Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya.
Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya.
"Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan.
"Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut.
Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
"Ma, pulang sama Devan sama Papa ya? Aku pengen sama Mama sama Papa." Ucap Devan berusaha membujuk Clara.
"Aduh, gimana ya?" Lirih Clara.
Clara menatap Nathan serius. Berharap pria itu bisa memberikan pertolongan. Namun, pria itu hanya menggedikkan bahunya ribut. Pertanda tidak tahu.
"Ma, sekali aja pulang sama Devan. Nanti papa bakal beliin apapun yang Mama mau." Bujuk Devan, lagi.
"Kok jadi papa?" Nathan menanggapi.
"Papa kan yang sudah bisa mencari uang. Sementara Devan masih kecil Devan belum bisa bekerja dan mencari uang. Jadi Papa yang belikan."
Nathan hanya menganggukkan kepalanya lelah. Anaknya terlalu pintar untuk disangkal. Berbeda dengan anak seumuran lainnya. Devan terlihat begitu cerdas. Bahkan beberapa kali Devan membuat kepala Nathan berdenyut. Terlalu pusing mendengar celotehan cerdas yang keluar dari mulut mungil itu.
Devan bersorak senang. Jika papa mengangguk berarti beliau menyetujuinya.
"Ma, lihat. Papa saja setuju. Mama mau ya ikut Devan? Ayolah, sekali aja. Devan pengen banget bisa sama Mama hari ini."
"Bagaimana ini? Pertama, aku bukan Mama. Panggil aku kakak. Kedua, mengapa kamu selalu mebujukku seperti itu? Aku bahkan bingung dengan semua kalimat yang terus keluar dari mulutmu. Ketiga, aku tidak mau. Aku ingin pulang ke rumahku sendiri."
Karena terlanjur kesal. Clara mengeluarkan segala keluhannya. Berharap anak itu faham yang sebenarnya bahwa ia bukanlah Mamanya. Mereka hanya orang asing yang tak sengaja bertemu. Clara menghela nafas, memiliki kembaran ternyata bisa menyulitkan hidupnya seperti ini.
Devan hanya mencebikkan bibir mungilnya. Ia tak menyangka jika Clara mengeluarkan kalimat sepedas itu. Apa dia terlalu nakal dan menyebalkan sampai-sampai Clara marah sebesar itu? Padahal sebelumnya gadis yang ia anggap seperti ibunya berkata sekasar itu. Devan menatap Clara yang memalingkan wajahnya keluar juga jendela mobilnya. Ia bahkan terlihat memalingkan wajahnya. Tak mau menatap wajah Devan sedikitpun.
Devan menundukkan wajahnya sedih. Ternyata membujuk mama pulang memang sesulit ini. Entah kenapa, hati kecilnya sakit sekali. Melebihi saat dirinya digigit semut merah. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin mendesak keluar dari mata besarnya. Kata papa, anak laki-laki tidak boleh menangis. Namun, ia tak tahan untuk tidak mengeluarkan air mata akibat terlalu sakit.
"HUWEEE...."
Tangisan Devan terdengar begitu melengking. Bahkan mobil hitam itu sudah dipenuhi oleh tangisan Devan. Clara dan Nathan reflek menutup telinganya rapat-rapat. Lengkingan Devan benar-benar membuat telinga mereka berdenging sakit.
"Aduh, adek. Jangan nangis. Masa laki-laki menangis? Maafin kakak ya" Ucap Clara menenangkan tangisan Devan.
Devan tak menanggapi. Ia masih terlalu sibuk dengan tangisannya. Anak itu meluapkan segala kesedihannya. Terlalu sakit untuk mengatakannya.
Clara menghela nafas lelah. Ia begitu merasa bersalah membuat anak ini menangis seperti ini. Mau bagaimana lagi? Bagaimanapun ia masih gadis labil yang belum bisa mengontrol emosinya.
Nathan mendengus kesal. Ia menatap sang anak yang menangis dengan keras. Sebelumnya ia baru melihat Devan menangis satu kali seumur hidupnya. Entah karena ia yang terlalu sibuk atau karena Devan yang jarang sekali menangis sampai ia tak sempat melihat sang anak menangis. Ia menatap Clara yang masih terlihat kebingungan. Gadis itu masih berusaha menenangkan sang anak dengan berbagai kalimat penenang.
"Clara, bisakah saya meminta tolong?" Ucap Nathan.
"Apa?" Tanya Clara lirih.
"Bisakah kamu ikut dengan kami. Saya tidak tega melihat anak saya menangis seperti ini. Saya mohon, satu kali ini saja. Saya akan menuruti segala keinginanmu jika kamu mau ikut dengan saya."
Clara tertegun sejenak mendengar perkataan Nathan. Ia tidak tahu harus memikirkan apa. Satu sisi, ia kasihan melihat Devan yang terus menangis dengan keras. Sementara disatu sisi ia tak ingin membuat Alvin dan Audrey khawatir mencarinya. Pasalnya ia tak membawa ponselnya, apalagi Clara tidak hafal dengan nomor mereka berdua.
Clara menghela nafas sejenak. Mungkin ikut dengan pria dan anak ini tidak ada salahnya. Sebentar saja. Iya hanya sebentar. Ia tak boleh berlama-lama dengan mereka berdua. Setelah itu, Clara menganggukkan kepalanya pelan. Pertanda bahwa ia menyetujui permintaan Nathan.
"Devan. Sudah ya, jangan nangis terus. Oke, kakak ikut dengan Devan ya. Berhenti nangisnya dong. Nanti gantengnya hilang." Bujuk Clara lagi.
Devan menghentikan tangisnya. Ia menatap wajah Clara yang masih menatapnya. Ia harus memastikan bahwa ia tak salah dengar dengan ucapan Clara.
"Benarkah? Mama mau ikut pulang dengan Devan?" Tanya Devan memastikan.
"Iya. Kakak akan ikut dengan Devan. Tapi, jangan nangis lagi ya." Jawab Clara.
Devan mengangguk senang. Ia bahkan mengusap air matanya cepat. Ia tak mau menangis lagi. Ia tak mau jika dikenal sebagai laki-laki cengeng.
***
Audrey cemas. Pasalnya Clara tak memberi kabar sama sekali. Seharusnya gadis itu sudah datang sejak satu jam yang lalu. Namun, gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Gadis itu juga meninggalkan ponselnya di meja kasir miliknya. Ia tak menyangka jika gadis itu ceroboh sekali.
Audrey berjalan kesana kemari layaknya sebuah setrika. Ia tak tahu harus melakukan apa. Ia sudah menghubungi suaminya. Namun, suaminya itu mengatakan bahwa ia tak tahu sama sekali tentang kemana perginya Clara. Ia menatap pintu Cafe dengan perasaan gundah. Berharap gadis itu segera memasuki Cafe tanpa terluka sedikitpun.
Ingin sekali ia menutup Cafenya sekarang. Namun, pelanggan masih saja terus berdatangan dan tak kunjung keluar. Ia tak mungkin menutupnya dalam kondisi seperti ini. Yang bisa dilakukan Audrey hanyalah menanti kedatangan Clara dan terus merapalkan do'a agar gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu baik-baik saja.
Audrey merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tak menyuruh Clara untuk mengantarkan pesanan. Ia harusnya tahu, bahwa gadis itu belum memiliki pengalaman sama sekali. Lantas, kenapa Audrey malah menyuruhnya dengan seenak jidat? Hah... Audrey benar-benar menyesal sekarang. Ia harus siap akan segala konsekuensi yang akan terjadi. Jika Alvin tahu, mungkin ia akan dimarahi habis-habisan. Jadi, Audrey hanya bisa berharap Clara baik-baik saja. Semoga.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.