Hye Jin mendorong pintu restoran dengan nuansa klasik, gemerincing bel terdengar nyaring saat pintu yang terbuat dari kayu itu dibuka. Pencahayaan yang tidak terlalu terang, desain interior yang terkesan lampau, serta aroma daging yang khas, itulah kesan pertama yang didapatkan saat memasuki restoran yang telah menginjak usia 20 tahun tersebut.
Gadis itu mengondisikan detak jantungnya yang berantakan, dengan kedua mata yang berkelana mencari sang kekasih di lantai satu. Entah dirinya yang terlalu gugup atau memang kekasihnya tidak ada di lantai satu, kedua matanya tak berhasil menangkap batang hidungnya sekali pun.
Hye Jin menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Tangannya sibuk mengusap dada hingga terasa hangat, jantungnya sibuk berlarian tanpa henti. Ini bukan kali pertama baginya merayakan hari jadi bersama sang kekasih, tetapi setiap tahun rasanya seperti baru kali pertama.
“Park Hye Jin-Ssi?” Seorang pelayan berseragam rapi menghampiri Hye Jin dengan senyuman. Dia membungkuk memberikan salam, restoran klasik dengan pelayanan yang asyik. Hye Jin mengangguk sambil tersenyum canggung.
“Mari saya antar, Tuan Kim Won Seok sudah menunggu.” Dia berjalan lebih dulu menaiki anak tangga yang berada di sudut restoran tersebut. Pantas saja pria itu tidak ada di lantai satu, ternyata Won Seok memesan tempat di lantai dua.
Hye Jin mengekor, sambil menatap pelayan bertubuh tinggi di depannya. Tangannya memegangi kedua pipi besar yang kini terasa sangat hangat karena terlalu gugup. Mungkin warnanya juga sudah mirip kepiting rebut, merah.
Gadis itu terdiam dengan tatapan bingung, saat pelayan di depannya membukakan sebuah pintu dari ruangan lain. Sebenarnya ada berapa ruangan sih? Banyak sekali! Dekorasi yang mewah dan cantik membuat tubuhnya tertahan cukup lama di ambang pintu. Sebuah persiapan yang matang, membuat napasnya berhenti sejenak.
Hiasan bunga terpasang di setiap sudut, ada pula balon warna-warni yang terpasang di beberapa sudut atapnya. Aroma Musk mengudara di ruangan tersebut, Won Seok tidak pernah mengganti parfumnya sejak dua tahun terakhir. Ruangan itu juga dipenuhi dengan aroma olahan daging yang khas, bawang putih yang dibakar bersama jenis rempah-rempah lainnya.
Hye Jin terkesima, kedua matanya tak berkedip melihat persiapan sang kekasih yang matang untuk merayakan hari jadi hubungan mereka. Tidak pernah terpikir olehnya, pria yang dalam kesehariannya selalu hemat perihal uang, bisa menghamburkan uang untuk hal seperti itu.
“Selamat menikmati hidangannya,” Pelayan itu membungkukkan tubuhnya dan menutup pintu ruangan dengan rapat tanpa menghasilkan suara.
Won Seok tersenyum sambil menghampiri Hye Jin, di tangannya terdapat buket bunga mawar yang besar. “Kau selalu cantik, beribu bunga mawar pun tidak akan bisa mengalahkan kecantikanmu.” Pria itu berlutut menyerahkan karangan bunga dengan aroma semerbak menusuk hidung.
Hye Jin menerimanya dengan senyuman malu, “Ya! Kenapa kau menghamburkan uang seperti ini?” tanyanya sambil menarik tangan pria itu untuk berdiri.
“Karena kau lebih berharga dari uang-uangku!” Won Seok mengelus lembut puncak kepala Hye Jin.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Jangan bicara seperti itu! Kau semakin membahayakan kesehatan jantungku.” Ia tersenyum sambil memukuli dada Won Seok dengan manja.
Won Seok mendudukkan tubuh kekasihnya di salah satu kursi, berhadapan dengan makanan-makanan yang sudah tersuguh di atas meja. Kue red velvet kesukaan Hye Jin pun tidak lupa disiapkan bersamaan dengan makanan favorit lainnya.
“Kenapa kau selalu mengenakan gaun itu?” tanya Won Seok saat melirik sejenak pada gaun putih yang dikenakan Hye Jin. Sama persis seperti saat perayaan satu tahun hari jadi mereka.
“Bukankah kamu yang minta, agar aku selalu mengenakan gaun ini saat bertemu denganmu. Apa kau lupa?” Hye Jin menggelar napkin berwarna cokelat di pangkuannya.
Pria itu tidak menanggapi, kini ia sibuk mengiris kecil-kecil steak di atas piringnya. Setelah mengiris kecil-kecil steak itu, ia menyerahkannya pada sang kekasih.
“Oppa[1], kenapa kau tidak pernah menceritakan padaku, alasan kau memberikan gaun ini dua tahun yang lalu?” tanyanya serius. Tahun kemarin, pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Hye Jin. Namun, Won Seok tidak pernah menjawab.
Sama dengan satu tahun yang lalu, ekspresi pria itu langsung berubah. Wajahnya datar, bibirnya terkatup rapat, kedua matanya fokus pada apa yang sedang ada di hadapannya sekarang. Deru napasnya terdengar tak nyaman.
Hye Jin terdiam, memainkan steak yang ada di piringnya. Tidak ada satu pun dari potongan steak itu masuk ke dalam mulutnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah Won Seok yang masih menunduk sambil menyantap lahap makanan di piringnya.
“Ibuku ….” Won Seok membuka suaranya setelah sekian lama terdiam.
Satu kata itu membuat kedua mata Hye Jin hanya berpusat pada sang kekasih. Garpu yang semula ada di tangannya terjatuh begitu saja di atas piring. Ia terpaku, terdiam, dengan jantung yang berdetak cepat. Gadis itu tahu perihal ibu Won Seo yang sudah lama meninggal.
“Saat itu peringatan kematian Ibuku, aku ke toko itu untuk mengenang kenangan bersamanya. Semasa hidupnya, Ibu selalu minta dibelikan sebuah gaun. Namun, saat itu aku hanya seorang pekerja paruh waktu yang tidak memiliki banyak uang. Akhirnya, yang selalu aku lakukan adalah meninggalkannya di dalam toko itu sendirian karena merasa kesal.”
Won Seok menunjukkan ketegaran di wajahnya, tetapi ada perasaan lain yang tidak tampak jelas dari wajah tampannya itu. Sebuah pintu di dalam hatinya selalu tertutup, diketuk pun dia tidak akan membukanya. Dan yang bisa membuka pintu itu hanya lah Hye Jin.
Kedua mata gadis itu berkaca-kaca, tangannya terkepal kuat untuk menahan tangis yang memaksa keluar dari kedua matanya. Ia menyesal telah menanyakan hal itu kepada Won Seok. Penampakan kondisi yang berbeda dari dalam diri sang kekasih, berhasil membuat hati Hye Jin terenyuh. Pria itu hancur di dalam, dan berpura-pura tegar di luar.
“Kebetulan saat itu kau sedang berdiri di depan toko sambil menatap salah satu gaun. Tatapanmu kala itu mengingatkanku pada Ibu. Jadi aku membelikannya untukmu,” sambung Won Seok dengan senyuman penuh paksaan.
Hye Jin dengan kedua mata yang berkaca-kaca, menatap senyuman penuh paksaan dari bibir tipis sang kekasih. Hatinya tertusuk oleh cerita yang tidak pernah ia tahu sebelumnya, dan dalam hitungan detik berhasil membuat perasaannya berantakan. Tangannya gemetar saat ingin menyentuh gelas di atas meja, alih-alih menyentuh gelas itu, Hye Jin malah bangkit dan berjalan menuju sang kekasih.
Ia mendekap erat tubuh Won Seok, air matanya tidak dapat terbendung lagi. Hye Jin lemah jika harus menahan kesedihan, dan air matanya pecah saat memeluk tubuh kekar yang penuh luka di dalam itu. Air matanya jatuh di atas kepala pria yang masih duduk termenung di kursinya.
“Jangan tersenyum seperti itu, karena aku bisa melihat kesedihan dari kedua matamu.” Hye Jin berdiri di samping pria itu, memeluknya erat, menghantarkan kehangatan yang sudah lama tidak Won Seok dapatkan dari seorang Ibu. Isak tangisnya pecah, dan tubuhnya bergetar.
Dalam pelukan yang hangat itu, Won Seok menghirup aroma Violet dari tubuh kekasihnya. Aroma yang menenangkan, kehangatan yang membuat pikirannya berkelana jauh, kisah-kisah kelam yang menyayat hati kembali terlintas dalam benaknya. Hingga hal itu memancing benih-benih air mata dari sepasang netra besarnya. Pria itu terisak, tetes demi tetes air mata jatuh membasahi wajah tampannya.
Seseorang yang terlihat tegar, kuat, dan baik-baik saja. Belum tentu dirinya baik-baik saja, di dalam diri sosok yang tegar itu pasti ada saja bagian yang rapuh, dan memaksanya untuk berpura-pura kuat. Daripada berpura-pura untuk mengerti, lebih baik menjadi wadah untuk menampung kesedihan itu. Biarkan dia menangis, biarkan dia mengeluh, dan biarkan dia meluapkan segala perihnya di bahu kita.
“Terima kasih sudah menceritakannya padaku, mulai sekarang luapkan saja segalanya padaku.” Hye Jin mengelus puncak kepala Won Seok dengan lembut, sambil menghujaninya dengan kecupan-kecupan hangat.
[1] Kakak – bahasa korea yang biasa digunakan untuk memanggil pria yang lebih tua (wanita)
Suara mesin fax dan mesin foto kopi terletak dengan jarak yang tipis, saling bersahutan melakukan tugasnya. Cahaya pagi yang cerah, menerangi setiap sudut ruangan yang menampung dua puluh orang di dalamnya. Para manusia yang berada di balik rentetan kata berita-berita panas para aktor, aktris dan idol, di sanalah mereka bernaung.Denting jam besar yang terpasang di dinding ruangan tersebut, mengantarkan suara yang nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan semua orang tertunduk menatap pekerjaan di hadapan wajah. Kening yang mengkerut, menautkan dua alis yang semula saling berjauhan, wajah yang terlipat-lipat metampakkan kesulitan.Konsentrasi penuh mereka dedikasikan untuk membuat berita panas, yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Wajah serius mereka metampakkan perintah ‘Jangan ganggu!’ yang terlukis jelas.Ada yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk menciptakan hal yang terbaik, ada pula yang setengah hati dalam menjalani peker
Saat pria itu mulai memposisikan ponsel layar sentuhnya di tempat yang aman, Hye Jin masih mengawasi gerak-gerik gadis muda itu dan Jae Ha yang baru keluar dari mobilnya dengan ekspresi kesal. Berkali-kali Aktor yang selalu memerankan peran protagonis dalam setiap dramanya itu, menunjuk-nunjuk wajah gadis tersebut dengan sorot mata yang tajam. Bentakan yang keras dan kasar juga keluar dari mulut Aktor dengan imej lembut di dunia hiburan tersebut. Nada bicara yang tinggi, dengan kata-kata kasar, serta alur pembicaraan yang sulit dimengerti. Berkali-kali gadis tersebut mengelak dan melawan saat tangannya ditarik oleh Aktor yang baru berusia 27 tahun itu. “Bukankah mereka sedang bertengkar?” Hye Jin menoleh sejenak pada rekan kerjanya yang masih sibuk mengatur posisi kamera ponsel. “Sepertinya begitu!” jawab Dong Joon tanpa memindahkan pandangannya. Dia tersenyum puas melihat hasil pengambilan gambar hari ini. Gadis itu pun pergi setelah Jae Ha memaksany
Song Mi Ran, wanita yang ditakdirkan Tuhan menjadi malaikat bagi gadis kecil dengan kedua orang tua yang sibuk. Saat ayah dan ibu Hye Jin pergi bekerja dari pagi sampai malam, bahkan sering tidak pulang ke rumah. Hye Jin kecil dan adiknya dirawat oleh Mi Ran, atau sering dipanggil Bibi Song itu.Segala kebutuhan Hye Jin, Mi Ran yang mengatur. Sejak kecil dirinya sudah sangat dekat dengan wanita itu, melebihi kedekatannya dengan sang ibu. Wanita paruh baya itu hidup sebatang kara, setelah ditinggal sang belahan jiwa untuk selama-lamanya karena sakit jantung, ditambah anak semata wayangnya yang tidak lama menyusul dengan penyakit yang sama.Sejak saat itu Mi Ran memfokuskan dirinya untuk merawat Hye Jin kecil dan adiknya dengan kasih sayang yang sempurna. Walau tidak ada ikatan darah atau kekeluargaan, hal itu tidak membuat Mi Ran memperlakukan Hye Jin semena-mena. Karena ketulusannya sejak dulu, hubungan mereka saat ini melebihi hubungan keluarga. Perasaan mereka sudah
Hye Jin melempar ranselnya ke lantai, helaan napas panjang mengiringi tubuhnya saat jatuh di atas sofa. Kedua kakinya diselonjorkan ke atas meja, dan punggungnya yang terasa bertekuk-tekuk diluruskan di sofa tersebut. Aktivitasnya semakin hari semakin padat, mengingat saat ini dirinya sudah menginjak akhir semester kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Otaknya sejak pagi hingga malam bekerja tanpa henti, memasukkan segala macam materi dari sekolah maupun dari tempat les. Walau kadang kala otaknya memberontak ingin menyerah, gadis itu tetap memberikan asupan ilmu yang berlebihan agar dirinya dapat memperoleh nilai terbaik di ujian akhir. Waktu santai di hari libur, baginya hanya sebuah mimpi di siang bolong. Kedua matanya berkelana menjelajahi seisi rumah, keningnya mengkerut mendapati suasana rumah yang hening tanpa suara. Bahkan suara napas orang pun tidak terdengar di sana. Ia melirik ke arah jam dinding yang terpajang di ruang tamu, waktu menunjukkan pukul 09.00 P.M.
