LOGINMakan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya.
Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi sorot mata Janu cukup sebagai konfirmasi. Nora menegakkan duduknya. “Jan… aku bukan perempuan bodoh. Tapi aku juga bukan perempuan pemarah. Aku tahu kita bisa hancur kapan saja, tapi aku masih ingin mencoba. Setidaknya untuk menghormati apa yang sudah kita bangun.” Janu tertunduk, suaranya rendah. “Maaf.” Nora menarik napas. “Aku tidak meminta kamu kembali mencintaiku, Jan. Aku cuma minta satu hal: berhenti. Setidaknya... coba lihat lagi apa yang kita punya sebelum kamu menghancurkan semuanya.” Nora tersenyum tipis. “Tapi kalau kamu tidak bisa berhenti, aku juga tidak akan menahan kamu.” Senyumnya menghilang perlahan, digantikan tatapan tegas. “Kita masih punya perjanjian pranikah, kan?” ucapnya datar. Janu menatapnya, ragu. “Kalau salah satu dari kita selingkuh dan itu jadi alasan perpisahan, pihak yang berselingkuh tidak akan dapat apa pun, Jan. Tidak rumah ini. Tidak uang simpanan. Bahkan—” Dia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata suaminya, “pekerjaanmu pun belum tentu aman.” Janu mengernyit. “Ayahku masih direktur di rumah sakit tempatmu bekerja. Kamu tahu betul, dia tidak pernah bisa menoleransi dokter yang berkelakuan buruk. Apalagi sampai mencemarkan nama baik institusi.” Suara Nora terdengar datar, nyaris lembut. Tak ada ancaman dalam nada suaranya. Tapi dinginnya cukup untuk menusuk. Nora bangkit perlahan, lalu membawa piring-piring kotor ke dapur. Dan kali ini, Janu tidak punya kata-kata. * Janu terbangun lebih awal dari biasanya. Tapi bukan karena alarm, atau jadwal pasien yang menumpuk. Melainkan oleh suara batin yang tak berhenti mengulang percakapan semalam. Perjanjian pranikah. Ayah mertua. Harta yang akan menguap. Dan Nora dengan nada suaranya yang tenang tapi penuh tekanan. Kalimat-kalimatnya terbungkus kelembutan, namun memukul keras ke harga dirinya. Tapi yang paling mengganggunya adalah kenyataan bahwa bahkan setelah semua yang terjadi, Nora masih ingin mencoba. Mengapa? Dia turun ke meja makan dengan kepala penuh kepulan awan. Tapi yang menyambutnya malah aroma wangi telur dadar favoritnya, roti panggang hangat, dan semangkuk sup krim yang biasa dinikmati saat dulu masih jatuh cinta. "Selamat pagi," ucap Nora sambil tersenyum, membalik telur di wajan. Janu mengangguk. “Pagi.” Di atas meja, cangkir teh melati mengepul pelan. Dia mengerutkan alis. "Teh melati. Aku tahu kamu tidak begitu suka, tapi kupikir kamu perlu sesuatu yang menenangkan pagi ini." Janu menarik napas. Ada yang tidak selaras di antara wangi harum dapur ini dan benaknya yang kusut. “Aku tahu kamu muak,” bisiknya pelan. “Dan mungkin kamu sudah tidak melihat aku seperti dulu lagi.” Janu tetap diam. Dadanya mengencang. “Tapi tolong… kalau kamu masih bisa, tinggal di sini. Bukan karena perjanjian itu. Tapi karena aku masih di sini. Masih menunggu kamu pulang. Setiap hari.” Suara Nora bergetar sedikit, tapi tidak sampai pecah. “Aku cuma mau kamu jujur. Apa yang harus aku perbaiki, Jan? Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak bosan? Harus seperti apa agar kamu berhenti menyakiti aku?” Hening. “Aku tidak ingin jadi wanita sempurna. Aku cuma ingin jadi cukup… untuk kamu.” Janu tidak bergerak. Tapi pelukan itu terasa seperti belenggu lembut yang membuatnya sulit bernapas. Nora melepaskan pelukan itu pelan-pelan, lalu berjalan kembali ke dapur. "Kalau kamu tidak suka tehnya, aku bisa bikin yang lain," katanya ringan, seperti tidak pernah mengucapkan apapun barusan. Janu masih duduk di kursi, menatap teh melati yang mengepul di hadapannya. Terlalu manis. Terlalu hangat. Terlalu rumit. * Janu menatap wajahnya di cermin kecil ruang ganti rumah sakit. Mata sayunya tampak semakin cekung. Ada bayang-bayang gelap di bawah kelopak, sisa malam yang tak memberinya tidur. Dia menarik dasi dengan malas, menyisakan kancing teratas kemejanya