Semilir angin bergerak lamban, membuat beberapa helai rambut gadis itu menari-nari mengikuti arah angin. Sinar bintang yang terang, menjadi penunjuk jalan bagi jiwa yang kegelapan. Hye Jin menyandarkan tubuhnya di sebuah Halte yang sepi tanpa siapapun, hanya ada dirinya dan suara binatang malam yang menjadi melodi untuk kesendiriannya.
Jemari kurusnya tidak berhenti memijat kedua kaki yang hampir kehilangan nyawa , setelah berjalan ke sana kemari mencari bahan berita. Seluruh anggota tubuhnya terasa ingin lepas satu persatu kemudian lari mencari tuan baru. Gadis itu menghela napas panjang saat mengetahui jadwal bus terakhir hari ini baru saja berangkat. Pantas saja tak ada satu pun orang yang menunggu bus lagi.
Hye Jin melirik arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, ia mendengus lelah. “Kalau jalan, bisa sampai jam sebelas. Kalau naik taksi, pasti mahal.” Dia menatap bintang malam sambil memikirkan cara untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 PM dan gadis itu masih berkelana di jalan.
Dia bangkit dan berjalan di atas trotoar yang sepi, sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri. Masih ada beberapa orang yang berlalu-lalang menyeberangi jalan, beberapa toko masih beroperasi, lampu-lampu dari sana membuat Hye Jin terasa tenang. Seperti ada yang menemaninya berjalan di trotoar itu.
Langkahnya terhenti tatkala melihat sebuah toko pernak-pernik cantik yang klasik. Kedua matanya menangkap sebuah benda yang digantung di jendela toko tersebut, Dreamcatcher berwarna ungu yang membuat kedua mata gadis itu terpaku dan tidak berkedip. Ia ingin memilikinya, agar mimpi-mimpi buruknya bisa ditangkap oleh benda itu. “Huh, sepertinya aku lebih butuh alat penangkap lelah daripada benda penangkap mimpi itu!” keluhnya pasrah.
Gadis itu berjalan lagi, mendongak sejenak pada langit malam yang tidak bisa lebih gelap dari itu. Bintang-bintang masih mengikutinya, menerangi langkahnya, dan menjaganya dari atas. Ia melangkah menghindari lubang-lubang di trotoar, sambil melihat toko-toko dengan cahaya lampu yang terang menderang bak lentera malam.
Lagi dan lagi langkahnya terhenti, kali ini di toko pakaian wanita. Kedua matanya terpancing untuk melihat sebuah gaun putih yang terpasang di salah satu patung. Bibirnya bergerak membentuk sebuah kurva, membayangkan tubuh kurusnya mengenakan gaun selutut itu. Cantik, pikirnya.
Saat Hye Jin terbawa jauh dalam lamunannya, seseorang keluar dari toko tersebut sambil membawa tas belanjaan. Seorang pria dengan gaya kasual, menatap heran pada gadis yang sedang melamun dengan kepala yang miring.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya menyadarkan gadis yang larut dalam lamunannya.
“AAAAKKKK!” Hye Jin berteriak keras, kemudian menutup mulutnya saat melihat pria yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya terpaku, menelusuri tampilan pria di hadapannya yang sangat berbeda. “Kau sedang apa di sini?” tanyanya kembali.
“Ya … beli pakaian, ngapain lagi di toko pakaian kalau tidak beli pakaian?” jawab pria itu santai sambil berjalan meninggalkan toko tersebut.
“Pasti untuk kekasihnya!” kata Hye Jin dalam hati. Entah mengapa kedua kaki gadis itu malah mengikuti langkah pria yang ada di hadapannya. Tanpa sadar dia mengikutinya, bahkan melewatkan jalan ke rumah. “Tunggu! Kenapa aku mengikutinya?” tanyanya dalam hati, dan memutar balik langkahnya.
Saat Hye Jin berbalik dan berjalan kembali menuju jalan yang benar, pria itu menoleh dan memanggil namanya.
“Maukah kamu menemaniku?” tanyanya lantang.
Gadis itu terdiam, kedua alisnya terangkat tanda tidak mengerti.
“Temani aku minum soda!” sambung pria itu dengan tatapan datar.
Hye Jin terdiam, posisi tubuhnya kini tidak terlalu jauh dari keberadaan pria itu. Tanpa kata-kata atau sekadar anggukan, gadis dengan rambut pendek sebahu itu kembali memutar langkahnya dan menghampiri pria yang menunggu di sana. Mereka berhenti di sebuah Mini Market sisi jalan.
Semilir angin yang datang sesekali, memberikan kesejukan di malam itu. Langit malam menjadi saksi pertemuan mereka, tanpa alasan, tentu karena hanya ditakdirkan. Menikmati sekaleng soda, sambil menatap bintang yang cahayanya semakin terlihat terang.
Hye Jin menatap kosong lengan besar yang tertutupi jaket berwarna hitam di hadapannya, “Bagaimana dengan lukamu?” tanyanya.
“Sudah sembuh,” jawab Won Seok singkat kemudian menenggak sodanya lagi.
Gadis itu menyaksikan bagaimana pria di hadapannya dengan gagah menenggak minuman kaleng, menunjukkan leher bidang dengan jakun yang menonjol jelas. Hye Jin menelan air liurnya dengan kasar, setelah bayangan kesegaran soda yang melewati tenggorokan. Namun, tangannya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membuka kaleng soda di hadapannya. Sungguh lemah.
Won Seok yang memperhatikannya sedari tadi, langsung merampas kaleng tersebut dan membukanya dalam hitungan detik.
Gadis itu terpaku, baru kali ini ada seseorang yang membukakan kaleng soda untuknya. “Thank you,” ucapnya malu kemudian menyeruput soda itu pelan-pelan.
“Ini, untukmu saja!” kata Won Seok dengan tangan mengulur, memberikan tas belanjaan yang dibawanya dari toko pakaian tadi.
Hye Jin terdiam, kedua alisnya mengkerut tajam. “Kenapa memberikannya kepadaku? Memangnya kau sengaja membelikannya untukku?” tanyanya kemudian menerima benda itu karena tidak ingin tangan Won Seok terulur di hadapannya terlalu lama.
“Tidak!” jawab Won Seok.
“Lalu?” Hye Jin menunggu penjelasan.
“Pakai itu setiap bertemu denganku.” Won Seok menenggak habis sodanya, kemudian mengangkat tubuhnya dari kursi.
“Memangnya kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu dengan wajah kebingungan, kedua matanya sedang menuntut jawaban yang jelas.
“Harus!” jawab Won Seok tegas, kemudian pergi dengan misterius.
Hye Jin ingin memanggilnya lagi untuk meminta kejelasan, tetapi langkah Won Seok terlalu cepat. Berteriak untuk memanggilnya, hanya akan membuat gadis itu terlihat konyol di depan orang yang berlalu-lalang di sekitar sana.
Setelah menatap kepergian pria misterius itu, ia mendapati sebuah gaun berbahan lembut yang semula terpajang di depan toko. Gaun yang membuatnya melamun, membayangkan tubuh kurusnya mengenakan benda itu dan berkeliling kota menikmati udara segar. Ukuran yang dipilih pun cocok untuk tubuhnya. Hye Jin bertanya-tanya, apakah mereka akan bertemu lagi? Dan apakah gaun ini termasuk dalam takdirnya? Seperti pertemuan tanpa alasan pada malam ini.
Duka yang mendalam terasa menyelimuti hati setiap orang yang mengantarnya, air mata jadi sesuatu yang sulit terbendung. Nuansa hitam menjadi latar utama, berbagai macam doa di dalam hati dipanjatkan untuknya menuju peristirahatan terakhir. Isak tangis beradu dari sisi kanan dan kiri, sangat kuat, menambah kesan sendu yang mendalam.Hye Jin dan Dong Joon, berdiri berdampingan sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan doa bersama. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat abu seorang gadis muda dikuburkan di dalam tanah. Setelah dikremasi, selesai sudah kehidupannya, Song Mi Ah telah meninggalkan dunia yang fana. Gadis yang baru berusia 19 tahun, harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tidak sakit hatinya melihat nasib gadis malang itu?Dari balik kaca mata hitamnya, sepasang netra milik Hye Jin mulai berkaca-kaca. Sekelebat bayang sang adik melintas di benaknya yang berantakan. Secepat mungkin dia menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu, sebelum memancing kesedihannya s
“Wow! Wow!” teriak Dong Joon sambil menggebrak meja dengan keras. Ia berdiri dengan tingkah heboh, sambil memegangi kepalanya. Seketika pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kafe tersebut.“Kau kenapa?” tanya Hye Jin heran, kepalanya mendongak untuk melihat pria itu.“Aku baru ingat! Gadis yang tadi masuk ke ruangan korban. Dia … dia gadis yang bersama Jae Ha, Kan? Iya, Kan? Ingatanku tidak salah, Kan?” ucapnya heboh. Beberapa orang yang duduk di dekat mereka mulai membicarakan tingkah pria itu.Hye Jin menghela napas panjang, menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil menatap jalanan di depan kafe yang hingar bingar, penuh dengan kendaraan. “Benar!” serunya singkat. “Dia, Song Ri Jin.”“Kau ingat, Kan? Waktu kita membuntuti Jae Ha, dan ternyata pria itu bertemu dengan seseorang di sudut gang?” Hye Jin menatap serius pada Dong Joon.Pria itu hanya mengangguk cepat, tak sabar mendengar cerita Hye Jin lebih lanjut.“Jae Ha menyuruh pria-pria itu untuk menculik d
Hye Jin terpaku menatap kopi susu yang tersuguh di cangkir kecil terbuat dari keramik mahal. Matanya tak bergeming melihat minuman berkafein itu, belum ada niatan untuk menikmatinya walau aroma kopi itu terus menggodanya.Sebelum duduk di sofa mahal berbahan polyester berwarna cokelat tua itu, dirinya harus berhadapan dengan Ha Ra yang menyerangnya dengan tatapan heran sekaligus iri. Bagaimana tidak? Saat ini Hye Jin berada di sebuah ruangan besar yang digunakan untuk pertemuan para investor perusahaan tersebut. Ha Ra tidak pernah berada di sana, tentu saja jiwanya memanas saat tahu Hye Jin dipanggil ke sana.Gadis itu termenung bersama orang-orang yang jarang ia lihat sebelumnya, entah siapa yang sedang mereka tunggu di sana. Ia hanya terdiam tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali diliriknya arloji hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kanan, 20 menit terbuang percuma dan gadis itu menyesalinya.Saat dirasa waktu berharganya terbuang percuma, gadis itu memutuskan untuk bangkit da
Tubuh yang lelah memaksa untuk segera diistirahatkan, kedua mata harus dipejamkan, langkah semakin tidak karuan, rasa kantuk melumpuhkan segalanya. Dari kejauhan cahaya terang yang menerangi teras rumah terlihat jelas, tetapi semua lampu di dalam rumah padam. Hye Jin membuka daun pintu perlahan, tanpa menimbulkan suara.Gadis itu melirik ke arah sofa saat kedua kakinya sampai di ruang tamu yang gelap gulita. Lampu-lampu yang padam itu sengaja dibiarkan mati, hanya sorot cahaya bulan dari jendela yang menerangi beberapa titik di dalam rumah tersebut.Seseorang tengah tertidur di atas sofa, begitu lelap sampai dengkurannya menggelitik telinga. Kedua tangannya menyangga kepala, sebagai alas tidurnya di sofa. Kerutan-kerutan tampak jelas di wajahnya, begitupun rasa lelah.Hye Jin melangkah perlahan mendekati sofa, ia duduk di lantai sambil menatap sosok yang terlelap di sana. Dengkuran yang keras membuatnya terenyuh, wajah pucat dan kerutan yang jelas membuatnya tidak bergeming dari sana.
Cokelat panas tersuguh di atas meja bercat putih, kepulan panas terlihat jelas di udara. Cokelat cair adalah minuman yang tepat untuk dinikmati saat rintikan hujan mengguyur kota. Namun, pemiliknya belum ingin menikmati. Ia membiarkan cokelat hangat itu tidak tersentuh.Hye Jin menatap rintikan hujan lewat jendela yang terbuka lebar, udara dingin menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Air hujan yang segar membasahi aspal. Suara hujan menjadi melodi penenang untuk pikiran gadis itu, seketika ia terhipnotis ke dalam suasananya. Tubuhnya terbalut kaus tipis berlengan pendek, membiarkan hawa dingin dari luar bersatu dengan dingin AC menembus kulit halusnya hingga ke tulang. Hawa dingin tidak terasa berlebihan, seakan kulitnya sudah kebal.Hujan selalu menjadi hal yang istimewa, orang-orang menangis saat hujan tidak kunjung turun. Kebanyakan orang sering menanti kehadiran hujan. Pada zaman kerajaan Georyeo, orang-orang di sana melakukan upacara untuk meminta hujan. Mereka berbaris di jalanan
Park Hye Jin berjalan di lobi dengan mulut yang tak berhenti menguap, kedua matanya berkaca-kaca setiap kali selesai menguap lebar seperti kuda nil. Sepasang netra yang masih dipenuhi kotoran di sudut-sudutnya, wajah kusam berkerut, serta kantung mata yang membesar hasil dari begadang tadi malam.Ia mengikat rambut panjangnya yang kusut agar tidak menghalangi pemandangan, tetapi hal itu malah membuat sepasang telinganya mendengar ujaran-ujaran mengusik di pagi hari. Tatapan-tatapan yang dapat didengar, bisikan-bisikan yang mengarah padanya, seketika membuat gadis itu tidak nyaman.Suara bisikan saling bersahutan, bertukar kata dan hujatan. Mereka membicarakan, seakan sudah paling benar, mereka menatap seakan pendapatnya sudah terbukti oleh fakta-fakta yang ada. Dalam pikiran mereka, hanyalah sebuah informasi dari satu sisi yang tak mereka ketahui kebenarannya.Hye Jin menatap kosong ke arah angka berwarna merah yang terteras di atas lift. Ia menyunggingkan sebelah bibirnya, mentertawa