Share

7. Dress From You

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-21 22:39:40

Hye Jin mendorong pintu restoran dengan nuansa klasik, gemerincing bel terdengar nyaring saat pintu yang terbuat dari kayu itu dibuka. Pencahayaan yang tidak terlalu terang, desain interior yang terkesan lampau, serta aroma daging yang khas, itulah kesan pertama yang didapatkan saat memasuki restoran yang telah menginjak usia 20 tahun tersebut.

Gadis itu mengondisikan detak jantungnya yang berantakan, dengan kedua mata yang berkelana mencari sang kekasih di lantai satu. Entah dirinya yang terlalu gugup atau memang kekasihnya tidak ada di lantai satu, kedua matanya tak berhasil menangkap batang hidungnya sekali pun.

Hye Jin menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Tangannya sibuk mengusap dada hingga terasa hangat, jantungnya sibuk berlarian tanpa henti. Ini bukan kali pertama baginya merayakan hari jadi bersama sang kekasih, tetapi setiap tahun rasanya seperti baru kali pertama.

“Park Hye Jin-Ssi?” Seorang pelayan berseragam rapi menghampiri Hye Jin dengan senyuman. Dia membungkuk memberikan salam, restoran klasik dengan pelayanan yang asyik. Hye Jin mengangguk sambil tersenyum canggung.

“Mari saya antar, Tuan Kim Won Seok sudah menunggu.” Dia berjalan lebih dulu menaiki anak tangga yang berada di sudut restoran tersebut. Pantas saja pria itu tidak ada di lantai satu, ternyata Won Seok memesan tempat di lantai dua.

Hye Jin mengekor, sambil menatap pelayan bertubuh tinggi di depannya. Tangannya memegangi kedua pipi besar yang kini terasa sangat hangat karena terlalu gugup. Mungkin warnanya juga sudah mirip kepiting rebut, merah.

Gadis itu terdiam dengan tatapan bingung, saat pelayan di depannya membukakan sebuah pintu dari ruangan lain. Sebenarnya ada berapa ruangan sih? Banyak sekali! Dekorasi yang mewah dan cantik membuat tubuhnya tertahan cukup lama di ambang pintu. Sebuah persiapan yang matang, membuat napasnya berhenti sejenak.

Hiasan bunga terpasang di setiap sudut, ada pula balon warna-warni yang terpasang di beberapa sudut atapnya. Aroma Musk mengudara di ruangan tersebut, Won Seok tidak pernah mengganti parfumnya sejak dua tahun terakhir. Ruangan itu juga dipenuhi dengan aroma olahan daging yang khas, bawang putih yang dibakar bersama jenis rempah-rempah lainnya.

Hye Jin terkesima, kedua matanya tak berkedip melihat persiapan sang kekasih yang matang untuk merayakan hari jadi hubungan mereka. Tidak pernah terpikir olehnya, pria yang dalam kesehariannya selalu hemat perihal uang, bisa menghamburkan uang untuk hal seperti itu.

“Selamat menikmati hidangannya,” Pelayan itu membungkukkan tubuhnya dan menutup pintu ruangan dengan rapat tanpa menghasilkan suara.

Won Seok tersenyum sambil menghampiri Hye Jin, di tangannya terdapat buket bunga mawar yang besar. “Kau selalu cantik, beribu bunga mawar pun tidak akan bisa mengalahkan kecantikanmu.” Pria itu berlutut menyerahkan karangan bunga dengan aroma semerbak menusuk hidung.

Hye Jin menerimanya dengan senyuman malu, “Ya! Kenapa kau menghamburkan uang seperti ini?” tanyanya sambil menarik tangan pria itu untuk berdiri.

“Karena kau lebih berharga dari uang-uangku!” Won Seok mengelus lembut puncak kepala Hye Jin.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Jangan bicara seperti itu! Kau semakin membahayakan kesehatan jantungku.” Ia tersenyum sambil memukuli dada Won Seok dengan manja.

Won Seok mendudukkan tubuh kekasihnya di salah satu kursi, berhadapan dengan makanan-makanan yang sudah tersuguh di atas meja. Kue red velvet kesukaan Hye Jin pun tidak lupa disiapkan bersamaan dengan makanan favorit lainnya.

“Kenapa kau selalu mengenakan gaun itu?” tanya Won Seok saat melirik sejenak pada gaun putih yang dikenakan Hye Jin. Sama persis seperti saat perayaan satu tahun hari jadi mereka.

“Bukankah kamu yang minta, agar aku selalu mengenakan gaun ini saat bertemu denganmu. Apa kau lupa?” Hye Jin menggelar napkin berwarna cokelat di pangkuannya.

Pria itu tidak menanggapi, kini ia sibuk mengiris kecil-kecil steak di atas piringnya. Setelah mengiris kecil-kecil steak itu, ia menyerahkannya pada sang kekasih.

Oppa[1], kenapa kau tidak pernah menceritakan padaku, alasan kau memberikan gaun ini dua tahun yang lalu?” tanyanya serius. Tahun kemarin, pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Hye Jin. Namun, Won Seok tidak pernah menjawab.

Sama dengan satu tahun yang lalu, ekspresi pria itu langsung berubah. Wajahnya datar, bibirnya terkatup rapat, kedua matanya fokus pada apa yang sedang ada di hadapannya sekarang. Deru napasnya terdengar tak nyaman.

Hye Jin terdiam, memainkan steak yang ada di piringnya. Tidak ada satu pun dari potongan steak itu masuk ke dalam mulutnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah Won Seok yang masih menunduk sambil menyantap lahap makanan di piringnya.

“Ibuku ….” Won Seok membuka suaranya setelah sekian lama terdiam.

Satu kata itu membuat kedua mata Hye Jin hanya berpusat pada sang kekasih. Garpu yang semula ada di tangannya terjatuh begitu saja di atas piring. Ia terpaku, terdiam, dengan jantung yang berdetak cepat. Gadis itu tahu perihal ibu Won Seo yang sudah lama meninggal.

“Saat itu peringatan kematian Ibuku, aku ke toko itu untuk mengenang kenangan bersamanya. Semasa hidupnya, Ibu selalu minta dibelikan sebuah gaun. Namun, saat itu aku hanya seorang pekerja paruh waktu yang tidak memiliki banyak uang. Akhirnya, yang selalu aku lakukan adalah meninggalkannya di dalam toko itu sendirian karena merasa kesal.”

Won Seok menunjukkan ketegaran di wajahnya, tetapi ada perasaan lain yang tidak tampak jelas dari wajah tampannya itu. Sebuah pintu di dalam hatinya selalu tertutup, diketuk pun dia tidak akan membukanya. Dan yang bisa membuka pintu itu hanya lah Hye Jin.

Kedua mata gadis itu berkaca-kaca, tangannya terkepal kuat untuk menahan tangis yang memaksa keluar dari kedua matanya. Ia menyesal telah menanyakan hal itu kepada Won Seok. Penampakan kondisi yang berbeda dari dalam diri sang kekasih, berhasil membuat hati Hye Jin terenyuh. Pria itu hancur di dalam, dan berpura-pura tegar di luar.

“Kebetulan saat itu kau sedang berdiri di depan toko sambil menatap salah satu gaun. Tatapanmu kala itu mengingatkanku pada Ibu. Jadi aku membelikannya untukmu,” sambung Won Seok dengan senyuman penuh paksaan.

Hye Jin dengan kedua mata yang berkaca-kaca, menatap senyuman penuh paksaan dari bibir tipis sang kekasih. Hatinya tertusuk oleh cerita yang tidak pernah ia tahu sebelumnya, dan dalam hitungan detik berhasil membuat perasaannya berantakan. Tangannya gemetar saat ingin menyentuh gelas di atas meja, alih-alih menyentuh gelas itu, Hye Jin malah bangkit dan berjalan menuju sang kekasih.

Ia mendekap erat tubuh Won Seok, air matanya tidak dapat terbendung lagi. Hye Jin lemah jika harus menahan kesedihan, dan air matanya pecah saat memeluk tubuh kekar yang penuh luka di dalam itu. Air matanya jatuh di atas kepala pria yang masih duduk termenung di kursinya.

“Jangan tersenyum seperti itu, karena aku bisa melihat kesedihan dari kedua matamu.” Hye Jin berdiri di samping pria itu, memeluknya erat, menghantarkan kehangatan yang sudah lama tidak Won Seok dapatkan dari seorang Ibu. Isak tangisnya pecah, dan tubuhnya bergetar.

Dalam pelukan yang hangat itu, Won Seok menghirup aroma Violet dari tubuh kekasihnya. Aroma yang menenangkan, kehangatan yang membuat pikirannya berkelana jauh, kisah-kisah kelam yang menyayat hati kembali terlintas dalam benaknya. Hingga hal itu memancing benih-benih air mata dari sepasang netra besarnya. Pria itu terisak, tetes demi tetes air mata jatuh membasahi wajah tampannya.

Seseorang yang terlihat tegar, kuat, dan baik-baik saja. Belum tentu dirinya baik-baik saja, di dalam diri sosok yang tegar itu pasti ada saja bagian yang rapuh, dan memaksanya untuk berpura-pura kuat. Daripada berpura-pura untuk mengerti, lebih baik menjadi wadah untuk menampung kesedihan itu. Biarkan dia menangis, biarkan dia mengeluh, dan biarkan dia meluapkan segala perihnya di bahu kita.

“Terima kasih sudah menceritakannya padaku, mulai sekarang luapkan saja segalanya padaku.” Hye Jin mengelus puncak kepala Won Seok dengan lembut, sambil menghujaninya dengan kecupan-kecupan hangat.

[1] Kakak – bahasa korea yang biasa digunakan untuk memanggil pria yang lebih tua (wanita)

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Secret Of The "Black"   31. Goodbye Song Miah

    Duka yang mendalam terasa menyelimuti hati setiap orang yang mengantarnya, air mata jadi sesuatu yang sulit terbendung. Nuansa hitam menjadi latar utama, berbagai macam doa di dalam hati dipanjatkan untuknya menuju peristirahatan terakhir. Isak tangis beradu dari sisi kanan dan kiri, sangat kuat, menambah kesan sendu yang mendalam.Hye Jin dan Dong Joon, berdiri berdampingan sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan doa bersama. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat abu seorang gadis muda dikuburkan di dalam tanah. Setelah dikremasi, selesai sudah kehidupannya, Song Mi Ah telah meninggalkan dunia yang fana. Gadis yang baru berusia 19 tahun, harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tidak sakit hatinya melihat nasib gadis malang itu?Dari balik kaca mata hitamnya, sepasang netra milik Hye Jin mulai berkaca-kaca. Sekelebat bayang sang adik melintas di benaknya yang berantakan. Secepat mungkin dia menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu, sebelum memancing kesedihannya s

  • Secret Of The "Black"   30. Fact About Dongjoon

    “Wow! Wow!” teriak Dong Joon sambil menggebrak meja dengan keras. Ia berdiri dengan tingkah heboh, sambil memegangi kepalanya. Seketika pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kafe tersebut.“Kau kenapa?” tanya Hye Jin heran, kepalanya mendongak untuk melihat pria itu.“Aku baru ingat! Gadis yang tadi masuk ke ruangan korban. Dia … dia gadis yang bersama Jae Ha, Kan? Iya, Kan? Ingatanku tidak salah, Kan?” ucapnya heboh. Beberapa orang yang duduk di dekat mereka mulai membicarakan tingkah pria itu.Hye Jin menghela napas panjang, menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil menatap jalanan di depan kafe yang hingar bingar, penuh dengan kendaraan. “Benar!” serunya singkat. “Dia, Song Ri Jin.”“Kau ingat, Kan? Waktu kita membuntuti Jae Ha, dan ternyata pria itu bertemu dengan seseorang di sudut gang?” Hye Jin menatap serius pada Dong Joon.Pria itu hanya mengangguk cepat, tak sabar mendengar cerita Hye Jin lebih lanjut.“Jae Ha menyuruh pria-pria itu untuk menculik d

  • Secret Of The "Black"   29. Secret About Lee Hyekyung

    Hye Jin terpaku menatap kopi susu yang tersuguh di cangkir kecil terbuat dari keramik mahal. Matanya tak bergeming melihat minuman berkafein itu, belum ada niatan untuk menikmatinya walau aroma kopi itu terus menggodanya.Sebelum duduk di sofa mahal berbahan polyester berwarna cokelat tua itu, dirinya harus berhadapan dengan Ha Ra yang menyerangnya dengan tatapan heran sekaligus iri. Bagaimana tidak? Saat ini Hye Jin berada di sebuah ruangan besar yang digunakan untuk pertemuan para investor perusahaan tersebut. Ha Ra tidak pernah berada di sana, tentu saja jiwanya memanas saat tahu Hye Jin dipanggil ke sana.Gadis itu termenung bersama orang-orang yang jarang ia lihat sebelumnya, entah siapa yang sedang mereka tunggu di sana. Ia hanya terdiam tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali diliriknya arloji hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kanan, 20 menit terbuang percuma dan gadis itu menyesalinya.Saat dirasa waktu berharganya terbuang percuma, gadis itu memutuskan untuk bangkit da

  • Secret Of The "Black"   28. Without You

    Tubuh yang lelah memaksa untuk segera diistirahatkan, kedua mata harus dipejamkan, langkah semakin tidak karuan, rasa kantuk melumpuhkan segalanya. Dari kejauhan cahaya terang yang menerangi teras rumah terlihat jelas, tetapi semua lampu di dalam rumah padam. Hye Jin membuka daun pintu perlahan, tanpa menimbulkan suara.Gadis itu melirik ke arah sofa saat kedua kakinya sampai di ruang tamu yang gelap gulita. Lampu-lampu yang padam itu sengaja dibiarkan mati, hanya sorot cahaya bulan dari jendela yang menerangi beberapa titik di dalam rumah tersebut.Seseorang tengah tertidur di atas sofa, begitu lelap sampai dengkurannya menggelitik telinga. Kedua tangannya menyangga kepala, sebagai alas tidurnya di sofa. Kerutan-kerutan tampak jelas di wajahnya, begitupun rasa lelah.Hye Jin melangkah perlahan mendekati sofa, ia duduk di lantai sambil menatap sosok yang terlelap di sana. Dengkuran yang keras membuatnya terenyuh, wajah pucat dan kerutan yang jelas membuatnya tidak bergeming dari sana.

  • Secret Of The "Black"   27. Thinking About You

    Cokelat panas tersuguh di atas meja bercat putih, kepulan panas terlihat jelas di udara. Cokelat cair adalah minuman yang tepat untuk dinikmati saat rintikan hujan mengguyur kota. Namun, pemiliknya belum ingin menikmati. Ia membiarkan cokelat hangat itu tidak tersentuh.Hye Jin menatap rintikan hujan lewat jendela yang terbuka lebar, udara dingin menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Air hujan yang segar membasahi aspal. Suara hujan menjadi melodi penenang untuk pikiran gadis itu, seketika ia terhipnotis ke dalam suasananya. Tubuhnya terbalut kaus tipis berlengan pendek, membiarkan hawa dingin dari luar bersatu dengan dingin AC menembus kulit halusnya hingga ke tulang. Hawa dingin tidak terasa berlebihan, seakan kulitnya sudah kebal.Hujan selalu menjadi hal yang istimewa, orang-orang menangis saat hujan tidak kunjung turun. Kebanyakan orang sering menanti kehadiran hujan. Pada zaman kerajaan Georyeo, orang-orang di sana melakukan upacara untuk meminta hujan. Mereka berbaris di jalanan

  • Secret Of The "Black"   26. Bad Situation

    Park Hye Jin berjalan di lobi dengan mulut yang tak berhenti menguap, kedua matanya berkaca-kaca setiap kali selesai menguap lebar seperti kuda nil. Sepasang netra yang masih dipenuhi kotoran di sudut-sudutnya, wajah kusam berkerut, serta kantung mata yang membesar hasil dari begadang tadi malam.Ia mengikat rambut panjangnya yang kusut agar tidak menghalangi pemandangan, tetapi hal itu malah membuat sepasang telinganya mendengar ujaran-ujaran mengusik di pagi hari. Tatapan-tatapan yang dapat didengar, bisikan-bisikan yang mengarah padanya, seketika membuat gadis itu tidak nyaman.Suara bisikan saling bersahutan, bertukar kata dan hujatan. Mereka membicarakan, seakan sudah paling benar, mereka menatap seakan pendapatnya sudah terbukti oleh fakta-fakta yang ada. Dalam pikiran mereka, hanyalah sebuah informasi dari satu sisi yang tak mereka ketahui kebenarannya.Hye Jin menatap kosong ke arah angka berwarna merah yang terteras di atas lift. Ia menyunggingkan sebelah bibirnya, mentertawa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status