Malam turun dengan sunyi yang ganjil. Lorong menuju ruang ICU hanya diterangi lampu-lampu lembut yang memantul di lantai keramik. Di salah satu kamar privat yang dijaga ketat, Nora duduk tegak di ranjangnya. Selimut tertata rapi. Tubuhnya tampak lemah seperti pasien kritis, tapi matanya menyala.Layar kecil laptop di pangkuannya memantulkan cahaya redup ke wajahnya. Dia memutar ulang rekaman yang telah diedit dengan teliti. Tidak ada suara, hanya potongan gambar. Tubuh yang saling melekat, ciuman yang tak bisa disalahartikan, dan wajah Janu serta Rindu yang tampak jelas dalam keremangan ruangan itu. Kamera tersembunyi berhasil menangkap segalanya.Nora menatap layar itu lama, ekspresinya datar. Tapi tangan yang mengepal menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya.“Sudah cukup.”Dia menutup laptop, lalu mencabut flashdisk berisi rekaman tersebut. Pergerakannya pelan dan hati-hati saat mengenakan jaket tipis serta masker medis. Meski masih dalam perawatan, tak seorang pun
Rindu duduk di sudut ruangan, membenahi kancing seragamnya dengan tangan yang gemetar. Matanya terasa panas. Sebelum sempat menahan, butiran air mata jatuh membasahi pipi. Dia menunduk, membiarkan rambutnya menutupi wajah. Menutupi dirinya dari pandangan Janu, dan mungkin, dari rasa malunya sendiri.Di seberang, Janu sedang merapikan pakaian dengan santai, seolah yang baru saja terjadi adalah hal biasa. Hal wajar. Hal yang tak perlu ditangisi.“Rin…,” Suara itu lembut, hampir menyentuh, tapi bagi Rindu justru makin menyesakkan. “Kenapa kamu menangis?”Rindu menggeleng cepat, tak sanggup menjawab. Tangisnya pecah, nyaris tanpa suara, hanya bahunya yang bergetar.“Aku... aku tidak seharusnya begini...” bisiknya akhirnya. “Kenapa aku tidak bisa menolak kamu, Mas?”Janu mendekat, berjongkok di hadapannya, mencoba menghapus air matanya dengan ibu jari. Sentuhan itu membuat Rindu makin merasa hampa. Bukannya terhibur, dia merasa makin terperangkap.“Kamu tahu jawabannya, Rin,” ucap Janu, se
Ruang dokter, hampir pukul sepuluh malam. Lampu-lampu lorong rumah sakit sudah diredupkan. Beberapa ruang telah kosong. Tapi saat Janu mendorong pintu ruang dokter, dia melihat sosok yang familiar duduk bersandar di kursi, membuka-buka berkas laporan dengan wajah lelah. Rindu. Rambutnya sedikit berantakan. Matanya tampak mengantuk tapi tetap fokus pada tulisan. Kemeja kerjanya sudah dilonggarkan di bagian atas. Ada bekas kantung kopi instan di meja, belum disentuh. Janu mengetuk kusen pintu ringan. “Masih di sini, Dokter Rindu?” Rindu menoleh pelan, tersenyum kecil. “Baru selesai visit terakhir. Laporan sore belum sempat dibereskan.” Janu melangkah masuk, meletakkan tasnya di sofa. Dia membuka jas putihnya, lalu menengok ke arah meja. “Kopi belum diminum?” “Sudah dingin. Tapi ya… lebih baik dingin daripada ketiduran di depan laptop.” “Kalau kamu sampai jatuh pingsan di meja, siapa yang tanggung jawab?” Janu menatapnya sambil tersenyum, nada suaranya mulai menurun setengah na
Nora melangkah masuk ke kafe kecil di pojok jalan. Tempat yang dulu memberinya ketenangan, sekarang hanya menjadi persinggahan terakhir sebelum kembali ke medan perang.Malam ini, dia akan mulai membuka satu per satu sachet gula diet itu, lalu mengisi ulang dengan dosis digitalis yang cukup untuk membunuh tanpa jejak.Hoodie-nya masih dikenakan. Masker digantungkan di dagu, cukup menutupi sebagian wajah. Rambutnya sengaja dikepang longgar, gaya yang sangat berbeda dari penampilannya sebagai "Nora Lituhayu" yang dikenal semua orang.Dia memesan satu cappuccino hangat dan duduk di sudut terjauh dekat jendela, dengan punggung menghadap pintu masuk.Tangannya gemetar sedikit saat menggenggam gelas. Bukan karena dingin. Tapi karena sisa adrenalin dari perjalanan yang baru saja dia lakukan. Menyelinap keluar, membeli digitalis, dan menyusun rencana pembunuhan berikutnya.Satu langkah lagi, pikirnya. Dan semua ini akan selesai.Namun, sebelum sempat menyesap kopinya, suara langkah berat dan
“Kamu tahu lebih dari yang kamu bilang,” gumam Rindu, nyaris tak terdengar.Janu hanya tersenyum. Manis. Terlalu manis.“Aku cuma bilang... tubuh manusia itu rumit, Rin. Kadang sesuatu yang kecil bisa punya efek besar. Dan kita baru sadar... saat semuanya sudah terlambat.”Janu melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia kembali mendekat, menyentuh lengan Rindu sejenak.“Kamu tetap yang paling bisa aku percaya. Jadi kalau kamu bisa cari tahu sedikit tentang kondisi terbarunya, kamu akan sangat menolong.”Rindu tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya.Kondisi menurun drastis? Secepat itu? Atau ada yang dipercepat?“Aku akan lihat apa yang bisa kulakukan,” akhirnya dia menjawab pelan.Janu mendekat sekali lagi, membisik.“Aku tahu kamu tidak akan mengecewakan.”Lalu Janu benar-benar pergi. Meninggalkan aroma parfumnya yang samar dan jejak yang lebih dari sekadar langkah. Jejak di kepala Rindu yang makin tak tenang.Rindu masih berdiri
Kamar hotel itu sunyi, hanya dihuni dua napas yang belum sepenuhnya tenang.Cahaya lampu meja membentuk siluet di dinding. Bayangan dua tubuh yang saling mencari, saling mengingat. Seprai tersingkap sebagian, memperlihatkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh hasrat.Janu mencium pelipis Chalia dengan lembut, tapi tak ada kelembutan dalam tatapan matanya. Ada sesuatu yang menggelora di sana. Ambisi, kepemilikan, dan juga kebohongan yang tertanam dalam.Chalia membenamkan wajah di dada Janu. Suaranya nyaris tenggelam dalam desah napas yang menghangatkan leher pria itu.Janu tersenyum, jemarinya menelusuri tulang belakang Chalia. Turun perlahan seolah mengingat setiap inci tubuh yang kini menjadi tempat pelariannya. Tidak ada kata yang terucap, hanya bunyi napas yang berkejaran di antara jeda ciuman. Ketika lampu meja dimatikan, cahaya samar dari luar jendela yang merekam bayangan dua tubuh saling menempel, saling menuntut.Hanya suara gesekan kulit pada seprai.Hanya desah napas yang sa