini tanpa izin. Ini tempat kerja, bukan tempat untuk drama rumah tangga.” Ucapannya seperti tamparan di wajah Aruna. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya mengangguk pelan. “Maaf… aku hanya ingin tahu kabarmu.” Glen sudah membalikkan badan. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Aruna bersuara lagi—pelan, nyaris seperti bisikan. “Kau tak harus mencintaiku, Glen. Tapi setidaknya jangan membenci keberadaanku.” Langkah Glen terhenti sesaat. Namun ia tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja, meninggalkan Aruna sendirian di ruang tunggu yang kembali sunyi. Aruna menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu kaca. Di meja, kotak makan yang ia buat dengan penuh harapan dibiarkan terbuka—namun tak disentuh. Hanya aroma ayam panggang yang tersisa, menggantung di udara seperti harapan yang tak pernah benar-benar sampai. Aruna berdiri di depan jendela kaca besar di ruang kerja Glen. Dari situ, menara Eiffel tampak anggun berdiri. Ironis. Di bawah gemerlap kota romantis ini, ia justru ingin mengakhiri segalanya. “Glen…” bisiknya pelan. Pria itu kini berdiri membelakanginya, dadanya masih naik turun karena emosi. “Kalau aku mati, apa kau akan lega?” Tak ada jawaban. Aruna tersenyum miris. Ia membuka kunci pengaman jendela, mendorongnya pelan. “Kau menang, Glen. Aku menyerah.” Dan dalam sekejap, tubuhnya melayang ke luar jendela, jatuh dari ketinggian 30 lantai. Glen menoleh. Matanya membelalak. Suara kaca yang terbuka, hembusan angin yang berbeda, dan… suara senyap yang tak bisa dijelaskan. “Aruna!!!” Namun semuanya sudah terlambat. Tubuh Aruna menghilang dari pandangan. Glen berlari ke jendela, terengah, menatap ke bawah. Darahnya membeku. Untuk pertama kalinya, Glen tak tahu harus berbuat apa.Pagi itu, langit Paris tampak redup. Awan menggantung di langit seperti kenangan yang belum selesai diurai. Di jendela apartemen kecil mereka yang menghadap ke arah Montmartre, Aruna menyeduh teh hangat sambil memandang keluar. Glen masih tertidur di sofa, selimut setengah tersampir di tubuhnya, rambut berantakan, wajah tenang—seseorang yang akhirnya bisa tidur tanpa dihantui mimpi buruk dari masa lalu.Aruna menyesap tehnya pelan, lalu melangkah pelan ke dapur, mengambil jurnal kecil yang ia simpan di laci dekat kompor. Di halaman pertama, ia menuliskan satu kalimat: "Suatu hari nanti, jika hujan turun lagi, aku harap aku masih bisa menggenggam tangannya."Ia tidak tahu mengapa hari itu terasa berbeda. Mungkin karena mimpinya semalam—tentang dirinya yang kembali berdiri sendiri di bawah hujan, menunggu seseorang yang tak pernah datang. Tapi ketika ia membuka mata dan melihat Glen di sofa, mimpi itu terasa jauh. Tidak menghilang, tapi tak lagi menakutkan.Tak lama kemudian, Glen terba
Malam itu, Paris tidak hanya menjadi kota dengan sejuta cahaya, tapi juga rumah bagi dua hati yang perlahan-lahan mulai belajar mempercayai kembali.Glen dan Aruna berjalan menyusuri jalanan berbatu menuju taman kecil di tepi Sungai Seine. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma bunga yang mulai mekar di awal musim semi. Langkah mereka tenang, tidak terburu-buru. Seolah waktu ikut melambat untuk memberi ruang bagi percakapan yang belum sempat mereka ucapkan selama ini.Aruna mengenakan mantel krem panjang dan syal biru muda. Glen menyodorkan tangannya, dan tanpa ragu, Aruna menggenggamnya. Keduanya tersenyum.Taman itu sepi. Lampu-lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan di permukaan air sungai. Di bangku favoritnya, yang menghadap ke arah Notre-Dame dari kejauhan, Aruna duduk. Glen duduk di sampingnya, menyandarkan tubuhnya sedikit pada kursi kayu tua itu.“Dulu, saat duduk di sini sendiri, aku sering membayangkan hidup seperti apa yang akan kupunya nanti,” kata Aruna pelan.
Udara sore di tepi danau Annecy begitu tenang. Matahari tergelincir perlahan, menyebarkan semburat jingga yang lembut di permukaan air. Angin menerpa rambut Aruna dengan lembut, sementara Glen menggenggam tangannya erat. Mereka duduk di atas dermaga kayu, membiarkan kaki mereka menggantung di atas air.Aruna mengenakan sweater abu-abu yang dibelikan Glen kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya sejak kejadian di apartemen, Aruna tertawa. Glen mengingat suara itu dengan sangat baik—suara yang dulu nyaris tidak pernah ia pedulikan."Aku tidak tahu kamu bisa masak sepandai itu," ujar Aruna, tertawa kecil setelah mencicipi kue coklat buatan Glen. "Rasanya... nggak buruk."Glen tertawa kecil. "Aku belajar dari chef pribadi perusahaan. Demi kamu."Aruna menoleh, matanya berbinar. "Kamu belajar masak... untukku?"Glen mengangguk pelan, lalu menatap danau di depannya. "Aku ingin memperbaiki semuanya, Aruna. Apa pun
Musim semi mulai menyapa Paris dengan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang tadinya gersang kini perlahan menghijau. Udara terasa lebih hangat, seperti pelukan lembut dari langit yang dulu kelabu.Aruna berjalan perlahan menyusuri lorong rumah sakit, dengan selang infus yang masih menempel di tangan dan sandal rumah sakit yang menimbulkan bunyi gesekan pelan. Tapi hari ini berbeda. Hari ini ia merasa hidup.Di ruang tunggu, Glen sudah menunggu. Ia mengenakan setelan kasual—jaket kulit hitam dan jeans abu gelap, sesuatu yang tak pernah Aruna bayangkan sebelumnya. Di tangannya, seikat bunga matahari segar dan sebuah buku puisi klasik berbahasa Prancis.“Kamu datang lebih awal,” sapa Aruna lembut.Glen berdiri dan tersenyum kecil. “Aku tidak mau ketinggalan sesi baca puisi kita.”Mereka kini memiliki kebiasaan baru. Setiap sore, Glen akan membacakan puisi—kadang dari penyair favorit Aruna, kadang dari tulisan tangan Aruna sendiri. Di sanalah cinta mulai tumbuh
Hari-hari di rumah sakit berubah menjadi rutinitas yang tak pernah Glen bayangkan sebelumnya. Ia—CEO muda yang biasanya hanya peduli pada laporan bisnis dan rapat penting—kini terbiasa datang pagi-pagi ke ruang rawat Aruna, menggantikan selimutnya, menyuapi sarapan, bahkan mengajak Aruna berbicara meski sering kali tidak mendapat balasan. Aruna masih banyak diam. Luka di tubuhnya mulai membaik, tapi luka di dalam hatinya tidak semudah itu disembuhkan. Suatu pagi, Glen datang membawa setangkai bunga matahari. “Kata perawat, kau suka bunga ini,” katanya sambil meletakkannya di vas kecil di sisi tempat tidur. “Katanya, bunga matahari selalu menghadap ke cahaya. Aku harap... kau pun akan kembali mencari cahaya, meskipun aku pernah jadi gelapnya.” Aruna melirik bunga itu, lalu berkata pelan, “Aku suka bunga matahari... karena dia setia pada arah yang sama. Bahkan saat mendung pun, dia tetap menghadap ke matahari, meski tak bisa melihatnya.” Glen terdiam. Ucapan Aruna seperti teguran ha
Suara mesin monitor detak jantung terus berdetak dengan irama tenang. Suara itu menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih menggantung di tubuh Aruna. Glen masih duduk di kursi yang sama, tubuhnya sedikit condong ke depan, tangan kanan menggenggam jemari Aruna. Ia belum bergeser sedikit pun sejak semalam. Tatapannya terpaku pada wajah istrinya, seakan menanti keajaiban turun tepat di hadapannya. Pagi baru menyusup masuk melalui tirai putih, menyinari ruang ICU yang dingin dan steril. Dokter masuk beberapa saat kemudian, memeriksa kondisi Aruna dengan teliti. Glen berdiri dan memperhatikan setiap gerak-gerik sang dokter dengan cemas. “Bagaimana, Dok?” tanyanya, suaranya serak karena semalaman tak tidur. Dokter menatap Glen, lalu tersenyum kecil. “Ini bukan diagnosis final, tapi… sepertinya tubuhnya mulai merespons. Tadi malam, tekanan darahnya naik stabil, dan ada gerakan ringan pada kelopak matanya. Kita pantau terus hari ini. Bisa jadi... ia akan sadar dalam beberapa hari