Share

Part 9

            Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya.

            Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya.

"Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan.

"Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut.

          Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.

"Ma, pulang sama Devan sama Papa ya? Aku pengen sama Mama sama Papa." Ucap Devan berusaha membujuk Clara.

"Aduh, gimana ya?" Lirih Clara.

           Clara menatap Nathan serius. Berharap pria itu bisa memberikan pertolongan. Namun, pria itu hanya menggedikkan bahunya ribut. Pertanda tidak tahu.

"Ma, sekali aja pulang sama Devan. Nanti papa bakal beliin apapun yang Mama mau." Bujuk Devan, lagi.

"Kok jadi papa?" Nathan menanggapi.

"Papa kan yang sudah bisa mencari uang. Sementara Devan masih kecil  Devan belum bisa bekerja dan mencari uang. Jadi Papa yang belikan." 

          Nathan hanya menganggukkan kepalanya lelah. Anaknya terlalu pintar untuk disangkal. Berbeda dengan anak seumuran lainnya. Devan terlihat begitu cerdas. Bahkan beberapa kali Devan membuat kepala Nathan berdenyut. Terlalu pusing mendengar celotehan cerdas yang keluar dari mulut mungil itu.

          Devan bersorak senang. Jika papa mengangguk berarti beliau menyetujuinya. 

"Ma, lihat. Papa saja setuju. Mama mau ya ikut Devan? Ayolah, sekali aja. Devan pengen banget bisa sama Mama hari ini." 

"Bagaimana ini? Pertama, aku bukan Mama. Panggil aku kakak. Kedua, mengapa kamu selalu mebujukku seperti itu? Aku bahkan bingung dengan semua kalimat yang terus keluar dari mulutmu. Ketiga, aku tidak mau. Aku ingin pulang ke rumahku sendiri." 

          Karena terlanjur kesal. Clara mengeluarkan segala keluhannya. Berharap anak itu faham yang sebenarnya bahwa ia bukanlah Mamanya. Mereka hanya orang asing yang tak sengaja bertemu. Clara menghela nafas, memiliki kembaran ternyata bisa menyulitkan hidupnya seperti ini.

          Devan hanya mencebikkan bibir mungilnya. Ia tak menyangka jika Clara mengeluarkan kalimat sepedas itu. Apa dia terlalu nakal dan menyebalkan sampai-sampai Clara marah sebesar itu? Padahal sebelumnya gadis yang ia anggap seperti ibunya berkata sekasar itu. Devan menatap Clara yang memalingkan wajahnya keluar juga jendela mobilnya. Ia bahkan terlihat memalingkan wajahnya. Tak mau menatap wajah Devan sedikitpun.

          Devan menundukkan wajahnya sedih. Ternyata membujuk mama pulang memang sesulit ini. Entah kenapa, hati kecilnya sakit sekali. Melebihi saat dirinya digigit semut merah. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin mendesak keluar dari mata besarnya. Kata papa, anak laki-laki tidak boleh menangis. Namun, ia tak tahan untuk tidak mengeluarkan air mata akibat terlalu sakit.

"HUWEEE...."

           Tangisan Devan terdengar begitu melengking. Bahkan mobil hitam itu sudah dipenuhi oleh tangisan Devan. Clara dan Nathan reflek menutup telinganya rapat-rapat. Lengkingan Devan benar-benar membuat  telinga mereka berdenging sakit. 

"Aduh, adek. Jangan nangis. Masa laki-laki menangis? Maafin kakak ya" Ucap Clara menenangkan tangisan Devan.

          Devan tak menanggapi. Ia masih terlalu sibuk dengan tangisannya. Anak itu meluapkan segala kesedihannya. Terlalu sakit untuk mengatakannya.

          Clara menghela nafas lelah. Ia begitu merasa bersalah membuat anak ini menangis seperti ini. Mau bagaimana lagi? Bagaimanapun ia masih gadis labil yang belum bisa mengontrol emosinya.

