Share

Perhatian supirku

Semburat jingga di ufuk timur terbit, kemilaunya menerpa dedaunan di taman yang lalu sisa embun memantulkan kembali kristal-kristal indah yang membuatku terpesona oleh keajaiban Sang Pencipta.

Kusibak selimut dan seperti biasa aku melakukan rutinitas pagi, membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Sibuk sendiri di dapur membuatku tertegun sesaat. Lalu mengedarkan pandanganku pada tiap sudut rumah nuansa Eropa yang mewah ini.

Perabotnya, aksesorisnya bahkan cat dindingnya sangat menyilaukan tapi sungguh aku merasa hampa. Bahkan sarapan yang sudah kusiapkan di atas meja hanya teronggok begitu saja.

Aku kehilangan selera dan semangat.

Kuraih gawai dan kutekan kontak atas nama suamiku. Berharap dia ada di sini, seharusnya sepagi ini dia masih bersamaku, sarapan bersama dan bercanda.

"Halo," sapanya dari seberang sana.

"Mas ... Mas udah bangun?" Kataku membuka percakapan.

"Iya, udah dari tadi."

"Mas tidur di mana, sudah lama lho, Mas gak pulang ke rumah. Aku kesepian sendiri Mas," kataku sambil menahan getir di dalam dada.

"Aku tidur di hotel yang bersebrangan dengan kantor, kamu tahu sendiri kan, aku sibuk." Aku hanya mampu menghela napas lemah dan mengigit bibir mendengar ucapannya.

"Mas udah sarapan? Gimana kalo aku nganterin makanan ke tempat Mas?" Usulku sambil berusaha mengambil hatinya.

"Gak usah, Sabrina, makanan hotel juga banyak, kamu ga usah repot."

Andai dia mengerti ini bukan tentang repot atau menu, aku hanya ... sedang merindukannya.

"Mas, a-aku, bisa kita ketemu, entah sore atau malam hari," kataku terbata-bata sambil menahan tangis.

"Gak tahu, pokoknya kamu duduk manis aja, nunggu Mas di rumah. Atau, kau fokus pada yayasan kamu? Tolong ya, jangan kekanak-kanakan."

Kalimatnya semakin menyakitiku. Kupikir lebih baik untuk mengucapkan selamat tinggal dan menutup saluran telpon.

Kuseka air mataku yang lolos begitu saja, entahlah, aku lemah mendapati ia tidak se-perhatian dulu. Cintanya, kasih sayangnya, dan semua tentangnya menjadi kabur dan seolah dia bukan sosok yang aku kenal lagi.

Dia berubah.

Kupeluk diriku sendiri sambil tersedu-sedu di dinding dekat meja makan.

Makanan yang tadinya terhidang mengepulkan asap dan aroma mengundang selera kini telah dingin dan aku tak ingin lagi mengecapnya.

Aku tergugu pilu, menangis, menjerit, sepuas hatiku. Apalagi ketika mengingat dosa-dosa yang aku lakukan semakin sakitlah dalam jiwa ini. Meski aku sadar seharusnya diri ini mendapatkan konseling, namun terlalu malu aku untuk menceritakan aib sendiri.

"Apakah aku sudah demikian buruknya?"  tanyaku pelan sambik mengusap air mata.

*

Pukul delapan tiga puluh menit aku sudah siap dan berpenampilan rapi, mengenakan rok span abu-abu dan kemeja putih dengan garis dada rendah serta blazer senada. 

Seperti biasa Handy datang menjemputmu dan membukakan pintu mobil, mempersilahkan masuk dan membungkuk hormat.

Kutatap penampilannya dengan seksama, Seperti biasa juga ia selalu rapi, dengan kemeja dan jas hitam serta earphone yang selalu terselip di telinganya. Senyumnya yang manis dan tatap teduh matanya membuatku sering khilaf dan lupa diri.

"Ada apa? Kenapa termenung?" tanyanya sambil mengibaskan tangan di depan mataku.

"Ah, tidak, tidak apa," jawabku sedikit gugup dan segera masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja sementara dia terus melirikku dari kaca spion di depannya.

"Anda cantik hari ini," katanya.

"Diam, saja dan fokus menyetir." 

Ia hanya mengulum senyum mendengarku yang berkata ketus seperti tadi.

*

"Tunggu, coba menepi dulu," kataku setelah tiba-tiba dari mobil kulihat suamiku sedang duduk di Coffe shop yang cukup ternama. 

Dari balik panel kaca depan sana ia tak menyadari jika mobilku menepi tepat di samping ia duduk.

