Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara.
“Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi permainan sembunyi. Tidak ada lagi Nora.” Chalia terdiam. Hatinya berdesir meski pikirannya menolak. Selama ini, dia merasa cukup hanya jadi tempat pelarian Janu. Tapi janji itu terlalu menggoda. “Apa racunnya?” “Thallium,” bisik Janu. “Efeknya pelan. Nora rutin minum kapsul minyak ikan setiap pagi. Kita cuma butuh satu botol. Aku bisa ganti isinya.” Chalia masih ragu. Wajahnya gelap, tapi tidak sepenuhnya menjauh. “Kalau ketahuan, kita selesai, Jan.” “Kalau kita tidak melakukan ini, aku selesai. Kita selesai.” Janu menatapnya tajam. “Kamu bilang ingin Nora pergi. Sekarang ada caranya.” Chalia menunduk. Hening menggantung. Akhirnya, dia berkata pelan, nyaris tak terdengar. “Pastikan cuma sekali. Jangan pernah menyebut ini lagi setelah selesai.” Janu mengangguk. “Aku janji.” Dan saat mereka keluar dari ruang kecil itu, tak ada yang menyangka bahwa siang yang tenang itu telah menyimpan rencana kematian. * Rumah diselimuti keheningan saat suara mobil memasuki halaman. Lampu ruang tamu temaram. Aroma melati dari cangkir teh di meja sudah mulai menguar. Hangat dan menenangkan, setidaknya bagi Nora. Dia duduk menunggu seperti biasa. Tak ada nada marah di wajahnya. Tak ada dendam yang tampak. Hanya tatapan kosong yang mulai belajar untuk menerima kenyataan. Meskipun hatinya belum sepenuhnya sanggup. Pintu terbuka. Janu masuk dengan langkah perlahan. Kali ini tidak langsung menuju kamar atau mengganti baju, tapi berdiri sejenak di ambang ruang, memandangi Nora dalam diam. Nora tersenyum tipis. “Capek, ya?” Janu mengangguk. “Lumayan.” Dia berjalan ke arah meja makan, lalu duduk di kursi seberangnya. Tangannya meraih cangkir teh melati, tapi tidak langsung meminumnya. Dia hanya memandangi permukaan cairan itu seolah sedang mencari sesuatu yang tersembunyi di balik riaknya. “Aku tadi sempat berputar-putar dulu,” katanya pelan. Nora menoleh, menunggu kelanjutan. “Lewat taman yang dulu sering kita datangi. Tempat yang ada warung kecil di ujung jalan. Kamu masih ingat, ‘kan?” Nora mengangguk pelan. “Ingat.” Janu tersenyum, tapi senyumnya singkat. Seperti kenangan yang hanya ingin mampir sebentar. Lalu hilang. “Dari tadi aku berpikir … kita ini, yah ... sudah berapa lama menikah?” “Sembilan tahun,” jawab Nora, masih dengan nada lembut. “Hampir sepuluh kalau kamu hitung dari hari lamaran.” Janu mengangguk. “Lama juga, ya.” Dia menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia berkata. “Aku sudah mengakhiri semuanya.” Nora mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” “Perempuan itu,” ucap Janu, masih tidak menyebut nama. “Aku sudah putuskan untuk tidak menemuinya lagi. Tidak ada alasan yang pantas untuk terus melanjutkan permainan itu seperti kemarin-kemarin.” Nora diam. Bibirnya bergerak sedikit tapi tak mengeluarkan suara. Janu menunduk. Matanya mulai memerah. Suaranya menurun menjadi bisikan yang rawan pecah. “Aku jahat, Ra. Aku keterlaluan. Aku tahu itu.” Masih belum ada tanggapan dari Nora. “Aku pikir aku dapat kebebasan. Tapi ternyata aku cuma menyakiti orang yang paling menyayangiku,” lanjutnya. “Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf.” Dia menunduk lebih dalam, hampir seperti bersujud. “Aku mau berubah. Serius. Tapi aku tidak tahu apakah kamu masih bisa percaya lagi.” Nora memejamkan mata sejenak. Bahunya naik-turun menahan sesuatu yang ingin keluar dari dadanya. “Kamu yakin… kamu udah selesai dengan semua itu?” tanyanya pelan. Janu mengangguk tanpa suara. “Aku cuma butuh kamu di sini,” bisik Nora, “tanpa topeng, tanpa permainan. Kalau kamu pulang, aku cuma mau kamu pulang utuh. Bukan cuma raga.” Pelan-pelan, Nora mendekat, menyentuh bahu Janu, dan memeluknya dari samping. Tangisnya tak sekeras dulu. Kini, dia menangis dengan diam yang lama. Yang hanya keluar saat seseorang telah terlalu sering disakiti, tapi tetap memilih bertahan. Dan malam itu, untuk sesaat, rumah mereka terasa penuh kembali. Namun di dalam dada Janu, tekad yang lain justru mengeras. Pelukan itu tak lagi menyentuh nuraninya. Dia hanya menunggu waktu. Teh melati malam itu kembali diseruput, perlahan, manis dan penuh kebohongan. * Pagi menyelinap masuk lewat jendela dapur. Cahaya lembut menyentuh meja makan yang sudah tertata rapi. Aroma nasi panas, sayur berkuah dan teh menguar pelan, mengisi ruang dengan hangat yang hampir terasa nyata. Janu duduk di kursi makan, menatap Nora yang sedang mengaduk teh melati. Senyum tipis masih tersungging di bibirnya. Senyum yang sudah dipoles rapi, penuh kepura-puraan. “Terima kasih, Ra,” katanya lembut. Suaranya hampir seperti bisikan. Nora membalas senyum itu, meski matanya tetap mengandung sedikit kehati-hatian. “Sudah kubilang, aku ingin kita baik-baik saja.” Janu mengangguk. “Aku juga.” Mereka makan sarapan bersama, percakapan mengalir ringan. Tentang cuaca, tentang rencana hari itu, tentang hal-hal kecil yang dulu biasa mereka nikmati bersama. Setelah beberapa saat, Janu tiba-tiba bertanya, “Ngomong-ngomong, kapsul minyak ikan yang kamu konsumsi itu, kamu masih minum, kan?” Nora mengangguk tanpa ragu. “Iya. Ini buat jantung dan otak, kata dokter.” Dia berdiri dan membuka salah satu laci dapur, mengeluarkan botol kecil berlabel “Minyak Ikan” dengan tutup plastik hijau. “Ini masih ada banyak,” katanya sambil menyerahkan botol itu pada Janu. Janu menerima botol itu, memutar-mutar di tangannya seolah memperhatikan tulisan kecil pada labelnya. “Bagus,” katanya pelan. “Aku ingin kamu sehat. Aku janji akan jaga kamu.” Nora tersenyum, seolah percaya sepenuhnya pada suaminya. Janu menunggu saat Nora sibuk membereskan meja. Ketika Nora lengah dan pergi ke kamar mandi, Janu dengan cepat mengambil botol. Namun, tepat saat itu Nora sempat menatap ke arahnya. Janu menahan napas. Tidak! Jangan sampai Nora sadar.Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin. Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak. Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf. Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus. Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi. Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa. Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya. Mungkinkah hanya kebetulan? Mungkin
Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas. Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.Seakan tak terjadi apa pun.Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan
Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara. “Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi perma
Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya. Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi s
Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia. Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pag
Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu. Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.