            Nathan mendengus kesal. Ia menatap sang anak yang menangis dengan keras. Sebelumnya ia baru melihat Devan menangis satu kali seumur hidupnya. Entah karena ia yang terlalu sibuk atau karena Devan yang jarang sekali menangis sampai ia tak sempat melihat sang anak menangis. Ia menatap Clara yang masih terlihat kebingungan. Gadis itu masih berusaha menenangkan sang anak dengan berbagai kalimat penenang.

"Clara, bisakah saya meminta tolong?" Ucap Nathan.

"Apa?" Tanya Clara lirih.

"Bisakah kamu ikut dengan kami. Saya tidak tega melihat anak saya menangis seperti ini. Saya mohon, satu kali ini saja. Saya akan menuruti segala keinginanmu jika kamu mau ikut dengan saya."

         Clara tertegun sejenak mendengar perkataan Nathan. Ia tidak tahu harus memikirkan apa. Satu sisi, ia kasihan melihat Devan yang terus menangis dengan keras. Sementara disatu sisi ia tak ingin membuat Alvin dan Audrey khawatir mencarinya. Pasalnya ia tak membawa ponselnya, apalagi Clara tidak hafal dengan nomor mereka berdua.

           Clara menghela nafas sejenak. Mungkin ikut dengan pria dan anak ini tidak ada salahnya. Sebentar saja. Iya hanya sebentar. Ia tak boleh berlama-lama dengan mereka berdua. Setelah itu, Clara menganggukkan kepalanya pelan. Pertanda bahwa ia menyetujui permintaan Nathan.

"Devan. Sudah ya, jangan nangis terus. Oke, kakak ikut dengan Devan ya. Berhenti nangisnya dong. Nanti gantengnya hilang." Bujuk Clara lagi.

        Devan menghentikan tangisnya. Ia menatap wajah Clara yang masih menatapnya. Ia harus memastikan bahwa ia tak salah dengar dengan ucapan Clara.

"Benarkah? Mama mau ikut pulang dengan Devan?" Tanya Devan memastikan.

"Iya. Kakak akan ikut dengan Devan. Tapi, jangan nangis lagi ya." Jawab Clara.

         Devan mengangguk senang. Ia bahkan mengusap air matanya cepat. Ia tak mau menangis lagi. Ia tak mau jika dikenal sebagai laki-laki cengeng.

                                ***

          Audrey cemas. Pasalnya Clara tak memberi kabar sama sekali. Seharusnya gadis itu sudah datang sejak satu jam yang lalu. Namun, gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Gadis itu juga meninggalkan ponselnya di meja kasir miliknya. Ia tak menyangka jika gadis itu ceroboh sekali.

         Audrey berjalan kesana kemari layaknya sebuah setrika. Ia tak tahu harus melakukan apa. Ia sudah menghubungi suaminya. Namun, suaminya itu mengatakan bahwa ia tak tahu sama sekali tentang kemana perginya Clara. Ia menatap pintu Cafe dengan perasaan gundah. Berharap gadis itu segera memasuki Cafe tanpa terluka sedikitpun.

         Ingin sekali ia menutup Cafenya sekarang. Namun, pelanggan masih saja terus berdatangan dan tak kunjung keluar. Ia tak mungkin menutupnya dalam kondisi seperti ini. Yang bisa dilakukan Audrey hanyalah menanti kedatangan Clara dan terus merapalkan do'a agar gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu baik-baik saja.

          Audrey merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tak menyuruh Clara untuk mengantarkan pesanan. Ia harusnya tahu, bahwa gadis itu belum memiliki pengalaman sama sekali. Lantas, kenapa Audrey malah menyuruhnya dengan seenak jidat? Hah... Audrey benar-benar menyesal sekarang. Ia harus siap akan segala konsekuensi yang akan terjadi. Jika Alvin tahu, mungkin ia akan dimarahi habis-habisan. Jadi, Audrey hanya bisa berharap Clara baik-baik saja. Semoga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status