Share

Part 8

          Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak.

          Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja.

           Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sang 

ayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. Tak apa jika mamanya tidak menjemputnya, setidaknya Devan masih memiliki Papa yang selalu ada untuknya.

         Devan segera berlari menghampiri papanya. Ia mengabaikan bi Inah yang sedari tadi telah menunggu kepulangannya. Fikirannya benar-benar tertuju pada sang ayah. Tanpa menoleh kanan dan kiri, Devan berlari menuju sang ayah dengan kecepatan penuh.

           Disisi lain Clara kembali mengantarkan pesanan. Ia tampak santai mengayuh sepedanya. Ia begitu menikmati siang ini, walaupun matahari tampak terik. Clara mengusap keringatnya yang mulai mengalir di pelipisnya. Terlalu fokus pada keringatnya, membuat Clara tak sadar jika ada anak kecil yang melintas begitu saja di depan matanya. Dengan sigap, Clara membanting stir sepedanya. Bertujuan agar tak menabrak anak itu. 

         Sepeda Clara oleng tak tentu arah. Clara panik tentu saja. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Yang ia lakukan hanyalah pasrah. Saking putus asanya.

BRAKK

         Clara terjembab pada sebuah got yang telah bercampur dengan lumpur. Dengan wajah menahan jijik, ia segera bangkit. Ia mendengus kesal, melihat bajunya yang kotor penuh lumpur. Ia menatap sekelilingnya. Ia bisa melihat orang-orang menatapnya kasihan bercampur geli.

        Clara malu, sungguh. Ini pertama kalinya ia ditatap banyak orang seperti ini. Ingin sekali ia menangis. Tapi, harga dirinya akan lebih hancur jika ia melakukannya. 

          Devan membulatkan mulutnya. Ia tak menyangka bahwa ada bahaya yang mengintai dirinya. Ia hampir saja ditabrak oleh seseorang. Awalnya Devan berdecak kesal, mengapa orang itu mengendarai sepeda tak berhati-hati? Padahal, Devan sendiri yang salah. Namun, ketika melihat wajah itu. Hati Devan langsung bersorak ria. Seperti tertimpa durian runtuh.

"Mama?" Tanya Devan senang.

          Nathan mengernyit heran. Mama? Apa ia bertemu dengan gadis yang ia tabrak pagi tadi lagi? Benar dugaannya. Gadis itu sama. Ia tak menyangka, jika ia bisa bertemu dengan gadis itu hingga dua kali. 

"Kamu?" Tanya Nathan sembari menunjuk Clara.

"Iya. Ini mama,Pa. Lihat. Devan nggak bohong kan?" Ucap Devan pada sang ayah.

          Nathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia juga malu karena menjadi pusat perhatian banyak orang. Apalagi Nathan tahu, jika Clara adalah seorang gadis yang baru saja dewasa. Bisa saja, ia disangka dulunya menikahi anak dibawah umur.

"Pak Nathan? Bapak kenapa ada disini?" Tanya Clara.

"Saya menjemput anak saya. Kebetulan saya sudah lama sekali tidak menjemput anak saya. Maaf, karena anak saya. Kamu harus mengalami hal yang memalukan. Sekali lagi saya minta maaf. Saya yakin bahwa kami  telah membuat harimu sangat tidak menyenangkan." Ucap Nathan penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Pak. Namanya saja anak-anak. Saya sangat memakluminya." Jawab Clara walaupun dalam hati masih saja terus merutuki nasibnya hari ini.

         Nathan memandang Clara dengan penuh rasa bersalah. Ia yakin bahwa Clara menanggung malu yanf begitu besar. Jadi, ia harus memutar otaknya untuk menebus semua kesalahannya.

"Maaf. Sebagai bentuk rasa tanggung jawab saya, apakah kamu berkenan untuk saya antarkan ke rumahmu?" Tanya Nathan.

"Anu, Pak. Apakah tidak merepotkan. Saya yakin bahwa bapak masih banyak sekali pekerjaan." Tolak Clara halus.

" Tidak. Kebetulan saya menyempatkan diri untuk mengosongkan waktu kerja saya supaya bisa menghabiskan waktu bersama dengan anak saya."

          Clara berfikir sejenak. Sebenarnya ini adalah tawaran yang cukup bagus. Ia tak perlu repot-repot menanggung malu akibat melewati jalanan dengan baju kotor yang penuh lumpur. Namun ia malu untuk mengatakan iya. Pasalnya, ia baru saja mengenali pria dewasa tampan di depannya ini.

          Sementara Devan hanya terus menunduk. Ia begitu merasa bersalah kepada seseorang yang ia yakini adalah mamanya itu. Seharusnya ia menjadi anak baik saat bertemu mama. Bukan sebagai anak bandel yang tidak bisa diatur seperti sekarang. Mendengar perbincangan Clara dengan Nathan membuat Devan sedikit bingung. Mengapa kedua orang tuanya berbicara seperti orang asing? Bukankah mereka saling mencintai?

          Devan menatap Clara yang masih sibuk berfikir. Ia tampak kebingungan untuk sekedar menjawab pertanyaan sang ayah. Devan jadi tak sabar, ia tak suka menunggu. Oleh karena itu, ia segera memberanikan diri untuk membuka suara.

"Ma, pulang bareng Devan yuk! Nanti naik mobilnya ayah. Mobil ayah keren lho Ma! Pasti mama bakal nyaman kalau sudah masuk ke mobil ayah." Ucap Devan dengan nada bersemangat.

           Clara hanya tersenyum kikuk mendengar perkataan Devan. Untuk kesekian kali ia dipanggil mamw di depan banyak orang. Tak mau menahan malu terlalu lama, Clara memutuskan untuk menyetujui tawaran Nathan. Akhirnya ia menganggukkan kepalanya kecil. Menahan malu.

          Devan melompat senang. Akhirnya ia bisa pulang bersama mama dan papanya. Setelah sekian lama ia memimpikan hal itu, akhirnya mimpi itu terwujud hari ini. Ia senang sekali hari ini.

         Dengan semangat, Devan segera menghampiri Clara kemudian menggandeng tangan Clara dengan tangan mungilnya. Ia menarik tangan Clara dengan cepat. Akibat terlalu bersemangat, Devan sampai tak menyadari bahw Clara sampai sedikit kesulitan mengimbangi langkah mungilnya. 

                             ***

            Suasana tampak canggung. Hanya terdengar suara celotehan dari mulut kecil Devan yang memenuhi mobil hitam Nathan. Anak itu terlihat begitu bersemangat dalam bercerita. Entah apa yang keluar dari mulut anak itu. Clara hanya mengiyakan semua perkataan yang keluar dari mulut mungil itu. Clara masih sangat malu dengan pria yang begitu fokus mengemudi itu.

          Apa yang ada di fikiran Clara berbeda dengan kondisi Nathan yang sebenarnya. Sejak tadi, ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang begitu kencang. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ia tak menyangka, efek bersama Clara bisa sebesar ini. Padahal Clara tak melakukan apapun. Gadis itu hanya diam, sesekali menanggapi celotehan Devan yang kelewat banyak. 

         Nathan menghela nafas sejenak. Ia jadi bingung dengan perasaannya sendiri. Ia seperti remaja labil yang baru saja jatuh hati pertama kali terhadap seorang gadis. Namun, ia kembali berfikir. Mungkin karena Clara mirip dengan mendiang istrinya. Sampai ia kadang lupa, bahwa mereka ia bukan sang istri melainkan orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status