Rara bersiap memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Hari ini dia dan Aldebaran kembali ke Jakarta, ada kontrak iklan dan pekerjaan di perusahaan yang belum selesai.
“Kalian cepat sekali mau pulang, padahal aku masih ingin kalian di sini!” ujar Kania sedikit sedih.
“Aku masih mau di sini, hanya saja Pak Firman sudah meminta pemilik tubuh ini untuk kembali bekerja. Jika aku menolak maka aku harus membayar kerugian.”
Kania melirik ke arah Rara yang hanya diam saja, Aldebaran sibuk mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang dia lakukan.
“Aku sudah selesai!” Rara menarik koper milik Aldebaran keluar. Dia menatap sejenak pria arogan yang enggan untuk beranjak dari sofa. Lalu, melanjutkan langkah dengan acuh menuju teras depan.
Aldebaran menarik napas pelan. Dia sebenarnya sedang melihat-lihat potret Rara yang pernah dia ambil waktu Rara berada di taman dengannya. Itu salah satu alasan kenapa Aldebaran tidak ingin kehilangan ponselnya saat
Rara tak henti-hentinya melihat ke arah Aldebaran. Masih tidak habis pikir dengan isi kepala pria arogan itu. “Sejak kapan kau menyukaiku?” tanya Rara ingin tahu. “Fokus saja menyetir!” “Apa yang kau sukai dariku? Aku ingin tahu!” “Semuanya!” “Semuanya apa maksudmu?” Rara menghentikan mobil tepat saat rambu lalu lintas berwarna merah. “Bukankah tidak perlu bertanya! Aku sudah pernah mengatakan padamu. Kalau hanya aku yang akan menjadi pasanganmu!” “Tapi aku sama sekali tidak menyukaimu, Pak! Aku bahkan tidak tahan berada di dekatmu!” “Tidak masalah! Aku akan membuatmu menyukaiku!” Rara menarik napas frustasi, berdebat dengan manusia keras kepala hanya buang-buang energi. “Apa kau menyukai pria lain?” Aldebaran balik bertanya saat melihat Rara tidak lagi melanjutkan perdebatan mereka. “Aku hanya menyukai diriku, tidak ada tempat untuk orang lain setel
Rara dan Nirmala baru saja tiba di rumah sakit, hari ini Nirmala datang untuk mengontrol kesehatannya. Rara sudah bekerja keras menjadi buruh serabutan selama dua minggu untuk mengumpulkan uang yang cukup. Rara memegang Nirmala berjalan dengan perlahan memasuki rumah sakit besar itu. Di sana banyak pengunjung dan perawat yang berlalu-lalang. Setelah langkah kaki Rara dan Nirmala menyusuri koridor, dari arah belakang mobil minibus berwarna hitam tiba di depan pintu utama. Seseorang turun dengan masker yang menutupi wajahnya dan mengenakan jaket tudung kepala. Beberapa orang yang mengikuti tampak mengawalnya dengan ketat. Rara sempat menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan langkah menuju dokter spesialis jantung yang akan mereka temui.Nirmala harus menunggu giliran untuk masuk, hari ini tidak seperti biasanya banyak juga pasien yang datang untuk mengontrol. Dari jauh, kerabat Nirmala datang mendekat setelah melihat Rara dan Nirmala
Aldebaran bergegas berlari setelah mendapat telepon dari Rara. Napasnya tersengal saat tiba di rumah sakit. “Kau baik-baik saja?” tanya Aldebaran begitu sampai di ruang UGD. Rara tersentak, dia berdiri di posisi tempat tidur yang salah saat bergegas membuka tirai. Aldebaran mendapati Monika yang tengah berbaring dengan luka perban di siku kanan dan pelipis serta kaki yang dibalut gips. Aldebaran dan Rara saling melempar pandangan, bukan Rara yang terluka melainkan Monika. “Kau bilang mengalami insiden buruk dan berakhir di sini, Pak?” Aldebaran menunjukkan raut wajah Rara yang tampak kebingungan. “Aku belum menyelesaikan kalimatku panggilannya sudah kau matikan lebih dulu. Tadinya aku ingin bilang hampir ditabrak dan berada di rumah sakit karena Monika menyelamatkanku!” “Oh, begitu....” Rara tersenyum kikuk. Aldebaran seperti orang bodoh yang tidak tahu harus bersikap apa. “Kenapa kau merelakan diri untuk terluka
Rara menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu utama rumah sakit. Sebelum masuk dia terdiam sejenak.“Kau yang memulainya, maka selesaikan dengan baik. Apa kau yakin bisa menanganinya?”Rara menoleh ke arah dirinya. Rara tidak sendiri, dia datang bersama Aldebaran dan dari arah belakang, Angga juga baru sampai.“Maaf, ya, Kak. Aku memintamu datang, karena setelah menunaikan pekerjaanku, aku akan pulang sendirian!” ucap Rara dengan raut tidak berdosa.Jiwa Rara merasa tidak terima melihat sikap aneh yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.“Tidak masalah. Aku tidak keberatan!” Angga mengusap puncak kepala Rara dengan lembut.Aldebaran tercengang. Ini pertama kali dia melihat senyum berbeda dari Angga yang begitu bahagia. Angga memegang tangan Rara lalu masuk ke dalam membiarkan Aldebaran yang masih bergeming di tempat.“Wah, kau luar biasa Pak! Jelas sekali aktor sejati. Di
Monika menjalankan kursi roda menuju teras lantai dua. Dia hendak menemui seseorang yang sudah menunggunya di sana. “Ada perlu apa kau datang ke rumahku?” Angga menoleh, dia mengulas senyum singkat. “Aku hanya singgah untuk melihat keadaanmu alih-alih alasan pekerjaan!” “Aku tahu bukan itu alasannya!” Monika menyanggah. Menatap lurus melihat hamparan hijau yang begitu luas terlihat dari atas sana. “Ayahmu memiliki tanah yang luas kenapa tidak dia manfaatkan saja tanah yang luas itu untuk sesuatu yang menghasilkan uang?” “Pemilihan topik yang bagus. Tidak usah bertele-tele. Katakan saja apa maksud kedatanganmu ke sini!” Angga berdeham singkat. Menyingkap jas miliknya seraya merapatkan badan pada tembok pembatas. “Apa semua ini rencanamu?” Monika mengangkat sudut bibirnya. “Kau orang yang peka! Aku tidak akan berbohong, kau benar. Itu semua rencanaku, lebih tepatnya r
Angga menepikan mobilnya ketika sampai di salah satu restoran cepat saji. Dia mengambil langkah cepat masuk ke dalam. Belum sampai setengah jalan, tatapannya mengarah pada sebuah mobil yang sangat familiar terparkir tak jauh di pelataran restoran. Angga kembali melanjutkan langkah masuk ke dalam restoran. Pandangannya menyapu sekeliling mencari orang yang dia cari. Di sana, tepat di ujung arah jam sembilan orang itu tengah duduk berbincang dengan orang lain yang duduk di hadapannya. Ponsel Angga berdering. Angga melirik ke layar ponsel nama Monika tertera. “Ada apa? Kita bicara nanti, aku sedang sibuk!” “Kau belum menjawab pesanku!” “Nanti saja, aku harus menutup panggilan ini!” “Kau sudah tahu pelakunya kan? Katakan padaku!” “Aku tidak tahu! Aku lagi sibuk, kuhubungi lagi nanti!” Angga cepat-cepat memutuskan panggilan dan segera mendekat pada orang di ujung sana. Belum beb
Aldebaran menghentikan mobilnya tepat setelah mendengar informasi yang dia dapatkan dari kantor polisi. Saat ini Aldebaran dan Rara baru saja sampai.“Tenangkan dirimu, Pak! Aku yang akan mewakili kemarahanmu!”Aldebaran turun lebih dulu. Langkahnya mengarah cepat masuk ke dalam.“Selamat pagi, Pak Al!” sapa salah seorang petugas polisi.“Apa dia pelakunya?” Aldebaran memandang dingin melihat sosok pria yang tengah menundukkan wajahnya.Rara ikut menoleh. Raut wajahnya berubah, Aldebaran sangat terkejut melihat pria yang berbeda dengan yang dia lihat di restoran kemarin.Dia hanya orang suruhan! Aldebaran memberi isyarat pada Rara bahwa bukan dia pelakunya.“Dasar bedebah! Beraninya kau mau mencelakai aku?!” Aldebaran menarik kerah pakaian pria itu dengan penuh amarah. Beberapa petugas lantas melerai mencoba membuat Aldebaran
Rara baru saja tiba di restoran sesuai janjinya dengan Angga. Aldebaran sengaja meminta Angga untuk bertemu langsung di restoran karena tidak ingin Angga menjemputnya.Aldebaran menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Dari kejauhan Angga melambaikan tangan dengan senyum di wajahnya.Dia terlihat sesenang itu. Bahkan pakaiannya tampak rapi dari biasanya. Gaya rambutnya juga berubah. Apa jadinya jika dia tahu aku bukan Rara. Haruskah aku mengungkapkan identitasku?! Aldebaran tersenyum sendiri membayangkan hal itu jika saja terjadi. Entah seperti apa reaksi Angga nanti.“Kau tampak cantik mengenakan gaun itu, Jihan!” puji Angga merasa senang.Rara hanya membalas dengan senyuman.Tentu saja kau memang harus memuji. Aku sengaja memakai ini untukmu. Aldebaran mencibir dalam hati.Aldebaran memakai gaun pemberian Angga saat ulang tahun Rara sebelum kecelakaan