Hye Jin melempar ranselnya dengan santai ke atas meja, membuat beberapa benda di atas meja itu berjatuhan. Ia membanting tubuhnya di kursi tanpa menghiraukan beberapa lembar kertas hingga pulpen yang berserakan di lantai.Walau tubuhnya terasa lelah, pikiran gadis itu tetap tertuju pada pekerjaan yang menumpuk di depan mata.
Setelah menempelkan dua lembar koyo di pinggangnya, Hye Jin kembali menghadapi realita kehidupan di hadapannya. Realita bahwa semua pekerjaan di hadapannya tidak bisa selesai begitu saja, jika ia hanya duduk termenung meratapi nasib. Layar laptop dengan cahaya yang menyorot langsung ke retina, memaksanya untuk menuliskan beberapa kata di lembar Microsoft Word yang masih kosong. Namun, konsentrasinya sudah terkuras habis tanpa sisa, karena insiden hari ini.
“Park Hye Jin-Ssi[1]!” panggil seorang wanita dari jarak yang tidak terlalu jauh. Posisinya sekarang hanya terpisahkan oleh dua meja dari tempat Hye Jin. Suara yang berasal dari depan, dia adalah Si Ratu Perintah.
Hye Jin terdiam sejenak, mempersiapkan telinganya untuk mendengar dan mentalnya untuk menerima. Dirinya berjalan dengan santai, bahkan suara langkahnya seperti meneriakkan keberanian, menunjukkan bahwa dirinya tidak tertekan. Walau harus diakui tatapan wanita rubah itu selalu berhasil mengusiknya.
Wanita 32 tahun yang gemar menutupi wajahnya dengan foundation tebal, ditambah bedak berwarna terang. Si Ratu Perintah, Shin Ha Ra. Selain sistem nepotisme atau orang dalam yang sudah Hye Jin rasakan di sana, adapula sebuah sistem yang telah dibuat sendiri oleh wanita berwajah antagonis itu.
Sistem senioritas, merisak adalah hal yang sering ia lakukan pada juniornya. Walau Ha Ra dan Hye Jin hanya berbeda dua bulan saat bergabung di perusahaan itu, wanita yang gemar memakai pakaian serba ketat itu, tetap tidak malu menunjukkan sikap senioritasnya yang terkesan berlebihan.
Wanita itu berkacak pinggang di depan mejanya, sepasang netra hitam menatap Hye Jin dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wajahnya penuh dengan berbagai warna dari riasan khas sehari-hari, bibir tebal yang selalu berwarna merah, kelopak mata yang besar setiap hari menunjukkan warna terang dengan glitter emas di bagian sisi-sisnya. Goresan eyeliner yang panjang dan tajam tak pernah ketinggalan, dan yang penting adalah bulu mata anti sendu tidak boleh ketinggalan. Siapa yang bakal percaya dia adalah seorang anggota Pers jika melihat dari penampilannya?
“Ada apa?” tanya Hye Jin santai, sambil menatap ke arah lain. Dia terlalu malas menatap wajah wanita itu.
“Kau belum menemukan berita kencan Kim Jae Ha?” tanya wanita itu dengan suara yang nyaring. Aroma permen mint tercium dari mulutnya saat berbicara, dan Hye Jin benci akan aroma itu. Tidak lupa gaya arogant yang khas, membusungkan dada.
Hye Jin menghela napas lagi, entah sudah yang keberapa helaan napas itu. Hari ini dia terlalu sering menghela napas panjang. “Belum!” jawabnya singkat.
“YA! APA KAU BODOH? Aku memberimu waktu satu bulan, dan kini sudah hampir dua bulan!” bentaknya lantang, berhasil membuat semua mata di dalam ruangan itu tertuju Hye Jin. Gadis itu semakin benci berhadapan dengan Ha Ra, sebab kesehatan telinganya selalu dipertaruhkan.
Telunjuk Ha Ra mendorong bahu Hye Jin dengan kasar. “Kenapa kau tidak bisa mencari tahu tentang berita kencan seorang Aktor? Hanya seorang Aktor! Sebenarnya apa yang selama ini kau lakukan, Hah? Bagaimana bisa orang sepertimu bekerja di sini? Benar-benar memalukan!” bentaknya kasar, tidak lupa air liur menghujani siapapun lawan bicaranya.
Hye Jin mengorek telinganya dengan santai, ia tak terguncang saat ocehan kasar dari mulut Ha Ra masuk ke indra pendengarannya. Gadis itu memasang wajah datar, setiap kata demi kata masuk telinga kiri dan keluar tanpa permisi lewat telinga kanan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap sorot mata Ha Ra dengan berani. “Tenang saja, aku akan menyelesaikannya dalam waktu sebulan!” serunya.
“Dua minggu!” kata Ha Ra, menghentikan langkah Hye Jin yang belum jauh.
Hye Jin menoleh, menatap sinis pada wanita itu, dan menyumpahinya dalam hati. “Satu bulan!” serunya gigih.
“YA!”
Hye Jin berjalan kembali ke tempatnya sambil memaki wanita itu dengan segala macam makian terkasar dalam otaknya. Luapan amarah dan kata-kata kotor khas kebun binatang hanya bisa diucapkan tanpa suara.
[1] Sufiks dalam nama korea – biasanya digunakan kepada orang yang dihormati
Duka yang mendalam terasa menyelimuti hati setiap orang yang mengantarnya, air mata jadi sesuatu yang sulit terbendung. Nuansa hitam menjadi latar utama, berbagai macam doa di dalam hati dipanjatkan untuknya menuju peristirahatan terakhir. Isak tangis beradu dari sisi kanan dan kiri, sangat kuat, menambah kesan sendu yang mendalam.Hye Jin dan Dong Joon, berdiri berdampingan sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan doa bersama. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat abu seorang gadis muda dikuburkan di dalam tanah. Setelah dikremasi, selesai sudah kehidupannya, Song Mi Ah telah meninggalkan dunia yang fana. Gadis yang baru berusia 19 tahun, harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tidak sakit hatinya melihat nasib gadis malang itu?Dari balik kaca mata hitamnya, sepasang netra milik Hye Jin mulai berkaca-kaca. Sekelebat bayang sang adik melintas di benaknya yang berantakan. Secepat mungkin dia menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu, sebelum memancing kesedihannya s
“Wow! Wow!” teriak Dong Joon sambil menggebrak meja dengan keras. Ia berdiri dengan tingkah heboh, sambil memegangi kepalanya. Seketika pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kafe tersebut.“Kau kenapa?” tanya Hye Jin heran, kepalanya mendongak untuk melihat pria itu.“Aku baru ingat! Gadis yang tadi masuk ke ruangan korban. Dia … dia gadis yang bersama Jae Ha, Kan? Iya, Kan? Ingatanku tidak salah, Kan?” ucapnya heboh. Beberapa orang yang duduk di dekat mereka mulai membicarakan tingkah pria itu.Hye Jin menghela napas panjang, menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil menatap jalanan di depan kafe yang hingar bingar, penuh dengan kendaraan. “Benar!” serunya singkat. “Dia, Song Ri Jin.”“Kau ingat, Kan? Waktu kita membuntuti Jae Ha, dan ternyata pria itu bertemu dengan seseorang di sudut gang?” Hye Jin menatap serius pada Dong Joon.Pria itu hanya mengangguk cepat, tak sabar mendengar cerita Hye Jin lebih lanjut.“Jae Ha menyuruh pria-pria itu untuk menculik d
Hye Jin terpaku menatap kopi susu yang tersuguh di cangkir kecil terbuat dari keramik mahal. Matanya tak bergeming melihat minuman berkafein itu, belum ada niatan untuk menikmatinya walau aroma kopi itu terus menggodanya.Sebelum duduk di sofa mahal berbahan polyester berwarna cokelat tua itu, dirinya harus berhadapan dengan Ha Ra yang menyerangnya dengan tatapan heran sekaligus iri. Bagaimana tidak? Saat ini Hye Jin berada di sebuah ruangan besar yang digunakan untuk pertemuan para investor perusahaan tersebut. Ha Ra tidak pernah berada di sana, tentu saja jiwanya memanas saat tahu Hye Jin dipanggil ke sana.Gadis itu termenung bersama orang-orang yang jarang ia lihat sebelumnya, entah siapa yang sedang mereka tunggu di sana. Ia hanya terdiam tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali diliriknya arloji hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kanan, 20 menit terbuang percuma dan gadis itu menyesalinya.Saat dirasa waktu berharganya terbuang percuma, gadis itu memutuskan untuk bangkit da
Tubuh yang lelah memaksa untuk segera diistirahatkan, kedua mata harus dipejamkan, langkah semakin tidak karuan, rasa kantuk melumpuhkan segalanya. Dari kejauhan cahaya terang yang menerangi teras rumah terlihat jelas, tetapi semua lampu di dalam rumah padam. Hye Jin membuka daun pintu perlahan, tanpa menimbulkan suara.Gadis itu melirik ke arah sofa saat kedua kakinya sampai di ruang tamu yang gelap gulita. Lampu-lampu yang padam itu sengaja dibiarkan mati, hanya sorot cahaya bulan dari jendela yang menerangi beberapa titik di dalam rumah tersebut.Seseorang tengah tertidur di atas sofa, begitu lelap sampai dengkurannya menggelitik telinga. Kedua tangannya menyangga kepala, sebagai alas tidurnya di sofa. Kerutan-kerutan tampak jelas di wajahnya, begitupun rasa lelah.Hye Jin melangkah perlahan mendekati sofa, ia duduk di lantai sambil menatap sosok yang terlelap di sana. Dengkuran yang keras membuatnya terenyuh, wajah pucat dan kerutan yang jelas membuatnya tidak bergeming dari sana.
Cokelat panas tersuguh di atas meja bercat putih, kepulan panas terlihat jelas di udara. Cokelat cair adalah minuman yang tepat untuk dinikmati saat rintikan hujan mengguyur kota. Namun, pemiliknya belum ingin menikmati. Ia membiarkan cokelat hangat itu tidak tersentuh.Hye Jin menatap rintikan hujan lewat jendela yang terbuka lebar, udara dingin menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Air hujan yang segar membasahi aspal. Suara hujan menjadi melodi penenang untuk pikiran gadis itu, seketika ia terhipnotis ke dalam suasananya. Tubuhnya terbalut kaus tipis berlengan pendek, membiarkan hawa dingin dari luar bersatu dengan dingin AC menembus kulit halusnya hingga ke tulang. Hawa dingin tidak terasa berlebihan, seakan kulitnya sudah kebal.Hujan selalu menjadi hal yang istimewa, orang-orang menangis saat hujan tidak kunjung turun. Kebanyakan orang sering menanti kehadiran hujan. Pada zaman kerajaan Georyeo, orang-orang di sana melakukan upacara untuk meminta hujan. Mereka berbaris di jalanan
Park Hye Jin berjalan di lobi dengan mulut yang tak berhenti menguap, kedua matanya berkaca-kaca setiap kali selesai menguap lebar seperti kuda nil. Sepasang netra yang masih dipenuhi kotoran di sudut-sudutnya, wajah kusam berkerut, serta kantung mata yang membesar hasil dari begadang tadi malam.Ia mengikat rambut panjangnya yang kusut agar tidak menghalangi pemandangan, tetapi hal itu malah membuat sepasang telinganya mendengar ujaran-ujaran mengusik di pagi hari. Tatapan-tatapan yang dapat didengar, bisikan-bisikan yang mengarah padanya, seketika membuat gadis itu tidak nyaman.Suara bisikan saling bersahutan, bertukar kata dan hujatan. Mereka membicarakan, seakan sudah paling benar, mereka menatap seakan pendapatnya sudah terbukti oleh fakta-fakta yang ada. Dalam pikiran mereka, hanyalah sebuah informasi dari satu sisi yang tak mereka ketahui kebenarannya.Hye Jin menatap kosong ke arah angka berwarna merah yang terteras di atas lift. Ia menyunggingkan sebelah bibirnya, mentertawa