Rara menggebrak dashboard mobil membuat Dion hampir kehilangan fokus saking kagetnya.
“Ya ampun, Al! Jantungku hampir melompat dari tempatnya. Ini hari yang menyedihkan bagiku!” Dion kembali berkomentar melihat sudah kesekian kalinya Aldebaran tiba-tiba menyentuh apa pun yang mengagetkan Dion.
“Pria licik itu, apa dia mengawasi Rara?” Aldebaran balik bertanya ke arah Dion yang sedang fokus menyetir.
Dion mengangkat bahu tanda tak tahu.
Beberapa saat lalu....
“Ada perlu apa Tuan ingin berbicara denganku?”
David menatap dalam wajah Rara. Sorotan matanya menunjukkan kehangatan yang membuat Aldebaran makin mencurigai dirinya.
Apa arti tatapan itu? Tidak mungkin pria ini menyukai gadis yang lebih muda dari usia putrinya, terka Aldebaran dalam hati.
David mengulas senyum. Dia hendak mendekati Rara, membuat Rara selangkah mundur.
“Ap
Rara tengah bersiap untuk menghadiri acara film perdananya yang akan tayang di bioskop. Sebenarnya ini bukan film pertama Aldebaran, bagi Rara itu yang pertama selain film bergenre romance yang selalu diperankan Aldebaran, itu kali pertama Aldebaran tampil dalam film bergenre mystery dan thriller. Bagi Rara itu merupakan tantangan tersendiri, sebagai peran utama tentu saja Rara begitu antusias menunggu hasil dari kerja kerasnya.“Apa kau begitu senangnya?!” Suara Rara menginterupsi. Aldebaran sejak tadi sudah berdiri di ambang pintu tanpa Rara sadari.“Sejak kapan Pak Al datang?”“Beberapa menit yang lalu!”Rara melempar tatapan menyelidik.“Salah sendiri pintunya tidak dikunci!” Aldebaran lebih dulu membela diri.Rara mendesis pelan. Aldebaran menebak dengan tepat apa yang akan dikatakan Rara selanjutnya. Dengan cepat Rara meraih kunci mobil dan pon
Sejak kemarin Aldebaran merasa ada yang aneh dengan dirinya. Saat ini dia sedang bersama Dion di bar. “Apa yang kaupikirkan, Al?” tanya Dion mengawali percakapan setelah menyajikan cola dingin untuknya. Aldebaran bahkan tidak bisa minum. Dia terpaksa menahan diri menjauh dari alkohol. “Al!” Dion menepuk bahu Rara. “Ada apa?” Aldebaran menoleh kaget. “Kau lagi memikirkan apa? Terjadi sesuatu?” “Bukan apa-apa!” Aldebaran meneguk minumannya hingga tersisa setengah. “Aku sudah mencari wanita tua itu lagi, tapi masih juga belum menemukan petunjuk apa pun. Jika dipikir-pikir, semua ini memang tidak masuk akal!” Aldebaran menghela napas pelan. “Kau tidak perlu lagi mencarinya. Aku masih harus melakukan sesuatu dengan tubuh gadis lamban ini!” Dion memperbaiki posisi duduk. “Apa yang akan kaulakukan?” “Sesuatu! Yang pasti aku memerlukan tubuh Rara untuk melakukan itu.” “Kuharap bukan hal gi
Rara segera berenang mencapai tubuh Aldebaran yang hampir kehabisan napas. Kania sangat panik dan berusaha membantu mengangkat Aldebaran yang sudah tidak sadarkan diri. Rara lantas memompa jantung agar Aldebaran memuntahkan air. “Bagaimana mungkin Al tidak bisa berenang? Itu kebiasaan yang selalu kami lakukan setiap kali bertemu,” ucap Kania dengan suara bergetar. Rara tidak menjawab, dia terus memberikan pertolongan berharap Aldebaran segera siuman. Tak berselang lama, Aldebaran akhirnya memuntahkan air. Rara mendesah lega lalu membantu Aldebaran untuk bangun. “Kau baik-baik saja?” tanya Rara memastikan. Aldebaran hanya mengangguk, menoleh ke arah Kania yang merasa cemas sekaligus bingung dengan situasi mereka saat ini. “Maafkan aku, Al. Aku tidak bermaksud melakukan hal buruk dan—“ “Aku tahu, kau tidak perlu cemas!” Rara lebih dulu menyela. “Tunggu, kau.... bagaimana kau tahu namaku dan siapa kau
Aldebaran tengah berdiri di balkon teras lantai dua, menikmati udara malam dalam kesendirian. Embusan angin malam menembus pakaian Rara yang tidak cukup tebal. Dingin. Suara tapak kaki seseorang menyentuh indra pendengaran, Aldebaran enggan untuk menoleh, dia tahu jelas siapa yang menghampirinya. “What the hell you doing here?” Aldebaran tidak menjawab, masih memandang rembulan yang begitu terang di singgasana. “Aku merasa seperti berada di dunia fantasi. Kau benar-benar berada di dalam sana?” Kania memulai percakapan, memecah keheningan. “Bukankah sudah jelas, apa kau masih meragukannya?” Aldebaran melirik sekilas, pandangannya kembali menatap bulan. “It's hard to believe! That can't be.” Kania menghela napas pelan. “Bagaimana bisa jiwamu berakhir di dalam tubuh seorang gadis yang terpaut jauh usia denganmu?! Apa kalian memiliki hubungan yang spesial?” “Kami tidak sedekat itu! Semua ini juga tidak masuk akal bag
Rara berjalan lebih dulu saat mobil Kania berhenti di garasi. Rara bahkan enggan membawa martabak yang ingin dia makan, selera makannya hilang begitu saja. “Ada apa dengan wajah itu? Aku bukan pria cengeng! Gadis lamban itu.... apa dia sedang merajuk?!” Aldebaran menoleh ke arah Kania yang hanya ditanggapi Kania dengan mengangkat kedua bahunya. Aldebaran menarik napas panjang, lalu turun menyusul dari belakang. Aldebaran segera mengejar Rara yang hendak masuk ke dalam kamar. “Kita perlu bicara!” Aldebaran masuk begitu saja saat pintu kamar terbuka. Rara tidak sempat menghalangi, dia berjalan dalam diam menuju sofa. “Bukankah harusnya aku yang marah? Kau tidak berhak marah padaku!” “Sudah jelas terlihat seperti itu karena aku berada di tubuhmu!” Rara mengarahkan pandangan ke tempat lain. “Kau bahkan sudah berani menjawabku! Harusnya kau mengikuti perintahku bukan sebaliknya!” “Aku m
Rara bersiap memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Hari ini dia dan Aldebaran kembali ke Jakarta, ada kontrak iklan dan pekerjaan di perusahaan yang belum selesai. “Kalian cepat sekali mau pulang, padahal aku masih ingin kalian di sini!” ujar Kania sedikit sedih. “Aku masih mau di sini, hanya saja Pak Firman sudah meminta pemilik tubuh ini untuk kembali bekerja. Jika aku menolak maka aku harus membayar kerugian.” Kania melirik ke arah Rara yang hanya diam saja, Aldebaran sibuk mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang dia lakukan. “Aku sudah selesai!” Rara menarik koper milik Aldebaran keluar. Dia menatap sejenak pria arogan yang enggan untuk beranjak dari sofa. Lalu, melanjutkan langkah dengan acuh menuju teras depan. Aldebaran menarik napas pelan. Dia sebenarnya sedang melihat-lihat potret Rara yang pernah dia ambil waktu Rara berada di taman dengannya. Itu salah satu alasan kenapa Aldebaran tidak ingin kehilangan ponselnya saat
Rara tak henti-hentinya melihat ke arah Aldebaran. Masih tidak habis pikir dengan isi kepala pria arogan itu. “Sejak kapan kau menyukaiku?” tanya Rara ingin tahu. “Fokus saja menyetir!” “Apa yang kau sukai dariku? Aku ingin tahu!” “Semuanya!” “Semuanya apa maksudmu?” Rara menghentikan mobil tepat saat rambu lalu lintas berwarna merah. “Bukankah tidak perlu bertanya! Aku sudah pernah mengatakan padamu. Kalau hanya aku yang akan menjadi pasanganmu!” “Tapi aku sama sekali tidak menyukaimu, Pak! Aku bahkan tidak tahan berada di dekatmu!” “Tidak masalah! Aku akan membuatmu menyukaiku!” Rara menarik napas frustasi, berdebat dengan manusia keras kepala hanya buang-buang energi. “Apa kau menyukai pria lain?” Aldebaran balik bertanya saat melihat Rara tidak lagi melanjutkan perdebatan mereka. “Aku hanya menyukai diriku, tidak ada tempat untuk orang lain setel
Rara dan Nirmala baru saja tiba di rumah sakit, hari ini Nirmala datang untuk mengontrol kesehatannya. Rara sudah bekerja keras menjadi buruh serabutan selama dua minggu untuk mengumpulkan uang yang cukup. Rara memegang Nirmala berjalan dengan perlahan memasuki rumah sakit besar itu. Di sana banyak pengunjung dan perawat yang berlalu-lalang. Setelah langkah kaki Rara dan Nirmala menyusuri koridor, dari arah belakang mobil minibus berwarna hitam tiba di depan pintu utama. Seseorang turun dengan masker yang menutupi wajahnya dan mengenakan jaket tudung kepala. Beberapa orang yang mengikuti tampak mengawalnya dengan ketat. Rara sempat menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan langkah menuju dokter spesialis jantung yang akan mereka temui.Nirmala harus menunggu giliran untuk masuk, hari ini tidak seperti biasanya banyak juga pasien yang datang untuk mengontrol. Dari jauh, kerabat Nirmala datang mendekat setelah melihat Rara dan Nirmala