Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan.
Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi,
[Tes]
Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya,
[Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah.
Terkirim. Tanda centang hitam dua buah.
"Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu.
Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wanita, harusnya tahu gimana sakitnya bila yang dicinta ternyata mendua di belakangnya, pikir Jingga dalam diam.
Melirik arloji dan menyadari sudah sisa sekitar lima belas menit lagi menuju jam masuk, ia bergegas membereskan bekalnya, memasukkannya kembali ke dalam tas dan beranjak ke Mushala dengan menenteng mukenah yang selalu ada di laci meja kerjanya.
Setelah selesai salat, ia kembali dan mendapati balasan chat dari Imel. Segera dibacanya pesan balasan tersebut yang berbunyi,
[Miko barusan cerita, kalo dia ketemu mantannya di mall tuh nggak sengaja.]
[Dia cuma ngobrol dan basa-basi nemenin itu cewek nyari entah apa yang mau dibeli di sana.]
[Cuma gitu doang, kok, Ngga]
Jingga berdecak kesal. Imel bener-bener gak peka. Dia nggak tahu masalah terbesarnya di mana. Dengan penuh emosi di tekannya tombol panggil. Ia benar-benar tidak bisa diam lagi. Semuanya harus jelas saat ini juga.
Beberapa detik setelah nada panggil, terdengar suara Imel di seberang,
"Iya, Ngga?"
"Gini, ya, Mel. Kamu belum paham titik persoalannya itu apa. Masalahnya tuh, dia bilang minta dimaklumin kalo pas jalan sama tu cewek karena dia cinta pertamanya!"
"Nah, gila apa! Emangnya yang punya cinta pertama dia doang? Aku juga ada. Tapi demi komitmen, masa lalu harus dikubur dalem-dalem kalau udah berani menjalin hubungan baru, iya, kan?"
"Dan aku nggak bisa kalau harus maklumin perselingkuhan nyata seperti itu. Jalan terbaik adalah putus."
Setelah mengomel pada Imel tanpa memberinya kesempatan menyela pembicaraan, Jingga langsung menekan tombol akhiri panggilan.
Tak berapa lama terdengar nada dering panggilan lagi dengan nama Miko di layar. Bolak balik ia menekan tombol reject tapi terus saja cowok itu menelepon sehingga ia mematikannya lagi dan kembali memasukkan HP ke tas.
"Ish, fokus job aja, Jingga! Jangan sampai si br*ngs*k itu bikin kacau kerjaan juga," gumam Jingga seorang diri sambil bersiap. Telah banyak karyawan yang masuk ke ruangan. Sesaat lagi bel tanda jam masuk akan berbunyi.
* * *
"Nah, itu dia Jingga pulang." Terdengar oleh Jingga ibunya berseru sedikit lantang. Ibunya yang bergamis batik rumahan dengan jilbab warna mocca itu tampak duduk di kursi teras bersama seorang cowok yang gak lain adalah Miko! Celana jeans model kempol warna army dan kemeja hitam lengan pendek serta tak lupa topi bertuliskan Urban Keith tampak pas di tubuhnya yang tinggi kurus dengan rambut cepak dan sedikit ikal. Khas penampilan casual Miko biasanya.
"Ah, sial." Seketika Jingga menyesal sudah buru-buru pulang tadi. Sebenarnya dia diminta lembur olah sang Kepala Bagian tapi Jingga meminta izin pulang karena kepalanya terasa sedikit pening.
Saat memarkir motornya, ia baru tahu kalau motor Miko diletakkan di pojokan teras dekat toko. Pantesan tadi nggak kelihatan dari jalan, pikir Jingga. Kalau tadi melihat motor itu dari kejauhan, dia pasti memilih untuk mengurungkan niatnya pulang. Bertemu cowok edan itu bukan hal yang ia butuhkan sekarang.
“Jingga, ditunggu Nak Miko dari tadi loh. Kok HP kamu nggak bisa dihubungi katanya? Ibu coba barusan juga mati?"
Seperti biasa ibunya yang cerewet sudah membombardirnya dengan pertanyaan.
Setelah melepas helm dan menaruhnya di rak sudut teras, Jingga pun terpaksa menghampiri Miko agar ibunya tak curiga.
"Lowbat, Bu. Semalem lupa nge-charge," jawabnya beralasan kepada sang ibu sambil membungkuk mencium tangan.
"Duh, kami sampai cemas. Ya udah, ibu ke dalam dulu, ya. Nak Miko, ayo masuk ke ruang tamu," ucap beliau tersenyum ramah.
"Iya, Tante. Udah di sini aja enak," Miko mengangguk takzim. Kemudian melirik Jingga yang masih berdiri dan kini malah bersedekap dengan ekspresi yang entah.
"Ngga ...," Baru saja Miko membuka mulut, Jingga sudah melempar pandangan menusuknya. Matanya membulat dan memancarkan sorot amarah yang tanpa sedikit pun disembunyikan.
"Ngapain, sih, kamu pake ke sini segala?" Jingga memelototi cowok di hadapannya tanpa ampun. Kemarahannya semakin menjadi saat berhadapan dengan orangnya langsung. Serasa ingin ditamparnya saja Miko saat itu.
"Aku mau minta maaf, Jingga. Kamu salah paham," ucap Miko akhirnya.
"Salah paham gimana? Udah jelas semua. Aku nggak sudi cowokku jalan sama mantannya, mau dia cinta pertamanya atau bukan. Udah titik. Apa lagi yang salah, coba?"
"Ya udah, emang aku yang salah ngomong waktu itu, tapi ...,"
"Hah? Salah ngomong?" Jingga mendelik.
"Nggak, kamu nggak salah ngomong, kok. Aku aja yang salah nilai kamu selama ini. Aku pikir kamu bisa menghargai komitmen sebuah hubungan. Ternyata aku salah besar!"
"Tolong maafin aku, Jingga. Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Aku sudah terlanjur cinta sama kamu, Sayang. Aku nggak sanggup kalau kita putus,"
"Ah, masa'?"
"Bukannya kemarin kamu bilang dia cinta pertama yang gak gampang buat dilupain gitu aja?"
"Berarti hubungan kita selama ini gak berarti apa-apa buat kamu, kan?" Jingga mengomeli Miko sepuasnya.
"Ya bukan gitu maksud aku, Sayang, hubungan kita berarti banget lah. Aku udah beneran serius sama kamu!" Miko menjawab tegas.
"Serius apanya?! Serius mau selingkuhin aku? Ish, Big No Way!"
Tanpa sadar Jingga agak keras mengomel sehingga ia kemudian melongok ke dalam rumah, takut terdengar oleh ibunya.
"Aku nggak mau kita putus, Jingga. Aku masih mau bareng sama kamu," lirih Miko memelas.
Jingga tak mengacuhkan pandangan memohon dari Miko. Baginya, kesetiaan dalam sebuah hubungan adalah harga mati. Sama sekali tidak ada toleransi untuk itu.
"Harusnya kamu pikirin itu dulu sebelum memutuskan jalan sama mantan! Sekarang semuanya sudah terlambat!"
"Sebaiknya kamu pulang. Aku mau tidur, pusing!" pungkas Jingga tanpa memberi kesempatan lagi untuk Miko menyela pembicaraan. Ia segera beranjak ke pintu ruang tamu dan memegang engsel hendak menutupnya.
Miko menghela napas berat dan berdiri dari kursi teras. Jingga benar-benar tidak dapat dibujuk lagi. Gadis itu terlalu marah atas kejadian kemarin, pikirnya kalut.
"Oke, aku pulang dulu, ya, Sayang," Tanpa sadar, Miko berpamitan seperti kebiasaan mereka sebelumnya.
"Dan jangan pernah lagi panggil sayang!" sambil memberi peringatan terakhir itu, Jingga menutup pintu ruang tamu dengan sedikit kasar.
Semua sudah usai, pikir Jingga. Perpisahan adalah jalan terbenar saat sebuah komitmen dilanggar. Kata maaf saja sama sekali tak cukup menambal luka menganga akibat pedihnya pengkhianatan.
* * *
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat