Sagara duduk termenung di sebuah kafe sambil membaca selembar puisi di tangannya.
Bait demi bait, ia baca. Puisi karya Pena Langit ini sebenarnya tidak terlalu buruk jika diperhatikan baik-baik. Meski pemilihan kata-katanya kaku. Namun apa yang ingin disampaikan dalam puisi ini cukup menarik. Tidak terlalu muluk-muluk. Namun sayangnya apa yang tertulis indah dalam puisi ini belum bisa tersampai ke telinga Anita karena ia buru-buru mengusirnya.
“Gagal juga. Sepertinya, dia benar-benar membenciku. Tapi kenapa?” gumam Sagara dalam kesendirian.
Sagara mulai memikirkan kembali soal alasan Anita keluar dari pekerjaan yang tak beralasan dan mengapa ia begitu membencinya. Namun, karena mendapatkan penolakan yang cukup keras tadi, membuat Sagara tak mampu berpikir terlalu keras.
Penolaka
Sehari sebelum Sagara datang membawa tumpukan lowongan pekerjaan untuk Anita. Cecilia sudah terlebih dahulu mengajaknya ke sebuah kafe yang berada di jalan Anggrek seusai ia pulang kerja.Sepanjang perjalanan menuju kafe yang akan mereka tuju. Cecilia menerangkan beberapa hal. Hal pertama yang ia jelaskan adalah, bahwa kafe yang akan mereka tuju merupakan kafe milik saudara kekasihnya, Abyas. Hal yang kedua adalah kafe itu hari ini sedang melaksanakan pesta pembukaan yang dihadiri oleh beberapa teman, kerabat dan karyawan yang besok mulai bekerja. Dan hal ketiga yang Cecilia beritahukan adalah.....“Kau bisa bekerja di sana besok,” kata Cecilia dengan gaya seorang HRD.Untuk beberapa detik Anita tak mampu berkata. Ia hanya membeku
Matahari di pagi ini terasa sangat cerah dan hangat. Membuat semua orang yang terkena sinarnya merasa bersemangat dan bahagia.Puluhan karyawan yang baru sampai di halaman kantor terlihat begitu bersemangat. Mereka terlihat begitu siap untuk menghadapi pekerjaan kantor yang monoton. Pekerjaan yang selalu mereka kerjakan tanpa ada fariasi dalam pekerjaan itu. Hanya duduk dilayar komputer berjam-jam hingga bokong dan mata mereka lelah.Di antara karyawan yang datang dengan penuh semangat. Seorang pria berumur 30 tahun baru saja turun dari mobil mewahnya dan kini sedang berjalan menuju pintu masuk gedung kantor.Wajah tegas penuh karisma dengan rambut hitam legam belah samping yang terlihat rapi. Serta jas berwarna biru tua yang tersemat pada tu
Dengan motor matic hasil meminjam dari Melodi, Anita meluncur menuju tempatnya dulu bekerja. Bibir Anita menggerutu sebal di sepanjang perjalanan. Semua gerutuan itu isinya tentang Sagara. Ia berpikir bahwa Sagara tak ada henti-hentinya menganggu ketenangannya.Gerutuan Anita di sepanjang perjalanan membuat mukanya yang cantik, jadi terlihat seperti angsa yang hendak menyerang mangsanya. Bibirnya manyun tanpa henti sambil sesekali mencibirkan Sagara. Beberapa pengendara yang kebetulan menoleh ke arahnya karena penasaran dengan wajahnya jadi tertawa saat melihat bibir manyunnya.“Mbak? Pagi-pagi kok cemberut. Awas di tilang polisi lho....” kata salah satu pengendara cowok yang sedang berboncengan hendak menuju tempat kerja.Dilihat dari seragam yang di pakai 2 cowok itu, tampaknya mereka bekerja di sebuah pabrik.
