Jakarta, Indonesia
7 tahun lalu...
"Liat matanya, Van! Dia melototin elo tuh."
Satu tamparan di pipi membuat kepala Nadhima terlontar ke samping. "Masih berani elo natap gue, pel*c*r!" Gadis itu, Vanilla berdiri sambil bersedekap. Di depannya Nadhima duduk bersimpuh. Rambutnya acak-acakkan, seragamnya kotor dan terkoyak di beberapa bagian. Kaki-kaki dan tangannya lemah, kepalanya menunduk bekas menerima tamparan.
"Dia emang sama kayak mamanya," ucap Geya jijik. Disepaknya punggung Nadhima hingga gadis itu tersungkur. Ketiga gadis lain tertawa.
"Geya, kaki lo kena najis. Harus lo bersihin tuh," sindir Yami dengan tawa mengikik.
Nadhima berusaha duduk kembali. Rambut panjangnya riap ke depan. Samar-samar setitik bulir menetes mencapai dagu.
"Lo bener. Sekarang sepatu gue jadi kotor." Geya pun mengelap telapak sepatunya ke punggung Nadhima. Mereka berempat tertawa kembali.
"Ya ampun, Nadhima, lo cocok banget jadi keset." Hena menepuk tangan saking bersemangatnya.
Vanilla tertawa sambil menutup mulutnya. Ia mendekati Nadhima kembali. Ia berjongkok dan menatap wajah Nadhima. Sorot jijik tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Coba liat muka lo sekarang." Gadis itu mengeluarkan ponsel. "Kalau cowok-cowok pada liat, lo pasti gak laku lagi." Vanilla mulai memotret Nadhima dari berbagai sudut sambil tertawa. "Hahaha..."
"Aduh, Van, lo jangan gitu dong. Nanti gak ada cowok yang mau tidur sama dia lagi." Hena memvideokan aksi temannya.
"Lo mirip banget sama ibu lo yang pel*c*r itu." Vanilla mengerutkan dahinya yang putih. Bibirnya yang tipis mengerucut. "Berapa sih tarif ibu lo itu? Dia gak pernah puas ya setiap hari naik ke tempat tidur laki-laki." Suara Vanilla penuh amarah. Bukan rahasia lagi kini Seruni, ibu Nadhima, menjadi perempuan simpanan ayah Vanilla. Nadhima menggerakkan tangannya sedikit. Vanilla yang merasa dipanggil refleks mendekatkan tubuhnya.
Nadhima berbisik dengan sangat pelan hingga hanya mereka berdua yang dapat mendengar, "Kalau pengin tahu tarifnya, coba tanya ayah kamu. Soalnya dia yang paling gatel."
Vanilla sontak berdiri. Wajah perempuan muda itu merah padam. Dia menjerit dan mulai mengamuk. Makian, sepakan, ia layangkan ke tubuh Nadhima yang tergeletak di tanah. Nadhima bergelung takut menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Ketiga gadis lain mengikuti Vanilla. Mereka menggila dan tak kenal ampun.
Di balik sebuah tanaman hias tak terawat, sebuah ponsel merekam peristiwa tersebut. Komentar-komentar terus bermunculan di layar ponsel.
Gila. Mereka mau bunuh anak itu ya.
Itu Vanilla sama gengnya, kan?
Nadhima emang pantes digituin. Emang anak pel*c*r!
Tahun lalu cowok gue juga digodain sama Nadhima. Untung cowok gue gak mau sama tuh cewek. Emang menjijikkan sih dia.
Jir. Siapa yang sangka Vanilla yang dipuja-puja cowok sekampus seliar itu. Liat tuh cewek idaman kalian. Gak punya akhlak. Hahaha...
Gue gak suka sih liat Nadhima. Tapi kasihan juga dia diginiin. Ini kriminal.
Itu si anak pel*c*r? Gue pernah sekali liat dia. Emang cantik sih. Tapi sayang suka jual diri.
Vanilla kasar banget. Jangan gitu dong sayang. Kamu cewek manis. Jangan gara-gara anak pel*c*r jadi gini.
Gila. Orang-orang pada dukung pem-bully. Emang gak punya moral lagi orang-orang di kampus ini.
Emang kenapa sih Nadhima dibilang pel*c*r. Dia sopan-sopan aja. Bajunya juga selalu tertutup. Malah Vanilla sama teman-temannya yang lebih mirip pel*c*r.
Buat apa baju siang tertutup, tapi malam gak pake apa-apa. Tuh cewek rusak. B*tch.
Gue pribadi gak pernah ngeliat Nadhima godain cowok. Malah cowok-cowok yang godain dia, tapi dicuekin. Karena orang bilang dia anak pel*c*r, gue jadi ikutan gak suka. Tapi kalau dipikir-pikir dia sama sekali gak ganjen tuh. Tapi di belakang sih gue gak tahu dia ngapain aja.
Halah, dia emang pel*c*r.
Emang kalian udah pernah liat dia melacur?
Sekali pel*c*r, tetap pel*c*r.
Terserah cewek itu beneran pel*c*r apa enggak, yang jelas sekarang Vanilla yang salah. Kalau dia bisa kayak gitu ke Nadhima artinya dia bisa kayak gitu juga ke kalian.
Anak pel*c*r udah jelas pel*c*r juga. Nyokapnya kan simpanan bokapnya Vanilla. Emang pantes dia digituin. Syukurin.
Palsu tuh si Vanilla. Di depan orang banyak aja baik dan manis. Di belakangnya...
Vanilla yang pel*c*r.
Orang gila berhenti woi.
Kalian yang gila dukung anak pel*c*r.
Miris. Orang-orang senang ngeliat orang lain disiksa kayak gitu. Gak mikir kalau dia yang di posisi itu gimana.
Bapaknya Vanilla mau nyalonin diri jadi presiden, kan?
Calon anak presiden kelakuan kayak setan.
Entah mau jadi apa negara kita kalau punya presiden kayak bokapnya Vanilla.
Nadhima anak pel*c*r.
Bully anak lain bakal jadi pelajaran wajib di sekolah.
Calon anak presiden tapi gak punya akhlak.
Gue pernah liat Nadhima di kelab. Kayaknya lagi jual diri.
Pasti kalah sih bapaknya Vanilla ini.
Jangan gitu dong. Kasihan. Keluarga Vanilla udah keluar uang banyak buat jaga citra.
Masih dua tahun lagi. Pasti bisa ditutupin sih kejadian ini sama bokapnya.
Nyokap sama anak sama aja. Buah gak jatuh jauh dari pohonnya. Gue jijik sama Nadhima.
Jadi kalian setuju dia dipukuli gitu?
Setuju. Pukul aja sampe mati. Daripada hidup cuma nambah dosa.
Sampah banget cewek kek Nadhima.
Dua-duanya sampah sih menurut gue.
Bener. Vanilla juga enggak banget. Selama ini kelihatannya baik banget. Sok manis.
Jangan sampe kita aja yang tahu kelakuannya. Sebarin woi, live I*******m ini.
***
Nadhima tertatih-tatih merangkak menuju tempat ponselnya berada. Badannya tak hanya kotor. Namun juga penuh luka lebam. Darah segar mengalir di beberapa tempat di tubuhnya. Begitu berada tepat di depan tanaman tempat ia menyembunyikan ponselnya, Nadhima berkata lirih, "Tolong, aku ada di belakang gedung auditorium..." Tak lama tubuh Nadhima tergeletak di tanah.
Dia pingsan!
Ih... Gak mati, kan?
Pel*c*r mati aja!
Samar-samar mata Nadhima menangkap komentar di layar ponselnya. Dia sudah begini pun masih dianggap pel*c*r.
Apa ada yang bakal nolongin aku? batinnya.
Komentar lain bermunculan.
Tolongin woi. Jangan cuma nontonin doang. Gue sih ogah.
Kasihan banget sih. Lukanya banyak banget.
Jahat banget sih Vanilla.
Biarin ajalah. Dia akting doang.
Ini kriminal sih. Sampe kayak gitu anak orang.
Habis siaran ini gue bakal sebarin videonya. Biar habis tuh Vanilla.
Penjarain aja sih cewek-cewek bully kek gitu. Bikin malu aja.
Cewek ular. Mentang-mentang anak konglomerat. Vanilla laknat.
Dia merasa bisa ngelakuin apa aja gara-gara kaya.
Udah ah. Tolongin dia.
Gue gak mau. Kalian aja.
Gue udah jalan ke sana.
Eh, serius? Siapa tuh?
Gak tahu.
Siapa yang nolongin Nadhima?
Kalian semua anj*ng. Teman udah sekarat kalian masih bisa ngehina dia. Yakin kalian manusia?
Wah, ada yang ngebelain Nadhima.
Siapa tuh? Lo udah pernah pake service-nya, ya?
***
Gak langsung ketemu ml-nya. Pengin buat fl-nya menderita dulu 😁
Sincerely,
Dark PeppermintSatu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri. Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar. "Nadhima, buka pintunya!" Lagi, ora
"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok." Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh. "Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos. "Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya. Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilemp
London, Inggris Kiram tersenyum melihat seorang wanita yang ia pesan telah tiba. Sepertinya wanita itu mengalami perjalanan yang kurang mulus. Rambut dan pakaiannya basah karena hujan yang turun di luar. Wanita itu jelas bukan untuknya. Kiram lebih memilih wanita Eropa pirang dibanding si cantik berambut gelap yang sedang berdiri di meja resepsionis. Saat langkahnya semakin dekat dengan wanita itu senyumnya semakin mengembang. Wanita itu benar-benar tipe temannya. Tubuh tidak terlalu tinggi juga tak pendek. Namun berlekuk di beberapa bagian yang pas. Kulitnya putih gading. Wajah oval dengan garis yang halus. Bibirnya tipis dengan warna merah gelap. Hidungnya mungil dan meruncing. Mata sehitam malam yang berkilat-kilat, tampak hidup dan tajam menantang. Serta surainya yang tak kalah hitam, jatuh lurus hingga ke pinggang. Wanita dengan perpaduan hitam dan putih, kekuatan dan kelembutan. Namun yang paling membuat si wanita sempurna untuk
London, Inggris "Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa. Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya. Enggak mungkin. Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi. "Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik bara
Singapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d