Home / Romansa / Sebelum Aku Pergi / Bab 2 – Makan Siang yang Tak Pernah Dinanti

Share

Bab 2 – Makan Siang yang Tak Pernah Dinanti

Author: Mystorys_29
last update Huling Na-update: 2025-05-28 16:47:51

Sudah dua minggu sejak pernikahan mereka, namun Glen belum pernah sekalipun pulang ke apartemen yang mereka tempati. Aruna lebih sering duduk sendiri, membaca buku, menulis puisi, atau sekadar menatap langit dari balkon lantai 30. Hari-hari berlalu dengan hening yang menggigit, hanya suara detik jam dinding dan deru angin yang menjadi teman setianya.

Hari ini, Aruna memberanikan diri datang ke kantor Glen. Ia membawa makan siang buatan sendiri—nasi kotak dengan lauk favorit Glen yang ia pelajari dari Ibu Glen dulu. Ayam panggang bumbu madu, tumis sayur sederhana, dan seporsi kecil puding mangga kesukaan Glen.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aruna berdiri di depan gedung kantor Armand Corporation. Tinggi dan menjulang, gedung itu tampak dingin dan tak bersahabat—tak jauh berbeda dengan sosok pemiliknya. Tapi ia sudah bulatkan tekad. Mungkin, jika Glen tahu bahwa ia peduli, semuanya akan perlahan berubah.

Ia masuk dengan ragu, menyapa resepsionis dengan senyum sopan.

“Saya Aruna... Aruna Armand. Istri Pak Glen,” ucapnya pelan.

Resepsionis itu terdiam sejenak, lalu memanggil asisten pribadi Glen.

Tak lama, seorang wanita muda berpakaian rapi datang menghampiri. Sikapnya profesional, namun jelas terlihat sedikit terkejut melihat Aruna berdiri di sana dengan kotak makan di tangan.

“Maaf, Nona Aruna. Tuan Glen sedang ada rapat penting...”

“Aku bisa menunggu,” potong Aruna dengan suara lembut namun tegas.

Asisten itu ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. “Silakan duduk di ruang tunggu lantai atas. Jika rapat selesai, saya akan beri tahu.”

Aruna menaiki lift menuju lantai 25, jantungnya berdegup tak menentu. Ia duduk di sofa empuk ruang tunggu, memeluk kotak makan siang seperti memeluk harapan yang rapuh. Ia menunggu. Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam.

Hingga akhirnya, suara langkah kaki terdengar dari koridor.

Glen muncul dengan setelan jas abu tua yang rapi, wajahnya tegang dan jelas kelelahan. Tapi langkahnya terhenti seketika saat melihat Aruna berdiri menyambutnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada dingin.

Aruna tersenyum kecil, mencoba tampak kuat. “Aku bawakan makan siang. Aku pikir... kamu mungkin lupa makan.”

Glen menatap kotak makan itu, lalu menatap mata Aruna sejenak—mata yang bening dan jujur, yang membuatnya semakin marah, entah kenapa.

“Apa kau pikir dengan ini aku akan pulang? Akan menyayangimu?” suaranya rendah tapi tajam, menusuk seperti sembilu.

Aruna terdiam, senyumnya memudar perlahan. “Tidak. Aku tidak mengharapkan apa pun, Glen. Aku hanya... ingin berterima kasih. Karena telah tetap menikahiku, walau kau membencinya.”

Glen meraih kotak makan itu dari tangan Aruna, lalu meletakkannya di meja sebelah tanpa melihat isinya.

“Terima kasihmu tidak dibutuhkan. Dan mulai sekarang, jangan datang ke kantor ini tanpa izin. Ini tempat kerja, bukan tempat untuk drama rumah tangga.”

Ucapannya seperti tamparan di wajah Aruna. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya mengangguk pelan.

“Maaf… aku hanya ingin tahu kabarmu.”

Glen sudah membalikkan badan. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Aruna bersuara lagi—pelan, nyaris seperti bisikan.

“Kau tak harus mencintaiku, Glen. Tapi setidaknya jangan membenci keberadaanku.”

Langkah Glen terhenti sesaat. Namun ia tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja, meninggalkan Aruna sendirian di ruang tunggu yang kembali sunyi.

Aruna menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu kaca. Di meja, kotak makan yang ia buat dengan penuh harapan dibiarkan terbuka—namun tak disentuh. Hanya aroma ayam panggang yang tersisa, menggantung di udara seperti harapan yang tak pernah benar-benar sampai.

Aruna berdiri di depan jendela kaca besar di ruang kerja Glen. Dari situ, menara Eiffel tampak anggun berdiri. Ironis. Di bawah gemerlap kota romantis ini, ia justru ingin mengakhiri segalanya.

“Glen…” bisiknya pelan.

Pria itu kini berdiri membelakanginya, dadanya masih naik turun karena emosi.

“Kalau aku mati, apa kau akan lega?”

Tak ada jawaban.

Aruna tersenyum miris. Ia membuka kunci pengaman jendela, mendorongnya pelan.

“Kau menang, Glen. Aku menyerah.”

Dan dalam sekejap, tubuhnya melayang ke luar jendela, jatuh dari ketinggian 30 lantai.

Glen menoleh.

Matanya membelalak.

Suara kaca yang terbuka, hembusan angin yang berbeda, dan… suara senyap yang tak bisa dijelaskan.

“Aruna!!!”

Namun semuanya sudah terlambat.

Tubuh Aruna menghilang dari pandangan. Glen berlari ke jendela, terengah, menatap ke bawah.

Darahnya membeku. Untuk pertama kalinya, Glen tak tahu harus berbuat apa.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 19 – Pelukan yang Menenangkan

    Matahari pagi menyapa jendela kamar mereka dengan cahaya hangat. Suara burung di kejauhan dan gemerisik angin dari sela-sela daun membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun di dalam kamar sederhana yang kini berubah menjadi ruang penuh cinta dan tanggung jawab baru, Aruna duduk di pinggir tempat tidur dengan mata sembab dan tubuh yang terlihat kelelahan.Bayinya, yang baru saja tertidur setelah tangis panjang semalaman, meringkuk dalam selimut kecil di boks kayu di samping ranjang. Glen baru saja datang dari dapur dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar yang sudah mulai dingin.“Sayang... kamu udah makan belum?” Glen mendekat dengan hati-hati.Aruna hanya menggeleng pelan. Air matanya tak sengaja menetes lagi. “Aku... aku takut aku nggak cukup baik buat dia.”Glen meletakkan cangkir itu di meja kecil, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Ia mengangkat wajah Aruna dengan lembut, menatap mata kelelahan itu dengan penuh cinta. “Aruna, kamu ibu yang hebat. Aku tahu ini nggak

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 18: Rumah Kita yang Baru

    Pagi itu matahari bersinar lembut, seolah ikut menyambut dua jiwa yang kini pulang dengan satu jiwa baru di pelukan mereka. Mobil hitam milik Glen berhenti perlahan di depan rumah. Glen turun terlebih dahulu, membuka pintu mobil untuk Aruna, yang duduk dengan hati-hati sambil memangku bayi kecil mereka yang tertidur pulas di dalam gendongan.“Pelan-pelan,” bisik Glen lembut, tangannya sigap menahan lengan Aruna.“Glen, aku bukan orang sakit. Aku baik-baik saja,” ucap Aruna sambil tersenyum, tapi tetap menggenggam erat lengannya. Di balik tawanya, tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang begitu melelahkan.Glen tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mencium puncak kepala Aruna sebelum meraih tas bayi dan pintu rumah. Ketika pintu terbuka, rumah itu terasa berbeda. Ada aroma manis dari bunga lily di meja, suara lembut musik instrumental yang sudah diputar Glen sejak semalam, dan kehangatan yang sulit dijelaskan—sebuah energi baru, energi kehidupan.“Selamat datang di rumahmu,

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 17 – Menjelang Detik Pertama

