Beranda / Romansa / Sebelum Aku Pergi / Bab 3 – Ketika Segalanya Terlambat

Share

Bab 3 – Ketika Segalanya Terlambat

Penulis: Mystorys_29
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 16:53:03

Sirene ambulans meraung memecah keheningan kota Paris, menggema di antara gedung-gedung tinggi yang menyimpan sejuta rahasia dan luka. Di depan gedung Armand Corporation, kerumunan orang mulai berkumpul, sebagian menutup mulut, sebagian lagi memotret dengan ponsel—tapi tak ada yang benar-benar memahami apa yang baru saja terjadi.

Glen berlari menuruni tangga darurat. Setiap anak tangga terasa seperti menyayat jantungnya. Nafasnya tersengal, peluh bercucuran, pikirannya kacau.

Aruna…

Begitu tiba di lobi, dia melihatnya.

Tubuh Aruna tergeletak di atas tandu darurat, dikelilingi petugas medis. Darah membasahi gaun putih polos yang tadi pagi mungkin ia pilih dengan harapan kecil bisa menyenangkan Glen. Wajahnya pucat, napasnya nyaris tak terdengar.

“Dia masih hidup! Jantungnya lemah, tapi masih berdetak!” teriak salah satu paramedis.

Glen terpaku. Untuk sesaat, dunia seolah membeku.

“Aruna...” bisiknya lirih, sebelum akhirnya tubuhnya gemetar dan ia terjatuh berlutut di trotoar yang dingin.

Petugas mendorong tandu ke dalam ambulans, dan sebelum pintu ditutup, Glen terbangun dari keterkejutannya.

“Aku ikut!” serunya. Tak peduli pada tatapan bingung para staf dan orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, Glen naik ke dalam ambulans, duduk di samping tubuh Aruna yang lemah dan berselimut selang infus.

Ia menggenggam tangan Aruna—untuk pertama kalinya. Dingin. Kaku. Tapi masih hidup.

“Kenapa kamu lakukan ini?” gumam Glen, suara parau. “Kenapa kamu begitu bodoh, Aruna...?”

Tapi hatinya menolak menyalahkannya sepenuhnya.

Ia menatap wajah pucat Aruna yang terpejam. Luka kecil menghiasi pelipisnya. Darah mengering di sela rambutnya yang tersibak.

Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, Glen merasakan sesuatu yang asing: takut. Takut kehilangan. Takut Aruna benar-benar pergi, tanpa pernah memberinya kesempatan untuk memahami.

---

Rumah sakit penuh dengan hiruk-pikuk, tapi semuanya terdengar sayup di telinga Glen. Ia duduk di bangku tunggu dengan tangan berlumuran darah Aruna. Suster keluar dari ruang ICU.

“Tuan Armand?”

Glen berdiri seketika. “Bagaimana keadaannya?”

“Dia mengalami banyak luka dalam, dan pendarahan di bagian perut. Tulang rusuk kirinya patah. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah jantungnya... Detaknya sangat lemah. Dia kehilangan kesadaran cukup lama setelah jatuh.”

Glen menunduk. Rahangnya mengeras.

“Apakah dia akan... bertahan?”

Suster itu ragu sesaat. “Kami belum bisa menjanjikan apa pun. Semua tergantung pada kondisi 48 jam ke depan.”

Glen kembali terduduk. Di benaknya, suara terakhir Aruna terus terngiang:

"Kalau aku mati, apa kau akan lega?"

Seketika, perutnya terasa kosong. Semua kata-kata dingin yang pernah ia ucapkan kembali menghantamnya, satu per satu. Setiap tatapan tajam, setiap penolakan, setiap hinaan yang ia lempar tanpa pernah tahu bahwa gadis itu—yang kini sedang berjuang antara hidup dan mati—menyimpan luka lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Ia menatap jemarinya sendiri, lalu berbisik pelan pada dirinya, nyaris tanpa suara.

"Maafkan aku, Aruna. Jangan mati..."

Waktu terasa berjalan lambat di ruang tunggu rumah sakit. Glen duduk membisu, memandangi lantai putih mengilat yang dipenuhi bayangan langkah orang berlalu-lalang. Tangannya masih gemetar, seakan tubuhnya belum benar-benar sadar dari mimpi buruk yang baru saja terjadi.

Pikiran Glen melayang pada pagi tadi—bagaimana Aruna berdiri dengan wajah lembut membawa kotak makan. Senyumnya, caranya menyebut namanya dengan nada ragu tapi hangat. Semua itu kini menghantui Glen, menyusup ke dalam sudut hatinya yang selama ini ia tutup rapat.

Ia mengira Aruna hanya gadis penurut yang ambisius, memanfaatkan nama keluarga untuk kenyamanan. Tapi tidak… Tidak setelah apa yang terjadi hari ini.

"Kenapa kamu begitu bodoh... kenapa harus sejauh ini?" bisiknya pelan, menggenggam rambutnya frustrasi.

Pintu ruang ICU terbuka sedikit. Seorang dokter keluar sambil melepas sarung tangannya, ekspresinya serius.

“Tuan Armand,” panggilnya.

Glen berdiri. “Bagaimana keadaannya?”

“Untuk saat ini, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Tapi Aruna masih koma. Kami tak tahu kapan atau apakah dia akan sadar. Luka dalamnya cukup parah, dan... ada kemungkinan trauma psikologis yang berat. Jika dia selamat, proses pemulihannya tidak hanya fisik.”

Glen menelan ludah. Kata “koma” bergema seperti palu godam dalam kepalanya.

“Bisakah saya masuk dan melihatnya?” tanyanya.

Dokter mengangguk pelan. “Hanya sebentar.”

Dengan langkah berat, Glen masuk ke ruang ICU. Di sana, Aruna terbaring lemah. Selang infus menempel di pergelangan tangannya, alat bantu napas terpasang di hidungnya, dan monitor jantung berdetak lambat tapi stabil.

Ia menarik kursi dan duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat istrinya.

“Aruna... dengarkan aku. Aku salah. Sangat salah.” Suaranya bergetar, penuh penyesalan.

“Kalau kau bisa dengar ini... kembalilah. Setidaknya, beri aku kesempatan menebus semua luka yang kuberi padamu.”

Di luar ruangan, matahari Paris mulai tenggelam. Tapi bagi Glen, senja itu menandai sebuah permulaan—perjalanan panjang untuk menebus kesalahan dan, mungkin, belajar mencintai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 10 – Suatu Hari Nanti, Jika Hujan Turun

    Pagi itu, langit Paris tampak redup. Awan menggantung di langit seperti kenangan yang belum selesai diurai. Di jendela apartemen kecil mereka yang menghadap ke arah Montmartre, Aruna menyeduh teh hangat sambil memandang keluar. Glen masih tertidur di sofa, selimut setengah tersampir di tubuhnya, rambut berantakan, wajah tenang—seseorang yang akhirnya bisa tidur tanpa dihantui mimpi buruk dari masa lalu.Aruna menyesap tehnya pelan, lalu melangkah pelan ke dapur, mengambil jurnal kecil yang ia simpan di laci dekat kompor. Di halaman pertama, ia menuliskan satu kalimat: "Suatu hari nanti, jika hujan turun lagi, aku harap aku masih bisa menggenggam tangannya."Ia tidak tahu mengapa hari itu terasa berbeda. Mungkin karena mimpinya semalam—tentang dirinya yang kembali berdiri sendiri di bawah hujan, menunggu seseorang yang tak pernah datang. Tapi ketika ia membuka mata dan melihat Glen di sofa, mimpi itu terasa jauh. Tidak menghilang, tapi tak lagi menakutkan.Tak lama kemudian, Glen terba

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 9 — Di Bawah Lampu Kota

    Malam itu, Paris tidak hanya menjadi kota dengan sejuta cahaya, tapi juga rumah bagi dua hati yang perlahan-lahan mulai belajar mempercayai kembali.Glen dan Aruna berjalan menyusuri jalanan berbatu menuju taman kecil di tepi Sungai Seine. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma bunga yang mulai mekar di awal musim semi. Langkah mereka tenang, tidak terburu-buru. Seolah waktu ikut melambat untuk memberi ruang bagi percakapan yang belum sempat mereka ucapkan selama ini.Aruna mengenakan mantel krem panjang dan syal biru muda. Glen menyodorkan tangannya, dan tanpa ragu, Aruna menggenggamnya. Keduanya tersenyum.Taman itu sepi. Lampu-lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan di permukaan air sungai. Di bangku favoritnya, yang menghadap ke arah Notre-Dame dari kejauhan, Aruna duduk. Glen duduk di sampingnya, menyandarkan tubuhnya sedikit pada kursi kayu tua itu.“Dulu, saat duduk di sini sendiri, aku sering membayangkan hidup seperti apa yang akan kupunya nanti,” kata Aruna pelan.

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 8-Aku Ingin Hidup Untukmu

    Udara sore di tepi danau Annecy begitu tenang. Matahari tergelincir perlahan, menyebarkan semburat jingga yang lembut di permukaan air. Angin menerpa rambut Aruna dengan lembut, sementara Glen menggenggam tangannya erat. Mereka duduk di atas dermaga kayu, membiarkan kaki mereka menggantung di atas air.Aruna mengenakan sweater abu-abu yang dibelikan Glen kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya sejak kejadian di apartemen, Aruna tertawa. Glen mengingat suara itu dengan sangat baik—suara yang dulu nyaris tidak pernah ia pedulikan."Aku tidak tahu kamu bisa masak sepandai itu," ujar Aruna, tertawa kecil setelah mencicipi kue coklat buatan Glen. "Rasanya... nggak buruk."Glen tertawa kecil. "Aku belajar dari chef pribadi perusahaan. Demi kamu."Aruna menoleh, matanya berbinar. "Kamu belajar masak... untukku?"Glen mengangguk pelan, lalu menatap danau di depannya. "Aku ingin memperbaiki semuanya, Aruna. Apa pun

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 7-Ketika Hati Mulai Terbuka

    Musim semi mulai menyapa Paris dengan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang tadinya gersang kini perlahan menghijau. Udara terasa lebih hangat, seperti pelukan lembut dari langit yang dulu kelabu.Aruna berjalan perlahan menyusuri lorong rumah sakit, dengan selang infus yang masih menempel di tangan dan sandal rumah sakit yang menimbulkan bunyi gesekan pelan. Tapi hari ini berbeda. Hari ini ia merasa hidup.Di ruang tunggu, Glen sudah menunggu. Ia mengenakan setelan kasual—jaket kulit hitam dan jeans abu gelap, sesuatu yang tak pernah Aruna bayangkan sebelumnya. Di tangannya, seikat bunga matahari segar dan sebuah buku puisi klasik berbahasa Prancis.“Kamu datang lebih awal,” sapa Aruna lembut.Glen berdiri dan tersenyum kecil. “Aku tidak mau ketinggalan sesi baca puisi kita.”Mereka kini memiliki kebiasaan baru. Setiap sore, Glen akan membacakan puisi—kadang dari penyair favorit Aruna, kadang dari tulisan tangan Aruna sendiri. Di sanalah cinta mulai tumbuh

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 6 – Luka yang Harus Disembuhkan

    Hari-hari di rumah sakit berubah menjadi rutinitas yang tak pernah Glen bayangkan sebelumnya. Ia—CEO muda yang biasanya hanya peduli pada laporan bisnis dan rapat penting—kini terbiasa datang pagi-pagi ke ruang rawat Aruna, menggantikan selimutnya, menyuapi sarapan, bahkan mengajak Aruna berbicara meski sering kali tidak mendapat balasan. Aruna masih banyak diam. Luka di tubuhnya mulai membaik, tapi luka di dalam hatinya tidak semudah itu disembuhkan. Suatu pagi, Glen datang membawa setangkai bunga matahari. “Kata perawat, kau suka bunga ini,” katanya sambil meletakkannya di vas kecil di sisi tempat tidur. “Katanya, bunga matahari selalu menghadap ke cahaya. Aku harap... kau pun akan kembali mencari cahaya, meskipun aku pernah jadi gelapnya.” Aruna melirik bunga itu, lalu berkata pelan, “Aku suka bunga matahari... karena dia setia pada arah yang sama. Bahkan saat mendung pun, dia tetap menghadap ke matahari, meski tak bisa melihatnya.” Glen terdiam. Ucapan Aruna seperti teguran ha

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 5 – Tanda Kehidupan

    Suara mesin monitor detak jantung terus berdetak dengan irama tenang. Suara itu menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih menggantung di tubuh Aruna. Glen masih duduk di kursi yang sama, tubuhnya sedikit condong ke depan, tangan kanan menggenggam jemari Aruna. Ia belum bergeser sedikit pun sejak semalam. Tatapannya terpaku pada wajah istrinya, seakan menanti keajaiban turun tepat di hadapannya. Pagi baru menyusup masuk melalui tirai putih, menyinari ruang ICU yang dingin dan steril. Dokter masuk beberapa saat kemudian, memeriksa kondisi Aruna dengan teliti. Glen berdiri dan memperhatikan setiap gerak-gerik sang dokter dengan cemas. “Bagaimana, Dok?” tanyanya, suaranya serak karena semalaman tak tidur. Dokter menatap Glen, lalu tersenyum kecil. “Ini bukan diagnosis final, tapi… sepertinya tubuhnya mulai merespons. Tadi malam, tekanan darahnya naik stabil, dan ada gerakan ringan pada kelopak matanya. Kita pantau terus hari ini. Bisa jadi... ia akan sadar dalam beberapa hari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status