Kafe Jasmine merupakan kafe yang terletak di pinggiran kota Surabaya. Letaknya cukup jauh dari ramainya kota Surabaya yang terkenal akan keramaiannya. Namun, meskipun jauh dari pusat kota, kafe ini tetap ramai oleh pengunjung yang di dominasi oleh pelajar. Banyak pelajar dan mahasiswa yang datang ke kafe ini setiap harinya. Hal ini dikarenakan, kafe Jasmine menaruh konsep kafe pelajar. Jadi setiap pelajar yang datang, baik itu murid SMP, SMA atau pun Mahasiswa, akan mendapatkan diskon di setiap pembelian menu. Sehingga sangat ramah di dompet para pelajar. Kafe ini juga menyediakan layanan Wi-Fi yang sangat stabil. Sehingga para pelajar yang ingin mengerjakan soal atau sekedar melepas jenuh di kafe ini. Bisa merasa nyaman dan betah.
Suasana kafe jadi sepi sejak para pegawai bergerak untuk menutup aktivitas kafe hari ini. Semua bagian kafe yang digunakan untuk menarik pelanggan untuk datang sudah terlebih dahulu di bereskan. Sehingga tak ada satu pun pelanggan yang datang usai plakat menu promo dibawa masuk. Terlebih lagi, Melodi juga sudah membalik tulisan open menjadiclose.Para pengunjung yang sebelumnya masih duduk bersantai juga berangsur-angsur pulang. Meski pak Bena mengatakan kepada mereka untuk tidak terburu-buru, namun tetap saja para pelanggan jadi pulang lebih cepat. Tapi untungnya, makanan yang mereka pesan habis semua. Hanya menyisakan noda makanan pada alat makan mereka.15 menit berlalu, akhirnya kafe benar-benar tutup. Tepat di saat itu juga, pesanan Cecilia telah selesai di masak. Dan kini sedang di sajikan ole
“Anita?! Kamu mau ikut makan malam di depot Pojok tidak? Pak Niko yang traktir...” teriak Cika, asisten Chef Niko. Ia meneriaki Anita yang lagi fokus mengetik sesuatu di layar handphone-nya. “Maaf, lain kali saja. Aku masih ada urusan soalnya,” sahut Anita dari kejauhan. Anita sebenarnya sudah terlebih dahulu pulangnya karena tidak ikut menunggu Chef Niko selesai beres-beres dapur. Namun karena ada pesan singkat masuk dan isinya cukup penting, membuat Anita berhenti sejenak untuk membalas pesan singkat tersebut. “Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan, kami duluan.” seru teman-teman sekerjanya yang akhirnya pergi duluan meninggalkan Anita
Kelinting!!! Bel lonceng kafe berbunyi.Anita memasuki kafe dengan wajah lesu.“Pagi semua...” sapanya pada semua pegawai yang sudah terlebih dahulu datang.Pak Karim, Cika dan Melodi yang sedang sibuk menurunkan kursi-kursi dari atas meja menyambut kedatangan Anita. Melodi yang menyempatkan diri menoleh ke arah Anita menangkap sesuatu yang aneh di wajah Anita.“Kamu habis dipukuli orang, Ant?” tanya Melodi menemukan lingkaran hitam di kedua kantung mata Anita. Ditambah, ia merasa jika kelopak Anita terlihat sedikit membengkak.“Enggak kok Kak,” jawab Anita.“Lah itu? Mata kamu kok bengkak begitu?” Melodi menuding mata Anita.Cika yang mendengar ikutan nimbrung. Ia juga ikutan mengecek mata Anita. Dan ia setuju dengan apa yang disampaikan Melodi. Mata Anita memang terlihat b
“Loh Bapak kok ada di sini?” celetuk Anita terkejut. Ia bahkan sampai menghentikan aktivitasnya karena terpaku dengan kemunculan Sagara yang tak diduganya.“Bisakah kau bersikap biasa saja saat melihatku?”“Se-sebentar, tunggu. Jangan-jangan yang pesan semua makanan ini, Bapak?”Sagara memasang wajah kesal. “Bisakah kau memanggilku dengan nama? Kamu pikir aku Bapakmu? Lagi pula kita sudah bukan rekan kerja lagi. Jadi bersikaplah biasa saja. Tidak perlu formal.”“Mana bisa. Aku sudah biasa memanggil seperti itu,” telak Anita.“Sudah biasa? Waktu kamu kerja di tempatku, kamu sering memanggil diriku kau, kamu, sambil berteriak. Bahkan kamu mengumpat di belakangku. Apa kamu lupa de