Share

Bab 28. Jangan Mendekat

Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin.

"De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya.

"Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?"

Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya.

"Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu.

Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar.

"Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam.

"Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.

Maura menghela napasnya panjang, sedikit menetralisir dan menenangkan jantungnya yang berdetak gila.

"Aku nggak tahu," ujar wanita itu sambil beranjak pergi meninggalkan pria itu di dapur.

Wanita itu segera beranjak menaiki tangga menuju kamarnya—tak habis pikir.

"Aneh. Benar-benar aneh," ujarnya perlahan dan hampir terjatuh, terantuk di anak tangga gara-gara pergi terburu-buru di saat tubuhnya masih gemetaran.

Siang tadi, Dewangga seperti enggan bertemu dengannya di kantor ketika dia mengantarkan bekal makanan seolah-olah dia datang untuk mengganggu.

Saat di rumah, pria itu berwajah datar dan muram sebelum kembali ke kantornya. Dan sekarang, pria itu tersenyum setelah menciumnya?

Maura mengunci diri di kamarnya dan segera bersembunyi dalam selimut.

"Pasti besok pagi wajahnya datar lagi."

***

Maura meletakkan dagunya di meja bar restoran sambil menghela napasnya entah yang keberapa kali. Kejadian kemarin malam terus saja terbayang, padahal dia ingin melupakan dan menganggapnya tak pernah terjadi.

Bagaimana kalau nanti mereka bertemu? Apa akan menjadi canggung?

Pagi tadi Maura berangkat ke restoran lebih pagi dari biasanya karena tak ingin bertemu dengan Dewangga.

Ingat kejadian kemarin saja sudah membuat jantungnya ketar ketir tak karuan, apalagi kalau mereka bertemu? Maura rasanya belum siap.

Seharian dia sibuk pun, bayangan Dewangga yang menciumnya tetap saja terlintas, padahal dia ingin menjaga jarak dan menjaga hatinya agar tak memiliki perasaan lebih.

"Jangan jatuh cinta, Maura. Kamu harus ingat bahwa kalian akan berpisah," gumam Maura perlahan sambil mendongak menatap langit-langit restoran.

Suasana restoran mulai sepi kala itu. Maklum, jam tutup restoran sebentar lagi tiba. Beberapa pegawainya bahkan sudah mulai beres-beres karena pengunjungnya hanya ada empat orang di dua meja berbeda.

Tuk!

Andreas meletakkan segelas minuman dingin di depannya sehingga lamunan Maura buyar. Segelas minuman lain diletakkan di depannya.

"Kamu lagi mikirin apa?" tanya pria itu sambil duduk di sebelahnya. "Dari tadi menghela napas terus."

Maura menggeleng. "Cuma bosan," jawabnya bohong.

Andreas mengangguk, entah percaya entah tidak.

"Kemarin malam, Lusi menceritakan beberapa hal tentangmu," ujar pria itu sambil memainkan gelas miliknya yang terdapat sebongkah es besar sehingga menimbulkan suara gemeretak.

Maura segera menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut. "Dia cerita apa? Cerita yang aneh-aneh, ya?"

Andreas tertawa sambil menggeleng. "Bukan. Dia bilang kamu sedang amnesia saat ini," jawabnya sambil mengakhiri tawanya. "Dia juga bercerita sedikit tentang ... rumah tanggamu."

"Huh!" Maura mengerucutkan bibirnya sambil menghela napasnya keras. "Ngapain dia cerita yang macam-macam, sih?" ujarnya sambil meraih gelas yang diberikan Andreas dan meminum isinya.

"Dia mengkhawatirkanmu," kata Andreas sambil meletakkan gelasnya, lalu melipat tangannya di atas meja dan menatap Maura lekat. "Dia memintaku menjagamu saat kamu bekerja di sini."

Maura tertawa kecil. "Dia berlebihan. Mungkin karena dia tahu bahwa hanya dia teman yang kumiliki saat ini." Maura menghirup napas panjang. "Dia yang udah merawatku ketika aku kecelakaan di Perancis. Bahkan dia juga yang mengantarkanku pulang."

Andreas mengangguk. "Aku juga temanmu sekarang, Maura. Kamu boleh meminta bantuan padaku kapanpun. Aku sangat bisa diandalkan."

Maura tertawa kecil. "Terima kasih banyak, Mas."

Andreas mengangguk. "Aku memiliki apartemen yang tak kupakai. Kalau suatu saat kamu butuh, kamu bisa menggunakannya dengan gratis."

"Eh?" Maura terkejut. "Kayaknya Lusi cerita semuanya, ya." Wajah Maura kini tersenyum masam.

"Nggak juga. Dia nggak cerita bagaimana kamu dan Dewangga bisa menikah meski aku sangat penasaran. Dan mengapa pada akhirnya kalian malah memilih bercerai," jawab Andreas sambil menikmati minumannya dengan santai. "Mungkin kamu bisa ceritain sendiri?"

Senyuman Maura seketika pudar. Dia merasa malu pada dirinya sendiri ketika dia teringat alasannya bisa menikah dengan Dewangga.

"Ada apa, Maura? Kenapa dengan wajahmu?"

Maura menangkup kedua pipinya yang terasa sedikit panas. "Jangan bahas itu. Aku malu, sebenarnya."

Andreas tertawa lepas. "Malu? Apa kalian pertama kali bertemu dalam keadaan tak berpakaian seperti di novel-novel?"

"Ck, bukan," jawab Maura masih dengan wajah merah. "Sebenarnya aku nggak ingat kejadiannya bagaimana."

"Benar juga. Kamu kan lagi amnesia, ya?" Andreas mengangguk-angguk.

Maura mengangguk. "Aku nggak ingat bagaimana pertama kali kami bertemu. Tapi Dewangga bilang, kami bisa menikah karena ... aku pernah menjebaknya di hotel dan kami tidur bersama," kata Maura dengan suara amat perlahan. "Aku jahat dan menjijikkan, ya?"

Andreas menatap Maura lekat. Dia sedikit terkejut.

"Apa kamu yakin kejadian itu benar-benar terjadi?" tanya pria itu.

Maura mengedikkan bahunya. "Aku nggak tahu."

"Kamu lagi amnesia, Maura. Bisa saja kejadian sebenarnya tak begitu," kata Andreas ketika dia melihat raut wajah Maura sedih. "Kamu tahu hal mengerikan apa yang terjadi pada seseorang yang lupa ingatan sepertimu?"

Maura menggeleng.

"Orang yang lupa ingatan sepertimu bisa dengan mudah dibohongi. Kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang petualang hebat, mungkin kamu akan mempercayainya. Kalau ada yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang guru yang baik, kamu juga mungkin akan mempercayainya."

"Ya, mungkin aja aku akan percaya." Maura mengangguk.

"Bahkan kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa kamu pernah membunuh seseorang, aku rasa kamu juga akan percaya," kata Andreas membuat Maura merinding takut.

"Bisa jadi."

"Sekarang, apa benar kamu adalah Maura? Apa kamu pernah mempertanyakan identitasmu? Jangan-jangan kamu bukanlah Maura yang asli. Jangan-jangan kamu menggunakan identitas Maura atas arahan dari seseorang yang entah siapa, yang menginginkanmu menjadi Maura."

Maura tertawa geli. "Mas, pikiranmu udah terlalu jauh. Ini bukan cerita fiksi."

"Tapi, Maura, kemungkinan itu bisa saja terjadi, kan? Bagaimana kalau ternyata itu benar?" tanya Andreas dengan wajah serius. "Bagaimana kalau ternyata aku tahu siapa dirimu yang asli?"

Maura terdiam. Otaknya kini sibuk berpikir. "Kalau aku bukan Maura, lalu siapa aku?"

"Bidadari yang turun ke bumi."

Maura tertawa diikuti Andreas.

"Gombal. Mas Andreas pintar—"

Cratt!!

Maura tak melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba saja seseorang menyiramnya dengan air dingin. Dia refleks menutup mata dan menyeka air di wajahnya.

Dia terkejut, begitu juga dengan Andreas yang langsung berdiri dan melihat siapa pelakunya.

"Marina! Apa yang kamu lakukan?" tanya Andreas tak percaya.

Seorang wanita cantik dengan rambut ikal sebahu meletakkan gelas kosong di atas meja bar dengan kasar.

"Siapa wanita ini?" tunjuk orang yang dipanggil Marina dengan wajah marah sambil menunjuk Maura. "Kenapa kamu bisa tertawa bareng dia? Apa kamu menyukai wanita ini, hah?! Kamu nggak mau menghargai perasaanku?"

Andreas menghela napasnya berat menahan kesabaran. Pria itu meminta Marina pergi dari sana secara baik-baik, namun wanita itu keras kepala dan semakin marah terhadapnya.

Sementara Maura terhenyak mendengar teriakan wanita itu yang penuh amarah. Rasanya familiar. Ingatannya terdistraksi pada memori yang telah jauh terlupakan dari pikirannya. Semakin dekat memorinya, semakin berdenyut kepalanya.

Sekelebat bayangan masa lalu muncul.

....

"Menjauh dari suamiku, Jalang! Kamu mau merebutnya?!" teriak Maura pada Alena sambil menjambak rambutnya kala itu.

"Maura! Apa kamu gila?!" teriak Dewangga sambil menghentikan ulah Maura yang keterlaluan. Pria itu menatap Maura penuh amarah, penuh kebencian, dan rasa jijik.

"Dewangga, kumohon jauhi Alena. Dia ingin merebutmu dariku," ujar Maura kalap. "Kamu jangan tertipu dengan sikapnya yang pura-pura lemah."

....

"Maura, Maura." Panggilan menenangkan terdengar di telinganya.

Maura yang tengah berjongkok sambil memegang kepalanya yang sakit membuka mata dan melihat ke depan.

Dewangga ada di sana, memegang kedua bahunya sambil menatapnya khawatir. "Kamu baik-baik saja? Apa kepalamu sakit lagi?"

Seketika Maura menjauh dengan sorot mata ketakutan. "Jangan mendekat, Dewangga!! Jangan mendekat!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status