Share

Bimbang

       

        Apartmen South Moritz begitu mewah. Pada malam hari pemandangan dari balkon sangat indah dihiasi lampu berwarna-warni. Thalita berdiri di tepi jendela apartment itu melihat panorama Jakarta. Matanya kosong menatap pemandangan di luar jendela. Tangannya gemetar, menahan perasaannya.

       Hampir sebulan Thalita tinggal di sini. Seakan baru semalam berlaku. Dia tidak bisa meninggalkan Arion, karena waktu mereka belum habis, setahun. Perjanjian mereka.

     Harusnya dia senang Arion jarang pulang. Laki-laki itu kembali ke rumah orang-tuanya. Arion belum memperkenalkan Thalita pada orangtuanya. Ya, pernikahan mereka masih dirahasiakan oleh media bahkan keluarga Arion juga tidak tahu. Tapi, ia tidak perduli itu. Karena pernikahan mereka hanya sementara.

    Entahlah kenapa. Thalita merasa kesepian tanpa Arion malam ini. Wajahnya kelihatan murung dan tidak ceria. Dia, menampik dirinya mulai tertarik pada suaminya. Dia hanya merasa kesepian tanpa teman.

     Sesekali Arion akan pulang menemaninya. Mereka masih seperti dulu berdebat. Kebiasaan yang membuat mereka semakin dekat. Hal sepele juga bisa menjadi alasan mereka berdebat. Mereka tidur satu kamar, tapi suaminya itu tidak pernah menyentuhnya seperti perjanjian Arion.

Tok! Tok! Tok!

      "Non Thalita. Makan malamnya mau mbok panasin?" suara lembut itu berasal dari wanita berumur. Dia biasa dipanggil Mbok Nur.

      "Mbok, Thalita kan udah bilang jangan panggil non. Thalita aja Mbok,"ucap Thalita yang sudah berulang kali menegur.

      "Aduh Non, mbok segan sama den Arion," balas Mbok Nur dengan wajah tidak enak hati.

      "Enggak pa-pa Mbok. Dia juga jarang dateng," suara Thalita lembut. Dia kembali melihat keluar jendela. Entah, kelopak matanya memanas mengucap itu.

     "Jangan sedih Non. Ehh...Thalita. Pasti si Aden akan tinggal di rumah istrinya selamanya nanti," hibur Mbok Nur.

Istri? Iya, Istri. Arion suaminya.

Thalita tersenyum pada wanita berumur itu. Dia senang kehadiran Mbok Nur bisa dijadikan teman bicara. Bayangkan saja Arion mengurung dirinya seperti seorang tahanan. Tidak bisa keluar dari rumah ini. Bahkan laki-laki itu tidak mengajaknya keluar untuk makan malam, seperti dulu yang dipakai Arion padanya.

      "Seorang istri harus patuh pada suami. Sudah hukumnya. Nanti kalau sudah waktunya semua akan indah pada waktunya,” timpal Mbok Nur.

      "Iyah Mbok. Thalita enggak pa-pa."

      "Jangan sedih ya. Mbok panasin makanannya dulu. Thalita kan belum makan dari siang."

     "Enggak usah Mbok. Thalita enggak lapar." Thalita menggeleng.

     Mbok Nur tersenyum penuh arti. Dia suka memberikan kabar tidak terduga yang membuat majikannya tersenyum.

     "Thalita." Panggil mbok Nur. " Si Aden pesan, katanya  malam ini dia makan malam di sini."

       Thalita menoleh pada Mbok Nur. Senyumnya merekah. Entahlah, kadang dia bingung setiap mendengar Arion datang dia kegirangan. Matanya berbinar menatap Mbok Nur, suka dengan pesan itu.

        Dia tidak mencintai Arion. Thalita menegaskan dalam hati. Tapi gerakannya tidak sesuai isi hatinya. Ia berjalan ke dapur sambil tersenyum. Mbok Nur memperhatikan Thalita.

       "Mbok ayam rica-rica tadi dipanasin yah." Thalita membuka kulkas mengambil plastik berisi brokoli.

      "Den Arion suka banget makan sayur brokoli," kata Mbok Nur melihat Thalita memotong brokoli. 

Thalita tersenyum. "Thalita mau bikin capcay, Mbok."

      "Udah malam Non, nanti Thalita capek malam-malem masak. Bentar lagi den Arion dateng."

     "Keburu kok Mbok. Tenang aja." Thalita dengan sigap membuat bumbu capcay. Karena terbiasa Thalita tahu kesukaan Arion.

      Setelah sejam ia berperang di dapur akhirnya selesai. Thalita terduduk di meja makan sendiri. Matanya memandangi jam dinding. Pukul 10.00 malam Arion belum datang. Wajahnya bercampur aduk antara cemas dan marah.

      Apa laki-laki itu tidak punya pikiran? Dia lupa ada mahkluk hidup yang terkurung di sini. Menunggunya, bedebah! Arion sungguh tidak berperasaan. Harusnya ia melepaskan saja dirinya kalau sudah tidak perduli lagi. Karena Thalita juga perlu kehidupan bebas.

Mendengar suara bel berbunyi Thalita berlari kecil ke arah sofa pura- pura menonton televisi. Mbok Nur membuka pintu.

      "Thalita. Kau belum tidur ?" Arion menghampiri. Sedari tadi dia tidak sabar ingin bertemu istrinya.

      "Lagi nonton drama Korea,” jawab Thalita ketus. Arion membuatnya lama menunggu.

     "Oh. Kau sudah makan? Kemari temani aku makan,” ucap Arion. Arion benci saat Thalita menonton drama Korea. Gadis itu akan berimajinasi tentang laki-laki Korea. Membuat Arion mencari di internet tentang laki-laki Korea. Sangat menjengkelkan.

     "Thalita."

       "Aku nggak makan malam! Lagipula nggak ada makan malam pukul 10. Kau akan gemuk makan jam segitu,” ketus Thalita. Arion tersenyum tipis, Thalita menunggunya, kah?

     "Aku lapar. Aku tidak akan makan kalau kau tidak menemaniku,” teriak Arion di meja makan. Laki-laki itu terkadang bersikap seperti anak kecil. Membuat Thalita geram.

        Thalita dengan malas berjalan. Akhir ini dia sering membayangkan wajah Arion. Dan sekarang laki-laki itu ada di depannya. Ada sesuatu yang menebus jantungnya melihat senyuman Arion.

      "Kau tidak akan gemuk jika makan sedikit saja.” Arion memaksa, "Aku tidak akan berpaling walaupun tubuhmu menjadi subur,” ucap Arion.

     "Aku nggak perduli dengan tanggapanmu,” balas Thalita. Sebenarnya dia senang mendengar itu.Thalita memalingkan wajahnya. Dia tidak boleh jatuh cinta pada Arion. Kalau tidak dia akan terluka nantinya.

      "Boleh aku pulang ke rumah orang tuaku,” suara Thalita pelan hampir tidak terdengar. Entahlah kemana sifat pembangkangnya.

        "Hanya berkunjung. Aku akan kembali ke sini lagi,” sambung Thalita saat Arion menatapnya tajam.

      "Aku akan mengantarmu,” jawab Arion. Dia memperbolehkan karena Thalita bersikap baik akhir-akhir ini.

      "Enggak usah, aku bisa sendiri.” Thalita mengaduk makanannya.

     "Kenapa belum di makan nasinya, Non? Den  paksa istrinya makan. Dari siang dia belum makan,” ucap Mbok Nur tiba-tiba saat menuang air putih ke gelas Arion.

      "Kau belum makan dari siang? Kau sakit?” suara Arion terdengar cemas. Dia mendekati Thalita dan membuat tangannya di kening Thalita.

      "Tidak panas,” ucap Arion. Thalita mengerjapkan matanya. Jika bersikap seperti ini membuat Thalita percaya Arion mencintainya.

      "Kalau kau makan, besok aku akan mengantarmu.” Thalita memasukkan nasi ke mulutnya cepat-cepat. Arion tersenyum.

     "Kau menginap di sini?"

      "Iya...Kau keberatan?"

      "Enggak! Maksudku ini rumahmu. Terserah. Bukan urusanku.” Thalita berkelit. Thalita meruntuki dirinya. Dia seperti orang bodoh. Arion tersenyum memandangi Thalita.

***

       Setiap kali akan tidur bersama, wajah mereka kikuk dan salah tingkah. Seperti baru pertama kali tidur berdua satu ranjang. Seakan mereka akan melakukan malam pertama mereka. Nyatanya ini sudah kesekian kalinya mereka tidur di satu tempat tidur, tanpa bersentuhan.

     Thalita sudah memberikan bantal guling di tengah-tengah mereka. Tanda supaya Arion tidak keluar dari batasnya. Tentu saja batin Arion meronta-ronta, apalagi Thalita dengan sengaja memakai baju yang transparan. Padahal dulu wanita itu selalu memakai baju seperti astronot, serba tertutup dari atas sampai bawah.

         "Jangan sampai kau menendang banta ini lagi." Thalita memperingati sambil menepuk bantal gulingnya.

       "Aku? Kapan?" tanya  Arion seraya naik ke atas tempat tidur.

       "Pura-pura lupa, atau kau punya penyakit amnesia. Terakhir kau membuat bantal guling ini pindah ke depan toilet!" ucap Thalita geram.

        "Benarkah? Itu sudah lama sekali, kau masih mengingatnya. Daya ingatmu sangat tajam Thalita, harusnya kau kerja di kantorku bukan jadi istriku."

        "Kalau itu aku setuju. Aku dengan senang hati kerja di kantormu, daripada menemanimu tidur." Ketus Thalita. Membuat Arion berdehem.

         "Sayangnya itu tidak akan terjadi. Aku jamin kali ini bantal guling itu tidak akan punya kaki untuk sampai di depan toilet lagi," kata Arion menaikan bahunya. Thalita jelas tahu kaki itu milik Arion Ortega yang terhormat itu, tapi ia gengsi mengakui.

       Thalita tidak ingin berdebat lagi, karena ia tahu pasti akan kalah melawan Arion. Ia berbaring dan menarik selimutnya ke atas dada. Matanya terpejam, dengan jantung yang tidak tenang. Akhir-akhir ini jantungnya tidak tenang setiap kali tidur di dekat Arion. Padahal dulu tidak seperti itu.

       Dua jam setelah matanya mencoba tertutup, kaki Arion bergerak menendang bantal guling hingga terjatuh di bawah tempat tidur. Kini tidak ada lagi yang menghalangi antara dirinya dan Thalita.

      Gadis itu kalau sudah tidur nyenyak tidak akan sadar akan sekelilingnya. Terakhir kali, Arion hanya menatapi bagian tubuh Thalita dibalik dress-nya setelah berhasil membuat guling pindah tempat di depan kamar mandi.

     Kini setelah, Arion menarik selimut Thalita perlahan. Terlihat gaun tidur Thalita naik ke atas perutnya. Arion mengagumi pakaian berbentuk segitiga berenda itu, dan tidak sabaran ingin menyentuh dibalik segitiga itu.

        Sangat menyiksa memiliki istri tapi tidak bisa ia sentuh, membuat gadis berkulit putih mulus itu sia-sia tidur di sampingnya. Arion laki-laki normal dan memiliki kebutuhan seksual yang bisa dikatakan tinggi. Ia tidak pernah lagi bercinta dengan wanita lain setelah menikah dengan Thalita.

       Kini tangan Arion menarik dress Thalita ke atas dada. Matanya terbelalak melihat dua gundukan besar itu. Arion menyukai payudara Thalita, saat ia menyentuhnya sangat pas di tangannya. Seakan tercipta khusus untuknya.

        Arion tidak kuasa menahan gairahnya. Ia mencium merah jambu yang terus menyapanya. Menjilat, dan menggigitnya pelan. Lidah Arion merasakan bagian itu sudah mengeras. Suara erangan lolos dari mulut mungil itu. Tanpa gadis itu sadari ia telah orgasme, Arion tersenyum tipis. Ia memainkan puting itu dalam lidahnya. Merasakan aliran listrik yang sudah menyengat dalam tubuhnya yang membangkitkan adiknya yang di bawah.

     "Good night. Sleep tight, baby." Gumam Arion.

Ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Untuk menyegarkan diri. Jika gadis itu bangun, Thalita akan membunuhnya. Arion tidak mau kehilangan istrinya.

     

**

     "Maaa." teriakan Thalita terdengar ke seluruh rumah. Thalita kegirangan. Arion mengikuti dari belakang, dia ikutan tersenyum melihat tingkah Thalita. Kurang lebih tiga jam mereka diperjalanan naik mobil.

      "Lita!!" suara dari belakang keluar.

      "Ma... Aku rindu.” Thalita memeluk wanita paruh baya itu. Marta mengelus rambut anaknya hangat.

      "Lita! Kamu sudah datang. Kamu juga ngajak Arion.” Daniel memeluk menantunya. Thalita tersenyum, rasanya bahagia melihat orangtuanya menyukai Arion. Laki-laki itu juga merangkul orangtuanya.

Marta membawa teh manis dan cemilan ke ruang tamu.

      "Bagaimana honeymoon kalian?” Marta memberikan teh ke depan Arion. Thalita terdiam, kenapa mamanya tidak membahas topik lain.

      "Aku tidak sabar ingin menimang cucu,” ucap Daniel tertawa. Arion menelan saliva. Bagaimana kalau mertuanya tahu mereka sama sekali belum bersetubuh.

Thalita semakin salah tingkah. Dia pergi ke dapur menyiapkan makanan.

      "Thalita kenapa pergi?" Daniel tertawa. Dia sangat menyayangi putri satu-satunya itu.

      "Biarkan saja. Dia ingin menyiapkan makanan untuk suaminya.” Marta tersenyum pada Arion.

      "Kalian nyaman tinggal sini?" Arion bertanya.

      "Tentu. Kami bersyukur kau memberikan rumah ini, nak," ucap Marta. Dia sangat bangga memiliki menantu seperti Arion, kini Marta bisa menyombongkan diri pada tetangganya.

      "Tapi bukan berarti kami menjual Thalita padamu. Aku akan menganggap ini adalah mas kawin untuk Thalita,” kata Daniel. Mata sendunya menatap Arion.

       "Jangan sungkan. Katakan saja keperluan kalian. Aku akan menyiapkan," ujar Arion.

      "Kau baik sekali. Beruntung kami punya menantu sepertimu. Tidak seprti Morgan, dia selalu menyusahkan Thalita,” oceh Marta.

Daniel menatap istrinya kesal. Wanita memang begitu matre. Arion tertawa. Semenjak menikah dengan Thalita. Dia menyuruh Andre mengurus keperluan keluarga ini.

**

        Saat matahari tenggelam mereka kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan Thalita tidak bersuara membuat Arion bingung.

      "Kau marah padaku, Thalita?" Arion menegur Thalita saat sudah keluar dari mobil.

     Thalita tetap diam. Dia menekuk wajahnya. Sampai kamar, Thalita membanting pintu  pas di depan Arion saat ingin masuk. Untunglah hidung mancungnya masih aman.

       "Thalita.."

       "Kau sudah puas melecehkan orang tuaku." Thalita menoleh pada Arion dengan kesal. Arion bingung dengan ucapan Thalita.

      "Apa yang kulakukan?"

     "Kau memberi uang pada orangtuaku! Kau menanggung kehidupan kami! Bahkan, rumah yang mereka tempati pemberianmu," teriak Thalita.

      "Aku tidak--"

      "Aku melihatnya Arion. Kau diam-diam memberi uang tunjangan pada ibuku!" Thalita menatap tajam Arion. Ada rasa malu yang ditutupinya.

        Jika Arion bersikap seperti itu pada hidupnya. Thalita merasa tidak pantas berdampingan dengan Arion. Entahlah, perasaannya bercampur aduk sekarang.

Dulu Thalita tidak masalah Arion membayar hutangnya. Membelikan rumah untuk orangtuanya. Entahlah sekarang hal itu membuatnya tidak nyaman.

      "Sudah kewajibanku, Thalita!"

      "Kenapa? Karena kami miskin. Ayahku bukan Pengusaha seperti kalian,” hardiknya.

      "Diam Thalita! Aku suamimu. Tidak ada yang salah jika aku membantu kehidupanmu!" balas Arion. Matanya menyala. Dia lebih emosi dari Thalita.

     "Dengar Arion Ortega! Pernikahan kita hanya sementara. Aku hanya menunggu sampai batas waktu yang kau tentukan." Thalita menekan kata katanya. Laki-laki itu terpaku.

       "Aku akan mencari kerja. Jadi, berhentilah seolah kau seorang suami atau menantu untuk orangtuaku."

Inikah jawaban Thalita. Di saat dia merasa gadis itu mulai membuka hatinya. Thalita berencana untuk pergi. Gadis itu tidak mencintainya.

        "Apa yang kau harapkan Arion. Aku mencintaimu? Kau mengharapkan perasaan? Jangan naif. Kau menginginkan tubuhku. Supaya hasratmu terpenuhi. Kau-"

      "Cukup! Cukup!" Arion menghentikan Thalita dengan jengkel.

      "Kau tidak punya hati Thalita!"

      Laki-laki itu pergi dengan emosi yang meledak ledak. Thalita hampir berlari mengejar Arion. Laki-laki itu mengambil kunci mobilnya seperti orang kesetanan.

Maaf

Thalita terduduk di lantai. Tangannya memukul dadanya yang sesak.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status