Beranda / Romansa / Secangkir Teh Untuk Suamiku / Bab 5 Pertanyaan Beracun

Share

Bab 5 Pertanyaan Beracun

Penulis: Vargsagen
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 19:02:49

Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya.

Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup.

“Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.”

Janu menarik napas. “Nora…”

“Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?”

Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.”

Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?”

Janu tidak menjawab.

“Chalia, ya?”

Masih tidak ada jawaban. Tapi sorot mata Janu cukup sebagai konfirmasi.

Nora menegakkan duduknya. “Jan… aku bukan perempuan bodoh. Tapi aku juga bukan perempuan pemarah. Aku tahu kita bisa hancur kapan saja, tapi aku masih ingin mencoba. Setidaknya untuk menghormati apa yang sudah kita bangun.”

Janu tertunduk, suaranya rendah. “Maaf.”

Nora menarik napas. “Aku tidak meminta kamu kembali mencintaiku, Jan. Aku cuma minta satu hal: berhenti. Setidaknya... coba lihat lagi apa yang kita punya sebelum kamu menghancurkan semuanya.”

Nora tersenyum tipis. “Tapi kalau kamu tidak bisa berhenti, aku juga tidak akan menahan kamu.”

Senyumnya menghilang perlahan, digantikan tatapan tegas.

“Kita masih punya perjanjian pranikah, kan?” ucapnya datar.

Janu menatapnya, ragu.

“Kalau salah satu dari kita selingkuh dan itu jadi alasan perpisahan, pihak yang berselingkuh tidak akan dapat apa pun, Jan. Tidak rumah ini. Tidak uang simpanan. Bahkan—” Dia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata suaminya, “pekerjaanmu pun belum tentu aman.”

Janu mengernyit.

“Ayahku masih direktur di rumah sakit tempatmu bekerja. Kamu tahu betul, dia tidak pernah bisa menoleransi dokter yang berkelakuan buruk. Apalagi sampai mencemarkan nama baik institusi.” Suara Nora terdengar datar, nyaris lembut.

Tak ada ancaman dalam nada suaranya. Tapi dinginnya cukup untuk menusuk.

Nora bangkit perlahan, lalu membawa piring-piring kotor ke dapur.

Dan kali ini, Janu tidak punya kata-kata.

*

Janu terbangun lebih awal dari biasanya. Tapi bukan karena alarm, atau jadwal pasien yang menumpuk. Melainkan oleh suara batin yang tak berhenti mengulang percakapan semalam.

Perjanjian pranikah. Ayah mertua. Harta yang akan menguap.

Dan Nora dengan nada suaranya yang tenang tapi penuh tekanan. Kalimat-kalimatnya terbungkus kelembutan, namun memukul keras ke harga dirinya.

Tapi yang paling mengganggunya adalah kenyataan bahwa bahkan setelah semua yang terjadi, Nora masih ingin mencoba.

Mengapa?

Dia turun ke meja makan dengan kepala penuh kepulan awan. Tapi yang menyambutnya malah aroma wangi telur dadar favoritnya, roti panggang hangat, dan semangkuk sup krim yang biasa dinikmati saat dulu masih jatuh cinta.

"Selamat pagi," ucap Nora sambil tersenyum, membalik telur di wajan.

Janu mengangguk. “Pagi.”

Di atas meja, cangkir teh melati mengepul pelan. Dia mengerutkan alis.

"Teh melati. Aku tahu kamu tidak begitu suka, tapi kupikir kamu perlu sesuatu yang menenangkan pagi ini."

Janu menarik napas. Ada yang tidak selaras di antara wangi harum dapur ini dan benaknya yang kusut.

“Aku tahu kamu muak,” bisiknya pelan. “Dan mungkin kamu sudah tidak melihat aku seperti dulu lagi.”

Janu tetap diam. Dadanya mengencang.

“Tapi tolong… kalau kamu masih bisa, tinggal di sini. Bukan karena perjanjian itu. Tapi karena aku masih di sini. Masih menunggu kamu pulang. Setiap hari.”

Suara Nora bergetar sedikit, tapi tidak sampai pecah.

“Aku cuma mau kamu jujur. Apa yang harus aku perbaiki, Jan? Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak bosan? Harus seperti apa agar kamu berhenti menyakiti aku?”

Hening.

“Aku tidak ingin jadi wanita sempurna. Aku cuma ingin jadi cukup… untuk kamu.”

Janu tidak bergerak. Tapi pelukan itu terasa seperti belenggu lembut yang membuatnya sulit bernapas.

Nora melepaskan pelukan itu pelan-pelan, lalu berjalan kembali ke dapur.

"Kalau kamu tidak suka tehnya, aku bisa bikin yang lain," katanya ringan, seperti tidak pernah mengucapkan apapun barusan.

Janu masih duduk di kursi, menatap teh melati yang mengepul di hadapannya.

Terlalu manis. Terlalu hangat. Terlalu rumit.

*

Janu menatap wajahnya di cermin kecil ruang ganti rumah sakit. Mata sayunya tampak semakin cekung. Ada bayang-bayang gelap di bawah kelopak, sisa malam yang tak memberinya tidur. Dia menarik dasi dengan malas, menyisakan kancing teratas kemejanya terbuka. Kepalanya penuh.

Saat tiba di rumah sakit, Chalia sudah menunggunya di lorong belakang dengan senyum cerah dan lipstik yang terlalu merah.

"Selamat pagi, Dokter Ganteng," ucapnya menggoda.

Biasanya senyum itu cukup untuk membuat Janu melupakan segalanya. Tapi pagi ini, dia hanya mengangguk lemah, lalu berjalan melewatinya tanpa balasan.

Chalia mengerutkan dahi.

Selama sesi pasien, Janu tampak tidak fokus. Dia mempersingkat konsultasi. Bahkan sempat salah menyebut dosis obat, yang segera dikoreksi oleh Chalia tanpa menyinggung.

Saat jam istirahat tiba, Chalia menyusulnya ke ruang istirahat dokter.

"Hey," katanya lembut. “Apa yang terjadi? Kamu kelihatan seperti orang yang ditendang dari surga.”

Janu duduk, menyandarkan kepala ke tembok. "Aku capek, Chal."

Chalia mendekat, duduk di sampingnya. “Masih karena istrimu?”

Janu mendesah panjang. "Dia berubah. Dia lebih tenang sekarang. Tapi justru itu yang membuat aku ngeri. Dia seolah tahu sesuatu."

Chalia menatapnya dengan ragu. “Kamu mau… pisah?”

Janu tertawa pendek. “Justru itu masalahnya.”

Dia menoleh, menatap mata Chalia yang membulat menanti jawaban.

"Ada perjanjian pranikah," lanjutnya. "Kalau aku menceraikan dia, aku tidak akan dapat apa-apa. Rumah, mobil, rekening, semuanya. Dan ayah Nora. Kamu tahu dia direktur rumah sakit ini, kan? Kalau mau, dia bisa membuat aku tidak punya tempat praktik lagi."

Chalia menelan ludah.

"Jadi?" tanyanya hati-hati.

Janu menunduk. Tangannya mengepal di atas lutut. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, dia berbisik.

"Apa yang bisa kulakukan untuk menyingkirkan Nora tanpa harus menceraikannya?"

Ruangan itu mendadak dingin. Chalia menatap lelaki di hadapannya. Ada sesuatu dalam nada suara itu. Bukan keluh kesah, bukan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 8 Terhimpit

    Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin. Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak. Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf. Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus. Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi. Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa. Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya. Mungkinkah hanya kebetulan? Mungkin

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

    Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas. Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.Seakan tak terjadi apa pun.Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 6 (Bukan) Permainan Kecil

    Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara. “Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi perma

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 5 Pertanyaan Beracun

    Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya. Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi s

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 4 Jejak Yang Tertinggal

    Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia. Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pag

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 3 Yang Tersembunyi

    Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu. Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status