    Trimester ketiga datang seperti badai yang lembut—perlahan, tapi kuat. Perut Aruna kini sudah bulat sempurna, membuat setiap gerakan menjadi lambat dan hati-hati. Ia mulai sulit tidur, sering terbangun hanya karena gerakan kecil si bayi atau karena mimpi yang datang silih berganti. Sementara Glen mulai terbiasa tidur sambil memeluk bantal cadangan… karena Aruna kini tidur dengan lima bantal di sekeliling tubuhnya.Malam-malam mereka berubah. Dari sebelumnya diisi tawa dan percakapan santai, kini lebih sering sunyi namun hangat. Glen membaca buku tentang persiapan melahirkan, sementara Aruna mulai menulis surat-surat kecil untuk sang anak—yang akan ia simpan dalam kotak kenangan.Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar, Aruna menyerahkan sebuah surat pada Glen.“Apa ini?” tanyanya.“Buka nanti… kalau aku sedang di ruang bersalin, dan kamu merasa takut. Itu surat untukmu.”Glen menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu aku juga menulis surat untukmu, kan? Untuk hari it

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 16 – Jejak Masa Lalu di Trimester Kedua

    Musim semi berganti menjadi awal musim panas. Langit Paris semakin cerah, dan di dalam rumah kecil mereka, Aruna mulai menjalani hari-hari dengan perut yang perlahan membesar. Trimester kedua tiba dengan banyak perubahan: bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia kini lebih sensitif, lebih mudah tersentuh oleh hal-hal kecil, dan kadang tanpa sebab, menangis begitu saja di pagi hari.Glen mulai memahami ritme baru itu. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan, mengecek daftar makanan sehat, dan selalu membawa camilan di saku jasnya—“jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba ingin makan sesuatu yang nggak ada di rumah,” katanya suatu hari sambil menyodorkan potongan buah mangga.Aruna tertawa sambil memeluknya. “Kamu belajar dari mana semua ini?”“Dari YouTube dan… cinta.”Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai muncul dalam hati Aruna. Mimpi-mimpi buruk datang di malam hari—tentang ibunya yang memanggil-manggil dari kejauhan, tentang rumah kecil di Jakarta yang hancur o

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 15 – Detak Baru di Antara Kita

    Hari itu hujan turun dengan malu-malu di Paris. Tetesan kecil menghiasi jendela apartemen Glen dan Aruna, menciptakan pola-pola acak yang menenangkan. Di dalam, wangi roti panggang dan teh melati mengisi ruangan, berpadu dengan suara gemericik hujan yang jatuh di balkon. Aruna duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, matanya tidak benar-benar membaca. Ia hanya menatap halaman itu kosong, pikirannya melayang. Sejak seminggu terakhir, tubuhnya terasa lebih mudah lelah. Pagi hari diisi dengan mual yang tak biasa. Awalnya ia pikir hanya karena kelelahan atau cuaca yang tak menentu. Tapi setelah lima hari berturut-turut terlambat datang bulan, rasa curiga mulai muncul. Dan pagi tadi, diam-diam, ia membeli test pack. Saat dua garis samar muncul, dunia di sekitarnya seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Sore itu, Glen pulang lebih awal. Rambutnya sedikit basah karena lupa membawa payung, namun wajahnya berseri. “Aku bawa roti kayu mani

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 14 – Rumah Kecil di Tengah Kota

    Musim semi mulai menyelimuti Paris dengan kelembutan yang tak biasa. Udara hangat membawa aroma bunga magnolia dari taman-taman kota yang perlahan mekar. Di salah satu sudut kota, di arrondissement ke-6 yang tenang namun tetap hidup, sebuah apartemen mungil dengan balkon kecil kini menjadi saksi bisu dari awal yang baru.Aruna menatap ruangan itu dengan mata berbinar—lantai kayu yang belum dipel, jendela yang terbuka lebar membiarkan sinar matahari masuk, dan Glen yang sibuk memasang rak buku di sudut ruang tamu. Buku-buku berserakan, tanaman dalam pot kecil berjejer belum tertata, tapi justru kekacauan kecil itu yang membuatnya merasa: ini rumah.“Glen, kamu yakin lemari itu bisa dipasang sendiri?” tanya Aruna sambil tertawa melihat ekspresi Glen yang setengah frustasi dengan obeng di tangan.“Aku CEO perusahaan startup sebelum ini, tentu saja aku…” krak!Rak itu hampir roboh. Aruna menutup mulutnya, tertawa keras. Glen menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa sambil menjatuhkan diri ke

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status