"Usiaku sudah 19 tahun. Bagaimana bisa aku masuk ke sekolah? Sudah terlalu tua untukku, bukan?" Bisik Gale cemberut. Dia berdiri dengan kesusahan karena beban di tangannya.
Di depannya adalah gerbang besi raksasa saat Gale menyadari suatu hal yang ia lupakan. Caesar turun dari kereta kuda diikuti dirinya dengan bawaan penuh di tangan kanan kirinya. Kusir yang mengendarai kereta memastikan penumpangnya sudah turun dan segera pergi. Dia menarik tali kekangnya dan segera, kuda yang menjadi penariknya berlari cepat, mengeluarkan suara ketukan tak berirama. Kereta kuda itu semakin menjauh dan menghilang di antara pepohonan lebat.
Jika sebelumnya Gale berpikir sekolah sihir, Scootharts akan berada di kota besar, pemikirannya meleset jauh. kenyataannya, Scootharts yang dimaksud berada di tengah hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun. Tidak ada yang lain selain hijau dan hitamnya kegelapan. Akan jauh lebih baik jika berada di pinggiran kota. Setidaknya bukan hanya kesunyian yang melingkupi sekitarnya.
"Tidak masalah. Scootharts tidak memandang umur. Selagi Kau ingin belajar, mereka akan menerimamu. Juga, yang menentukan kelulusanmu adalah kemampuan. Jadi, jika tidak berhasil melaluinya, bersiaplah tinggal di sini selamanya," jawab Caesar ringan. Tidak menyadari kecemasan Gale karena kalimat terakhirnya, dia bergerak ke arah gerbang raksasa.
Dalam pemikiran Gale, selama dia tidak bisa lulus dari Scootharts, dia juga tidak akan bisa kembali ke dunianya. Semakin dia memikirkannya, kulit kepalanya menjadi mati rasa dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.
Gerbang besi raksasa itu terbuka dengan sendirinya. Suara deritan tajam terdengar menyakiti telinga. Begitu terbuka lebar, memperlihatkan bagian dalamnya yang sunyi. Ditambah dengan hiasan air mancur berbentuk makhluk bertelinga panjang dengan mata besar melirik ke arah gerbang, membuat siapa pun merasa diintimidasi. Daripada disebut sekolah, suasananya lebih terasa seperti rumah hantu.
Caesar tampak tidak terpengaruh oleh suasananya, seolah sudah terbiasa. Dia dengan santai melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. Gale yang ditinggalkan, mencoba mengikuti dengan langkah susah payah. Bawaan di kedua tangannya memberatkan dirinya.
Satu langkah Gale melewati gerbang, ia dihentikan oleh suara lengkingan dari atas kepalanya. Tanpa perlu mendongak, si pembuat lengkingan menampakkan dirinya. Itu adalah patung burung elang yang sebelumnya bertengger di atas gerbang.
Elang itu menghalangi langkah Gale, mengamati dengan mata tajamnya. Sayap kakunya bergerak perlahan, tampak akan hancur kapan saja. Warna merah bersinar dari matanya dan menyorot Gale dari atas ke bawah seperti laser.
"Identitas dikonfirmasi," suara datar dan serak mengejutkan Gale datang dari burung elang yang ada di depannya. Kemudian berbalik kembali ke tempat sebelumnya bertengger dan diam tak bergerak, menjadi patung.
Gale menggelengkan kepalanya bingung dan melanjutkan langkahnya, menyusul Caesar yang sudah jauh di depan. Gerbang raksasa di belakangnya tertutup dengan keras, membuatnya sedikit berjingkat kaget. Begitu berhasil menyusul, Gale membuka mulutnya, bertanya, "apakah ini benar-benar Scootharts? Mengapa sangat sepi?"
Caesar bersenandung tanpa arti. Jelas tidak berniat untuk memuaskan rasa penasaran pria di belakangnya. Dua pasang tungkai panjang itu masih bergerak melewati jalan berlumut. Di kanan kiri adalah bangunan rusak yang memberikan kesan 'kerusakan setelah pertempuran'.
Mereka terus bergerak mencapai bangunan yang memiliki gaya mirip dengan lainnya. Itu akan menjadi bangunan besar dan mewah jika saja tidak hancur di sana sini. Memasuki bagian dalamnya, perasaan akrab menyelimuti tubuh Gale. Perasaan yang sama ketika ia dibawa ke dunia ini.
Matannya membelalak penuh ketidakpercayaan. Begitu dia berada di dalam, pemandangan di sekitar berubah. Yang tadinya ia kira akan penuh dengan pecahan batuan, sekarang adalah tanah luas beralaskan ubin putih gading. Air mancur dengan patung seorang wanita cantik memegang kendi berada di tengah-tengahnya. Serta makhluk-makhluk berbeda jenis darinya berkeliaran, menunjukkan lingkungan kehidupan yang sebenarnya.
Mulut Gale terbuka lebar. Di atasnya dua sosok makhluk terbang. Yang dikejar bergerak dengan kecepatan penuh hingga meninggalkan embusan angin, sedangkan yang mengejar berteriak, "berhenti di sana". Setelah itu kilatan biru seperti petir muncul, mengejar sosok paling depan yang menjerit ketakutan.
Kedua makhluk itu terbang mengeliling sebuah kastel besar di ujung. Kastel yang sangat mewah, tampak seperti milik kerajaan dan bukan bangunan sekolah. Kristal-kristal halus menghiasi dindingnya dengan penuh warna. Atapnya membentuk kerucut dengan simbol hexagram pada ujung kerucutnya. Gale terus menatap dengan mulut terbuka lebar. Mereka bergerak melewati jembatan putih bersih yang menghubungkan ke pintu masuk kastel.
"Selamat datang."
Suara halus yang menghantarkan kelembutan datang dari arah depan. Gale menarik pandangannya dan mendapati seorang wanita berambut biru tersenyum ke arahnya.
"Kejayaan selalu bagi Federlin." Caesar yang tidak pernah terlihat begitu sopan, memberikan salam yang terdengar asing di telinga Gale. Dia melepaskan topinya dan meletakkan di dadanya. tubuh tegapnya sedikit membungkuk. Rambut merah terangnya berkibar tertiup angin sebelum kembali tertutupi dengan topi cowboy hitam.
"Kejayaan selalu bagi Federlin," balas wanita berambut biru itu dengan salam dan gerakan yang sama. Dia kemudian menegakkan tubuhnya dan berbincang singkat dengan Caesar, "Akhirnya Kau kembali ke sini, Caesar. Kau semakin tampan setelah bepergian." Wanita itu mengedipkan matanya genit pada Caesar, yang melotot jijik, sebelum beralih pada Gale.
"Oh, Kau pasti Ervent yang dimaksud Yang Mulia Lui." Anggukan samar diberikan Gale. Ini pertama kalinya dia mendengar sebutan yang mulia yang ditujukan pada Lui.
"Perkenalkan, aku Charlie Fradleniz. Kepala sekolah Scootharts." Dia memberi seringai kecil sebelum melanjutkan, "aku biasanya tidak akan repot-repot menyambut para murid baru. Tapi karena kau spesial, aku datang secara khusus untukmu."
Gale berpura-pura tidak mendengar kalimat terakhirnya yang memiliki makna tersendiri. Diam-diam ia bergerak sedikit menjauh, namun tetap mengikuti di belakang Charlie, yang memberi isyarat untuk mengikuti.
Mereka bertiga baru memasuki kastel saat suara lain memanggil salah seorang di antara mereka, "Hei, Caesar."
Sang pemilik nama serta dua lainnya menoleh, menanggapi panggilan. Pria berwajah lembut yang memanggil Caesar melambaikan tangannya, meminta Caesar untuk datang. Pria itu sedikit tersenyum dan mengangguk pada Gale saat pandangan mereka bertemu.
"Kau pergi dulu. Aku akan segera menyusul," Caesar berkata pada Gale sebelum beralih pada wanita berambut biru dengan delikan tajam, "Jangan lakukan sesuatu yang aneh."
Charlie tidak membalas kata-katanya dan hanya memberikan "hoho" mencurigakan. Caesar berpura-pura tidak mendengar dan berlalu menghampiri pria berwajah lembut yang memanggilnya.
"Sekarang hanya ada kita berdua. Ayo kita lanjutkan." Saat Gale mengamati kepergian Caesar dengan raut enggan, Charlie berseru gembira. Tanpa peringatan Charlie meraih tangan pemuda di sebelahnya dan menariknya. Gale sedikit tersentak dan mencoba menarik tangannya kembali namun tidak berhasil. Tangan yang mencengkeramnya erat terlihat ramping. Sayangnya tenaga yang diberikan melebihi ekspetasi Gale. Jika dia terus memberontak, bisa dipastikan tulangnya akan patah. Jadi, pilihan terakhir yang diambil Gale adalah mengikuti wanita berambut biru ini dengan pasrah.
Gale duduk termenung dengan pandangan kosong, mengamati wanita berambut biru yang berjalan mondar-mandir sembari membawa setelan berwarna hijau tua. Dia terkadang mengangkat setelan itu saat menatap Gale, seolah membandingkannya dengan tubuh Gale. Kemudian wanita itu mendesah kecewa, menggeleng dan bergumam, ''tidak cocok.''Kaki yang tidak pernah merasa lelah itu melangkah menuju lemari tua berwarna cokelat dan membukanya. Ajaibnya, lemari yang hanya berukuran sedang itu memiliki ruang luas dan berbagai setelan mewah memenuhinya. Kali ini, Charlie mengambil setelan berwarna biru muda dan mencocokannya dengan penampilan Gale. Matanya berbinar, dengan gembira ia bersenandung.''Bagus, ini cocok untukmu!''Tanpa kata-kata, Charlie menarik Gale, yang sedang memegang cangkir, untuk berdiri dan memaksanya mengganti pakaian. ''Ayo, ayo! Jangan menunda waktuku lebih lama,'' desaknya tak sabar. Gale yang tidak punya pilihan, hanya bisa menuruti. Begitu setelan biru muda
''Kamar asrama? Belum disiapkan,'' kata seorang pria bertelinga panjang. Tangannya membalik-balik buku tebal yang berisi daftar siswa asrama. ''Eh? Tapi sebelumnya kepala sekolah Fradleniz sudah mengaturnya untukku,'' jawab Gale dengan bingung. Caesar berjalan mendekat, mengambil alih buku tebal dari pria bertelinga panjang itu. Dia membalik-balikannya sebentar sebelum mengembalikannya. ''Siapa yang berjaga di sini sebelumnya?'' ''Itu Ellyn. Dia menjaga di sini sebelumnya, lalu bertukar denganku setelah mendapatkan panggilan.'' Pria bertelinga panjang itu melanjutkan, ''Mungkin dia lupa menambahkanmu ke daftar.'' Pria itu mendongak dan menatap Gale. Kedua orang itu kemudian pergi setelah Caesar memberi pesan untuk menyiapkan satu kamar. Pria bertelinga panjang itu menggaruk kepalanya bingung sembari menatap buku tebal di tangannya, ''sangat aneh. Biasanya Ellyn tidak pernah lupa.'' ''Apakah Kau juga tinggal di sini?'' tanya Gale penasaran. Dia
Bukan tanpa alasan Gale membanting pintu di depannya. Hanya saja kondisi di balik pintu membuatnya terkejut setengah mati. Dibandingkan dengan ruangan kelas, keadaannya lebih mirip dengan pasar yang dipenuhi sekumpulan preman. Meja-mejanya tersebar tak beraturan dan 'sekumpulan preman' itu duduk di tengah-tengah ruangan sambil memainkan sesuatu.''Apa yang Kau lakukan di sini? Cepat masuk!'' Sentakan keras di bahunya membuat Gale terdorong ke depan. Gale menoleh patah-patah dan menemukan pria kurus tinggi berkacamata perak menatapnya tajam. Pakaiannya lusuh dan wajahnya tak terawat, dipenuhi jambang tipis di sekitar dagunya. Hanya dengan sekali pandang, kelesuan dan kemalasannya dapat dirasakan.Pria itu membuka pintu di depannya setelah mendorong Gale ke samping. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang peduli dengan suara engsel pintu yang berderit. Begitu pria tinggi itu memukul meja dengan keras, perhatian 'para preman' di sana teralihkan. ''Rapikan!'' tanpa salam s
'Boom!'Bunyi ledakan ringan terdengar diikuti asap hitam yang mengepul. Gale terbatuk dan tangannya bergerak mengibaskan asap hitam yang menyesakkan pernapasannya.''Sial, gagal lagi!'' keluh seseorang di samping Gale. Wanita itu mengusak rambut pendeknya, yang malah membuatnya makin berantakan. Matanya bergerak, melirik Gale yang masih menutupi mulut serta hidungnya. ''Ah, maaf, maaf,'' sesal wanita itu dengan raut tak bersalah, atau lebih tepatnya acuh tak acuh sambil menyingkirkan tungku di hadapannya.Gale tidak tertarik untuk mempersalahkannya dan kembali fokus pada racikannya. Berbeda dari sebagian besar murid yang hampir meledakkan tungku mereka, Gale bisa dibilang melakukan dengan baik meskipun ini kali pertama ia mencoba. Tangannya mengusap keringat tipis di dahinya. Memasukkan ramuan ungu setelah memastikannya sesuai dengan buku panduan di meja. Cairan dalam tungku berubah menjadi hijau terang, menandakan jika ramuannya berhasil.''Wah
''Masih ada waktu dua jam. Lanjutkan!'' Begitu kata 'lanjutkan' jatuh, keadaan kembali sunyi. Masing-masing kembali fokus pada tungku di hadapan mereka. Suasananya terlalu serius, bahkan hembusan napas pun tak terdengar. Hanya suara 'blup blup' dari cairan yang dipanaskan di atas api, membuktikan jika lingkungan sekitar hidup.Meskipun Gale sudah menyelesaikan bagiannya, namun keseriusan di sekitarnya membuat dirinya terhanyut. Tangannya gatal ingin bereksperiman dan menciptakan sesuatu yang lain. Beberapa kali membalik-balik buku panduan tebal, Akhirnya Gale menyerah pada keinginannya. Mengambil beberapa helai daun ungu, menghaluskannya menjadi serbuk kasar dan memasukannya ke dalam tungku. Dia mengaduk beberapa putaran hingga serbuk kasar daun larut dalam cairan panas.Bunyi 'blup' serta gelembung-gelembung panas naik ke permukaan. Aroma menyebar seiring dengan uap yang dihasilkan. Sayangnya, dibandingkan aroma manis sebelumnya, aroma yang dihasilka
''Ternyata Kau hebat juga dalam menargetkan,'' puji Sydney setelah kembali bertemu. Matanya memancarkan kilau kekaguman. Gale tertawa kaku. Sangat berlebihan baginya dipuji seperti ini.''Omong-omong, karena tadi Kau sudah membantuku, aku juga akan membantumu,'' ucap Sydney penuh kegirangan. Dia merebut kertas kaku dari tangan Gale sebelum bisa dihentikan. ''Kau belum menumukan satu bahan pun?!'' Sydney membelalakkan matanya.Biasanya, saat bahan yang tertera di daftar ditemukan, bahan itu akan dicoret secara otomatis, menandakan jika bahan sudah ada di tangan pencari. Namun, di kertas Gale tidak ada satupun bahan yang dicoret, yang artinya Gale masih tidak memiliki bahan apapun di tangannya.Bahkan seorang anak kecil pasti akan menemukan setidaknya satu! Sydney menoleh ke arah Gale, seolah meminta penjelasan. Gale menundukkan kepalanya karena malu. Jelas saja, dia sudah berkeliling hampir satu jam, namun tidak berhasil mendapatkan hasil. Oh, sa
Sebelum tubuh Gale tercabik-cabik ranting-ranting runcing, jam liontin yang terpasang di setelannya bergetar. Pemikiran jika akan mati di detik berikutnya sudah membayangi. Namun, beberapa saat berlalu, tidak ada rasa sakit karena benda tajam yang menembus kulitnya. Sebaliknya, dia merasakan tubuhnya terbaring di atas permukaan datar dan keras. Perlahan Gale membuka matanya.Yang tadinya ia pikir akan dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menutupi sinar matahari dengan kondisi tubuh berlumuran darah, salah besar. Meskipun ia memang dikelilingi, namun objeknya berbeda, bukan benda mati tapi benda hidup. Para 'benda hidup' itu menjulang tinggi dengan pandangan menusuk yang tertuju ke arahnya, seolah berkata, ''dia sudah gila.''''Persiapkan diri kalian masing-masing!'' Untungnya, Huan segera menyingkirkan kerumunan itu. Dia mendatangi Gale yang sudah terduduk dan berkata, ''Cepat bangun! Kita tidak sedang berada di jam tidur.'' Dia memandang Gale seki
Pelayanan asrama Scootharts benar-benar melampaui ekspetasi Gale. Bukan hanya dia mendapatkan kamar yang baik, tapi juga makanan lezat yang disediakan setiap pagi, siang, dan malam. Tidak aneh jika Gale merasa nyaman dan ingin menetap di sini selamanya walaupun baru saja tinggal selama satu hari. Dia tidak perlu lagi bersusah payah untuk mendapatkan uang, atau berhadapan dengan para preman yang selalu merampas uang hasil kerja kerasnya.Namun, tentu saja pelayanan terbaik pasti ada harganya. Contohnya, pada pagi hari, saat matahari belum menampakkan wujudnya, Gale sudah dibangunkan oleh alarm yang hampir menulikan telinga untuk mengikuti ritual aneh. Semua murid diharuskan berkumpul di aula dan membentuk lingkaran besar di antara patung sang Dewi.Apa yang dilakukan? Jawabannya tentu saja berdoa.Akan bagus jika ritual berdoa itu hanya dilakukan selama beberapa menit. Sayangnya, ritual ini dilakukan selama dua setengah jam. Entah apa yang mereka doakan, Gale tid