Hye Jin menyangga dagunya sembari meratapi layar laptop dengan wallpaper gif hujan salju yang diberi efek slow motion turun dari langit. Dinginnya salju dan ketenangan yang ia rasakan, membangunkan harapannya untuk dapat melihat salju yang sebenarnya. Musim dingin telah tiba, tetapi salju pertama belum juga datang. Matanya berpindah ke dinding kaca di ruangannya, menunggu salju menghampiri menawarkan ketenangan.
“Seonbae!” Dong Joon meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Hye Jin. Ia berdiri tegak, sambil menundukkan kepalanya. “Kau belum bicara denganku sejak kemarin,” keluhnya manja dengan bibir yang mengerucut. Usianya sudah 25 tahun, tetapi sikapnya seperti bocah 6 tahun.
Hye Jin melirik sejenak secangkir kopi di hadapannya. Warna kecokelatan yang tenang dengan granul di atasnya, aromanya mulai mengambil alih konsentrasi gadis itu. Ia melirik pria yang memberikannya, sebelum memutuskan untuk menyeruput kopi tersebut. “Gomawo[1],” ucapnya saat kopi itu mengembalikan kesegaran di otaknya.
“Sepertinya aku telah melakukan kesalahan, maafkan aku, Seonbae!” Dong Joon
membungkukkan tubuhnya.
Gadis itu menggelengkan kepala, dengan tangan yang masih terlipat di depan dada. “Sepertinya? Kau belum sadar? Kau tidak tahu kesalahanmu?” tanyanya heran dengan kening yang mengkerut.
Dong Joon hanya menundukkan kepalanya, menatap sepasang sepatu Nike hitam yang menutupi kaki besarnya. Pria Tidak Peka lebih pantas menjadi julukannya, daripada julukan Pria Rupawan yang menyebar di seluruh penjuru kantor.
Hye Jin memijat keningnya sejenak, kepalanya terasa berdenyut keras setiap kali berhadapan dengan Dong Joon. “Seorang Aktor yang sedang berkencan, pasti tidak akan sembarangan muncul di tempat umum bersama kekasihnya. Dia akan menggunakan segala cara, menggunakan jalan apapun untuk bersembunyi dan menghindari wartawan. Apa kau tidak tahu?” tanyanya serius. Tatapannya seperti melontarkan pertanyaan “Are you kidding me?” setelah berhari-hari dibuat gila oleh juniornya tersebut.
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, aku berlama-lama di dalam toilet karena kesal menurutimu ke sana. Namun, kau tidak mengerti dan tetap memaksaku untuk percaya padamu.” Hye Jin membenarkan letak duduknya menjadi lebih tegak, “Aku menurutimu untuk menghargai usahamu, tetapi kau malah mengecewakan aku.” Ia kembali mengatur intonasi suaranya, setelah hampir pecah karena emosi.
Dong Joon masih menundukkan kepalanya, “Maafkan aku! Maafkan aku!” katanya penuh penyesalan.
“Sudahlah, sekarang kau cari informasi terbaru tentang Kim Jae Ha, dan segera kabari aku jika menemukan sesuatu.” Hye Jin kembali memusatkan pandangannya pada laptop yang masih menyala terang dengan gambar salju di layarnya. Sesekali ia menyeruput kopi yang masih tersisa di cangkir.
“Kau baik sekali, Seonbae! Kau mudah memaafkan, dan tidak menyimpan dendam. Aku beruntung sekali bisa dipasangkan denganmu!” kata Dong Joon bangga, sambil berlalu meninggalkan aroma Citrus yang mengudara di sekitar gadis itu.
Hye Jin terpaku mendengarkan kalimat terakhir dari mulut juniornya itu. Tujuan hidupnya di dunia ini untuk menjadi wanita yang membawa keberuntungan bagi orang-orang di sekitarnya. Ketika kalimat itu keluar dari mulut Dong Joon, entah mengapa sudut bibirnya melengkung membentuk kurva sederhana. Ia tersanjung.
***
Lisan bertukar kata, menjelaskan hal-hal yang hanya dimengerti oleh para penuturnya. Berjalan di tengah hiruk-pikuk kehidupan dengan berbagai macam kisah yang belum tentu menarik untuk dibahas. Berjalan lurus tanpa menoleh ke sana kemari hanya untuk memandangi orang-orang, tidak peduli apa yang mereka rasakan. Fokus pada tujuan, tanpa menghiraukan tujuan orang lain. Begitulah yang dilakukan manusia setiap harinya.
Kedua kaki beralaskan sepatu kets putih, melangkah di atas trotoar yang panjang. Di bawah langit yang cerah, di tengah suhu yang semakin menusuk tulang, Hye Jin mencoba merapatkan jaketnya agar bisa bertahan hidup di tengah suhu udara yang membuat tubuhnya menggigil. Gangnam-Seoul selalu dipenuhi para turis dari berbagai negara.
Kota metropolitan yang terkenal dengan gedung-gedung pencakar langit berwarna-warni di sepanjang jalan. Trotoar tidak pernah sepi dari para manusia, gaya hidup glamour menjadi ciri khas yang melekat di Gangnam. Gadis itu menyebrangi jalan setelah orang-orangan berwarna hijau menyala terang, memerintahkan semua mobil untuk berhenti, bergantian dengan para pejalan kaki.
Hye Jin menjatuhkan tubuhnya di kursi halte bus, memandangi TV besar yang sedang menayangkan video ucapan ulang tahun seorang idol, wajah besarnya memenuhi layar yang terpasang di gedung tinggi tersebut. Setelah bosan memandangi wajah yang sama, pandangannya berpindah ke arah anak-anak SMP dengan seragam mereka tengah bersenda gurau di halte tersebut.
Mereka bersenda gurau, saling melontarkan lelucon ringan yang mengocok perut. Hal sederhana untuk melupakan penat setelah seharian belajar di sekolah. Hal itu membuat Hye Jin tersenyum, kisah saat sekolah terlintas di pikirannya. Kisah manis saat mengenakan rok pendek dan kemeja putih, memang begitu indah untuk dikenang. Gadis itu bersandar di salah satu tiang, untuk masuk lebih jauh pada ingatan tentang sekolahnya dulu.
Saat Hye Jin larut dalam ingatannya, gadis itu juga bernostalgia, menatap sosok dirinya beberapa tahun lalu saat masih menjadi anggota Pers bagian kejahatan dan politik. Berlari ke sana kemari mencari narasumber terpercaya, untuk kasus pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, atau kasus politik seperti korupsi atau penggelapan dana dari beberapa Menteri, dan masalah suap-menyuap yang tak henti.
“Aku rindu masa-masa itu,” keluhnya dengan bibir mengerucut serta kedua mata berkaca-kaca.
Hye Jin bangkit dari kursi halte saat dirasa sudah terlalu lama berada di sana, bahkan anak-anak SMP yang semula memenuhi tempat tersebut, satu persatu menghilang dan meninggalkannya seorang diri. Tidak ada waktu untuk melamun, dia harus berjalan di atas semua jenis bebatuan yang kini bertebaran di depannya. Halte itu hanya membuatnya kembali terpuruk pada penyesalan di masa lalu.
Ia memaksa tubuhnya bangkit, saat itu kedua matanya menangkap sosok tampan yang berdiri tidak jauh darinya. Pria dengan postur tubuh yang tinggi dan kekar, berseragam Polisi lengkap dengan segala lencana yang menempel. Menunjukkan senyuman lebarnya ke arah gadis itu.
Bibirnya terpancing untuk membalas senyuman itu, senja hari ini terasa lebih indah dari hari biasanya. Cahayanya menghujani wajah pria dengan lesung pipi yang dalam itu, dia bermandikan cahaya.
Senja selalu indah saat dia berdiri di bawah cahayanya, kedua mata Hye Jin berbinar, menatap ciptaan Tuhan yang begitu indah. Entah kebaikan apa yang telah gadis itu lakukan, hingga Tuhan memberikan kado terindah padanya, berupa sosok pangeran rupawan mengalahkan pangeran berkuda putih.
Hye Jin mematung di tempatnya, seakan kedua kakinya tertanam di sana. Ia tersipu malu, menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk menyalurkan rasa gugup yang hampir membunuhnya. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya canggung.
“Sejak tadi,” jawabnya. “Aku terbawa rasa nyaman saat menatapmu dari sini. Karena kau begitu cantik, bahkan saat sedang melamun,” ungkapnya dengan nada bicara yang lembut. Langkahnya perlahan mendatangi gadis itu, senyuman dari bibir tebal merah jambunya tidak sedikitpun luntur. Ia terlalu menggemaskan untuk menjadi seorang Polisi.
“Jangan menggodaku!” kata Hye Jin malu sambil memegang pipinya yang terasa panas. Pipi merah merona seperti kepiting rebut, ciri khasnya saat tersipu malu.
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, “Bahkan bunga mawar ini pun kalah cantiknya denganmu,” godanya lagi seakan tak ada puasnya.
Jantung gadis itu berdetak begitu cepat, tiba-tiba suhu tubuhnya naik karena sang kekasih. Ia bingung harus bereaksi seperti apa. Hye Jin tersenyum lebar, jantungnya terasa berlari-lari di dalam tubuh, memaksa untuk keluar dari tempatnya.
Mereka saling bertukar pandang, seakan tak pernah bosan untuk melihat wajah satu sama lain dalam waktu yang lama. Bahkan saat wajah itu berubah menjadi semakin tua suatu hari nanti, sepertinya mereka tidak akan bosan.
Aku ingin menua bersamamu, Kim Won Seok.
[1] Terima kasih- Bahasa Korea Non-formal
Duka yang mendalam terasa menyelimuti hati setiap orang yang mengantarnya, air mata jadi sesuatu yang sulit terbendung. Nuansa hitam menjadi latar utama, berbagai macam doa di dalam hati dipanjatkan untuknya menuju peristirahatan terakhir. Isak tangis beradu dari sisi kanan dan kiri, sangat kuat, menambah kesan sendu yang mendalam.Hye Jin dan Dong Joon, berdiri berdampingan sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan doa bersama. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat abu seorang gadis muda dikuburkan di dalam tanah. Setelah dikremasi, selesai sudah kehidupannya, Song Mi Ah telah meninggalkan dunia yang fana. Gadis yang baru berusia 19 tahun, harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tidak sakit hatinya melihat nasib gadis malang itu?Dari balik kaca mata hitamnya, sepasang netra milik Hye Jin mulai berkaca-kaca. Sekelebat bayang sang adik melintas di benaknya yang berantakan. Secepat mungkin dia menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu, sebelum memancing kesedihannya s
“Wow! Wow!” teriak Dong Joon sambil menggebrak meja dengan keras. Ia berdiri dengan tingkah heboh, sambil memegangi kepalanya. Seketika pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kafe tersebut.“Kau kenapa?” tanya Hye Jin heran, kepalanya mendongak untuk melihat pria itu.“Aku baru ingat! Gadis yang tadi masuk ke ruangan korban. Dia … dia gadis yang bersama Jae Ha, Kan? Iya, Kan? Ingatanku tidak salah, Kan?” ucapnya heboh. Beberapa orang yang duduk di dekat mereka mulai membicarakan tingkah pria itu.Hye Jin menghela napas panjang, menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil menatap jalanan di depan kafe yang hingar bingar, penuh dengan kendaraan. “Benar!” serunya singkat. “Dia, Song Ri Jin.”“Kau ingat, Kan? Waktu kita membuntuti Jae Ha, dan ternyata pria itu bertemu dengan seseorang di sudut gang?” Hye Jin menatap serius pada Dong Joon.Pria itu hanya mengangguk cepat, tak sabar mendengar cerita Hye Jin lebih lanjut.“Jae Ha menyuruh pria-pria itu untuk menculik d
