Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia.
Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pagi itu, aroma yang sama juga menguar dari tubuh Chalia saat mereka bersalaman. Nora diam sejenak. Lalu duduk bersandar di dinding, masih memegang kemeja itu. Tidak menangis. Tidak marah. Hanya diam dan berpikir. Tangannya meraih ponsel. Dia membuka mesin pencari, lalu mengetik pelan. "Chalia Perawat Rumah Sakit Santosa" Beberapa hasil muncul. Foto-foto kegiatan. Artikel kecil tentang tim medis di rumah sakit. Lalu satu foto, sebuah unggahan media lokal tentang program pemeriksaan gratis. Di tengah kerumunan pasien, Janu berdiri mengenakan jas putih, tersenyum. Dan di sampingnya, berdiri Chalia. Wajahnya sedikit miring ke arah Janu. Terlalu dekat. Nora menyimpan foto itu. Dia lalu menutup layar ponsel dan tersenyum kecil. Senyum yang tidak hangat seperti biasanya. "Kamu pintar menyembunyikan jejak, Janu," batinnya. "Tapi tidak cukup pintar untuk menyembunyikan bau." Dia berdiri, merapikan kemeja itu ke dalam kantong cucian. Tapi pikirannya sudah mulai menenun pola. Perlahan. Rapi. Dan tanpa suara. * Pagi masih dingin saat Nora membuka laptopnya di ruang kerja kecil mereka. Di luar, burung-burung sudah mulai bernyanyi, dan aroma kopi dari dapur perlahan menyebar. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Nora tidak membuatkan sarapan untuk Janu. Bukan karena marah. Tapi karena dia tahu, perubahan kecil lebih mudah dilewatkan ketimbang sikap frontal. Dan dia butuh invisibilitas itu. Tangannya mengetik perlahan: “Parfum wanita dengan aroma melati dan vanila” Hasilnya muncul dalam deretan gambar dan merek. Dia mencatat dua nama yang kemungkinan cocok. Lalu membuka satu tab lain, akun media sosial klinik tempat Janu bekerja. Dia menelusuri unggahan, mengingat wajah Chalia yang ramah. Di satu video pendek, Chalia tertawa saat berbincang dengan pasien. Dan Nora perhatikan detail kecil, kalung tipis dengan liontin huruf “C” yang sering tersembunyi di balik seragamnya. "Manis. Muda. Sempurna jadi selingkuhan yang tak dicurigai." Nora membuka kembali foto yang disimpan malam tadi, Janu dan Chalia berdiri terlalu dekat. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya sekarang. Dia memperbesar bagian pojok bawah gambar. Jam digital klinik. Terlihat pukul 12:23 siang. "Waktu istirahat, ya?" Waktu yang sama ketika Janu tak bisa menemuinya dan menyuruh Chalia menerima kotak makan siang itu. Nora menutup laptop. Tidak tergesa-gesa. Hanya menyimpan semua simpul di pikirannya. Hari ini, dia akan pergi ke klinik. Tapi bukan sebagai istri dokter. Melainkan sebagai pasien yang ingin konsultasi kecil-kecilan soal insomnia dan tekanan darah. Dia sudah menelepon pagi-pagi tadi, membuat janji bukan dengan Janu. Tapi dengan dokter umum perempuan di klinik itu. "Aku hanya ingin tahu," katanya sambil mengancingkan kemeja. "Siapa yang benar-benar memperhatikan siapa." * Pagi itu terasa aneh sejak alarm berbunyi. Janu bangun, duduk di sisi ranjang sambil mengucek matanya. Dia menoleh. Nora sudah tidak di sampingnya. Biasanya, aroma nasi panas atau tumisan sayur sudah menyeruak dari dapur. Tapi kali ini hanya bau sabun tangan yang samar dari kamar mandi. Dia melangkah keluar kamar, setengah mengantuk. Di meja makan, tak ada nasi, tak ada roti panggang, hanya teh melati yang sudah dingin. Dan selembar kertas kecil bertuliskan: “Selamat pagi. Aku keluar sebentar. Jangan lupa sarapan di luar ya. –N” Janu memandangi kertas itu sebentar. Ada jeda di napasnya. Tak ada emoji senyum. Tak ada hiasan kata. Hanya tulisan biasa. Terlalu biasa untuk Nora. Dia duduk perlahan, mencicipi teh melati yang lebih pahit dari biasanya. Mata Janu menatap kosong ke jendela. Biasanya Nora akan menanyakan: "Kamu mau aku bawakan makan siang nanti?" "Jas putihmu sudah aku setrika, jangan lupa dipakai." Tapi pagi ini … sunyi. Dan ada rasa ganjil mengalir di dada. Tipis. Nyaris tak terasa. Tapi nyata. Janu mencoba mengabaikannya. Dia bangkit, mengenakan jasnya, lalu mengambil tas kerja dari meja. Namun saat membuka pintu, dia sempat menoleh sebentar ke ruang makan yang kosong. Untuk sesaat, dia merasa bukan dirinya yang sedang menyembunyikan sesuatu. Pagi itu, tujuan pertana Janu bukan ruang prakteknya. Melainkan ruang kecil di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi. Di antara bau disinfektan dan dering ponsel yang teredam. Chalia sudah menunggu saat Janu masuk tergesa. Wajah perempuan itu langsung merekah. Senyumnya tajam namun lembut, lalu tangannya menggamit kerah Janu dan menariknya ke dalam pelukan cepat. "Aku rindu," bisik Chalia di dekat telinga Janu, sebelum bibir mereka bertemu sejenak. Tapi kali ini, Janu tak sepenuhnya tenggelam. Tubuhnya merespons, tapi pikirannya melayang. Chalia menyadari itu. Dia mundur sedikit, menatap wajah Janu yang tampak lebih kusut dari biasanya. “Ada apa?” tanyanya, merapikan rambutnya sendiri. “Kamu seperti… tidak sepenuh hati hari ini.” Janu menghela napas pelan, bersandar ke dinding. “Nora,” katanya pendek. Chalia mengangkat alis. “Lagi-lagi istrimu?” Janu tidak menjawab langsung. Dia menatap lantai. “Pagi ini dia tidak memasak sarapan. Tidak bertanya seperti biasanya. Dia hanya meninggalkan secarik catatan.” Chalia mengedip, lalu menyandarkan tubuhnya ke samping Janu. “Mungkin dia sedang capek,” katanya enteng, tapi matanya memerhatikan ekspresi laki-laki di sebelahnya. “Atau mulai sadar?” Janu menoleh cepat. “Nora? Dia tidak pernah curiga. Dia terlalu sibuk menjadi istri baik. Selama ini, dia bahkan tidak tahu aku sering pulang dengan bau tubuh wanita lain.” Chalia tersenyum miring. “Atau dia tahu, tapi sudah muak.” Janu diam. Itu kemungkinan yang tak pernah dia pikirkan terlalu serius. “Lagipula,” lanjut Chalia. Dia melingkarkan tangan di pinggang Janu, menempelkan tubuhnya. “Kalau memang dia berubah, itu berarti lebih mudah untuk kita, kan?”Nora tiba di rumah dengan langkah ringan. Langkah-langkahnya tak tergesa, tak pula berat. Dia membuka pintu rumah, meletakkan tas tangan di tempat biasa, lalu melepas sepatunya dengan tenang. Tak ada gelombang amarah dalam dirinya. Tak ada isak kecewa.Apa yang dia lihat pagi tadi, Janu dan perempuan itu, hanyalah babak lain dari drama yang sudah hapal di luar kepala.Janu memang tak pernah setia. Dan anehnya, itu tak lagi menyakitkan. Karena sejak memutuskan untuk melenyapkan Janu, Nora sudah tahu lelaki itu tak akan pernah benar-benar miliknya. Yang dia incar bukan cintanya. Tapi kuasanya. Ketundukannya. Kelemahannya.Nora berjalan menuju dapur, menuang air ke dalam gelas kristal. Tangannya halus, gerakannya tenang, tapi pikirannya berjalan lebih cepat dari air yang mengalir dari keran.Janu harus mati. Tapi bukan dengan cara yang sama seperti kemarin. Itu terlalu lemah. Terlalu berisiko. Jika dia bisa diselamatkan sekali, bukan tak mungkin dia bisa diselamatkan lagi. Dan kali ini,
Langit begitu cerah siang itu. Matahari bersinar terik, tak ada tanda hujan akan turun. Di dalam kafe, aroma espresso dan vanilla bercampur samar dengan lagu jazz lembut yang mengalun pelan.Nora duduk di pojokan. Di depannya, secangkir teh melati masih mengepul, belum disentuh. Wajahnya tenang, tapi pikirannya riuh. Masih membentang dari ruang kerja ayahnya ke rumah yang sebentar lagi harus dia hadapi lagi bersama Janu.Belum sempat dia menyesap tehnya, pintu kafe terbuka. Angin tipis membawa aroma matahari.“Wah, ternyata kamu di sini juga.” Suara itu familiar.Nora menoleh. Raksa berdiri di dekat meja kasir, menggenggam kantong kertas berisi cup kopi. Rambutnya agak berantakan. Namun, senyumnya seperti biasa, tenang, agak malas, dan berbahaya.“Tempat favorit,” balas Nora dengan senyum kecil. “Kamu juga kelihatan sering ke sini, ya?”Raksa mengangkat alis, lalu memutuskan duduk di kursi seberangnya. “Biasanya cuma beli dan pergi. Tapi hari ini, aku ingin duduk sebentar.”Nora menya
