Pernikahan tanpa cinta, dendam tersembunyi, dan luka terdalam. Glen membenci Aruna karena wasiat sang kakek. Bagi Glen, Aruna adalah simbol paksaan. Tapi di balik senyum Aruna, tersembunyi luka yang tak pernah disuarakan. Ketika Aruna memilih mengakhiri hidupnya tepat di hadapan Glen, segalanya berubah—termasuk hatinya.
ดูเพิ่มเติมLangit Paris tampak cerah, menyajikan panorama sempurna yang seharusnya mengiringi momen bahagia. Namun bagi Glen Armand, hari itu adalah hari berkabung dalam diam. Hatinya kelam, sekelam jas hitam yang membalut tubuhnya. Di dalam aula megah hotel bintang lima yang penuh bunga mawar putih dan hiasan kristal menggantung di langit-langit, dua nama dipersatukan bukan oleh cinta, melainkan oleh wasiat yang tak bisa ditolak.
“Selamat, Glen. Kamu resmi jadi suami Aruna sekarang,” ucap sang notaris sambil menyerahkan dokumen warisan kepada Glen, yang kini sah menjadi pemegang penuh saham utama perusahaan keluarganya—dengan syarat satu-satunya: menikahi gadis yang dipilih kakeknya sebelum meninggal. Glen menatap dokumen itu dengan rahang mengeras, lalu mengalihkan pandangan ke gadis muda di sampingnya. Aruna, si gadis yang katanya hanya seorang siswi SMA biasa, tampak menunduk dalam balutan gaun putih sederhana. Tak ada riasan mencolok, hanya senyum tipis yang berusaha terlihat kuat. Tapi Glen tahu, senyum itu palsu—dan justru membuatnya semakin muak. “Kau puas sekarang?” bisik Glen dengan nada tajam, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali Aruna. Aruna mengangkat wajahnya perlahan. “Aku hanya menuruti keinginan Kakek.” “Kau pikir menikahiku akan membuatku mencintaimu?” lanjut Glen, suaranya penuh kebencian. Aruna tidak menjawab. Senyum getirnya menjadi jawaban yang menggantung di udara. Glen tidak ingin memikirkannya lebih lama. Ia segera menarik tangan Aruna dengan paksa, membawanya keluar dari keramaian dan menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Sesampainya di kamar, Glen membuka pintu dengan kasar, membanting koper ke sofa kulit di sudut ruangan. Aruna berdiri di ambang pintu, ragu untuk melangkah masuk. Ia tahu, ruang itu bukanlah tempat bulan madu yang manis seperti yang diimpikan banyak pengantin baru. Itu hanya tempat singgah dalam pernikahan yang tidak diinginkan. “Masuk. Jangan berdiri di sana seperti orang tak punya tempat tinggal,” sindir Glen tajam. Aruna menurut, melangkah perlahan ke dalam ruangan yang dingin dan mewah, namun terasa lebih seperti penjara. Ia berdiri di tengah, memandangi interior klasik Prancis yang berkilau, tapi pikirannya berkelindan pada wajah kakek yang kini hanya tinggal kenangan. Ia ingat betul pesan terakhir sang kakek di ranjang rumah sakit. "Aruna, kamu gadis kuat. Kakek ingin kamu menikah dengan Glen... demi perusahaan ini, demi masa depan keluargamu." Dan ia menurut. Karena sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk tidak mengecewakan keluarga. “Kau pikir senyum polosmu itu bisa membuatku lemah?” Glen kembali menyindir, kini menatapnya dengan sinis dari balik kaca jendela, tempat ia berdiri sambil menyalakan sebatang rokok. “Aku tidak pernah berharap kau mencintaiku,” jawab Aruna, mencoba bersikap tenang meski hatinya bergetar. Glen menoleh tajam. “Bagus. Jangan berharap apa-apa dariku. Karena yang akan kau dapatkan hanya kehampaan.” Ucapan itu seperti pisau yang menghujam dada Aruna. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengambang di pelupuk. Ia tak ingin terlihat lemah. Bukan di depan Glen. Bukan di awal malam pernikahan mereka. Dalam diam, Aruna melangkah ke sudut ruangan, mengambil koper kecil miliknya, dan membuka pintu kamar sebelah yang sudah dipesan terpisah untuknya. “Aku akan tidur di kamar ini,” ujarnya pelan. Glen tidak menjawab. Ia hanya menghembuskan asap rokok ke udara, membiarkannya mengabur bersama kebencian yang memenuhi ruang di antara mereka. Hari itu bukan awal dari kebahagiaan. Bukan juga kisah cinta yang manis. Itu adalah awal dari luka yang lebih dalam—luka yang akan tumbuh diam-diam di hati Aruna, dan kebencian yang perlahan akan menjerat Glen dalam jaring penyesalan. Dan keduanya tidak tahu, bahwa pernikahan ini, yang awalnya tak diinginkan, akan mengubah mereka selamanya. Sudah dua minggu sejak pernikahan mereka, namun Glen belum pernah sekalipun pulang ke apartemen yang mereka tempati. Aruna lebih sering duduk sendiri, membaca buku, menulis puisi, atau sekadar menatap langit dari balkon lantai 30. Hari ini Aruna memberanikan diri datang ke kantor Glen. Ia membawa makan siang buatan sendiri nasi kotak dengan lauk favorit Glen yang ia pelajari dari Ibu Glen dulu.Malam itu, Paris tidak hanya menjadi kota dengan sejuta cahaya, tapi juga rumah bagi dua hati yang perlahan-lahan mulai belajar mempercayai kembali.Glen dan Aruna berjalan menyusuri jalanan berbatu menuju taman kecil di tepi Sungai Seine. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma bunga yang mulai mekar di awal musim semi. Langkah mereka tenang, tidak terburu-buru. Seolah waktu ikut melambat untuk memberi ruang bagi percakapan yang belum sempat mereka ucapkan selama ini.Aruna mengenakan mantel krem panjang dan syal biru muda. Glen menyodorkan tangannya, dan tanpa ragu, Aruna menggenggamnya. Keduanya tersenyum.Taman itu sepi. Lampu-lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan di permukaan air sungai. Di bangku favoritnya, yang menghadap ke arah Notre-Dame dari kejauhan, Aruna duduk. Glen duduk di sampingnya, menyandarkan tubuhnya sedikit pada kursi kayu tua itu.“Dulu, saat duduk di sini sendiri, aku sering membayangkan hidup seperti apa yang akan kupunya nanti,” kata Aruna pelan.
Udara sore di tepi danau Annecy begitu tenang. Matahari tergelincir perlahan, menyebarkan semburat jingga yang lembut di permukaan air. Angin menerpa rambut Aruna dengan lembut, sementara Glen menggenggam tangannya erat. Mereka duduk di atas dermaga kayu, membiarkan kaki mereka menggantung di atas air.Aruna mengenakan sweater abu-abu yang dibelikan Glen kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya sejak kejadian di apartemen, Aruna tertawa. Glen mengingat suara itu dengan sangat baik—suara yang dulu nyaris tidak pernah ia pedulikan."Aku tidak tahu kamu bisa masak sepandai itu," ujar Aruna, tertawa kecil setelah mencicipi kue coklat buatan Glen. "Rasanya... nggak buruk."Glen tertawa kecil. "Aku belajar dari chef pribadi perusahaan. Demi kamu."Aruna menoleh, matanya berbinar. "Kamu belajar masak... untukku?"Glen mengangguk pelan, lalu menatap danau di depannya. "Aku ingin memperbaiki semuanya, Aruna. Apa pun
Musim semi mulai menyapa Paris dengan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang tadinya gersang kini perlahan menghijau. Udara terasa lebih hangat, seperti pelukan lembut dari langit yang dulu kelabu.Aruna berjalan perlahan menyusuri lorong rumah sakit, dengan selang infus yang masih menempel di tangan dan sandal rumah sakit yang menimbulkan bunyi gesekan pelan. Tapi hari ini berbeda. Hari ini ia merasa hidup.Di ruang tunggu, Glen sudah menunggu. Ia mengenakan setelan kasual—jaket kulit hitam dan jeans abu gelap, sesuatu yang tak pernah Aruna bayangkan sebelumnya. Di tangannya, seikat bunga matahari segar dan sebuah buku puisi klasik berbahasa Prancis.“Kamu datang lebih awal,” sapa Aruna lembut.Glen berdiri dan tersenyum kecil. “Aku tidak mau ketinggalan sesi baca puisi kita.”Mereka kini memiliki kebiasaan baru. Setiap sore, Glen akan membacakan puisi—kadang dari penyair favorit Aruna, kadang dari tulisan tangan Aruna sendiri. Di sanalah cinta mulai tumbuh