Hye Jin terpaku menatap kopi susu yang tersuguh di cangkir kecil terbuat dari keramik mahal. Matanya tak bergeming melihat minuman berkafein itu, belum ada niatan untuk menikmatinya walau aroma kopi itu terus menggodanya.Sebelum duduk di sofa mahal berbahan polyester berwarna cokelat tua itu, dirinya harus berhadapan dengan Ha Ra yang menyerangnya dengan tatapan heran sekaligus iri. Bagaimana tidak? Saat ini Hye Jin berada di sebuah ruangan besar yang digunakan untuk pertemuan para investor perusahaan tersebut. Ha Ra tidak pernah berada di sana, tentu saja jiwanya memanas saat tahu Hye Jin dipanggil ke sana.Gadis itu termenung bersama orang-orang yang jarang ia lihat sebelumnya, entah siapa yang sedang mereka tunggu di sana. Ia hanya terdiam tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali diliriknya arloji hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kanan, 20 menit terbuang percuma dan gadis itu menyesalinya.Saat dirasa waktu berharganya terbuang percuma, gadis itu memutuskan untuk bangkit da
Tubuh yang lelah memaksa untuk segera diistirahatkan, kedua mata harus dipejamkan, langkah semakin tidak karuan, rasa kantuk melumpuhkan segalanya. Dari kejauhan cahaya terang yang menerangi teras rumah terlihat jelas, tetapi semua lampu di dalam rumah padam. Hye Jin membuka daun pintu perlahan, tanpa menimbulkan suara.Gadis itu melirik ke arah sofa saat kedua kakinya sampai di ruang tamu yang gelap gulita. Lampu-lampu yang padam itu sengaja dibiarkan mati, hanya sorot cahaya bulan dari jendela yang menerangi beberapa titik di dalam rumah tersebut.Seseorang tengah tertidur di atas sofa, begitu lelap sampai dengkurannya menggelitik telinga. Kedua tangannya menyangga kepala, sebagai alas tidurnya di sofa. Kerutan-kerutan tampak jelas di wajahnya, begitupun rasa lelah.Hye Jin melangkah perlahan mendekati sofa, ia duduk di lantai sambil menatap sosok yang terlelap di sana. Dengkuran yang keras membuatnya terenyuh, wajah pucat dan kerutan yang jelas membuatnya tidak bergeming dari sana.
Cokelat panas tersuguh di atas meja bercat putih, kepulan panas terlihat jelas di udara. Cokelat cair adalah minuman yang tepat untuk dinikmati saat rintikan hujan mengguyur kota. Namun, pemiliknya belum ingin menikmati. Ia membiarkan cokelat hangat itu tidak tersentuh.Hye Jin menatap rintikan hujan lewat jendela yang terbuka lebar, udara dingin menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Air hujan yang segar membasahi aspal. Suara hujan menjadi melodi penenang untuk pikiran gadis itu, seketika ia terhipnotis ke dalam suasananya. Tubuhnya terbalut kaus tipis berlengan pendek, membiarkan hawa dingin dari luar bersatu dengan dingin AC menembus kulit halusnya hingga ke tulang. Hawa dingin tidak terasa berlebihan, seakan kulitnya sudah kebal.Hujan selalu menjadi hal yang istimewa, orang-orang menangis saat hujan tidak kunjung turun. Kebanyakan orang sering menanti kehadiran hujan. Pada zaman kerajaan Georyeo, orang-orang di sana melakukan upacara untuk meminta hujan. Mereka berbaris di jalanan
Park Hye Jin berjalan di lobi dengan mulut yang tak berhenti menguap, kedua matanya berkaca-kaca setiap kali selesai menguap lebar seperti kuda nil. Sepasang netra yang masih dipenuhi kotoran di sudut-sudutnya, wajah kusam berkerut, serta kantung mata yang membesar hasil dari begadang tadi malam.Ia mengikat rambut panjangnya yang kusut agar tidak menghalangi pemandangan, tetapi hal itu malah membuat sepasang telinganya mendengar ujaran-ujaran mengusik di pagi hari. Tatapan-tatapan yang dapat didengar, bisikan-bisikan yang mengarah padanya, seketika membuat gadis itu tidak nyaman.Suara bisikan saling bersahutan, bertukar kata dan hujatan. Mereka membicarakan, seakan sudah paling benar, mereka menatap seakan pendapatnya sudah terbukti oleh fakta-fakta yang ada. Dalam pikiran mereka, hanyalah sebuah informasi dari satu sisi yang tak mereka ketahui kebenarannya.Hye Jin menatap kosong ke arah angka berwarna merah yang terteras di atas lift. Ia menyunggingkan sebelah bibirnya, mentertawa