Share

Malam romantis

Hari ini, setelah hujan sore tadi, langit malam begitu indah dengan taburan gemintang yang menghiasi, kelip ornamen malam dan lampu kota membuatku sesaat menikmati pemandangan itu.

Lelah dan jenuh dengan kegamangan yang merajai dinding hati, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari rumah sejenak menikmati suasana.

Sepanjang trotoar beraneka ragam penjual makanan dan minuman hangat berjejeran, kepulan asap dan  aroma makanan membuat siapa saja tergoda. 

Anak-anak muda duduk di bangku dekat paving  menikmati pesanan mereka sambil memainkan ponsel atau bercengkerama ria. Canda dan gelak tawa mereka membuatku iri dan semakin merasa sepi.

Kubenahi mantel dan sambil menggenggam kedua tangan yang mulai terasa dingin oleh terpaan angin.

Baru saja hendak berbalik badan untuk kembali  ke rumah tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahuku.

Kubalikkan diriku dan sosok yang selalu membuat jantungku berdetak kencang akhir-akhir ini sedang menyunggingkan senyum termanisnya.

"Hai, apa yang kamu lakukan di sini?" Tanyanya sambil mendekatkan diri ke telingaku.

"Eh, umurku lebih tua darimu, kau memanggil dengan kata 'kamu?"

"Kita tidak dalam situasi formal, Nyonya," katanya dengan kerlingan mata dan senyum menggoda.

Kualihkan wajahku yang kini tak mampu menghapus rona tersipu, dan jujur saja, cara ia berbicara dan menatap selalu membuat dada ini bertalu-talu oleh debaran bahagia.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Mengurai sepi?" Sambungnya lagi.

"Sok tahu kamu," kataku tapi tetap dengan wajah datar, berusaha sekuat mungkin menahan tawa  atau sesuatu yang akan membuatnya semakin gencar menggodaku.

"Bagaimana kalo  kita mencoba roti kukus itu," katanya sambil menunjuk penjual roti yang deretan rotinya masih mengepulkan asap panas.

"Hmm, ...." Aku sejenak berfikir.

 Ia menatapku lagi lalu berkata, "Gila, orang kaya kalo mau makan sesuatu harus mikir lama dulu, ya?"

"Gak juga," jawabku.

"Kalo gitu ayo," katanya sambil menggamit lenganku.

"Hei, lepaskan lenganku." Aku menepuk lengannya.

"Gak mau, apa karena saya menyentuh, lantas seseorang akan menembak?"

"Dasar bocah tengil," batinku sambil menggeleng-geleng ke arahnya.

Jujur tak bisa kunafikan, segala sesuatu yang ia lakukan terhadapku, atau momen apapun yang kulalui bersamanya selalu menjadi begitu berkesan dan menyenangkan. Seolah aku menjadi muda kembali, atau  aku adalah gadis cantik yang sedang bermekaran dan menerima perlakuan bak ratu dari kekasihnya.

Konyol atau ... ah, Apapun itu, saat ini adalah kenyataan yang ingin aku nikmati.

"Coba yang ini, rasa kacang merah," ucapnya sambil menyodorkan sepotong roti dengan bungkusan kertas berwarna putih.

"Terima kasih," jawabku sambil menerima pemberiannya.

"Hmm, manis sekali," gumamnya sambil mengigit roti tersebut.

Aku lebih banyak memperhatikan ekspresinya menikmati roti itu daripada memakan makananku sendiri.

"Ada apa? Gak doyan?" Tanyanya ketika melihatku masih terpaku menatapnya.

"Eh, gak juga, anu ... Ini masih panas," jawabku dengan gugup.

Ia mendekat selangkah hingga tubuh kami bersentuhan dan jujur jantungku serasa akan meledak apalagi ketika tatap teduh itu bersitatap dengan pandanganku. Rasanya tungkaiku lemas.

"Pemuda ini terlalu tampan," batinku.

"Makannya kenapa bisa belepotan begini? Seperti bocah, he he he," katanya sambil membersihkan sudut bibirku yang ternyata sisa kacang merah menempel di sana.

Sontak saja, Aku memundurkan diri membentang jarak darinya. Bukan karena tidak suka, sungguh hati ini terasa gerimis oleh keromantisannya, namun, aku tak ingin ia melihat raut wajahku yang kini memerah oleh rasa gugup dan salah tingkah. 

Selalu, dua hal yang saling berlawanan dalam diri ini berperang ketika bersama pemuda dengan tinggi 170 CM, rasa bahagia sekaligus salah tingkah yang luar biasa dashyatnya. Bahkan rasa gugupnya mengalahkan ketika pertama kali Mas Andri melamar untuk menjadikanku pendamping hidupnya.

"Terima kasih ya, oh ya, ini sudah jam setengah sembilan malam, sebaiknya aku pulang dulu," kataku berpamitan.

"Kenapa, bahkan rotinya belum habis," katanya sambil melihat pada roti yang masih kupegang.

"Aku akan memakannya sepanjang jalan." Aku mulai meninggalkannya.

"Aku akan menyertai di belakang jika kamu tidak suka berdekatan." Ia mengikuti segera.

"Gak usah, aku bisa kok, pulang sendiri, tempat ini juga tak jauh dari rumahku. Hanya satu blok ke kiri lalu sampai," tolakku halus.

