Langkah kaki Janu begitu ringan menyusuri lorong rumah sakit. Seolah hari itu hanya milik orang-orang yang baru saja lepas dari masa karantina batin. Jas dokternya berkibar pelan saat membuka pintu ruang praktik. Tapi belum sempat menarik napas, Chalia sudah berdiri di sana. Perempuan itu bersandar di meja dengan tangan menyilang dan sorot mata menusuk.“Jadi... kamu bertemu dia semalam?”Nada suara Chalia tajam layaknya ujung pisau bedah yang menembus kulit. Janu menutup pintu perlahan, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi.“Rindu?” tanyanya ringan, berpura-pura tak paham. “Iya. Aku hanya ingin minta maaf. Itu saja.”Chalia tertawa sinis. “Cuma minta maaf? Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu kira aku tidak tahu kamu mencari dia? Kamu mengikuti Rindu seperti anak anjing kesepian!”Janu menatapnya datar, tapi suaranya tetap tenang. “Chal, kamu terlalu posesif. Kita sudah membahas ini berulang kali. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya secara dewasa.”“Tapi kamu janji sama aku!” suara C
Rindu menatap tangan Janu yang menggenggam jemarinya. Untuk sesaat, jantungnya berdebar lebih kencang. Sentuhan Janu memang selalu berefek seperti itu. Namun, detik berikutnya Rindu ingat apa yang dikatakan lelaki itu di ruang sidang. Seketika amarah memuncak. Dia langsung menarik diri dengan kasar."Jangan sentuh aku, Dok,” ujarnya tajam.Janu sempat terdiam, tak menyangka reaksi itu akan begitu dingin dan tegas."Aku sudah cukup bersabar selama ini," lanjut Rindu. "Dan aku sudah muak jadi bagian dari kebohongan kamu."“Rindu…” Janu mencoba menenangkan, tapi gadis itu sudah berdiri.“Aku tidak peduli kamu mau memperbaiki hidup atau apapun. Aku sudah tidak peduli lagi!”Wajah Janu menegang. Tapi dia tetap memasang ekspresi tenang. “Aku cuma ingin kita bicara baik-baik. Tanpa harus saling menyakiti.”Rindu tertawa miris. “Sayangnya, kamu tidak pernah bisa bicara tanpa menyakiti orang lain.”Dia meraih tasnya dengan gerakan cepat, lalu berbalik menuju pintu. Bunyi berdebam bergema cukup
Nora tidak ingin duduk diam di rumah hari itu. Dia tahu jika tinggal terlalu lama di rumah, kegugupannya bisa meledak menjadi kepanikan. Maka sejak pagi, dia mengenakan gaun kasual biru muda, mengaplikasikan lipstik tipis, dan melangkah keluar seolah dunia sedang baik-baik saja.Dia berjalan di antara toko-toko kecil di pusat kota, mampir ke butik kesukaannya, mencicipi beberapa parfum tester, lalu membeli satu botol wewangian dengan aroma cedar dan bunga iris. Setelah itu, Nora menuju salon untuk perawatan singkat. Rambutnya dikeriting lepas, sedikit volume ditambahkan. Wajahnya diberi perawatan. Hanya agar dirinya terlihat lebih hidup. Lebih percaya diri. Lebih tak tergoyahkan.Namun jauh di balik semua itu, jantungnya berdetak tak menentu.Aconitine. Dia sudah menyelundupkannya ke dalam teh. Kotak itu pasti sudah diterima Chalia pagi tadi. Dan jika semuanya berjalan sesuai rencana, racun itu akan mulai bekerja. Diam-diam. Menyebar ke dalam tubuh Janu. Meninggalkan jejak samar yang
Langkah kaki Janu terdengar mantap menyusuri lorong rumah sakit. Jas dokternya masih rapi dan licini. Wajahnya bersih. Rambutnya tersisir rapi. Di balik senyum tipisnya, tersimpan semacam antusiasme aneh. Namun semua kesiapan itu goyah begitu membuka pintu ruang praktiknya. Chalia sudah ada di sana. Duduk di kursi tamu dengan tangan terlipat di depan dada. Tak ada senyum. Tak ada tawa manja seperti biasanya. Hanya tatapan lurus dan kaku, penuh api yang tertahan. Janu mengerutkan dahi. “Pagi,” ucapnya sambil melirik ke meja kerjanya. Di sana, tergeletak sebuah kotak kado mungil dengan pita putih. Di atasnya tertera kartu kecil bertuliskan satu nama, Rindu. Janu sempat menyentuh kotak itu, lalu menoleh ke arah Chalia. “Kamu yang taruh ini?” “Bukan,” jawab Chalia cepat. “Tapi aku yang menerima paket itu saat diantar tadi pagi. Aku kira dari pasien atau temanmu. Ternyata Rindu, ya?” Janu menarik napas. “Chalia—” “Jawab saja pertanyaanku!” Chalia berdiri, membuang muka sejenak sebel
Malam beranjak naik. Janu yang hari ini pulang tepat waktu sudah terlelap di kamar. Napasnya berat dan tenang, membuktikan bahwa dia benar-benar tertidur.Sementara Nora masih duduk di ruang kerjanya. Di sana, dia membuka kotak kecil dari kayu jati, mengeluarkan satu-satunya kantong teh yang telah disuntik aconitine. Dia menyentuhnya sejenak dengan sarung tangan karet tipis, seperti seorang kurator yang menangani artefak berbahaya.Racun tak berbau, tak berasa, tapi mematikan. Dia menyelipkan kantong teh itu ke dalam satu kotak teh kecil isi lima. Empat di antaranya masih bersih. Tapi satu cukup untuk mengubah nadi menjadi senyap.Tak ada keraguan di wajahnya, hanya konsentrasi.Di sebelah kantong teh itu, sudah disiapkan sebuah kotak kado kecil. Warna pastel dengan pita putih. Di dalamnya, dia menempatkan satu kotak teh Earl Grey itu.Setelah memasukkan kotak teh ke dalam kotak kado mungil berwarna netral, Nora mengambil kartu ucapan. Dia mengetik."Terima kasih, Mas. Karena Anda, sa
Langkah Janu menyusuri lorong rumah sakit disambut tatapan-tatapan yang tak bisa dihindari. Beberapa rekan sejawat menatapnya dengan keheranan. Sebagian dengan rasa canggung yang berusaha ditutupi. Ada yang sekadar menyapa dengan anggukan kepala kecil. Ada pula yang langsung membuang muka."Dokter Janu?" sapa seorang perawat dengan ragu. "Anda sudah aktif kembali?"Janu hanya mengangguk singkat, senyum tipis mengambang di bibirnya. “Saya sudah merasa lebih baik,” katanya singkat, lalu berlalu tanpa menjelaskan lebih jauh.Dia tahu apa yang bergemuruh di benak semua orang. Tentang skandal itu, tentang video mesum, tentang sidang etik yang sempat menjeratnya. Tapi hari ini, dia tidak datang untuk menjelaskan. Dia datang untuk mengambil kembali panggungnya.Di ruang staf, dia melihat Rindu sedang menata dokumen di meja kecil dekat jendela. Gadis itu melirik sekilas, lalu kembali pada pekerjaannya. Tidak ada sapaan. Tidak ada teguran. Bahkan tidak ada amarah. Yang ada hanya hening yang di