terbuka. Kepalanya penuh. Saat tiba di rumah sakit, Chalia sudah menunggunya di lorong belakang dengan senyum cerah dan lipstik yang terlalu merah. "Selamat pagi, Dokter Ganteng," ucapnya menggoda. Biasanya senyum itu cukup untuk membuat Janu melupakan segalanya. Tapi pagi ini, dia hanya mengangguk lemah, lalu berjalan melewatinya tanpa balasan. Chalia mengerutkan dahi. Selama sesi pasien, Janu tampak tidak fokus. Dia mempersingkat konsultasi. Bahkan sempat salah menyebut dosis obat, yang segera dikoreksi oleh Chalia tanpa menyinggung. Saat jam istirahat tiba, Chalia menyusulnya ke ruang istirahat dokter. "Hey," katanya lembut. “Apa yang terjadi? Kamu kelihatan seperti orang yang ditendang dari surga.” Janu duduk, menyandarkan kepala ke tembok. "Aku capek, Chal." Chalia mendekat, duduk di sampingnya. “Masih karena istrimu?” Janu mendesah panjang. "Dia berubah. Dia lebih tenang sekarang. Tapi justru itu yang membuat aku ngeri. Dia seolah tahu sesuatu." Chalia menatapnya dengan ragu. “Kamu mau… pisah?” Janu tertawa pendek. “Justru itu masalahnya.” Dia menoleh, menatap mata Chalia yang membulat menanti jawaban. "Ada perjanjian pranikah," lanjutnya. "Kalau aku menceraikan dia, aku tidak akan dapat apa-apa. Rumah, mobil, rekening, semuanya. Dan ayah Nora. Kamu tahu dia direktur rumah sakit ini, kan? Kalau mau, dia bisa membuat aku tidak punya tempat praktik lagi." Chalia menelan ludah. "Jadi?" tanyanya hati-hati. Janu menunduk. Tangannya mengepal di atas lutut. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, dia berbisik. "Apa yang bisa kulakukan untuk menyingkirkan Nora tanpa harus menceraikannya?" Ruangan itu mendadak dingin. Chalia menatap lelaki di hadapannya. Ada sesuatu dalam nada suara itu. Bukan keluh kesah, bukan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih gelap.Setelah ciuman singkat itu, mereka sama-sama terdiam. Nora menunduk, masih merasakan debar yang asing sekaligus menenangkan di dadanya. Raksa tidak buru-buru bicara, tidak mendesak jawaban yang lebih, hanya membiarkan keheningan itu mengalir bersama desir angin sore.Mereka duduk bersebelahan di bangku taman dengan tangan masih saling menggenggam. Jemari Nora yang dulu selalu dingin, kini hangat. Meski masih sedikit gemetar. Raksa menoleh, menatapnya dalam diam, lalu berbisik pelan, seakan takut merusak momen itu.“Dulu, aku pikir tugasku hanya menemukan kebenaran dalam kasus-kasus,” ucap Raksa lirih. “Tapi ternyata kebenaran itu tidak selalu tentang hitam dan putih. Kadang kebenaran adalah seseorang yang duduk di samping kita, yang kita pilih untuk percaya dan lindungi.”Nora menoleh perlahan. Ada senyum samar di wajahnya, samar tapi nyata. “Aku dulu berpikir hidupku sudah berakhir. Sejak semua keburukan itu menelanku. Tapi ternyata, masih ada yang tersisa. Masih ada ruang untuk bern
Ruang tamu rumah Pak Harsanta yang mewah dihiasi foto-foto lama keluarga. Beberapa di antaranya menampilkan Nora kecil. Tertawa polos, digendong sang ibu, atau duduk di pangkuan ayahnya. Kini foto-foto itu seperti artefak dari masa lain, mengingatkan betapa jauh jarak antara masa lalu dan kenyataan sekarang.Raksa duduk tegak di kursi tamu. Kemejanya rapi meski wajahnya sedikit lelah. Tangannya diletakkan di atas lutut, kaku, seolah dia sedang menghadapi sidang internal kepolisian, padahal yang ada di hadapannya hanya seorang ayah dengan rambut yang memutih.Pak Harsanta menuangkan teh hangat ke cangkir, lalu mendorongnya ke arah Raksa. “Silakan diminum dulu,” katanya pelan.Raksa mengangguk sopan. Tapi teh itu tetap dibiarkan mengepul tanpa tersentuh, karena kata-kata yang mengganjal jauh lebih panas daripada cairan di cangkir. Dia menarik napas, menatap lurus.“Pak,” ucapnya hati-hati, “saya datang bukan hanya untuk mengunjungi. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”Pak Harsanta menga
Suasana kantor polisi siang itu jauh dari biasa. Ruangan yang biasanya berisi percakapan datar antaranggota kepolisian kini dipenuhi ketegangan yang kental. Pak Wirya, atasan Raksa, sudah berdiri di sana, berusaha menjaga agar percakapan tidak berubah menjadi ledakan yang lebih besar.Di hadapannya, pasangan suami istri itu, orang tua Janu, duduk dengan wajah merah padam, suara mereka meninggi hampir tanpa henti.“Anak kami dibunuh, dan pelakunya malah dilindungi di tempat perawatan!” suara Ibu Janu pecah, penuh dengan kemarahan bercampur air mata. “Apakah ini yang disebut keadilan? Dia seharusnya di penjara! Diadili layaknya penjahat!”Pak Wirya mencoba menenangkan, “Bu, saya mengerti perasaan Anda. Proses hukum tetap berjalan, tapi ada prosedur khusus—”“Prosedur?!” Pak Janu menghantam meja dengan telapak tangannya. “Prosedur macam apa yang membuat seorang pembunuh hidup nyaman sementara anak kami sudah mati?! Polisi macam apa kalian ini?”Raksa, yang sejak tadi berdiri di sisi ruan
Mobil polisi meluncur perlahan meninggalkan gedung pengadilan. Langit sore tampak redup. Awan menebal seolah ikut menyerap suasana muram dari ruang sidang tadi.Nora duduk di kursi belakang, diapit dua dunia yang sama-sama asing tapi anehnya memberi rasa aman. Raksa di sampingnya, ayahnya, Pak Harsanta, di sisi lain.Tangannya terkunci di pangkuan. Tubuhnya tegak tapi lunglai. Nira merasa begitu lelah sampai-sampai bergerak pun terasa sulit.Dari kaca jendela, kota berjalan mundur. Bangunan, pohon, dan orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang kisah kelamnya.Raksa membuka percakapan lebih dulu, suaranya rendah tapi terukur. “Terima kasih sudah ikut mendampingi, Pak. Tidak semua orang tua bisa setegar Bapak.”Pak Harsanta menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan saya, siapa lagi? Nora satu-satunya putriku. Mau bagaimanapun kondisinya, tetap anak saya.” Suaranya berat, namun kali ini tanpa getir yang biasanya muncul setiap kali Nora mendengar ayahnya bicara tentang dir
Satu hari sebelum persidangan, Raksa berjalan menyusuri koridor menuju ruang isolasi khusus. Udara di dalam ruangan itu selalu dingin, lebih karena kesunyian yang menempel di dinding-dindingnya. Setiap kali dia melangkah ke sana, selalu ada perasaan asing yang menekan dada. Perasaan bahwa dia bukan sedang mengunjungi seorang tersangka, melainkan seseorang yang tersesat jauh dalam dirinya sendiri.Pintu berlapis besi itu dibuka petugas. Raksa melangkah masuk. Di dalam, Nora duduk di sudut ranjang dengan tubuh tegak namun lemah, seperti boneka yang kehilangan benang pengikat. Meski begitu, wajahnya lebih segar dibanding beberapa hari lalu. Tidak lagi pucat, meski matanya tetap kosong.Raksa menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ada jeda panjang sebelum dia bersuara, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.“Kamu kelihatan lebih sehat,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi berat.Nora menoleh perlahan. Senyuman tipis terbit di bibirnya, tapi itu bukan senyum. Lebih tepatnya sepert
Raksa berdiri di depan pintu ruang kerja atasannya cukup lama sebelum akhirnya mengetuk. Ketukan tiga kali itu terdengar mantap. Namun, di dalam dadanya, jantungnya berdegup seperti genderang perang.“Masuk,” suara berat Pak Wirya terdengar jelas.Raksa mendorong pintu perlahan, lalu masuk sambil membawa map tebal berisi berkas-berkas. Dia berdiri tegak di depan meja, memberi hormat singkat, kemudian duduk setelah dipersilakan.“Jadi,” Pak Wirya membuka percakapan tanpa basa-basi, “kamu sudah temukan sesuatu yang bisa mengakhiri teka-teki ini?”Raksa menarik napas panjang. Dengan hati-hati dia meletakkan map itu di atas meja, membuka halaman demi halaman.“Saya harus jujur. Dari semua bukti yang ada, dari alur kronologi hingga pengakuan samar, semuanya mengarah pada satu nama. Nora Lituhayu.”Wirya terdiam. Tatapannya yang tajam menancap ke wajah Raksa, seolah hendak menembus isi kepalanya. “Lanjutkan.”Raksa menunduk sejenak, lalu menjelaskan. “Catatan laboratorium membuktikan adany







