แชร์

Bab 4 Jejak Yang Tertinggal

ผู้เขียน: Vargsagen
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-18 19:01:25

Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia.

Chalia.

Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih.

"Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri."

Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening.

Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai.

Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian.

Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu.

Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pagi itu, aroma yang sama juga menguar dari tubuh Chalia saat mereka bersalaman.

Nora diam sejenak. Lalu duduk bersandar di dinding, masih memegang kemeja itu. Tidak menangis. Tidak marah. Hanya diam dan berpikir.

Tangannya meraih ponsel. Dia membuka mesin pencari, lalu mengetik pelan. "Chalia Perawat Rumah Sakit Santosa"

Beberapa hasil muncul. Foto-foto kegiatan. Artikel kecil tentang tim medis di rumah sakit. Lalu satu foto, sebuah unggahan media lokal tentang program pemeriksaan gratis. Di tengah kerumunan pasien, Janu berdiri mengenakan jas putih, tersenyum. Dan di sampingnya, berdiri Chalia. Wajahnya sedikit miring ke arah Janu. Terlalu dekat.

Nora menyimpan foto itu. Dia lalu menutup layar ponsel dan tersenyum kecil. Senyum yang tidak hangat seperti biasanya.

"Kamu pintar menyembunyikan jejak, Janu," batinnya. "Tapi tidak cukup pintar untuk menyembunyikan bau."

Dia berdiri, merapikan kemeja itu ke dalam kantong cucian. Tapi pikirannya sudah mulai menenun pola.

Perlahan. Rapi. Dan tanpa suara.

*

Pagi masih dingin saat Nora membuka laptopnya di ruang kerja kecil mereka. Di luar, burung-burung sudah mulai bernyanyi, dan aroma kopi dari dapur perlahan menyebar. Tapi pagi ini, ada yang berbeda.

Nora tidak membuatkan sarapan untuk Janu.

Bukan karena marah. Tapi karena dia tahu, perubahan kecil lebih mudah dilewatkan ketimbang sikap frontal. Dan dia butuh invisibilitas itu.

Tangannya mengetik perlahan: “Parfum wanita dengan aroma melati dan vanila”

Hasilnya muncul dalam deretan gambar dan merek. Dia mencatat dua nama yang kemungkinan cocok. Lalu membuka satu tab lain, akun media sosial klinik tempat Janu bekerja. Dia menelusuri unggahan, mengingat wajah Chalia yang ramah.

Di satu video pendek, Chalia tertawa saat berbincang dengan pasien. Dan Nora perhatikan detail kecil, kalung tipis dengan liontin huruf “C” yang sering tersembunyi di balik seragamnya.

"Manis. Muda. Sempurna jadi selingkuhan yang tak dicurigai."

Nora membuka kembali foto yang disimpan malam tadi, Janu dan Chalia berdiri terlalu dekat. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya sekarang. Dia memperbesar bagian pojok bawah gambar.

Jam digital klinik. Terlihat pukul 12:23 siang.

"Waktu istirahat, ya?"

Waktu yang sama ketika Janu tak bisa menemuinya dan menyuruh Chalia menerima kotak makan siang itu.

Nora menutup laptop. Tidak tergesa-gesa. Hanya menyimpan semua simpul di pikirannya.

Hari ini, dia akan pergi ke klinik. Tapi bukan sebagai istri dokter. Melainkan sebagai pasien yang ingin konsultasi kecil-kecilan soal insomnia dan tekanan darah.

Dia sudah menelepon pagi-pagi tadi, membuat janji bukan dengan Janu. Tapi dengan dokter umum perempuan di klinik itu.

"Aku hanya ingin tahu," katanya sambil mengancingkan kemeja. "Siapa yang benar-benar memperhatikan siapa."

*

Pagi itu terasa aneh sejak alarm berbunyi.

Janu bangun, duduk di sisi ranjang sambil mengucek matanya. Dia menoleh. Nora sudah tidak di sampingnya. Biasanya, aroma nasi panas atau tumisan sayur sudah menyeruak dari dapur. Tapi kali ini hanya bau sabun tangan yang samar dari kamar mandi.

Dia melangkah keluar kamar, setengah mengantuk. Di meja makan, tak ada nasi, tak ada roti panggang, hanya teh melati yang sudah dingin. Dan selembar kertas kecil bertuliskan:

“Selamat pagi. Aku keluar sebentar. Jangan lupa sarapan di luar ya. –N”

Janu memandangi kertas itu sebentar. Ada jeda di napasnya. Tak ada emoji senyum. Tak ada hiasan kata. Hanya tulisan biasa. Terlalu biasa untuk Nora.

Dia duduk perlahan, mencicipi teh melati yang lebih pahit dari biasanya. Mata Janu menatap kosong ke jendela.

Biasanya Nora akan menanyakan:

"Kamu mau aku bawakan makan siang nanti?"

"Jas putihmu sudah aku setrika, jangan lupa dipakai."

Tapi pagi ini … sunyi. Dan ada rasa ganjil mengalir di dada. Tipis. Nyaris tak terasa. Tapi nyata.

Janu mencoba mengabaikannya. Dia bangkit, mengenakan jasnya, lalu mengambil tas kerja dari meja.

Namun saat membuka pintu, dia sempat menoleh sebentar ke ruang makan yang kosong. Untuk sesaat, dia merasa bukan dirinya yang sedang menyembunyikan sesuatu.

Pagi itu, tujuan pertana Janu bukan ruang prakteknya. Melainkan ruang kecil di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi. Di antara bau disinfektan dan dering ponsel yang teredam.

Chalia sudah menunggu saat Janu masuk tergesa. Wajah perempuan itu langsung merekah. Senyumnya tajam namun lembut, lalu tangannya menggamit kerah Janu dan menariknya ke dalam pelukan cepat.

"Aku rindu," bisik Chalia di dekat telinga Janu, sebelum bibir mereka bertemu sejenak.

Tapi kali ini, Janu tak sepenuhnya tenggelam. Tubuhnya merespons, tapi pikirannya melayang.

Chalia menyadari itu. Dia mundur sedikit, menatap wajah Janu yang tampak lebih kusut dari biasanya.

“Ada apa?” tanyanya, merapikan rambutnya sendiri. “Kamu seperti… tidak sepenuh hati hari ini.”

Janu menghela napas pelan, bersandar ke dinding.

“Nora,” katanya pendek.

Chalia mengangkat alis. “Lagi-lagi istrimu?”

Janu tidak menjawab langsung. Dia menatap lantai. “Pagi ini dia tidak memasak sarapan. Tidak bertanya seperti biasanya. Dia hanya meninggalkan secarik catatan.”

Chalia mengedip, lalu menyandarkan tubuhnya ke samping Janu.

“Mungkin dia sedang capek,” katanya enteng, tapi matanya memerhatikan ekspresi laki-laki di sebelahnya. “Atau mulai sadar?”

Janu menoleh cepat. “Nora? Dia tidak pernah curiga. Dia terlalu sibuk menjadi istri baik. Selama ini, dia bahkan tidak tahu aku sering pulang dengan bau tubuh wanita lain.”

Chalia tersenyum miring. “Atau dia tahu, tapi sudah muak.”

Janu diam. Itu kemungkinan yang tak pernah dia pikirkan terlalu serius.

“Lagipula,” lanjut Chalia. Dia melingkarkan tangan di pinggang Janu, menempelkan tubuhnya. “Kalau memang dia berubah, itu berarti lebih mudah untuk kita, kan?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 122 Jalan Keluar

    Bab 122Untuk beberapa lama Nora hanya menangis dalam diam. Kata-kata Raksa tadi masih menggema dalam kepalanya, menyalakan sedikit api hangat yang bahkan dirinya sendiri tidak mengira bisa kembali dia rasakan.Selama ini dunia terasa dingin, penuh kecurigaan, penuh kebencian. Kini, ada seseorang yang duduk tak jauh darinya, berjanji dengan caranya sendiri untuk tetap tinggal.Nora mengangkat wajahny. Mata bengkak dan merah, lalu menatap Raksa lama sekali. Ada sesuatu yang muncul di sana. Campuran antara rasa lega dan rasa sakit.“Raksa…” suaranya lirih, serak. “Aku… aku seharusnya sudah mati malam itu.”Raksa menegakkan tubuh. Wajahnya tegang. “Jangan katakan itu lagi.”“Tapi itu kenyataan,” Nora memaksa. Air mata kembali mengalir. “Aku sudah melangkah terlalu jauh. Menjadi orang seperti ini, tidak ada lagi tempat untukku di dunia. Kalau pun kamu ada di sini sekarang. Kalau pun kamu memilih untuk tidak menyerahkanku aku tetap seorang pembunuh.”Raksa hendak memotong, tapi Nora menata

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 121 Pengakuan

    Raksa berdiri di depan pintu kamar perawatan. Tangannya sempat terhenti di gagang pintu. Dia menarik napas panjang. Di dalam sana, dia yakin Nora sedang menunggu. Dia tak tahu apa yang akan keluar dari mulut perempuan itu, tapi firasatnya mengatakan sesuatu besar akan terungkap.Dengan hati-hati, Raksa mendorong pintu. Nora duduk bersandar di ranjang. Wajahnya pucat tapi matanya jernih, jernih dengan tekad, meski berlapis luka.“Bagaimana perasaanmu hari ini?” suara Raksa tenang, nyaris berbisik.“Masih hidup,” jawab Nora lirih, dengan senyum yang tidak benar-benar senyum. “Itu saja.”Raksa mendekat, menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya terdengar suara mesin infus yang berdetak pelan.“Raksa…” Nora memulai, suaranya pelan, nyaris retak. “Pernahkah kamu merasa… segala luka yang kita tanggung akhirnya harus dibalas entah bagaimana caranya?”Raksa menatapnya. “Aku tahu perasaan itu. Tapi balas dendam jarang membawa kelegaan.”Nora menghela napa

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 120 Kejujuran

    Ruang istirahat perawat sore itu dipenuhi aroma antiseptik dan bunyi samar monitor dari ruang sebelah. Lampu neon berpendar dingin, menyorot wajah pucat Chalia yang sudah menunggu di kursi pojok. Bahunya merosot, seolah seluruh beban dunia ditumpahkan ke tubuhnya yang rapuh.Raksa masuk, menutup pintu perlahan. Langkahnya berat. Dadanya dipenuhi kebimbangan. Dia tahu arah kasus ini. Tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Tapi dia tetap harus menuntun percakapan ini. Harus menyusun narasi yang bisa menyelamatkan Nora.“Chalia,” ucapnya datar. “Aku ingin kamu jujur sepenuhnya malam ini. Tentang hubunganmu dengan Janu. Tentang apa pun yang pernah kalian lakukan.”Chalia menegang. Untuk beberapa saat, matanya berputar resah, lalu tertunduk dalam. Ada jeda panjang sebelum ia membuka suara.“Ya,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku… aku memang punya hubungan dengan Janu.”Raksa menahan napas, menatap tajam.“Aku bodoh,” lanjut Chalia, suaranya pecah. “Aku tahu dia sudah menikah. Aku tahu han

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 119 Kambing Hitam

    Atasan Raksa menghela napas panjang, menatap kedua orang tua Janu yang masih berkacak pinggang di ujung ruang rapat. Wajah mereka merah. Napas masih berat karena amarah. Dia tahu betul suasana itu bisa memecah konsentrasi penyidikan kapan saja jika tidak segera diredakan.“Bapak, Ibu,” ujar Pak Wirya dengan nada tenang namun tegas, “kami paham bagaimana sakitnya kehilangan anak. Saya juga tak ingin perkara ini berlarut tanpa hasil. Tapi tolong percayakan prosesnya pada kami. Jika saudara merasa penyidik yang menangani, Pak Raksa, tidak objektif, kami bisa segera mengganti penanggung jawab penyidikan.”Kedua orang tua Janu saling pandang. Ibu Janu menghembuskan napas panjang, matanya masih menyala. “Kalau memang begitu, kami minta itu. Kami ingin keadilan,” katanya singkat.Wirya menepuk meja pelan untuk menghentikan gelombang emosi. “Kalau Pak Raksa tidak bisa bersikap objektif, saya tak akan ragu menarik dia dari kasus. Prioritas kita kebenaran. Bukan melindungi siapa pun. Itu jamin

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 118 Perang Batin

    Raksa menahan napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan. “Kami sudah mengumpulkan bukti sejauh ini,” katanya pelan tapi terukur. “Dan memang ada arah kecurigaan yang jelas pada perawat Chalia. Namun, kami masih kesulitan menemukan bukti kuat yang bisa menjeratnya di pengadilan.”Sejenak ruangan hening. Lalu, Ibu Janu menyambar kalimat itu seperti pisau. “Kesulitan? Maksudmu, anak saya mati begitu saja tanpa keadilan karena kalian kesulitan?” Suaranya meninggi. Matanya merah karena amarah sekaligus tangis yang ditahan.Ayah Janu mencoba meredam, meski wajahnya tak kalah keras. “Yang kami minta sederhana, Pak Raksa. Tangkap dia. Tekan dia. Buat dia bicara. Kamu polisi, bukan? Kalau memang dia bersalah, dia pasti akan mengaku.”Raksa menegakkan tubuh, kedua tangannya terkepal di atas meja. Dia ingin menjelaskan bahwa prosedur hukum tak semudah itu, bahwa setiap langkah yang dia ambil harus bisa dipertanggungjawabkan. Tapi menghadapi duka dan kemarahan dua orang tua yan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 117 Tersangka

    Ruangan seketika terasa menyempit. Nora menahan napas. Bola matanya melirik cepat pada Raksa.Raksa berdiri kaku. Merasa semua sorot mata tertuju padanya. Pertanyaan itu sederhana dalam bentuknya, tapi jawaban di kepalanya bercabang ribuan arah. Dia tahu arah kebenaran. Dia punya potongan-potongan yang bisa dirangkai menjadi sebuah tuduhan. Tapi dia juga tahu, membuka mulut sekarang berarti menelanjangi Nora di depan ayahnya sendiri.“Pak Harsanta…” suara Raksa terdengar rendah. Dia menelan ludah. “Yang saya tahu, Ibu Nora berada dalam tekanan berat sejak almarhum Pak Janu meninggal. Itu bisa saja yang mendorongnya mengambil langkah nekat.”Pak Harsanta menatap lebih dalam, seolah ingin menguliti tiap kata Raksa. “Itu jawaban seorang polisi atau jawaban seorang pria yang sedang mencoba melindungi anak saya?”Kata-kata itu menghantam tepat di ulu hati Raksa.Raksa menunduk sesaat, lalu kembali menegakkan tubuh. “Mungkin keduanya, Pak.”Keheningan jatuh. Nora memejamkan mata. Hatinya be

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status