Hari-hari di rumah sakit berubah menjadi rutinitas yang tak pernah Glen bayangkan sebelumnya. Ia—CEO muda yang biasanya hanya peduli pada laporan bisnis dan rapat penting—kini terbiasa datang pagi-pagi ke ruang rawat Aruna, menggantikan selimutnya, menyuapi sarapan, bahkan mengajak Aruna berbicara meski sering kali tidak mendapat balasan. Aruna masih banyak diam. Luka di tubuhnya mulai membaik, tapi luka di dalam hatinya tidak semudah itu disembuhkan. Suatu pagi, Glen datang membawa setangkai bunga matahari. “Kata perawat, kau suka bunga ini,” katanya sambil meletakkannya di vas kecil di sisi tempat tidur. “Katanya, bunga matahari selalu menghadap ke cahaya. Aku harap... kau pun akan kembali mencari cahaya, meskipun aku pernah jadi gelapnya.” Aruna melirik bunga itu, lalu berkata pelan, “Aku suka bunga matahari... karena dia setia pada arah yang sama. Bahkan saat mendung pun, dia tetap menghadap ke matahari, meski tak bisa melihatnya.” Glen terdiam. Ucapan Aruna seperti teguran ha
Suara mesin monitor detak jantung terus berdetak dengan irama tenang. Suara itu menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih menggantung di tubuh Aruna. Glen masih duduk di kursi yang sama, tubuhnya sedikit condong ke depan, tangan kanan menggenggam jemari Aruna. Ia belum bergeser sedikit pun sejak semalam. Tatapannya terpaku pada wajah istrinya, seakan menanti keajaiban turun tepat di hadapannya. Pagi baru menyusup masuk melalui tirai putih, menyinari ruang ICU yang dingin dan steril. Dokter masuk beberapa saat kemudian, memeriksa kondisi Aruna dengan teliti. Glen berdiri dan memperhatikan setiap gerak-gerik sang dokter dengan cemas. “Bagaimana, Dok?” tanyanya, suaranya serak karena semalaman tak tidur. Dokter menatap Glen, lalu tersenyum kecil. “Ini bukan diagnosis final, tapi… sepertinya tubuhnya mulai merespons. Tadi malam, tekanan darahnya naik stabil, dan ada gerakan ringan pada kelopak matanya. Kita pantau terus hari ini. Bisa jadi... ia akan sadar dalam beberapa hari
Sudah tiga hari sejak Aruna koma. Selama itu pula Glen tidak pulang ke apartemen maupun kantornya. Ia memilih tinggal di ruang tunggu rumah sakit, tidur di kursi, makan seadanya, dan menolak semua panggilan dari kolega maupun asistennya.Yang ia butuhkan saat ini bukan rapat direksi atau laporan keuangan—melainkan kepastian bahwa Aruna akan membuka matanya.Setiap pagi, Glen akan masuk ke ruang ICU begitu diizinkan. Ia duduk di sisi ranjang, berbicara pelan seolah Aruna bisa mendengarnya. Awalnya, ia hanya menatap diam, tapi perlahan kata-kata itu mulai mengalir.“Aku benci diam kamu. Aku benci caramu tersenyum seperti tak terjadi apa-apa, bahkan saat aku memperlakukanmu buruk. Tapi yang paling aku benci... adalah kenyataan bahwa aku mulai takut kehilanganmu.”Ia menggenggam tangan Aruna yang terasa dingin.“Dulu, aku pikir kau hanya pion kakekku. Aku pikir kau ikut permainan ini demi harta. Tapi sekarang aku sadar, akulah yang bodoh.”Hening.Hanya suara detak mesin dan napas Aruna y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น