Share

Aku masih cantik, tapi kenapa ...?

Bias mentari menghangat, sinarnya menerobos dan tepat mengenai wajahku  yang masih terlelap nyaman di peraduan king size dengan ukuran Garuda emas.

Percuma, tidur sendiri.

Kulirik weker di sisi tempat tidur, waktu telah menunjukkan pukul 07:30 pagi. Kusibak selimut lalu bangkit menuju kamar mandi. Kutatap wajahku di cermin sambil membasuh tangan, sedikit kumajukan badanku mendekat ke kaca tersebut.

"Aku masih cantik walau dengan sedikit garis-garis samar di wajah, aku tetap menarik, tapi kenapa Mas Andri enggan mendekatiku? Apa yang salah?"  bisikku bersenandika.

Kutatap tubuhku, sedikit memutar, masih semampai seperti semula, dibalut baju tidur satin merah yang lembut dan menggoda, 

aku tak kalah mempesonanya dengan mereka yang masih muda-muda.

Selepas dari kamar mandi aku turun ke lantai bawah, berniat menyeduh kopi dan sedikit berolah-raga di gym pribadi milik kami. Kegiatan semacam ini memang tak pernah absen kulakukan tiap pagi, disamping menjaga kesehatan, bentuk tubuhku yang sintal harus selalu terjaga.

Namun baru saja lima menit melakukan pemanasan tiba-tiba gawaiku berbunyi.

Tring ...

"Halo," sapaku.

"Sabrina," ucapnya dari seberang sana.

Rupanya ia suamiku, tumben ia menelepon sepagi ini.

"Ada apa Mas?" Tanyaku.

"Kamu bisa ke kantor?"

"Uhm, aku lihat jadwalku dulu, Mas. Memangnya kenapa?"

"Ada pertemuan dan makan siang formal dengan kolega, ini kesempatan kita sebagai pebisnis di bawah mereka untuk bersikap ramah dan mengambil hati, terlebih lagi, Mas ingin menjalin kerja sama dengan mereka, bisa kan?"

"Bisa, Mas."

"Kalo gitu aku tunggu, ya. Apakah kamu bisa nyetir sendiri atau saya suruh Handy  untuk menjemput kamu."

Deg.

Tiba-tiba jantungku bergemuruh ketika nama Handy disebut Mas Andri. Apakah Handy yang suamiku sebut adalah handy  yang kukenal?

"Apa tadi, Mas. Handy? Emang Mas kenal?"

"Iya, dong. Aku yang rekomendasikan dia untuk bekerja di yayasan kamu."

"Oh, a-aku gak tahu Mas." Aku agak gugup mendengar penjelasan suamiku.

"Aku memintanya untuk melayani dan mengantarkan kalian, jika mendadak ada kegiatan. Gak apa kan?"

"Iya, tentu aja, Mas," jawabku kikuk.

"Handy anak yang rajin, baik, dan sopan juga good looking. Para sosialita itu pasti suka diantarkan olehnya sebagai supir yayasan," kata Mas Andri dengan nada bercanda.

"Ah, eh ... Anu, mungkin aja Mas, he he he," jawabku tetap berusaha tak terdengar aneh.

"Kamu kenal kan, sama dia?"

Lebih dari itu sayangku.

"Iya, Mas, beberapa kali kami ke lokasi bakti sosial bersama."

"Oke, jam sebelas kutunggu di kantor ya," katanya.

"Iya, baik Mas."

*

Kukenakan V-neck dress berwarna hijau tosca dengan kombinasi brokat transparan di bagian bahu dan lengan. Ukurannya sangat  pas di tubuhku yang langsing. 

Kupoles make up dan blush on di wajah secantik mungkin lalu sentuhan lipstik merah sebagai penyempurna.

Kuraih sepatu dan mantel putih milikku serta tas. Lalu bergegas keluar ke pintu gerbang. Di sana sebuah mobil sedan dengan logo mata kucing telah menunggu. Nampak dari balik kemudi seorang pemuda tampan menyunggingkan senyum ke arahku. Sejurus kemudian   ia turun lalu memutar arah membuka pintu mobil untukku.

Melihatnya yang rapi dengan tatanan rambut klimis yang di beri Pomade serta mengenakan kemeja putih dan dasi membuat jantungku ingin berlompatan dari rongga dada. Ada gejolak bahagia dan debaran yang tidak bisa kuhindari kehadirannya. Apalagi mengingat kejadian kemarin sore.

Sekuat tenaga aku bersikap biasa-biasa saja.

"Silakan nyonya," katanya dengan senyum ramah.

"Makasih," balasku.

"Langsung ke kantor Pak Andri?"

"Iya," jawabku singkat.

Di perjalanan kulihat pantulan wajah pemuda itu dari kaca yang menggantung di depan, dia amat menggetarkan.

"Sebenarnya kau supir untuk yayasan saya atau supir untuk Pak Andri," cetusku membuka pembicaraan di mobil.

Ia menatapku dari kaca spion di hadapannya, dan pandangan kami bertemu di sana. Lama ia menatapku penuh arti, mimik bibirnya yang tipis dan merah muda tersenyum membuatku makin gugup, seolah olah ia ingin menerkamku dengan buas.

"Apa, kenapa gak jawab," kataku mendesaknya.

"Saya fleksibel aja, Nyonya, toh, Pak Andri juga yang membayar gaji saya."

"Oh," jawabku singkat sambil membuang pandangan ke gedung-gedung yang berbaris rapi di sisi jalan.

"Tapi ... Anda cantik sekali siang ini."

Deg.

"Duh, bisakah ia tak perlu menggodaku?" Batinku yang semakin merasa tak nyaman karena gelisah dengan debaran jantung sendiri.

"Eh, ehm, makasih."

"Saya merindukanmu," ucapnya lembut, "semakin rindu ... apalagi mengingat yang kema ...."

"A, tolong sedikit cepat, karena aku gak mau terlambat bertemu klien suami," potongku sebelum ia sukses membuatku lumer di mobil ini.

Ucapannya yang barusan tadi saja sudah membuatku ingin berpindah tempat, lompat ke kursi kemudi lalu menghenyakkan diri ke pangkuannya dan melumat apa saja yang aku inginkan.

Sayangnya, kesadaranku segera kembali.

Yang tak nyaman dalam batin ini ... Pergolakan antara rindu, logika  dan kebutuhan yang tak tersalurkan. Aku wanita normal yang sungguh mengharapkan itu.

Ah, konyol.

Sambil merenung sendiri aku tak sadar jika mobil sudah berhenti dan kaca yang tepat di sampingku di ketuk.

Tuk .. tuk ..

Handy membuka pintu dan membungkuk hormat padaku, sedang aku hanya melirik sekilas lalu melangkah elegan sambil mengenakan kaca mata mahalku.

*

Kulangkahkan kaki di gedung berlantai dua belas dengan bangunan megah dan mewah.  Sebagian  karyawan  yang berpapasan denganku membungkuk hormat demi menghargai Bos mereka, suamiku sendiri.

Berikutnya aku bertemu dengan suamiku yang kebetulan saat ini ia tengah menunggu tamu di sofa loby.

"Hai, Mas."

"Hai," jawabnya sambil memainkan gawai.

"Sudah lama nunggu?" Tanyaku lembut.

"Gak, baru aja," ucapnya sambil tak berpaing dari gawai.

"Lihat deh, penampilanku, aku sudah pantas gak, cantik kan?" Kataku dengan senyum menggodanya.

"Hmm," gumamnya masih tidak melirik sama sekali.

Aku sedikit tersinggung dan kecewa dengan sikapnya namun, apa boleh buat mungkin ia sungguh sedang fokus.

Sesaat kemudian tamu-tamu datang dan kami menyambut lalu asisten mengarahkan mereka ke ruang pertemuan dan makan siang kami.

"Kenalkan Mr. Sato, ini istri saya," kata Mas Andri pada kliennya yang kupastikan ia berasal dari negeri sakura.

"Pria itu menyalamiku sambil membungkuk takzim."

"Saya Sabrina," ucapku ramah.

"Nyonya Sabrina, senang bertemu anda," balasnya dengan gaya bicara yang masih kentalnya khas Jepang.

"Kenalkan ini Naoko istri saya," sambungnya lagi sambil menyentuh bagian punggung istrinya. Isyarat yang begitu maskulin dan manis.

Wanita itu membalas salam dan kami lalu terlibat dalam obrolan obrolan ringan.

"Istri anda sangat cantik, Mr. Andri," cetus Nyonya Naoko ketika kamu menikmati makan siang.

"Ah, biasa saja, terima kasih," ucap suamiku sambil terus melanjutkan makannya dengan acuh tanpa menoleh sedikitpun.

Menit-menit berikutnya mereka  mengobrol serius dengan bahasa jepang, lalu sesekali ditingkahi dengan tawa renyah, terus tenggelam dalam obrolan tanpa melibatkanku sedikit pun. 

Sesekali ia tanpa canggung memuji kecantikan Nyonya Naoko dengan bahasa Inggris yang sedikit kumengerti artinya.

 

Entah mengapa, aku merasa seperti boneka yang ia peralat untuk formalitas dan kesopanan, aku seperti diabaikan dan itu membuatku tak nyaman sendiri akibatnya.

"Boleh saya permisi sebentar," tanyaku pada mereka yang masih asyik bicara.

"Ya," jawab Mas Andri.

Aku bergegas cepat ke kamar mandi dengan perasaan yang sudah campur aduk rasanya. Kupandangi wajahku di kaca kamar mandi mewah ini dengan raut kesal dan kecewa. Ingin kutahan lelehan air mata namun tak ayal lolos juga.

Kuseka air mata lalu merapikan diri dan segera keluar menemui suamiku, khawatir mereka menunggu terlalu lama. Ketika keluar dari rest room gedung, aku berpapasan dengan Handy.  Ia melihat mataku memerah dan ekspresinya seolah bertanya kenapa. Aku hanya menggeleng  samar padanya sambil berlalu.

Satu jam berikutnya pertemuan berakhir dengan kesepakatan kerja. Kami saling berpamitan dan suamiku bahagia telah berhasil membujuk klien untuk kontrak terbaru perusahaan mereka.

"Mas, kita gak pulang bareng?"Tanyaku ketika hendak meninggalkan gedung.

"Gak duluan aja," jawabnya dingin.

"Kukira tadinya, kita bisa menghabiskan waktu di rumah."

"Gak bisa, aku masih ada kerja." Ia berbalik badan dan menuju lift, kembali ke ruangannya.

Aku, kecewa lagi dan semakin terluka.

*

Kuhempaskan diri di kursi mobil dengan perasaan kesal dan sedih yang buka main.

Andai tak malu pada pemuda tampan yang sedang mengemudikan mobil ini, rasa-rasanya ingin berteriak dan tergugu sepuasnya.

"Gak usah tahan, nangis aja," cetus Handy yang memandangiku dari kaca spionnya seperti pagi tadi.

"Tahu darimana saya akan menangis." Aku berusaha menjaga imageku.

Ia tersenyum tipis dan berkata, "mungkin karena cinta saya, jadi saya merasakan perasaan nyonya," katanya lembut.

Oh, aku akan meleleh detik ini juga.

Sesampainya di rumah, aku turun dari mobil dan melangkah masuk dengan lesu. Berkali-kali kuhela napas untuk melonggarkan sesak dan kesedihan ini.

Baru saja hendak kututup pintu utama ketika tangan kekar seorang pemuda meraih tubuhku dan menyentakku dalam pelukannya. 

Aku terkesiap dan  kehilangan kata-kata. Ingin kumarahi kelancangannya namun respon tubuhku malah nyaman menikmati aroma musk yang menguar dari kemejanya.  

Sangat sensual menurutku.

Perlahan diangkatnya wajahku dan ia mendekatkan dirinya hingga aku mampu merasakan hangat dan aroma napasnya. Hingga  kami tak berjarak lagi dan makin tenggelam dalam gelora asmara.

Kudorong ia detik berikutnya, untuk menolaknya, karena logikaku meminta agar aku segera  menghentikan dosa  ini.

Namun ia semakin mendekat dan memagutku dengan buasnya hingga aku tak berkutik. Sedangkan aku main terbius dengan segala perlakuan pemuda ini padaku.

 Perlahan tangannya membelaiku bahuku lalu gerakannya menelusup ke resleting belakang gaunku.

Kreek ..

Hingga benda itu tersingkap dan jatuh begitu saja ke lantai.

Tak ingin kulakukan tapi aku dendam pada Mas andri. 

Tapi aku kehausan ... rindu dan hasrat dalam jiwa ini butuh pelampiasan. 

Ia terkulai di sampingku dengan senyum bahagia dan aku hanya memejamkan mata. Meresapi kejadian baru saja.

Entah aku sebagai objek atau dia, aku puas melakukannya. Walau ada sesal, namun kelembutan dan perhatiannya berhasil membuatku tersentuh hingga melayang ke udara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
baru faham . suaminya cuek banget. gak salah dia melampiaskan PD pemuda . kayaknya ceritanya keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status