Mas Andri sedang asyik membaca koran sedang di hadapannya piring piring berisi sarapan ala Eropa tertata rapi. Ada croissant, roti bakar isi, sandwich daging asap.

Kuraih ponsel dari dalam tas mencoba menghubunginya karena aku begitu ingin menyusul dan sarapan dengannya. Kurasa ini momen yang baik untuk hubungan kami.

"Halo, Mas," sapaku mesra.

"Hmm, apa?" Gumamnya dingin.

"Mas lagi di mana, kebetulan aku gak jauh dari kantor Mas, gimana kalo kita sarapan bareng?" Kataku dengan nada yang manis.

"Gak bisa, aku lagi sibuk," katanya.

"Tapi, ada restoran bagus di sekitar situ lho, Mas, ada churros dan donat yang sangat lezat. Mas pasti suka ...."

"Oh, kini kamu mau makan semua makanan berkalori tinggi, bukannya kamu harus menjaga bentuk tubuh dan kesehatanmu, usiamu yang tidak muda lagi, harus memperhatikan nutrisi."

Oh ya, dia sendiri sedang menyantap sarapan dengan banyak kalori. 

Tidak adil.

"Uhm, sesekali, aku ...."

Belum selesai aku berbicara bunyi saluran telepon sudah dimatikan oleh Mas Andri.

Masih kuperhatikan ia di dalam cafe sana, sedang mengesap minumannya dan tak lama kemudian seorang gadis berpakaian rapi datang dan bergabung di mejanya. Gadis itu tampak begitu hormat pada Mas Andri, sedang Mas Andri terlihat menyunggingkan senyum ramah padanya.

Aneh, karena sebelumnya suamiku tak pernah seramah itu terlebih lagi pada asisten yang jauh di bawahnya. Kuputuskan untuk kembali masuk ke dalam mobilku.

"Ayo, kita jalan," kataku pada Handy.

"Baik," jawabnya.

Masih terbesit kecewa dan tersisa sedih yang merajai dalam hati atas sikap suamiku barusan. Bahkan sarapan pun ia menolak bersamaku.

Berkali-kali kubuang napas kasar untuk menetralkan getir yang kini menimbulkan butiran-butiran menganak sungai di mataku.

Mungkin melihat gesturku yang demikian, sedikit-sedikit membuang muka membuat Handy menyodorkan kotak tissu padaku.

"Ini, Bu."

"Buat apa?"

"Mungkin bisa membantu Ibu," jawabnya lembut.

"Sok tahu kamu," balasku.

"Aku ngerti perasaan Ibu, sangat mengerti," katanya namun fokus matanya tetap ke depan jalan sana.

Mau tak mau air mataku luruh, gejolak dalam dada, dan emosi yang tertahan membuatku tak tahan tersengguk-sengguk sendiri.

Aku merasa rendah dan cemburu, Mas Andri menolakku sedangkan dia sendiri sedang menikmati sarapan dengan wanita lain. itu menyakitkan bukan?

"Tenangkan hati Anda, jika mau, saya akan antarkan ke tempat wisata yang bagus, agar anda bisa refreshing."

"Gak usah, ke kantor aja."

Mobil meluncur lebih cepat setelah aku mengatakan itu, dan beberapa menit berikutnya aku telah sampai di yayasan Kasih Bunda, yayasan di mana aku menjabat sebagai wakil ketua.

*

Siang hari pukul 13:14

Kuraih ponsel dan kuminta supir pribadiku yang tampan itu untuk membawakan beraneka macam makanan.

"Banyak sekali, Bu. Apakah Ibu akan mengundang orang untuk makan siang," tanyanya pelan.

"Saya menggaji kamu untuk banyak bertanya, tidak kan?" Balasku kesal. 

Kesal oleh sikap suamiku pagi tadi dan juga kesal oleh rasa lapar yang kian mendera.

"Sial, aku lupa sarapan," rutukku sendiri.

Lima belas menit berikutnya Handy datang membawa makanan yang aku pesan. Di terlihat bingung untuk meletakkan makanan itu.

"Taruh aja di meja itu," kataku sambil menunjuk meja tamu dalam ruanganku.

"Saya akan tunggu di luar, jika Ibu ingin saya ambilkan minuman tambahan," katanya sopan sambil meninggalkan ruangan yang hanya berdinding panel kaca transparan.

Ia begitu perhatian, bagaimana perasaan ini tidak semakin gerimis oleh sikap lembutnya.

Kubuka kotak-kotak makanan yang dibawakan oleh Handy dengan semangat. Nasi Padang, ayam geprek, sate, gado-gado dan es buah.

Kulahap semuanya dengan cepat. Disertai rasa kesal akan ucapan Mas Andri.

Apa dia bilang tadi, aku tidak boleh makan karbohidrat dan umurku sudah tua?

Menyebalkan sekali.

Kulahap semuanya dengan cepat tanpa memperdulikan beberapa orang yang lewat di depan ruanganku, bahkan saking lahapnya aku sampai duduk di lantai tidak duduk di sofa agar bisa menikmati makanan itu lebih dekat.

Tiba-tiba Handy datang dan menghampiriku, meraih bahuku perlahan dan memintaku bangkit.

"Apa yang kamu lakukan?" kataku dengan mulut masih penuh makanan.

"Ini sudah terlalu banyak Anda bisa muntah," katanya lembut sambil menatap mataku.

Lama aku dan dia saling pandang hingga aku lalu memilih melepaskan kaitan tangannya dari lenganku.

"Lepaskan aku, aku lapar," kataku kasar, kembali menyantap makanan dengan kasar.

"Sudahlah, kumohon, jangan menyiksa diri sendiri," bujuknya lagi.

"A-aku, kau dengar ... dia bilang apa tadi, suamiku-su-suamiku ia menghardik padaku," kataku dan perlahan air mataku meluncur dengan derasnya. 

Tak sanggup lagi menahan sakit.

Ia meraih kedua bahuku lalu mendudukkanku di sofa, kemudian menyodorkan selembar tisu. 

"Hapus air mata dan bersihkan diri anda, Jika Ibu merasa tidak enak badan, mau saya antar pulang saja sekarang," katanya masih dengan nada yang amat lembut.

"Ak-aku hu .. hu ...."

Ia hanya menyentuh bahuku sekilas lalu berkata,

"Orang-orang melihat Anda, selain itu, Anda pimpinan juga di sini, mari sebaiknya Anda pulang saja," katanya sambil menarik lenganku pelan dan akhirnya aku pun menurut padanya.

*

Sesampainya di rumah, kubuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar sedang dia yang tadinya sudah bersiap turun untuk membukakan pintu sedikit tertegun dengan amarahku.

"Oh, ya, Bu. Saya diminta bapak untuk mengambilkan beberapa pakaian ganti," katanya.

"Oh, kalo begitu mari masuk, aku lesu harus keluar lagi ke pintu gerbang," desahku sambil berlalu dan dia mengekor di belakangku.

Rumahku memang sepi, aku sendiri tinggal tanpa seorangpun, asisten rumah tangga hanya datang seminggu sekali untuk bersih-bersih dan mengurus pakaian kotor.

Jadi aku tetap kesepian lagi.

*

"Ini," ucapku sambil menyerahkan paper bag berisi kemeja dan sepatu Mas Andri.

Ia menerimanya dan sesaat kemudian ia menghampiriku dan menarikku dalam pelukannya.

"Hei, lepaskan, apa yang kamu lakukan," kataku sambil berusaha meronta namun kalah tenaga oleh pemuda yang berotot tegap dan dada bidang ini.

"Aku tak bisa menghiburmu di kantor, tapi di sini aku bisa memelukmu," bisiknya mesra di telingaku. 

Sentuhan bibirnya di telinga, aliran napas dan wangi mint dari mulutnya membuat lecut-lecut gairah dalam diriku tiba-tiba terpantik. Sesaat lupa dengan kesedihan tadi.

"Ak-aku hanya ...." Aku jadi gugup dengan perlakuan manis semacam ini.

Dibingkainya wajahku dengan kedua tangannya, lalu dengan mesra dikecupnya bibirku hingga aku merasa terkesiap sendiri.

"Jangan menangis lagi, ya. Jika pak Andri tidak membahagiakanmu maka saya yang Kan Selalu mengisi kebahagiaan itu," katanya lembut lalu berlalu, punggung itu menghilang seiring dengan pintu gerbang yang bergerak menutup otomatis.

Aku terduduk lemas di depan pintu, sambil meremas rambut dan semakin berada dalam dilema yang membuat frustasi.

Mas Andri sebagai suamiku ia hanya menciptakan ruang hampa dari rasa rindu yang tidak terbalaskan, sedangkan di sisi lain Handy datang menawarkan cinta dan madu asmara untuk mengisi ruang hampa yang ada.

Bagaimana ini?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
mungkin si Andrey punya selingkuhan tapi kq kebacut gak pernah pulang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status