Share

Second Lead
Second Lead
Author: Nayla

Bali

Bab 1

Bali, O5 Juni 2015

"Aku menghabiskan waktuku di pantai Kelingking Nusa Peninda, Bali, bersama teman temanku untuk berlibur. Kami menginap di villa. Udaranya yang sejuk mengikis hingga ketulang. Aku berdiri dipinggiran puncak, menikmati pemandangan dengan teropong. 

         Teropong itu menangkap mahkluk yang paling indah yang belum pernah ku lihat. Seorang gadis tertawa riang menari di pinggir laut. Rambut panjangnya terurai indah mengikuti angin. Mataku terpaku.

  "Apa yang kau lihat?" temanku menghampiri sambil meminta teropong.

"Bercanda!  Perempuan?" Kekehnya dengan nada meledek menatap kearah teropong.

  "Wanita mahluk yang indah untuk mata. Tapi juga bisa menghancurkan hidup kita."

"Berhentilah menggurui. Kau tahu dimana gadis itu?" tanyaku.

  "Serius mau ke sana ? Itu sangat mudah, kita hanya perlu mengelilingi pantai."

Aku pergi begitu saja tak ingin membuang waktu. 

  "Heiii...Aku ikut!" 

  Aku tahu dia mengikuti dari belakang menaiki motor yang dia sewa. Rasa penasaran membuat ku mempercepat tarikan motorku. 

Aku harus sampai di sana dengan cepat sebelum gadis itu hilang. Wajahnya masih sangat jelas di pikiranku. 

BRUG! 

   Terjadi kecelakaan di jalan raya. Semua kendaraan terjebak tidak bisa lewat. Darah yang mengalir membasahi jalanan. Suara ambulance membuat semakin mencekam.

      "Apa yang terjadi di depan sana ?"

      "Terjadi kecelakaan di depan!"

       "Kasian sekali."

Jalanan kota menjadi macet  tak terkendali. 

** 

Jakarta. 

Lima tahun kemudian. 

        Thalita menatap bayangannya di cermin dan mulai gelisah. Hari ini adalah hari pertunangannya, impiannya sejak dulu. Menikah dengan Morgan Alfaro, kekasihnya sejak SMA. Sampai saat ini Thalita masih tidak percaya Morgan melamarnya. Thalita mengenakan kebaya modern, warnanya akan senada dengan batik Morgan. Thalita sudah menyiapkan dengan detail pakaian mereka. 

         Morgan Alfaro bukan pria kaya raya. Dia hanya seorang karyawan biasa  di  perusahaan. Pernikahan bukan untuk membuat wanita menjadi tanggung jawab penuh laki-laki untuk membiayai hidupnya. Thalita memiliki pekerjaan sebagai pegawai mall terkenal di Jakarta. Ia bertekad tidak akan berhenti bekerja dan akan membantu suaminya mencari uang. Itu adalah prinsip bukan keterpaksaan.

      Di depannya sudah ada Renata dan Davina yang menemaninya di hotel untuk merias diri. Mereka menggunakan gaun berwarna merah maroon yang senada.

      "Kau cantik sekali, Lita."suara Renata penuh kekaguman. Gadis berambut layer itu adalah teman SMA sekaligus teman sekerjanya.

      "Apa aku tidak kelihatan aneh, Ree?" tanya Thalita. Dia sangat tegang. Acara pertunangan saja membuatnya gugup sekali. Telapak tangannya sudah berpeluh.

      "Ya ampun. Aku masih belum percaya kau akan bertunangan, Thalita,” Davina duduk di samping Renata menatap lekat temannya itu. Gadis berwajah bulat itu sangat cantik. Teman SMA Thalita juga.

      “Oh Tuhan, aku sangat gugup. Sungguh.” Thalita menarik nafas dalam-dalam.

      “Tenangkan dirimu, Thalita. Ini belum mulai lagi. Semua akan akan lancar, percayalah.” Davina menenangkan. Thalita mengangguk angguk mantap dengan senyuman manisnya.

      "Morgan sangat beruntung mendapatkan mu. Hm, tapi kenapa kalian tiba-tiba ingin menikah? Jangan bilang kau enggak virgin lagi makanya buru-buru menikah.” Renata bercanda. 

Davina dan Thalita membulatkan mata pada Renata. Bicara gadis itu terlalu ceplas-ceplos. 

      "Jangan bicara sembarangan Ree. Aku sayang  Morgan. Apa pun kekurangan dia aku terima. Tapi, bukan berarti aku menyerahkan segalanya Ree!" balas Thalita sedikit kesal. 

      "Okay. Baiklah...Jangan terlalu serius Thalita. Aku hanya bercanda," Renata tertawa untuk menghilangkan ketegangan.

  "Kau membuatku semakin tegang Ree."

       "Tenanglah sayang semua akan lancar." Renata mengusap bahu Thalita pelan. 

    Thalita menatap ke cermin kembali, memastikan semua yang ia kenakan sudah terlihat sempurna. 

Thalita meraih kedua tangan temannya,” Jantungku berdebar kencang sekali.”

      "Kamu hanya nervous Thalita. Dan itu wajar," Davina menepuk tiga kali tangan Thalita.

      "Aku cukup kaget Morgan menyewa gedung ini untuk acara pertunangan kalian,"ujar Renata. Mengingat Morgan hanya pegawai biasa. Menyewa gedung dan kamar hotel yang ditempati Thalita untuk berias. Biayanya pasti tidak sedikit.

   "Entahlah dari mana uangnya.

Tapi, aku menghargai usaha Morgan," Thalita menyembunyikan kekesalannya. Sudah pukul 7.00 malam. Tapi Morgan belum juga terlihat batang hidungnya. 

Sudah berulang kali Thalita mengingatkan Morgan untuk datang tepat waktu. Hari ini hari spesial untuk mereka. Pikirannya terhenti saat mendengar ketukan pintu. 

Totoktok!

       Morgan masuk dengan baju biasa. Celana jeans dan kaus putih polos membuat Thalita terperanjat. Laki-laki itu mendekati Thalita. Renata dan Davina juga kaget dengan penampilan Morgan.

      "Apa yang kau lakukan, Morgan? Kenapa bajumu belum diganti!" Thalita menekan ucapannya.Dia sudah berdiri menghadap Morgan.

      "Kita perlu bicara Thalita."Morgan melirik Renata dan Davina. Merasa tidak nyaman.

      "Kami keluar dulu supaya kalian bisa bicara berdua.” Renata menarik tangan Davina untuk keluar dari kamar.

Thalita memandang Morgan dengan tajam dan penuh tanda tanya.

      "Ada masalah ?” tanya Thalita.

      "Maaf aku harus pergi. Bisakah kita undur acara ini?” Morgan meminta. Tangannya meraih tangan Thalita yang sudah berdiri sejajar dengannya. Laki-laki bermata biru itu sedang menatap Thalita dengan memelas. Thalita meradang.

      "Tidak mungkin! Orangtuaku ada di luar menunggu kita," tukas Thalita,"Seharusnya ini enggak kau lakukan  kalau kau belum siap."

      "Bukan aku belum siap Thalita. Tapi, ada sesuatu hal...Aku bermain judi untuk mendapatkan uang  biaya acara kita. Polisi sebentar lagi akan datang. Maaf aku juga sudah meminjam uang,” suara Morgan pelan dan hati-hati.

     "Morgan! Jangan bercanda,” lirih Thalita tidak percaya. Dia hampir limpung

      "Semua ini untukmu. Maaf caraku salah,” ucap Morgan penuh sesal.

      "Astagaa Morgan...Seharusnya enggak seperti ini! Kau mengacaukan segalanya. Dan kau bilang polisi...” cela Thalita, "Aku enggak perlu kesempurnaan. Seharusnya acara ini biasa saja. Cukup kita dan keluarga. enggak perlu gedung dan acara mewah." Thalita menangis. Kedua tangannya menutup wajahnya. Ia lupa wajahnya yang sudah penuh makeup. 

       "Aku harus pergi Thalita. Aku harus lari dari sini. Sebelum polisi datang." ucap Morgan. Membuat Thalita kembali melihat Morgan. Dirinya seperti mendapat serangan petir.

      "Dengar! Kau enggak perlu lari. Aku akan menunggumu dan membantu membayar hutangmu.” pinta Thalita. Tangannya meraih Morgan yang hendak pergi.

      "Persetan dengan semua ini! Aku akan masuk penjara. Dan kau bilang menunggu!" Morgan melepaskan tangan Thalita. "Aku tidak akan masuk penjara. Kau yang akan menghentikan acara ini.” Morgan pergi keluar dengan terburu-buru.

      "Morgan..." Thalita mengejar Morgan. Tidak perduli tatapan orang yang melihat dengan wajah prihatin. Air mata Thalita mengalir deras.

      "Morgan...!" Thalita berjalan di lorong gedung. Dia tidak menemukan Morgan. Semua mata melihat padanya dengan pandangan heran.

    Tidak mungkin Morgan berada di tempat ramai. Dia sedang mencoba kabur. Dia seorang buronan sekarang. Thalita berlari ke arah taman di belakang gedung. Bajunya membuat susah bergerak. Malam itu sangat mengerikan baginya. Bagaimana bisa Morgan meninggalkannya pada malam pertunangan mereka.

      "Morgan..."teriak Thalita frustasi. Hembusan angin malam semakin menusuk. Pepohonan dan lampu seakan menemani dukanya. Tidak ada seorang pun.

      "Morgan..."Thalita melangkah mundur. Matanya menyapu sekililing. Wajahnya sudah sangat kacau. Make-up yang luntur karena air mata.

Brakkkkkk!

Thalita menabrak seseorang di belakangnya.

      "Morgan..!"

      "Kau  mencari seseorang ? Say baby..."

      "Maaf." ucap Thalita. Dia hanya melihat sekilas. Saat tahu laki-laki itu bukan Morgan. Dia langsung pergi tidak peduli pada orang yang dia tabrak. 

      "Arion..."

Arion masih terperangah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, suara itu membuyarkan lamunan Arion. Andre sudah ada di belakangnya. 

      "Apa semuanya sudah beres, Andre? Aku mau semua selesai seperti apa yang aku inginkan." suara Arion tegas. Dia kembali normal dengan sifat perfeksionisnya.

      "Seperti apa yang sudah kau perintahkan,” jawab Andre. Dia mengikuti Arion di belakang. 

Andre salah satu kepercayaan Arion. Sepupu sekaligus sekertaris Arion. Andre tidak perlu memanggil dengan embel-embel 'pak' atau semacamnya. Itu sudah ditetapkan Arion.

      "Aku tahu kau akan memberikan yang terbaik. Jangan lupa untuk mengatur ulang jadwalku. Kita akan  menunda keberangkatan,” ucap  Arion duduk dengan santai di ruang kerjanya. Matanya hampa memikirkan sesuatu.

     "Apa kau pasti? Ini jadwal yang sangat penting Arion. Kita akan sangat rugi, jika jadwal ini diundur." Andre menatap Arion.

      "Tidak ada yang lebih penting dari urusan ku. Bahkan, kau lebih tau dari siapa pun." Arion memastikan kata-katanya tidak bisa diganggu-gugat.

      "Baik. Aku akan mengatur ulang." kata Andre."Tadi Faradita menelpon. Apa mau aku sambungkan padanya."tanya Andre. 

Faradita Caramel. 

      "Tidak perlu. Dia akan sangat sibuk di Singapure dengan aktivitas shopingnya. Biarkan saja," ucap Arion. Jeda sejenak. "Aku akan menelponnya nanti." Arion berubah pikiran. Dia akan memberikan kabar pada gadis itu. Sebelum gadis itu memberikan masalah.

      "Terserah padamu. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau,” jawab Andre mengangkat kedua tangannya. Menyerah.

      "Hei...Berani sekali kau bicara pada bosmu seperti itu.” Arion mengerutkan dahinya.

      Andre menarik kursi di depannya untuk duduk sambil tertawa, Arion menatapnya dengan geram.  Untunglah laki-laki itu sepupunya kalau tidak Arion tidak akan segan untuk memecatnya tanpa uang pesangon.

      "Kau  bisa mencari orang lain untuk menggantikan posisiku,” ucap Andre.

Arion tertawa kecil,"Jangan pernah berharap Andre. Kau tidak akan bisa keluar dari pekerjaan mu,” tegas Arion. Baginya Andre lebih dari sekedar karyawan. Arion selalu puas dengan hasil pekerjaan Andre. Bahkan ke luar negeri juga Arion akan mengikut sertakan Andre. Arion tidak akan melepaskan siapa pun yang dia rasa sangat penting. Andre adalah salah satu orang itu.

      "Apa kau sudah memikirkan berkali kali lipat tentang rencanamu?” ulang Andre. Sepertinya dia tidak terlalu menyetujui pikiran Arion yang sekarang.

      "Kau mau menantangku,” ucap Arion, tajam memandang Andre.

      "Aku tidak berani."

** 

        Arion menatap ke luar dari kaca kamarnya. Pemandangan malam bertabur bintang. Semua bangunan terlihat kecil dari tempatnya melihat. Lampu-lampu di kota menambah cantik malam itu. Ingatannya kembali pada lima tahun lalu. Hari dimana dia kecelakaan. Wajah gadis itu yang selalu menemaninya saat terbaring di rumah sakit. Gadis itu ikut berperan untuk membangunkannya. 

        Pukul tiga pagi. Arion mengambil handphone dari atas nakas. Dia tidak perduli dengan jam orang tidur. Baginya kehendaknya adalah yang terpenting. 

      "Arion! Apa kau tidak melihat jam?” Andre mengerang dari balik ponselnya.

      "Aku bosmu! Jam berapa pun aku menelepon itu terserah padaku,” ucap Arion tidak peduli.

      "Perkataanmu selalu saja begitu. Baiklah...Apa yang ingin kau katakan."

      "Apa perintahku semua sudah kau lakukan?” ucap Arion .

      "Astaga...Demi Tuhan Arion. Sudah berulang kali kau mengatakan padaku.”

      "Aku hanya ingin memastikan Andre. Kau cukup mengatakan sudah atau belum,” suara Arion memaksa.

       "Sudah! Alamat rumah. Di mana dia bekerja. Siapa teman-temannya. Bahkan ukuran sepatunya. Aku sudah mencari tahu sedetail itu,” ucap Andre dengan nada kesal.

      "Bagus. Kau boleh tidur.”

      "Terima  kasih untuk kemurahan hatimu.” Andre menahan emosi. 

Arion mematikan ponselnya. Matanya masih segar tak ingin terlelap. Sesuatu yang ingin ia miliki pasti akan ia dapatkan apa pun caranya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status