Matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya keemasan yang lembut saat Azena meninggalkan taman. Udara sore terasa lebih sejuk, membawa sedikit ketenangan yang ia butuhkan. Ia menuju ke tempat yang selalu memberinya kedamaian—makam orang tuanya.Di sana, di antara susunan batu nisan yang terukir nama orang tuanya, Azena duduk termenung. Bunga-bunga sedap malam yang harum semerbak memenuhi udara, seolah menenangkan jiwanya yang masih bergolak. Air mata kembali mengalir, membasahi pipinya, bukan lagi air mata keputusasaan, tetapi air mata kerinduan."Ayah, Ibu," bisiknya lirih, suaranya terisak. "Aku... aku merasa sangat kehilangan. Aku merindukan pelukan kalian, nasihat kalian, keceriaan kita bersama." Ia menceritakan semuanya kepada makam orang tuanya, tentang trauma yang dialaminya, tentang obat penenang yang hampir merenggut nyawanya, tentang rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia menceritakan tentang Dokter Evian, tentang saran bernapas dalam-dalam, tentang usahanya unt
Di bangku taman yang teduh, di bawah naungan pohon rindang, Azena duduk termenung. Pandangannya kosong menerawang, menerobos dedaunan yang menari lembut diterpa angin. Suasana taman yang ramai oleh anak-anak yang tengah bermain dan keluarga yang asyik bercengkerama tidak membuat Azena terusik. Ia masih termenung dalam dunianya sendiri.Desiran angin seolah membisikkan kembali kata-kata dokter Evian, psikiater pribadinya, yang terus menghantuinya sejak sesi terapi terakhir. Bahaya penggunaan obat penenang berlebihan. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, menciptakan kecemasan yang perlahan menyelimuti.Azena memejamkan mata, dan seketika adegan itu kembali terulang. Flashback OnRuangan praktik dokter Evian yang hangat dan rapi. Aroma lavender yang menenangkan selalu memenuhi ruangan itu, mencoba meredakan kegelisahan setiap pasien."Azena," suara Evian terdengar lembut namun tegas.Evian memecah keheningan dalam ruang prakteknya. Sorot matanya yang penuh empati menatap Azena deng
"Tuan, pengiriman barang ke luar negeri sudah dalam perjalanan. Berkat informasi dari tuan muda, tempat pengiriman berhasil di alihkan," lapor seorang pria berbadan besar.Pria paruh baya yang dipanggil 'Tuan' itu hanya mengangguk tenang, gelas berisi wiski di tangannya bergoyang pelan seiring gerakannya. Matanya yang tajam tetap terpaku pada cairan amber itu."Bagaimana pergerakan para agen sialan itu?" tanya sang tuan datar, matanya terus fokus pada whisky ditangannya.Sang bawahan masih menunduk hormat tanpa berani menatap tuan besar di hadapannya. "Saya belum mendapatkan informasi lebih lanjut tuan, hanya saja ketua dari tim alpha tengah mengambil cuti.""Pantau terus mereka, jangan sampai mereka menghancurkan Bisnisku." "Baik tuan," Pria berbadan besar itu undur diri, meninggalkan ruangan yang minim cahaya. Di sana, sang Tuan Besar masih setia menikmati wiski mahalnya. Di hadapannya terhampar rak besar mewah yang berisi botol-botol alkohol dari berbagai jenis dan negara, memanc
Jari jari lentik itu perlahan bergerak pelan, perlahan Azena menggeliat kecil. Kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan sisa-sisa mimpi buruknya selama ini. Peristiwa semalam, reaksi paniknya, dan obat penenang yang ditelannya—semuanya kembali terlintas.Azena menoleh kearah jendela yang masih terbuka, langit malam dengan bintang yang bertaburan terlihat jelas di balik jendela kamar tidurnya."Sudah malam," gumamnya lirih.Azena meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya. Jemarinya bergerak ragu sebelum akhirnya mengetikkan nomor yang sudah sangat ia hafal. Setelah beberapa dering, suara yang familiar itu terdengar di ujung telepon."Halo, Dr. Evian?" Azena memulai, suaranya serak khas orang baru bangun dari tidurnya. "Maaf mengganggu malam-malam begini."Terdengar jeda singkat dari seberang. "Tidak apa-apa, Azena. Ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Dr. Evian dengan nada khawatir.Azena menarik napas dalam-dal
"Ayah, ibu—" ucap Azena tercekat, suaranya terpotong oleh ketakutan yang menghantui pikirannya. Tangan Azena bergetar hebat, bayangan kejadian buruk itu kembali terlintas di pikirannya seperti kilas balik yang mengerikan. Dengan langkah tertatih dan napas yang terengah-engah, Azena mendekati meja kecil samping tempat tidurnya. Laci kecil itu dibuka dengan cepat walaupun dengan tangan yang masih bergetar hebat. Tangan lentik itu masih sibuk mencari sesuatu yang sangat penting bagi Azena. Botol kecil berwarna putih kini berhasil ditemukan Azena, dan dengan tangan yang masih bergetar, ia berusaha membuka tutup botol itu dengan napas yang tidak teratur. Beberapa butir obat Azena telan tanpa minum sedikit pun, rasa pahit dari obat itu tidak dihiraukan Azena. Yang terpenting obat itu mampu mengendalikan reaksi tubuhnya yang mulai meledak-ledak. Obat benzodiazepine—obat penenang bagi penderita depresi pasca trauma seperti dirinya. Setelah kejadian mengerikan itu, hidup Azena Stefanie
Azena perlahan membuka matanya, menarik napas dalam dan melepaskannya pelan. Pelukan dari sang Papa memang menenangkan, tapi gejolak di dalam dadanya masih mengamuk, seakan ingin keluar dan melampiaskan semua gejolak itu. Ada kenangan buruk yang tidak pernah lenyap, ada luka yang kembali menganga.“Ze...” Jeremy kembali bersuara dengan suara yang lebih lembut. “Kalau kamu ingin berhenti, kami akan mengerti. Tidak ada yang menyalahkan mu.”Azena menoleh pelan, menatap mata sang kakek yang tampak lelah namun penuh kasih.“Tidak, Kek,” ucapnya tegas. “Aku justru harus teruskan ini. Bukan hanya karena misi. Tapi karena... ini adalah warisan Ayah. Sesuatu yang harus diselesaikan.”Jeremy mengangguk bangga, meski ada kekhawatiran terselip di wajah tuanya.“Kalau begitu, kamu harus siap dengan semua kemungkinan,” ujar Anthony pelan. “Jika memang ayahmu dulu terbunuh karena kasus ini, artinya kamu sedang bermain dengan api yang sama, Ze.”“Aku tahu, Pa,” jawab Azena mantap. “Tapi aku tidak se