"Hanya ingin memastikan keselamatan Nyonya, itu tugas saya, iya kan?" katanya sambil mengedipkan mata.

Unbelieveable!

"Terserah deh!" Aku menukas lalu melanjutkan langkahku.

Jujur, tadi itu sengaja ingin menjauh darinya agar aku tak semakin terjerat, tapi ini malah membawaku semakin dekat. Dia memang berjalan lima langkah jaraknya dariku, tapi tetap saja, debaran dalam dada ini seolah seluruh dunia mendengarnya.

"Tidak, jangan nikmati, kau sudah tua, 38 tahun ... bersuami ...." Begitu bisikan-bisikan yang terngiang di telingaku saat ini, di sepanjang jalan menuju rumah.

Namun dari sisi yang berbeda,

"Tak apa, sesekali menghibur diri, mungkin Tuhan mengirimkannya sebagai pelipur duka dan rasa sepi akibat perbuatan suamimu," bisik dari suara hatiku yang berbeda.

Kutekan dadaku sendiri yang mulai merasa sesak yang demikian membuncah. Aku kesal oleh sikap Mas Andri, andai dia selalu ada untukku, atau minimal meluangkan waktu, mungkin saja semua kekhilafan ini tidak akan terjadi. Ah ...

Aku hanya bisa mendesah sendiri.

Sesampainya di depan pintu gerbang rumah, aku berpapasan dengan Mas Andri tapi dia dalam posisi akan meninggalkan rumah dan bersiap menaiki BMW miliknya.

Ia menatap sejenak padaku lalu bergantian pada pemuda yang tak jauh berdiri di belakangku.

"Mas ... Mau kemana lagi?" tanyaku sambil mempercepat langkah ke arahnya.

"Aku mau pergi lagi," jawabnya datar.

"Tadi aku, keluar sebentar ke depan sana, sejak kapan Mas pulang, kenapa tidak menelpon?" Sambungku lagi.

"Hmm, aku mampir mengambil berkas-berkas yang tertinggal."

"Mas gak mau nginap di rumah, sudah lama lho, Mas gak tidur di rumah," pintaku  berharap padanya sambil menggenggam tangannya lembut 

"Gak bisa! Selama ada pameran produk dan bisnis saya gak bisa," tegasnya, "Ambil ini Elina, ayo berangkat," katanya pada sekretarisnya sambil menyodorkan map tersebut.

Mobil meluncur dengan cepat meninggalkan sisa kepulan asap dan rasa kecewa yang demikian sakitnya. Untukku, untukku saja.

"Aku akan masuk, kamu pulang saja," kataku pada pemuda yang masih setia berdiri di belakangku.

" Saya lupa mengingatkan jika ketua yayasan meminta saya menjemput besok pagi-pagi sekali untuk rapat dengan para donatur. Nah, karena jarak antara kostan saya dan rumah ini cukup jauh, saya putuskan untuk menginap saja."

"Apa?!"  tanyaku dengan mata terbelalak.

"Jika Anda tidak berkenan saya bisa tidur di mobil," katanya sambil menunjuk mobil hitam milikku.

What the ...

Kuhela napas kasar sambil memijit-mijit pelipis. Tadinya aku akan menghindarinya, kini mau tak mau aku harus membiarkannya menginap. Alangkah kejamnya jika aku harus membiarkan dia tidur di mobil dalam cuaca dingin seperti ini.

"Begini saja, kamu tidur di ruang club billiard suami saya saja," cetusku sambil menunjuk bangunan mewah bermini bar yang terpisah dari bangunan utama.

"Baik."

"Aku akan antarkan selimut  sebentar lagi, masuk aja dulu," kataku sambil berlalu.

*

"Ini selimutnya, dan jangan lupa bersiap besok jam enam pagi ya, aku ga mau terlambat," pungkasku sambil meraih gagang pintu dan bersiap meninggalkannya.

"Tunggu," katanya sambil mencekal lenganku.

"Tidakkah, ada yang ketinggalan?" Tanyanya dengan suara yang nyaris berbisik membuat nafasku kembali tak beraturan karena terangsang api asmara.

"Ah, ku-kurasa gak ada," kataku terbata-bata.

"Ada," katanya sambil menatap mataku lekat.

"Jangan macam-macam," kataku mengultimatum.

"Hanya ingin ...." Disambarnya bibir ini dengan cepat, sedikit lumatan halus menekan bibirku, memantik api gairah, sedang aku berusaha melepasnya segera.

"Hmmp ...  Aku ... hmm ....." Aku tak kuasa mengimbangi dirinya dan segala sesuatu yang telah berhasil membiusku saat ini.

"Aku merindukanmu, Nyonya Sabrina," desisnya.

"Tapi aku gak mau ... hmpp," desahku kelabakan.

Ciuman itu turun dan menyusuri pangkal leher dan dadaku, hingga tangannya menyusuri punggungku melewati bawah baju, kecupan bibirnya di bahuku membuat aku terlena seolah dunia ini milik berdua.

......

Malam yang begitu dingin,  sepi, dan berkabut kelam, seharusnya tidak siapapun  meringkuk sendiri dalam dinginnya ranjang sunyi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
suaminya itu kalau ketahuan selingkuh lepaskan aja. umur 38 tidak tua. Paramitha. Rusady Desy ratnasari aja udah 50 th masih cantik. begitu juga km umur 38 masih mudah apalagi jika di tunjang dg uang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status