Sejak hari itu, hari dimana dunia Hye Jin runtuh, semangatnya hilang, hidup segan mati tak mau. Tatapan kosong, pikiran yang kalut, berat badan yang semakin turun, dan tubuh yang tidak terurus. Sejak hari itu jangankan untuk tertidur, makan pun tidak berselera. Kehidupannya hilang, saat satu-satunya cinta yang tersisa dalam kehidupannya yang berharga, telah hilang. Waktunya hanya untuk menangis di dalam kamar, di dalam kamar mandi sambil diguyur air dari shower. Menarik-narik rambutnya hingga rontok, membenturkan kepalanya ke dinding hanya untuk melampiaskan kebodohan dan kelalaiannya sebagai seorang kakak. Ia bahkan tidak segan menggores kulitnya dengan silet, tetapi goresan itu tidak cukup dalam untuk memutus urat nadinya. Pagi, siang, dan malam, tubuhnya berdiri di trotoar. Membagikan selebaran kehilangan, menghalangi langkah setiap orang yang ditemuinya di sana. Mencecar mereka dengan pertanyaan, “Apakah Anda pernah melihatnya? Dia Adikku! Tolong hubungi
Hye Jin mengekor di belakang Dong Joon dalam keadaan lapar, perutnya meronta-ronta minta segera diisi. Namun, perjalanan mereka tak kunjung sampai pada tujuan. Mereka masih menelusuri jalan setapak yang di sekelilingi tembok besar pembatas ke jalan raya. Ia memegangi perutnya sambil mengatur napas yang berantakan karena perjalanan jauh hanya untuk makan siang.Setelah menghabiskan waktu yang panjang untuk menelusuri jalan tanpa ujung, akhirnya mereka sampai di sebuah restoran sederhana yang berdiri tepat di belokan keenam di sepanjang jalan setapak itu. Entah apa yang memotivasi sang pemilik restoran tersebut hingga mendirikan usahanya di daerah yang sulit terjangkau kendaraan roda empat, dan terlalu sempit untuk kendaraan roda dua.“Kenapa tidak ke restoran biasa saja sih? Ini tuh jauh banget!” keluhnya saat menjatuhkan tubuh di kursi yang terletak di pojok ruangan. Sebuah restoran sederhana dengan jalur keluar masuk udara yang tidak terlalu
Irama musik pop mengalun memanjakan indra pendengaran Hye Jin ketika dirinya melangkah di lobi. Beberapa orang menyapanya sambil tersenyum dan membungkukkan badan mereka lima belas derajat. Permen karet yang sudah berubah rasa, masih betah berada di mulutnya untuk memberikan peregangan kepada rahang-rahang yang akhir-akhir ini kurang pergerakan. Gadis itu memutar kunci mobil di jari telunjuknya sembari bersenandung ringan, membolak-balikkan gumpalan permen karet di mulut dengan santai. Seringaian tipis terlukis di bibirnya saat melihat Dong Joon berdiri kaku di pintu keluar.Hye Jin melemparkan kunci tersebut setelah berpapasan dengan Dong Joon. Pria itu refleks dan menangkapnya cepat. “Seonbae, ini apa?” tanyanya dengan kedua alis yang naik.Gadis itu membuang permen karetnya di tisu, “Kau tidak bisa lihat itu apa?” Kemudian melemparnya ke arah tempat sampah di sudut lorong.“Iya aku bisa lihat, tapi maksudnya apa?”
Keningnya mengkerut menautkan dua alis hitam dan tebal yang semula berjauhan menjadi dekat. Sejak tadi malam, hingga pukul 7 pagi Hye Ji terperangkap di depan layar cerah berukuran 14 inchi. Tanpa disadari kedua mata besarnya yang indah telah berubah menjadi sepasang mata panda dengan kantung mata yang hitam. Ia bahkan tidak khawatir akan radiasi yang terpapar langsung ke retinanya.Otaknya tidak berhenti beroperasi, kedua matanya tidak berhenti menjelajahi layar laptopnya, serta jemarinya berselancar hebat di atas keyboard. Inilah yang sering dia sebut sebagai bentuk penyiksaan diri secara nyata. Di sebelah kanan ada dua cangkir kosong, menyisakan ampas kopi hitam. Aroma kopi, bercampur dengan aroma sisa ramen yang mangkuknya masih tergeletak di sudut kamar, belum lagi jamur-jamur yang tumbuh di sudut lemari membuat aroma di kamar itu mirip kandang hewan.Hye Jin terjebak dalam diamnya, bibirnya terkatup rapat, hanya ada suara deru napas yang bersahutan keluar masuk l