Udara pagi masih segar. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang, Janu mulai terbangun, perlahan mengangkat tubuhnya yang masih terasa berat. Dia mengedarkan pandangan dan mendapati Nora tengah duduk di tepi ranjang. Masih mengenakan jubah tidur berwarna lembut. Namun, rambutnya sudah disisir rapi ke samping.“Pagi,” ucap Nora pelan, seolah tak ingin mengejutkannya.Janu hanya mengangguk kecil. “Kamu bangun pagi sekali.”“Aku tak bisa tidur terlalu lama.” Dia tersenyum kecil. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Sedikit,” jawab Janu jujur.Nora menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Ada ketulusan dalam tatapannya.“Terima kasih untuk semalam,” ujar Nora lembut. “Semalam, aku memikirkan semua yang kamu katakan,” ucapnya dengan suara pelan. “Aku sadar mungkin selama ini aku terlalu keras. Terlalu sibuk dengan luka dan amarahku sendiri.”Janu tak menyela, hanya memandangnya dengan penuh kehati-hatian.Nora melanjutkan, l
Dua minggu setelah keluar dari rumah sakit, Janu kini sudah jauh lebih baik. Tubuhnya mulai pulih sepenuhnya, meskipun bekas trauma keracunan itu masih membekas jelas di pikirannya. Nafasnya tidak lagi sesak. Langkahnya mulai mantap. Dia sudah bisa berjalan keliling rumah tanpa bantuan, bahkan sesekali keluar ke teras untuk menghirup udara pagi.Namun, ada satu hal yang belum berubah. Dia tak pernah menyentuh satu pun makanan atau minuman yang disajikan Nora.Pagi, siang, hingga malam, semua dia pesan sendiri. Makanan dikirim ke rumah oleh layanan katering terpercaya. Dia membeli minuman dan air mineralnya sendiri. Bahkan teh dan kopi dia buat di kamar dengan perlengkapan pribadi. Semua dengan satu prinsip. Jangan beri celah.Anehnya, Nora tak menunjukkan reaksi berlebihan. Tak ada pertengkaran, tak ada air mata. Dia tetap menjalankan peran sebagai istri dengan wajah datar namun tenang. Menyapu, mencuci, menyetrika. Hanya tak pernah menyiapkan makanan atau minuman untuk Janu.Tapi di
Seminggu sudah sejak racun hampir membunuhnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi dokter menyatakan Janu bisa menjalani rawat jalan. Dia menunggu di kursi roda, menatap pintu utama rumah sakit. Wajahnya tenang, tapi pikirannya berkecamuk.Dia belum tahu siapa yang meracuni kopinya, tapi beberapa nama terus berputar di kepalanya. Nora. Rindu. Chalia. Dan saat pintu otomatis terbuka, salah satu nama itu menjadi nyata.Nora melangkah masuk dengan senyum hangat dan tangan menggenggam buket bunga kecil. Penampilannya sederhana, wajahnya tampak lelah, tapi segar. Terlalu segar untuk seseorang yang baru saja "kritis".Janu tertegun sesaat. Dia tidak mengira Nora yang akan datang menjemput. Bukan Chalia. Bukan sopir kantor. Bukan siapapun. Tapi istrinya yang penuh teka-teki.“Mas,” ucap Nora lembut, “aku datang menjemputmu pulang.”Janu tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, menganalisis bahasa tubuh Nora, mencoba mencari celah di balik senyum itu.“Kenapa kamu?” tanyanya datar.Nora
Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah tirai jendela. Monitor detak jantung di samping ranjang menunjukkan angka stabil. Meski tubuhnya masih lemah, otak Janu mulai menyusun rencana. Dia tahu, ini bukan waktu untuk sembarangan percaya.Pintu kamar diketuk pelan sebelum terbuka.“Pagi, Mas,” suara Chalia terdengar hangat seperti biasa, tapi matanya menyimpan kekhawatiran. Dia membawa nampan berisi sarapan dari rumah sakit.“Aku ambilkan bubur ayam dan teh tawar hangat. Katanya Mas Janu belum boleh makanan berminyak.” Dia tersenyum, berusaha tampak santai.Janu menatapnya. Lama. Terlalu lama.Mata itu tak sekadar melihat, tapi seperti membedah isi hati. Tatapan yang dulu membuat Chalia merasa dihargai, kini terasa menginterogasi.Chalia mengernyit. “Kenapa kamu melihatku begitu?”Janu tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh pada gelas teh.“Kamu yang buatkan?” tanyanya lirih, tapi tajam.“Dari rumah sakit,” jawab Chalia cepat. “Disiapkan petugas. Aku cuma bawa ke sini.”Janu me