Share

2. Ibu yang Tidak Menginginkanmu

Satu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri.

Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar.

"Nadhima, buka pintunya!"

Lagi, orang di balik pintu menggedor-gedor dengan marah. Nadhima melirik sekilas dan kembali pada buku gambar di mejanya. Tak juga berhenti, akhirnya Nadhima membuka pintu.

Wanita cantik itu berkacak pinggang. Kulitnya yang masih kencang mendekati usia empat puluh itu sedikit mengerut di dahi akibat menahan berang. Bibirnya yang dipoles lipstick merah mengerucut. Matanya dinaungi bulu mata palsu tebal. Alisnya tegas nan rapi. Sebuah dengusan terdengar sebelum ia menusuk dahi Nadhima dengan telunjuk berpoles cat kuku merah. "Ngapain lagi kamu, ha? Bukannya bersyukur udah dibesarin sampai sekarang, kamu malah tambah gak tau diri." Sekali lagi telunjuk itu menusuk dahi Nadhima, membuat kepala gadis itu yang sudah terluka terdorong ke belakang. "Buat apa kamu kuliah kalau cuma bikin masalah? Lebih baik kamu belajar cari uang aja sana."

Nadhima menepis tangan wanita itu. Gantian ia yang mendengus. "Nyari kerja? Mama mau aku jual diri kayak Mama?" Kepala Nadhima tersentak ke samping. Bekas tamparan perlahan berubah kemerahan.

"Makin berani kamu sekarang ya!" Wanita itu mendelik. Tangannya semakin cepat mendorong-dorong dahi Nadhima.

"Berhenti..."

"Kamu---"

"AKU BILANG BERHENTI!" Gadis itu menjerit keras. "Memangnya aku ngapain sampe harus diperlakukan kayak gini?"

"Kamu masih nanya! Jelas-jelas kamu nyari masalah sama anak Pak Bondo. Kamu tahu kan dia siapa---"

"Selingkuhan mama!"

Wanita itu mendelik sekali lagi. Nadhima tak pernah melawan. Selama ini ia berpikir melawan hanya membuat masalahnya bertambah rumit. Jika didiamkan orang-orang mungkin akan lelah mengejek dan mengganggunya. Namun nyatanya tak begitu. Anak-anak itu semakin bersikap semena-mena.

Untuk ibunya pun begitu. Nadhima tak pernah mau terlibat dengan wanita itu. Sebisa mungkin ia tak pernah membuat masalah. Semua urusannya ia sendiri yang selesaikan. Semua kebutuhannya sebisa mungkin ia penuhi sendiri.

Nadhima... benar-benar tak ingin membuat keadaan sulit. Hanya saja, ia tak diizinkan untuk tenang. Masalah yang terus mendatanginya. Sekeras apa pun ia menjauh, ia tak pernah bisa lepas.

"Kamu..." Wanita itu geram bukan main. "Kalau sudah tahu kenapa kamu nyari gara-gara? Kamu gak tahu akibat apa yang harus Mama tanggung karena perbuatan kamu?"

Mata gadis itu tampak kosong. "Akibatnya untuk Mama? Terus akibat yang harus kutanggung karena perbuatan Mama gimana?"

"Memangnya Mama ngapain kamu? Kamu sudah hidup enak. Dari kecil Mama yang nanggung biaya hidup kamu. Kamu pikir bisa makan dan sekolah itu dari mana. Kamu cuma nyusahin, banyak maunya. Seharusnya kamu bersyukur gak dibuang."

"Jadi aku harus bersyukur diperlakukan begitu? Aku gak ngerti. Kalau memang gak mau punya anak, kenapa Mama gak bunuh aku aja. Kadang aku berpikir, mungkin lebih baik kalau waktu itu Mama milih buat aborsi. Dengan begitu aku gak perlu lahir.

"Aku juga gak mau hidup kayak gini. Aku gak mau disebut anak pel*c*r. Aku gak mau dibilang sama kayak Mama. Sebenarnya aku salah apa? Kenapa mereka nyebut aku yang salah kalau pacar mereka yang godain aku. Kenapa aku yang disalahin kalau Mama yang ngerebut suami mereka. Kenapa aku terus diejek. Kenapa aku dimaki padahal gak ngelakuin apa-apa. Apa Mama tahu cowok-cowok di sekolah selalu nanya berapa tarifku semalam setiap ketemu? Aku gak pernah dapat perlakuan baik. Aku bahkan gak bisa punya teman. Aku dianggap gak cukup baik untuk jadi teman siapa pun. Kenapa mereka terus jauhin aku? Aku kan gak ngapa-ngapain." Nadhima menangis sejadinya. Rasanya sesak sekali. Semua beban rasanya tumpah ruah. Seluruh perlakuan yang harus ia terima selama ini berkeliaran memenuhi kepalanya. Tatapan mencemooh dari wanita-wanita dewasa, anak-anak perempuan sebayanya yang jijik bermain dengannya, anak laki-laki yang mengejeknya, atau pria-pria dewasa yang menganggap ia gampang untuk dibawa ke atas ranjang.

Bibir Nadhima bergetar. "Kadang aku berpikir kenapa Mama gak kerja kayak ibu anak-anak lain aja. Kenapa Mama gak jadi ibu yang normal. Mungkin Mama bisa jadi pegawai biasa. Aku juga bisa jadi anak normal. Satu-satunya yang kurasa kurang mungkin Mama yang gak pernah punya waktu karena sibuk kerja. Yang kukhawatirkan mungkin cuma masalah ulangan atau masalah sepele sama teman." Nadhima melihat ibunya. "Aku tahu pikiran itu egois banget, kan? Sekarang aku bahkan gak berani buat sekadar mikiran lagi. Aku gak mungkin punya keluarga normal. Karena aku bahkan harus bersyukur udah diperlakukan kayak sekarang. Mama sendiri yang bilang kan." Nadhima tertawa. "Aku harus bersyukur karena jadi bulan-bulanan anak-anak lain. Aku gak boleh ngelawan walau udah dipukuli sampai luka-luka. Aku harus diam aja karena bukan siapa-siapa." Tangis Nadhima pecah lagi. "Mama mau aku nerima semua itu? Tapi kenapa aku harus nerima semuanya? Memangnya aku gak boleh bahagia? Aku juga mau punya teman. Aku pengin bisa ngobrol sama orang lain. Aku pengin bisa jalan-jalan sepulang kuliah. Aku gak mau dihina lagi. Aku gak mau dibilang cewek murahan. Aku gak mau..." Tangis Nadhima semakin menjadi-jadi. Sementara itu Seruni hanya bersedekap. Matanya menoleh ke tempat lain. Nadhima tak pernah menangis seperti ini di hadapannya.

Selang beberapa waktu Seruni berdecak. "Kalau gak senang tinggal di sini sebaiknya kamu pergi saja. Kamu sendiri sadar impian kamu gak akan terwujud. Saya gak akan pernah jadi ibu yang normal buat kamu. Jangan harap saya mau kerja keras banting tulang cuma buat menghidupi kamu. Saya gak punya niat buat ngelakuin itu."

Tangis Nadhima berhenti. "Aku bakal pergi," putusnya dengan suara sedikit tersendat akibat menangis. "Mama gak perlu bilang ke laki-laki itu kalau aku pergi. Dia juga gak akan tahu. Mama bisa pakai uangnya sepuas Mama. Aku gak akan pernah minta sedikit pun. Tapi... aku mau hidup tenang. Aku gak akan ganggu Mama lagi dan Mama pun sebaiknya begitu."

Amarah Seruni kembali lagi. Namun sebelum ia sempat mengamuk, Nadhima menutup pintu kamarnya. Wanita itu memaki-maki sejenak. Tak lama kemudian suaranya menghilang diiringi langkah kaki yang semakin menjauh.

Nadhima sudah tahu tentang ayahnya sejak berumur lima belas tahun. Satu-satunya alasan ibunya membesarkannya adalah karena laki-laki yang menjadi ayahnya selalu mengirim sejumlah uang untuk biaya hidupnya setiap bulan. Nadhima tak tahu siapa orang itu. Namun jelas jumlah yang dikirimkan cukup besar. Cukup untuk biaya hidup dan kuliahnya. Bahkan lebih. Tapi nyatanya Nadhima membiayai sendiri kuliahnya. Seruni hanya mau membayar biaya pendidikannya sampai ia tamat SMA. Menurutnya perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi.

Nadhima berjalan ke meja belajarnya. Diraihnya ponselnya yang sudah ketinggalan zaman. Meski layarnya sudah rusak benda ini masih cukup nyaman digunakan. Kembali Nadhima membuka sebuah pesan yang dikirim sekitar satu jam yang lalu. Awalnya Nadhima tak ada pikiran untuk menanggapi. Namun sepertinya inilah satu-satunya jalan yang ia punya.

***

Sincerely,

Dark Peppermint

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status