Sirene ambulans meraung memecah keheningan kota Paris, menggema di antara gedung-gedung tinggi yang menyimpan sejuta rahasia dan luka. Di depan gedung Armand Corporation, kerumunan orang mulai berkumpul, sebagian menutup mulut, sebagian lagi memotret dengan ponsel—tapi tak ada yang benar-benar memahami apa yang baru saja terjadi.
Glen berlari menuruni tangga darurat. Setiap anak tangga terasa seperti menyayat jantungnya. Nafasnya tersengal, peluh bercucuran, pikirannya kacau. Aruna… Begitu tiba di lobi, dia melihatnya. Tubuh Aruna tergeletak di atas tandu darurat, dikelilingi petugas medis. Darah membasahi gaun putih polos yang tadi pagi mungkin ia pilih dengan harapan kecil bisa menyenangkan Glen. Wajahnya pucat, napasnya nyaris tak terdengar. “Dia masih hidup! Jantungnya lemah, tapi masih berdetak!” teriak salah satu paramedis. Glen terpaku. Untuk sesaat, dunia seolah membeku. “Aruna...” bisiknya lirih, sebelum akhirnya tubuhnya gemetar dan ia terjatuh berlutut di trotoar yang dingin. Petugas mendorong tandu ke dalam ambulans, dan sebelum pintu ditutup, Glen terbangun dari keterkejutannya. “Aku ikut!” serunya. Tak peduli pada tatapan bingung para staf dan orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, Glen naik ke dalam ambulans, duduk di samping tubuh Aruna yang lemah dan berselimut selang infus. Ia menggenggam tangan Aruna—untuk pertama kalinya. Dingin. Kaku. Tapi masih hidup. “Kenapa kamu lakukan ini?” gumam Glen, suara parau. “Kenapa kamu begitu bodoh, Aruna...?” Tapi hatinya menolak menyalahkannya sepenuhnya. Ia menatap wajah pucat Aruna yang terpejam. Luka kecil menghiasi pelipisnya. Darah mengering di sela rambutnya yang tersibak. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, Glen merasakan sesuatu yang asing: takut. Takut kehilangan. Takut Aruna benar-benar pergi, tanpa pernah memberinya kesempatan untuk memahami. --- Rumah sakit penuh dengan hiruk-pikuk, tapi semuanya terdengar sayup di telinga Glen. Ia duduk di bangku tunggu dengan tangan berlumuran darah Aruna. Suster keluar dari ruang ICU. “Tuan Armand?” Glen berdiri seketika. “Bagaimana keadaannya?” “Dia mengalami banyak luka dalam, dan pendarahan di bagian perut. Tulang rusuk kirinya patah. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah jantungnya... Detaknya sangat lemah. Dia kehilangan kesadaran cukup lama setelah jatuh.” Glen menunduk. Rahangnya mengeras. “Apakah dia akan... bertahan?” Suster itu ragu sesaat. “Kami belum bisa menjanjikan apa pun. Semua tergantung pada kondisi 48 jam ke depan.” Glen kembali terduduk. Di benaknya, suara terakhir Aruna terus terngiang: "Kalau aku mati, apa kau akan lega?" Seketika, perutnya terasa kosong. Semua kata-kata dingin yang pernah ia ucapkan kembali menghantamnya, satu per satu. Setiap tatapan tajam, setiap penolakan, setiap hinaan yang ia lempar tanpa pernah tahu bahwa gadis itu—yang kini sedang berjuang antara hidup dan mati—menyimpan luka lebih besar dari yang bisa ia bayangkan. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu berbisik pelan pada dirinya, nyaris tanpa suara. "Maafkan aku, Aruna. Jangan mati..." Waktu terasa berjalan lambat di ruang tunggu rumah sakit. Glen duduk membisu, memandangi lantai putih mengilat yang dipenuhi bayangan langkah orang berlalu-lalang. Tangannya masih gemetar, seakan tubuhnya belum benar-benar sadar dari mimpi buruk yang baru saja terjadi. Pikiran Glen melayang pada pagi tadi—bagaimana Aruna berdiri dengan wajah lembut membawa kotak makan. Senyumnya, caranya menyebut namanya dengan nada ragu tapi hangat. Semua itu kini menghantui Glen, menyusup ke dalam sudut hatinya yang selama ini ia tutup rapat. Ia mengira Aruna hanya gadis penurut yang ambisius, memanfaatkan nama keluarga untuk kenyamanan. Tapi tidak… Tidak setelah apa yang terjadi hari ini. "Kenapa kamu begitu bodoh... kenapa harus sejauh ini?" bisiknya pelan, menggenggam rambutnya frustrasi. Pintu ruang ICU terbuka sedikit. Seorang dokter keluar sambil melepas sarung tangannya, ekspresinya serius. “Tuan Armand,” panggilnya. Glen berdiri. “Bagaimana keadaannya?” “Untuk saat ini, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Tapi Aruna masih koma. Kami tak tahu kapan atau apakah dia akan sadar. Luka dalamnya cukup parah, dan... ada kemungkinan trauma psikologis yang berat. Jika dia selamat, proses pemulihannya tidak hanya fisik.” Glen menelan ludah. Kata “koma” bergema seperti palu godam dalam kepalanya. “Bisakah saya masuk dan melihatnya?” tanyanya. Dokter mengangguk pelan. “Hanya sebentar.” Dengan langkah berat, Glen masuk ke ruang ICU. Di sana, Aruna terbaring lemah. Selang infus menempel di pergelangan tangannya, alat bantu napas terpasang di hidungnya, dan monitor jantung berdetak lambat tapi stabil. Ia menarik kursi dan duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat istrinya. “Aruna... dengarkan aku. Aku salah. Sangat salah.” Suaranya bergetar, penuh penyesalan. “Kalau kau bisa dengar ini... kembalilah. Setidaknya, beri aku kesempatan menebus semua luka yang kuberi padamu.” Di luar ruangan, matahari Paris mulai tenggelam. Tapi bagi Glen, senja itu menandai sebuah permulaan—perjalanan panjang untuk menebus kesalahan dan, mungkin, belajar mencintai.Hari itu, matahari menyinari ruang tamu rumah mereka dengan lembut. Tirai berwarna krem terbuka setengah, membiarkan cahaya hangat menari di dinding. Aruna duduk di sofa, menggendong Aira yang baru saja selesai menyusu. Wajah kecil itu tampak damai, matanya terpejam, bibir mungilnya masih basah, dan jemari mungilnya menggenggam erat jari Aruna.“Aira, kamu tahu nggak? Dunia mama dulu rasanya gelap sekali. Tapi sekarang, dengan senyummu… semuanya berubah jadi terang.” Aruna berbisik, suaranya bergetar lembut.Glen yang baru keluar dari dapur membawa secangkir teh hangat ikut duduk di sampingnya. Ia menatap bayi kecil itu dengan campuran rasa kagum dan takut. “Dia kelihatan rapuh sekali, Run. Kadang aku takut… kalau aku nggak cukup kuat untuk jadi ayah yang baik buatnya.”Aruna menoleh, tersenyum meski matanya lelah. “Kita belajar sama-sama, Glen. Aku juga masih sering merasa nggak bisa. Tapi lihat… Aira tetap tumbuh. Dia percaya sama kita.”Glen mengusap kepala Aruna, lalu menunduk men
Hari-hari setelah kepulangan dari rumah sakit berjalan bagai putaran roda yang tak pernah berhenti. Malam berganti pagi tanpa jeda, dan bagi Aruna, waktu seakan tak lagi linear. Semua terasa berputar di sekitar bayi kecil mereka—menangis, menyusu, tertidur, lalu kembali menangis lagi.Aruna duduk di kursi goyang di kamar bayi, rambutnya sedikit berantakan, matanya sembab karena kurang tidur. Namun di pangkuannya, bayi mungil itu tertidur pulas setelah perjuangan panjang menyusu. Nafas kecil yang teratur, dada yang naik turun begitu halus, membuat Aruna ingin menangis haru.“Tidurlah, sayang. Mama di sini … Papa juga di sini,” bisiknya lembut, mencium dahi mungil itu.Glen berdiri di ambang pintu, memperhatikan pemandangan itu dengan hati yang campur aduk. Ia sudah terbiasa menghadapi rapat besar, memimpin ratusan karyawan, membuat keputusan yang menentukan nasib banyak orang. Tapi di hadapannya kini, ada satu makhluk kecil yang seluruh kehidupannya bergantung pada mereka. Dan untuk pe
Matahari pagi menyapa jendela kamar mereka dengan cahaya hangat. Suara burung di kejauhan dan gemerisik angin dari sela-sela daun membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun di dalam kamar sederhana yang kini berubah menjadi ruang penuh cinta dan tanggung jawab baru, Aruna duduk di pinggir tempat tidur dengan mata sembab dan tubuh yang terlihat kelelahan.Bayinya, yang baru saja tertidur setelah tangis panjang semalaman, meringkuk dalam selimut kecil di boks kayu di samping ranjang. Glen baru saja datang dari dapur dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar yang sudah mulai dingin.“Sayang... kamu udah makan belum?” Glen mendekat dengan hati-hati.Aruna hanya menggeleng pelan. Air matanya tak sengaja menetes lagi. “Aku... aku takut aku nggak cukup baik buat dia.”Glen meletakkan cangkir itu di meja kecil, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Ia mengangkat wajah Aruna dengan lembut, menatap mata kelelahan itu dengan penuh cinta. “Aruna, kamu ibu yang hebat. Aku tahu ini nggak
Pagi itu matahari bersinar lembut, seolah ikut menyambut dua jiwa yang kini pulang dengan satu jiwa baru di pelukan mereka. Mobil hitam milik Glen berhenti perlahan di depan rumah. Glen turun terlebih dahulu, membuka pintu mobil untuk Aruna, yang duduk dengan hati-hati sambil memangku bayi kecil mereka yang tertidur pulas di dalam gendongan.“Pelan-pelan,” bisik Glen lembut, tangannya sigap menahan lengan Aruna.“Glen, aku bukan orang sakit. Aku baik-baik saja,” ucap Aruna sambil tersenyum, tapi tetap menggenggam erat lengannya. Di balik tawanya, tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang begitu melelahkan.Glen tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mencium puncak kepala Aruna sebelum meraih tas bayi dan pintu rumah. Ketika pintu terbuka, rumah itu terasa berbeda. Ada aroma manis dari bunga lily di meja, suara lembut musik instrumental yang sudah diputar Glen sejak semalam, dan kehangatan yang sulit dijelaskan—sebuah energi baru, energi kehidupan.“Selamat datang di rumahmu,
Trimester ketiga datang seperti badai yang lembut—perlahan, tapi kuat. Perut Aruna kini sudah bulat sempurna, membuat setiap gerakan menjadi lambat dan hati-hati. Ia mulai sulit tidur, sering terbangun hanya karena gerakan kecil si bayi atau karena mimpi yang datang silih berganti. Sementara Glen mulai terbiasa tidur sambil memeluk bantal cadangan… karena Aruna kini tidur dengan lima bantal di sekeliling tubuhnya.Malam-malam mereka berubah. Dari sebelumnya diisi tawa dan percakapan santai, kini lebih sering sunyi namun hangat. Glen membaca buku tentang persiapan melahirkan, sementara Aruna mulai menulis surat-surat kecil untuk sang anak—yang akan ia simpan dalam kotak kenangan.Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar, Aruna menyerahkan sebuah surat pada Glen.“Apa ini?” tanyanya.“Buka nanti… kalau aku sedang di ruang bersalin, dan kamu merasa takut. Itu surat untukmu.”Glen menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu aku juga menulis surat untukmu, kan? Untuk hari it
Musim semi berganti menjadi awal musim panas. Langit Paris semakin cerah, dan di dalam rumah kecil mereka, Aruna mulai menjalani hari-hari dengan perut yang perlahan membesar. Trimester kedua tiba dengan banyak perubahan: bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia kini lebih sensitif, lebih mudah tersentuh oleh hal-hal kecil, dan kadang tanpa sebab, menangis begitu saja di pagi hari.Glen mulai memahami ritme baru itu. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan, mengecek daftar makanan sehat, dan selalu membawa camilan di saku jasnya—“jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba ingin makan sesuatu yang nggak ada di rumah,” katanya suatu hari sambil menyodorkan potongan buah mangga.Aruna tertawa sambil memeluknya. “Kamu belajar dari mana semua ini?”“Dari YouTube dan… cinta.”Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai muncul dalam hati Aruna. Mimpi-mimpi buruk datang di malam hari—tentang ibunya yang memanggil-manggil dari kejauhan, tentang rumah kecil di Jakarta yang hancur o