"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Singapura Nadhima berbaring bersama kedua anaknya di atas tempat tidur. Entah ada apa si kembar ingin ditemani sampai tertidur. Hal yang tak biasa sebab biasanya Apollo dan Artemis, putra dan putri kembarnya itu selalu tidur sendiri. "Mama," panggil Artemis yang sedang telentang menatap langit-langit gelap kamar yang ditempeli bintang tiruan. Cahaya-cahaya samar dari bintang tersebut membuat kamar anak tak terlalu gelap. "Kenapa, Sayang?" Nadhima bergeser menghadap putri kecilnya yang baru berumur tujuh tahun. Tangan wanita muda itu terulur sampai menyentuh sang putra yang berbaring di sisi lain anak perempuannya. Mata bulat Artemis bergeser dari bintang-bintang tiruan ke ibunya. "Bagaimana bayi bisa lahir ke dunia ini?" "Apa?" Nadhima tidak siap dengan pertanyaan itu. Orang tua mana yang sanggup menjelaskan proses tak senonoh tersebut ke anak tujuh tahun. "Ck, kenapa kau selalu menanyakan hal yang tidak penting." Apol
Jakarta, Indonesia 7 tahun lalu... "Liat matanya, Van! Dia melototin elo tuh." Satu tamparan di pipi membuat kepala Nadhima terlontar ke samping. "Masih berani elo natap gue, pel*c*r!" Gadis itu, Vanilla berdiri sambil bersedekap. Di depannya Nadhima duduk bersimpuh. Rambutnya acak-acakkan, seragamnya kotor dan terkoyak di beberapa bagian. Kaki-kaki dan tangannya lemah, kepalanya menunduk bekas menerima tamparan. "Dia emang sama kayak mamanya," ucap Geya jijik. Disepaknya punggung Nadhima hingga gadis itu tersungkur. Ketiga gadis lain tertawa. "Geya, kaki lo kena najis. Harus lo bersihin tuh," sindir Yami dengan tawa mengikik. Nadhima berusaha duduk kembali. Rambut panjangnya riap ke depan. Samar-samar setitik bulir menetes mencapai dagu. "Lo bener. Sekarang sepatu gue jadi kotor." Geya pun mengelap telapak sepatunya ke punggung Nadhima. Mereka berempat tertawa kembali. "Ya ampun, Nadhima, lo c
Satu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri. Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar. "Nadhima, buka pintunya!" Lagi, ora
"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok." Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh. "Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos. "Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya. Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilemp