Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata."Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?""Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk penuh kasihan. "Pinggangku juga sakit."Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya."Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri."Aku gak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma gak sengaja dorong aku."Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu.Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—""Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam.Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggeleng. "Mengapa aku harus meminta maaf?""Sud
Di rumah sakit, Dewangga kembali memakai jasanya ketika Alena telah selesai melakukan pemeriksaan tahap awal."Kamu mau pergi?" tanya Alena yang berbaring di ranjang pasien."Saya sudah menghubungi orangtuamu. Sebentar lagi harusnya mereka tiba," ujar Dewangga sambil mengecek arlojinya. "Besok kamu harus menemui dokter ortopedi untuk memeriksakan tulang kaki dan pinggangmu—""Jadi, kamu gak mau nemenin aku di sini?" tanya Alena dengan wajah memelas."Kamu bukan lagi anak kecil, Alena." Dewangga mengecek ponselnya sebelum beranjak. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mia. Entah apa yang terjadi di rumah.Alena mengepalkan tangannya. Hatinya terasa pilu mendengar jawaban pria itu."Saya akan pulang sekarang," ujar pria itu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam, kemudian dia berjalan menuju pintu."Apa kamu mencintainya?" Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Dewangga mematung. Dewangga tahu siapa yang Alena maksud. Pria itu tak menoleh meski tangannya baru men
"Lihat, kan, Tuan? Mia udah ngaku," ujar bu Asih senang karena tak hanya dirinya yang terkena masalah.Mia terdiam sambil menelan ludahnya. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan karena Dewangga tak ingin siapapun melayani Maura."Beberapa hari ini Mia membantu nyonya Maura melakukan semuanya dari mulai memasak, sampai membereskan kamarnya, Tuan," adu bu Asih. "Mbok Narti juga tuh."Mbok Narti menghela napasnya. Dia sudah pasrah jika harus mendapatkan peringatan keras dan gajinya dipotong."Tuan, oma Ambar sering berpesan pada saya buat jagain dan bantuin nyonya Maura," kata Mia membela diri. "Karena itulah saya tetap membantu nyonya Maura walaupun udah Tuan larang."Dewangga terdiam beberapa saat kemudian dia berbicara dengan ekspresi datar, "Bagaimana dengan bu Asih? Apa Bu Asih juga membantu Maura secara diam-diam?""Saya? Oh, saya manut, Tuan. Saya gak pernah bantuin nyonya Maura apapun. Biar aja nyonya Maura yang ngerjain sendiri," jawab bu Asih senang. "Pokoknya, saya gak bakal m
Dewangga menatap Maura dengan wajah datar dan muram. Pangkal alisnya berkerut."Kenapa?" tanya pria itu."Gak kenapa-kenapa," jawab Maura sambil bersiap-siap beranjak. "Kalau nggak mau, ya berarti gak mau."Maura pergi menenteng kantong berisi paketnya menuju pintu pagar tanpa mau menoleh lagi. Namun beberapa menit kemudian Dewangga tiba di sisinya menggunakan mobil.Tanpa berkata-kata lagi, Dewangga segera turun dan mengambil alih kantong di tangan Maura dan meletakkannya di jok belakang mobil."Dewangga, kamu ngapain, sih?" protes Maura tak terima. "Balikin!""Naik!" Alih-alih mendengarkan Maura, pria itu memberinya perintah sambil duduk di belakang kemudi.Maura menatap Dewangga tak percaya. Semua ucapannya sama sekali tak digubris tapi pria itu ingin ucapannya dituruti?Rasa sesak kembali hadir di dada Maura kala dia mengingat setiap perlakuan buruk pria itu padanya. Matanya hampir berkaca-kaca.Namun pada akhirnya Maura mengalah. Wanita itu duduk di sebelah Dewangga dengan wajah d
Maura menggeleng. "Maksudku ... aku memang belum pernah punya pengalaman.""Lalu, siapa Lusi?" tanya Andreas mengulang."Temanku sejak SMA. Aku udah tanya mengenai lowongan pekerjaan ke dia, tapi Lusi bilang katanya di tempatnya bekerja masih belum ada pekerjaan yang cocok buat aku. Di sana juga yang dibutuhkan pegawai yang udah berpengalaman."Andreas mengangguk paham."Kalau begitu ... sebelum kamu dapat pekerjaan di tempat lain, barangkali kamu minat bekerja sama aku? Kebetulan aku masih kekurangan staff. Kurang dari seminggu lagi, aku mau mulai membuka restoran," kata Andreas sambil menatap Maura dengan serius."Yang benar, Mas?" Maura terlihat antusias. Matanya berbinar."Iya.""Mau, Mas. Berapapun gajinya, asal ada pekerjaan, aku mau."Andreas tertawa kecil. "Restoran yang akan aku buka ini belum bisa mempekerjakan banyak orang, Maura. Mungkin ... pekerjaan kamu merangkap jadi waitress sekaligus bagian kasir atau dapur. Atau ....""Gak masalah. Aku pengen kerja. Pengen ada kegiat
Dewangga menoleh ikut menatap Maura yang masih berdiri."Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk sekali sehingga membuat Maura sedikit tercengang."Wah, kamu memiliki istri yang cantik. Kenapa baru sekarang kamu bawa dia? Kenapa selalu disembunyikan?" gurau pria itu senang. "Takut pesaing bisnismu merebutnya?"Cantik? Apa tak salah? Itu pasti hanya gurauan pria tua itu. Maura tak pernah merasa bahwa dirinya cantik karena baginya Alena jauh lebih cantik dan menarik.Dewangga tersenyum lebar dan menanggapi gurauan itu dengan santai. Baru kali ini Maura melihat sisi lain pria itu yang sedikit humoris dan penuh ekspresi. Wajahnya tak datar seperti biasanya layaknya sebongkah kayu."Perkenalkan, namanya Maura," ujar Dewangga sambil berdiri dan memberi kode pada Maura untuk lebih mendekat.Maura berjalan maju ketika pria itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Saya Maura," ujar Maura sopan."Saya Jonathan, dan itu istri saya Sara," kata pria itu sambil menjabat tangan Maura sebenta
"Nggak apa-apa, Dewangga. Udah aku bilang sebelumnya, kan? Sesama saudara tak perlu ada kata maaf," ujar Alena sambil memaksakan senyumnya."Saya tak bisa berlama-lama di sini karena Maura masih menunggu," kata Dewangga sambil bangkit dari duduknya. "Istirahatlah beberapa hari lagi dan jangan memaksakan diri untuk bekerja."Alena mengangguk kecewa sambil memperhatikan Dewangga yang pergi meninggalkan dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak, yaitu amarahnya."Maura, aku bakal berusaha bikin kamu dan Dewangga bercerai secepat mungkin!"Di luar, Maura menunduk melamun menatap kerikil sambil bermain ayunan. Derit besi yang beradu membuat Dewangga yang baru keluar dapat menemukannya dengan mudah."Maura, ayo pulang," ujar pria itu sambil mendekat dan membuyarkan lamunan wanita itu.Maura mengangkat wajahnya. Dewangga benar-benar menemui Alena sebentar. Tapi mengapa?"Masih mau melamun?" tanya pria itu ketika Maura masih belum bergerak.Maura segera turun dari ayunan dan berdir
Maura tercekat. Senyumnya berubah kaku seketika."De-Dewangga, kamu ngapain di sini?" tanya Maura gugup atas ejekannya.'Tunggu. Kenapa aku harus gugup? Harusnya aku biasa aja,' ucap Maura dalam hati."Kenapa memangnya kalau saya di sini?" Dewangga balik bertanya."Hehe ... nggak apa-apa," jawab Maura sambil tersenyum."Kenapa kamu baru pulang?" tanya Dewangga sambil melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit."Tadi ada banyak barang yang harus diberesin," jawab Maura."Barang? Barang di mana? Kenapa kamu yang harus membereskan?""Kursi, meja, dan beberapa alat dapur. Aku ... mulai hari ini kerja di restorannya mas Andreas. Tapi restorannya belum resmi dibuka, sih," jawab Maura."Kerja?" Dewangga menatap Maura sedikit tak percaya. "Kamu bekerja?""Ya." Maura mengangguk.Dewangga tampak berpikir sejenak."Kamu mau pergi?" tanya Maura saat melihat tampilan pria itu yang casual dan rapi."Tadinya iya. Sekarang tidak jadi," jawab Dewangga sambil mas