"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok."
Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya.
"Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh.
"Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos.
"Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya.
Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilempari makanan dan minuman. Namun ia akan memastikan sesuatu. Hal yang bisa membuatnya terbebas dari semua masalah ini.
Nadhima menarik map tersebut dan membuka isinya. "Ini---"
"Katakan saja ke media kalau kalian sudah berbaikan. Dan lebih baik lagi kalau kamu juga pergi dari sini." Wanita di depannya ini sangat tenang. Sampai Nadhima tidak sadar, meski tak menunjukkan kebenciannya, jelas ia terganggu dengan keberadaan Nadhima.
Siapa pula yang senang melihat anak perempuan simpanan suaminya sekaligus orang yang mencari masalah dengan putrinya duduk di hadapannya.
Tangan Nadhima mencengkeram map kuat-kuat. Dia memang sudah bersiap, tapi bukan berarti rasanya tak menyakitkan.
"Kamu mungkin merasa harga diri kamu terluka atau apa. Terserah kamu kalau lebih milih melawan kami dan semakin berkoar-koar ke media. Itu pilihan kamu. Dan pilihan kami juga untuk melawan balik." Dia masih tidak tersenyum. Suaranya sangat terkontrol dan terjaga. Jika tidak sedang menyudutkan dirinya Nadhima pasti takjub dengan pengendalian diri wanita ini.
"Ada satu hal yang salah dari kata-kata Anda. Semakin berkoar-koar. Lucu sekali kalau Anda berpikir saya sengaja membuat keributan untuk memancing amarah Anda dan keluarga. Anda mungkin gak tahu, tapi gak ada satu pun hal yang bisa saya lakukan untuk menang dari anak Anda selain hal ini. Jika saya memukul balik dia, pasti saya yang disalahkan. Saya yang dituduh menyerang anak baik dari keluarga terhormat. Sedangkan saya, akan disebut sebagai anak pel*c*r gak tahu diri yang suka membuat masalah. Gak akan ada yang peduli siapa yang mulai duluan. Saat anak Anda bilang dia yang diserang, semua orang bakal langsung percaya dia. Dan kalaupun terbukti dia duluan yang memulai, kalian pasti bisa membuat keadaan berbalik.
"Saya ini bukan siapa-siapa. Saya sadar itu. Gak mungkin saya berani sengaja mencari masalah. Tapi bukan berarti saya bakal terus diam saja. Saya juga bisa capek. Dan ini satu-satunya cara yang saya kira berhasil untuk membuat anak Anda berhenti menggangu saya. Harga diri saya memang terluka karena perlakuan Anda. Tapi saya gak berharap apa-apa. Saya gak berharap diperlakukan baik oleh Anda. Walau saya sedikit heran, wanita anggun dan berhati mulia yang saya lihat di televisi ternyata seangkuh ini. Anda bahkan gak terlihat ingin minta maaf ke saya atas perlakukan buruk putri Anda."
Untuk pertama kalinya seulas senyum tipis terbit di bibir tipis wanita itu. "Kamu cukup pintar. Dan cukup blak-blakan."
"Saya gak akan heran kalau Anda beranggapan saya ini perempuan dangkal karena ibu saya."
Senyum itu menghilang. "Semua orang suka berspekulasi. Itulah pandangan yang tercipta karena ibumu. Saya akui kamu gak seperti dia. Bahkan kalian sangat jauh berbeda. Kalau kamu memang gak seperti ibumu seperti penilaian saya sekarang, kamu mungkin gak akan menerima tawaran saya."
Tangan Nadhima saling memilin. "Anda salah. Saya terima tawarannya."
"Saya kira harga diri kamu terluka. Kamu yang bilang sendiri tadi."
"Memang. Tapi saya mungkin bakal kehilangan segalanya karena rasa sakit hati ini." Nadhima menahan air mata yang mendadak ingin keluar. "Alasan saya mau datang menemui Anda karena saya memang mengharapkan hal ini. Saya capek. Jadi kalau Anda mau saya pergi, saya bakal terima dengan senang hati."
Renata menatap serius pada Nadhima. "Kayaknya kamu menanggung beban yang cukup banyak untuk anak seusia kamu." Wanita itu menyesap tehnya lagi. "Saya gak tahu banyak tentang hidup kamu. Tapi saya rasa memang ada baiknya memulai hidup baru di tempat yang baru. Di mana orang-orang gak akan men-judge kamu karena orang tua kamu."
Nadhima ingin tertawa. Ibu dari anak yang merundungnya bahkan lebih mengerti dirinya dibanding ibunya sendiri. Wanita ini tak bisa dibilang sedang menunjukkan kebaikan hati. Mungkin maksud kata-katanya karena dia ingin Nadhima hidup sejauh mungkin dari anaknya. Namun apa yang ia katakan itu benar. Nadhima ingin punya kehidupan baru. Di mana dia akan dikenal sebagai dirinya sendiri. Dinilai karena karakternya sendiri. Mungkin dia juga bisa memiliki satu atau dua teman.
Tempat baru terdengar sangat menarik dan juga membuatnya sedikit bersemangat.
"Ini." Renata mendorong sebuah kartu nama padanya. "Kamu bisa hubungi saya kalau ada apa-apa."
Nadhima mengambil benda tersebut. Mulutnya terkatup rapat. Perasaannya meluap-luap. Namun ia tak tahu luapan apa saja yang ia rasakan.
Ia masih marah. Ia juga sangat sedih. Dia masih putus asa. Namun satu harapan muncul di hatinya. Dia mulai berdebar untuk sesuatu yang belum pasti. Nadhima juga merasa takut. Kebencian juga belum hilang. Dia juga tak bisa percaya semudah itu pada wanita di depannya. Namun satu hal yang ia sadari, kalau ingin melanjutkan hidup, Nadhima harus berani berharap.
"Saya akan berusaha untuk gak pernah menelepon Anda."
"Saya juga berharap begitu," ucap Renata. "Tapi saya merasa bertanggung jawab. Meski hidup kamu gak baik di sini, kamu tinggal di sini. Keluarga kamu ada di sini. Sayalah yang menyuruh kamu pergi. Jadi kalau ada sesuatu, hubungi saja saya. Saya gak yakin bisa memberi bantuan yang kamu perlukan atau inginkan. Tapi kalau itu masalah uang, saya bisa sediakan."
"Saya gak berniat meras Anda lebih dari ini." Nadhima membawa map tersebut ke atas pahanya. Memangnya apa lagi yang dia butuhkan. Di dalam map ini sudah tersedia sertifikat rumah dan buku tabungan dengan saldo yang cukup fantastis buatnya. Jika selanjutnya dia butuh uang, Nadhima yakin ia mampu mencari sendiri. Sebab yang ia butuhkan sekarang hanya akses untuk pergi.
***
"Saya gak ada niat untuk memperpanjang masalah ini," ucap seorang gadis bermasker hitam yang menutupi separuh wajahnya. "Dia sudah minta maaf dan menangis di hadapan saya. Saya rasa itu sudah cukup. Kami sudah berbaikan. Saya kira dia melakukan itu juga karena kesal sama saya. Saya gak mau mempersulit keadaan. Kami sama-sama merasa sulit saat ini."
Nadhima tersenyum miris melihat dirinya di sebuah tablet dari seorang wanita yang duduk di sampingnya. Di genggaman tangannya terdapat sebuah tiket penerbangan menuju London.
Gambar di tablet itu berganti. Sesosok wanita yang beberapa hari lalu bertemu dengannya tengah sibuk berbicara di depan para wartawan. "Saya minta maaf atas kesalahan yang dibuat anak kami. Saya sudah salah mendidiknya. Anak kami masih sangat muda. Masih banyak kesalahan yang bisa dia buat. Saya benar-benar minta maaf pada ananda Nadhima yang mendapat perlakuan kurang baik. Semuanya juga sudah selesai. Beberapa waktu lalu mereka sudah bertemu dan bersepakat damai."
Nadhima tertawa kecil. Ia tak tahu apa keputusannya ini sudah benar. Ada bagian dari dirinya yang berkata bahwa hal ini salah. Bahwa tak seharusnya dia membiarkan mereka seperti itu. Namun memangnya apa yang bisa ia lakukan. Katakanlah ia pengecut. Namun Nadhima pasti tambah hancur jika memaksa melawan.
Kesepakatan damai mereka tak muncul karena Vanilla meminta maaf. Vanilla tak pernah mengeluarkan kata maaf dari bibirnya. Sampai sekarang Nadhima bahkan tak ada bertemu dengannya. Entah ada di mana dia. Mungkin keluarganya melindunginya di suatu tempat yang aman dan nyaman.
"Nyebelin banget," ucap Nadhima pelan. Bohong jika ia tidak iri dengan Vanilla. Padahal hal ini jelas kesalahannya, tapi seluruh keluarga gadis itu membantu untuk melindunginya. Ibunya sampai meminta maaf di depan media untuknya. Anggota keluarga yang lain pun tak henti-hentinya memberi dukungan.
Bukannya sangat tidak adil, di saat Nadhima berusaha berdiri sendirian sambil terus terjatuh berkali-kali, gadis itu memiliki banyak tangan yang memeganginya. Tanpa berusaha pun dia bisa berdiri tegak. Saat terjatuh Vanilla memiliki banyak tangan yang menangkapnya, sementara ia...
"Kami sekeluarga benar-benar minta maaf untuk kejadian ini."
Hebat sekali. Entah sudah berapa kali wanita itu meminta maaf di depan media. Namun tak sekalipun dia meminta maaf saat bertemu Nadhima waktu itu.
Nadhima menegakkan tubuhnya, lalu melangkah saat panggilan keberangkatan sudah terdengar.
"Lupain semuanya, Nadhima. Anggap semua yang terjadi di sini cuma mimpi buruk."
Bruk!
"Ah, sorry." Seorang laki-laki menunduk sedikit, lalu buru-buru berbalik pergi bahkan sebelum Nadhima sempat menjawab.
Nadhima mendengus kesal. Dia tidak terluka. Hanya bahunya tersenggol sedikit saja. Namun bukannya tidak sopan meminta maaf tanpa menoleh pada orang yang bersangkutan.
"Di mana-mana banyak banget orang gak tahu sopan santun."
***
Sincerely,
Dark PeppermintLondon, Inggris Kiram tersenyum melihat seorang wanita yang ia pesan telah tiba. Sepertinya wanita itu mengalami perjalanan yang kurang mulus. Rambut dan pakaiannya basah karena hujan yang turun di luar. Wanita itu jelas bukan untuknya. Kiram lebih memilih wanita Eropa pirang dibanding si cantik berambut gelap yang sedang berdiri di meja resepsionis. Saat langkahnya semakin dekat dengan wanita itu senyumnya semakin mengembang. Wanita itu benar-benar tipe temannya. Tubuh tidak terlalu tinggi juga tak pendek. Namun berlekuk di beberapa bagian yang pas. Kulitnya putih gading. Wajah oval dengan garis yang halus. Bibirnya tipis dengan warna merah gelap. Hidungnya mungil dan meruncing. Mata sehitam malam yang berkilat-kilat, tampak hidup dan tajam menantang. Serta surainya yang tak kalah hitam, jatuh lurus hingga ke pinggang. Wanita dengan perpaduan hitam dan putih, kekuatan dan kelembutan. Namun yang paling membuat si wanita sempurna untuk
London, Inggris "Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa. Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya. Enggak mungkin. Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi. "Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik bara
Singapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta