Singapura
Nadhima berbaring bersama kedua anaknya di atas tempat tidur. Entah ada apa si kembar ingin ditemani sampai tertidur. Hal yang tak biasa sebab biasanya Apollo dan Artemis, putra dan putri kembarnya itu selalu tidur sendiri.
"Mama," panggil Artemis yang sedang telentang menatap langit-langit gelap kamar yang ditempeli bintang tiruan. Cahaya-cahaya samar dari bintang tersebut membuat kamar anak tak terlalu gelap.
"Kenapa, Sayang?" Nadhima bergeser menghadap putri kecilnya yang baru berumur tujuh tahun. Tangan wanita muda itu terulur sampai menyentuh sang putra yang berbaring di sisi lain anak perempuannya.
Mata bulat Artemis bergeser dari bintang-bintang tiruan ke ibunya. "Bagaimana bayi bisa lahir ke dunia ini?"
"Apa?" Nadhima tidak siap dengan pertanyaan itu. Orang tua mana yang sanggup menjelaskan proses tak senonoh tersebut ke anak tujuh tahun.
"Ck, kenapa kau selalu menanyakan hal yang tidak penting." Apollo berbaring memunggungi saudari kembarnya, membuat tangan Nadhima yang berada di atas perutnya bergeser jatuh.
"Aku kan hanya bertanya," amuk Artemis. "Tidak apa-apa kan, Mama?" tanyanya meminta dukungan.
"Iya." Nadhima tampak kebingungan. Memikirkan jawaban yang aman. "Jadi bayi bisa ada karena... burung bangau---"
"Jadi benar burung bangau yang membawa bayi masuk ke cerobong asap dan memberikannya pada orang tua yang ingin anak?" Mata Artemis berbinar-binar.
Nadhima mengangguk pasrah sembari bersyukur. Dia sendiri tidak yakin apa burung bangau dalam dongeng memasukkan bayi dari cerobong asap. "Benar."
"Tapi rumah kita tidak ada cerobong asapnya? Jadi dari mana burung bangau masuk rumah kita?"
Nadhima menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Ia tak bisa menolak menjawab saat mata sang putri penuh harap menunggu jawabannya.
"Karena tidak ada cerobong asap, burung membawanya ke depan pintu dan mengetuk pintu dengan paruhnya."
"Oh... Apa kami juga dibawa burung bangau?"
Nadhima merasa hatinya teremas. "Iya."
"Kalau begitu dari mana burung bangau mendapat bayi?"
Nadhima tergoda untuk menepok jidat lalu meninggalkan anak-anaknya. Namun... "Jadi... hmm... Burung bangau terbang ke surga dan membawa bayi turun ke bumi."
Saat dewasa nanti anak-anak ini pasti mengerti mengapa Nadhima menjawab seperti ini. "Kalian berdua turun dari surga untuk menjadi anak mama." Nadhima tersenyum yang dibalas Artemis dengan tak kalah lebarnya.
"Bohong." Suara tersebut berasal dari Apollo yang sejak tadi terdiam. Dia berbalik dan tidur telentang kembali, kemudian melirik sang ibu. "Mama kira kami anak kecil. Burung bangau pembawa bayi itu tidak ada. Mana mungkin ada burung yang mengerti membawa bayi dengan paruhnya dan menaruhnya di rumah yang tepat. Lagi pula burung bangau itu sebesar apa sampai kuat membawa bayi yang setidaknya berbobot tiga kilogram. Hal itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa kau tertipu kisah klise begitu, Artemis." Apollo menatap saudarinya sambil menggeleng. "Mama pasti mengira karena kami masih kecil pasti belum paham tentang cinta."
Nadhima hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar kata cinta dari anak tujuh tahun.
"Apa maksud kamu, Apollo?" Kedua anaknya memang bukan anak biasa. Apollo mendapat skor 180 pada tes IQ dan memiliki kecerdasan emosi yang baik juga untuk anak seusianya. Meski terbilang sangat muda Apollo sudah mulai mempelajari buku-buku untuk anak sekolah menengah. Nadhima tak merasa heran saat melihat Jenseits von Gut und Böse milik Friedrich Nietzsche berada di meja belajar putranya.
Meski tak sepintar Apollo, Artemis diberkati bakat melukis yang luar biasa. Di umur empat tahun Nadhima sudah memasukkan Artemis ke akademi seni rupa. Kemampuannya berkembang sangat cepat. Di umurnya yang sekarang bukan hal yang sulit bagi Artemis untuk menggambar sebuah sketsa wajah manusia dengan sangat mirip. Ia pun telah mahir melukis di kanvas dengan cat minyak dan akrilik. Malah baru-baru ini lukisan Artemis ditawari untuk dipajang di pameran milik Mrs. Leong.
"Mama tak berpikir aku tidak tahu, kan?"
Mata Nadhima memelotot. Kini dia terduduk di tempat tidur. "Kau tak seharusnya membaca buku seperti itu di umurmu sekarang, Nak. Meski rasa penasaranmu sangat besar, hindari buku seperti itu untuk sekarang."
Anak kembarnya ikut duduk di atas tempat tidur.
"Aku tak membacanya, Miss Harisson yang memberi tahuku."
Nadhima semakin terperangah. Bagaimana bisa perawan tua yang kolot tersebut menceritakan hal tak senonoh pada anak kecil. Meski reproduksi termasuk ilmu yang penting, Nadhima tak setuju anaknya tahu secepat ini.
"Katanya pasangan yang saling mencintailah yang bisa memiliki bayi." Wajah Nadhima memerah. Ia ingin menghentikan kalimat anak laki-lakinya, tapi Apollo terlanjur melanjutkan. "Pasangan tidur---"
"Astaga, Apollo! Bagaimana bisa kau berkata begitu di depan adikmu! Kau tidak boleh mengatakannya. Pokoknya lupakan apa yang dikatakan Miss Harisson. Dia hanya bercanda."
Apollo kebingungan. Dia sangat yakin dirinya benar sebelumnya. "Apa yang salah dengan berpelukan? Aku tak tahu berpelukan adalah kata-kata yang dilarang. Bukankah Mama memeluk kami setiap hari sampai membuat orang jengah."
"Maksudnya?" Nadhima bertanya lebih lanjut. "Apa yang dikatakan Miss Harisson padamu?"
"Katanya tadi tak boleh mengatakan---"
"Katakan anak muda!"
Apollo mendengus sebal. "Anak muda" adalah pertanda kata-kata ibunya tak bisa dibandah lagi. "Miss Harisson berkata bayi lahir karena pasangan sangat mencintai satu sama lain. Mereka berpelukan karena saling menyayangi dan wanita akan hamil. Lalu bayi mereka lahir."
Oh.
"Apa itu salah? Kalau salah dan kata-kata Mama tentang bayi dibawa burung bangau itu benar, lantas kenapa wanita hamil? Apa isi perut mereka kalau bukan bayi?"
"Ah iya, benar. Wanita kan bisa hamil." Artemis sepertinya baru menyadari perihal wanita yang hamil bayi. "Jadi mana yang benar, Mama?
"Yang dikatakan Apollo tidak salah," jawab Nadhima sambil berdeham.
"Tadi Mama bilang Miss Harisson cuma bercanda dan harus---"
Nadhima menutup mulut anak perempuannya. Nadhima sangat bangga dengan anak-anaknya yang sangat berbakat. Namun ia merasa bisa langsung menua sepuluh tahun setiap pertanyan ajaib mereka muncul.
"Tidak. Mama salah. Miss Harisson benar." Satu hal yang selalu diajarkan Nadhima pada anak-anaknya sejak dulu adalah jangan pernah malu mengaku salah. Dia pun selalu memberi contoh dengan mengakui kesalahannya sendiri. Lagi pula tidak ada salahnya membuat mereka mempercayai hal ini sekarang.
"Tapi---" Mulut Apollo juga dibungkam.
"Ini sudah lewat jam tidur kalian." Nadhima membaringkan anak-anaknya. "Kalian harus tidur sekarang. Jangan membuat alasan untuk terlambat bangun besok pagi." Ia menyelimuti dan memeluk anak kembarnya, lalu mulai menepuk-nepuk keduanya agar tertidur.
Nadhima tak pernah mengerti jalan takdir. Saat mengingat hari itu, yang terlintas hanya kenangan buruk. Namun sebab semua kemalangan dan kesalahan yang ia alami, kedua buah hati yang sedang tertidur di pelukannya ini bisa hadir dalam hidupnya.
Haruskah Nadhima bersyukur untuk hari itu...
***
Gak pernah nyangka bakal nulis cerita dengan tema ini. 😄
Happy reading, guys.
Sincerely,
Dark Peppermint
Jakarta, Indonesia 7 tahun lalu... "Liat matanya, Van! Dia melototin elo tuh." Satu tamparan di pipi membuat kepala Nadhima terlontar ke samping. "Masih berani elo natap gue, pel*c*r!" Gadis itu, Vanilla berdiri sambil bersedekap. Di depannya Nadhima duduk bersimpuh. Rambutnya acak-acakkan, seragamnya kotor dan terkoyak di beberapa bagian. Kaki-kaki dan tangannya lemah, kepalanya menunduk bekas menerima tamparan. "Dia emang sama kayak mamanya," ucap Geya jijik. Disepaknya punggung Nadhima hingga gadis itu tersungkur. Ketiga gadis lain tertawa. "Geya, kaki lo kena najis. Harus lo bersihin tuh," sindir Yami dengan tawa mengikik. Nadhima berusaha duduk kembali. Rambut panjangnya riap ke depan. Samar-samar setitik bulir menetes mencapai dagu. "Lo bener. Sekarang sepatu gue jadi kotor." Geya pun mengelap telapak sepatunya ke punggung Nadhima. Mereka berempat tertawa kembali. "Ya ampun, Nadhima, lo c
Satu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri. Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar. "Nadhima, buka pintunya!" Lagi, ora
"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok." Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh. "Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos. "Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya. Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilemp
London, Inggris Kiram tersenyum melihat seorang wanita yang ia pesan telah tiba. Sepertinya wanita itu mengalami perjalanan yang kurang mulus. Rambut dan pakaiannya basah karena hujan yang turun di luar. Wanita itu jelas bukan untuknya. Kiram lebih memilih wanita Eropa pirang dibanding si cantik berambut gelap yang sedang berdiri di meja resepsionis. Saat langkahnya semakin dekat dengan wanita itu senyumnya semakin mengembang. Wanita itu benar-benar tipe temannya. Tubuh tidak terlalu tinggi juga tak pendek. Namun berlekuk di beberapa bagian yang pas. Kulitnya putih gading. Wajah oval dengan garis yang halus. Bibirnya tipis dengan warna merah gelap. Hidungnya mungil dan meruncing. Mata sehitam malam yang berkilat-kilat, tampak hidup dan tajam menantang. Serta surainya yang tak kalah hitam, jatuh lurus hingga ke pinggang. Wanita dengan perpaduan hitam dan putih, kekuatan dan kelembutan. Namun yang paling membuat si wanita sempurna untuk
London, Inggris "Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa. Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya. Enggak mungkin. Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi. "Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik bara
Singapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal