Danau Kenanga adalah danau cinta menurut Adam. Jika orang lain melihat ketenangan dan air yang bening di danau Kenanga, Adam melihat kecantikan dari kekasihnya di permukaan air di Danau Cinta.
Orang yang sakit dan hanya bangun karena cinta.
Lagi-lagi, Syarif tak mengerti apa sebenarnya yang membuat Adam bisa mencintai begitu dalam. Sejak Adam mengenal kekasihnya, Naura. Tidak ada yang salah dengan cinta mereka, Adam sejak dulu mencintai Naura dengan cinta apa adanya.
Sayang, kehidupan itu tidak akan bisa diteruskan tanpa harta. Itu adalah kenyataan. Cinta Adam harus kandas dan Naura menikah dengan lelaki lain yang mungkin saja dijodohkan oleh orangtuanya. Naura pun tak berani menolak, saat hari perpisahan itu. Syarif menjadi saksi.
Hari dimana Adam kehilangan kehidupannya dan dimulainya Adam yang hidup namun tak lagi memiliki keinginan seperti manusia umumnya. Dia seperti mayat hidup yang berjalan setiap ahad, sisa hari lainnya. Tidur di kamar dan menjalani masa pesakitannya. Hari itu adalah ...
Hari Ahad.
***
Hari Ahad. Seperti biasa, Adam tak sabar menunggu hari ini. Hari dimana dia selalu bertemu pujaan hatinya, Naura. Seperti matahari yang tak sabar menunggu terbit, seperti bulan yang tak sabar menunggu malam, atau seperti kelelawar yang tak sabar petang menyapa. Kebahagiaan Adam membuncah setiap hari Ahad, karena wajah pualam nan cantik Naura akan kembali bisa ditatapnya.
Adam memakai baju terbaiknya, mengendarai sepeda jengki tua peninggalan almarhum Ayahnya. Adam Zulqarnain namanya, umurnya kini sudah 23 tahun. Sepanjang perjalanan, tak peduli jalanan terjal, Adam akan selalu tersenyum. Naura menunggunya, persis di danau Kenanga, tempat pertama kali mereka bertemu dan tempat mereka saling bicara setiap Ahad datang.
Mereka saling jatuh cinta, cinta tak tertahan, cinta sampai tak ada kenangan, karena mereka berjanji untuk bersama menggapai kebahagiaan.
Duh, indahnya.
Danau Kenanga sudah nampak disana, Adam melihat sosok wanita memakai jilbab krem duduk di kursi bambu di bawah pohon jambu, Adamlah yang menanam pohon jambu merah dan juga membuatkan kursi disana. Agar Naura betah, agar Adam bisa berlama menatap wajah pualam Naura ditimpa cahaya mentari yang menelisik dari balik daun-daun jambu.
Tak ada kebahagiaan tertinggi bagi Adam, kecuali senyum indah Naura, senyum yang apabila dilihat Adam maka seolah dunia dan seisinya ini tunduk kepadanya.
Adam terus tersenyum, bahagia hatinya membuncah. Disandarkannya sepeda jengkinya di bawah pohon jati, 10 meter dari pohon jambu di dekat danau tempat Naura sedang menatap air disana.
Silau air nampak bergoyang memantul dari sinar matahari, Adam berjalan perlahan mendekati Naura.
”Assalamu’alaikum Naura,” Adam memberi salam dengan kelembutan dari balik pohon jambu. Naura begitu indah wajahnya terlihat dari samping, Adam terpukau sekali lagi, wajah pualam yang begitu indah, lebih terang dari mentari, lebih lembut dari permukaan air di danau.
”Wa’alaikumsalam Adam, duduklah,” suara lembut Naura benar-benar membut hati Adam bergetar hebat. Seolah, jantungnya hendak loncat, sekujur tubuhnya benar-benar merasakan perasaan yang tak bisa digambarkan oleh pelukis sekalipun. Setiap hari, Adam hanya ingin hari Ahad, dimana dia bisa mendengar suara Naura atau melihat wajahnya yang membuatnya tergila-gila.
Adam melangkah pelan dan duduk di ujung kursi panjang bambu itu, berjarak dua meter dari Naura. Keduanya memandang air jernih danau Kenanga, setiap Ahad, itulah yang dilakukan kedua sejoli tersebut.
”Kau sudah makan Adam?” Naura masih lurus menatap air danau, tak memandang Adam yang memakai peci hitamnya yang sudah nampak kusam keputih-putihan. Peci itu sudah usang tentunya.
”Tak penting makan atau tidak bagiku Naura..., Asalkan, bisa melihat senyummu yang indah dan wajahnya yang suci, itu sudah cukup bagiku,” Adam kembali menatap sekilas Naura, desiran halus menyelubungi hatinya.
”Kau selalu begitu Adam..., Kau harus menjaga kesehatanmu,” Naura mendesah seolah ada beban pikiran yang sedang ditanggungnya. Naura amat mencintai Adam, mereka menautkan hati mereka dan bertemu setiap Ahad. Tak melakukan apapun, hanya berbincang dan menatap indahnya danau yang jernih dan ditimpali sinar mentari dari ufuk timur. Melepas kerinduan.
Keheningan tercipta, satu detik, satu menit, bahkan 30 menit. Tak ada suara kecuali suara binatang dan kecipak air yang tercipta karena Adam melemparnya dengan batu yang diambil di bawah kursi bambu yang didudukinya.
”Adam...,” Naura menatap wajah Adam dari samping, wajah itu tampan namun seperti pemuda desa umumnya, kecoklatan karena sehari-hari bekerja. Peci hitam selalu dipakai pemuda itu.
”Naura mau bilang rindu kan?” Adam kembali mengambil satu biji batu dan melemparkannya ke permukaan danau, tercipta lingkaran air yang berirama karena memantul dan batu itu jatuh ke pantulan keempat. Indah.
Adam masih terus tersenyum menatap danau, meski tak melihat wajah Naura dia merasa sudah berada di surga karena berdekatan dengan kekasih hatinya, Adam hanya berharap bahwa selama-lamanya dia akan selalu bersama Naura.
Hanya bersamanya saja, dia akan bahagia, itulah keyakinannya.
Naura kembali menatap wajah Adam yang terus saja tersenyum, sepertinya dia mulai resah, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Naura ragu hendak berujar, namun dia segera memberanikan diri dan mengepalkan tangannya untuk menguatkannya berbicara pada Adam.
”Adam..., Mulai Ahad depan tak usah kau tunggu Naura lagi. Adam...” suara Naura tercekat dan ada tetesan airmata yang tak bisa ditahannya lagi.
Adam terkaget, seperti tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar, ”A... Apa yang kau katakan Naura? Aku... Aku tidak mengerti?”
Tetes airmata kembali menyusul dari mata Naura, Naura berusaha mengusapnya dan terus berusaha tegar, dia ingin masalahnya cepat selesai dan harus tegar.
”Adam...” suara Naura bergetar.
Adam kini menatap Naura yang tertunduk, jilbab kain di sekitar dagu Naura basah oleh airmata.
”Adam pemuda yang shaleh, banyak wanita yang akan menemani Adam nantinya....” Airmata Naura semakin tak bisa dibendung.
Adam berdiri, kedua kakinya bergetar hebat, dia benar-benar tak percaya. Naura mengatakan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sama sekali di pikirannya, ada apa dengan hari ini, ada apa dengan Ahad ini?
”Tidak Naura, tidak... tidak..., jangan berkata apa-apapun lagi Naura, jangan bergurau di hari Ahad Naura, hari agung bagi kita. Tidak Naura... jangan menangis Naura,” Adam menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali, kedua tangannya hendak terhulur kearah Naura, kedua tangannya gemetaran.
”Tidak Adam. Dengarkan Aku... jangan pernah menunggu lagi di hari Ahad. Ini yang terakhir, lupakan Naura,” wajah Naura masih menunduk.
Adam mundur dua langkah, kakinya yang gemetaran membuatnya tak bisa menahan tubuhnya, seperti ada suara petir di siang bolong. Adam jatuh ke belakang di rerumputan hijau di pinggir Danau Kenanga.
”Tidak Naura....”
Halilintar seperti bersusulan di siang hari itu dalam pikiran Adam. Dia tak mengira sama sekali jika wanita yang selalu dipuja dan dicintai sepenuh jiwanya mengatakan sesuatu yang membuat dirinya seolah lemas dan tak lagi memiliki energi untuk hidup.Bagaimana Adam bisa hidup tanpa Nuara, itu seperti siang tak bisa hidup tanpa matahari. Adam bahkan tidak mau lagi mendengar lelucon dari Naura karena menurutnya itu tidak lucu sama sekali dan menghancurkan seluruh hidupnya. Lebih baik mati daripada mendengar semua itu dari mulut wanita yang selalu dipujanya.Adam menutup kedua telinganya, “Aku tidak mau dengar Naura…, jangan katakan itu lagi Naura... hidupku adalah untukmu Naura, cintaku hanyalah milikmu Naura, kebahagiaanku adalah dirimu Naura,” Adam masih terjatuh, tangannya mengarah ke Naura. Naura masih mengusap airmatanya.Sepertinya, Naura amat berat untuk meneruskan kata-katanya. Dia terlihat terpaksa melakukan hal itu, namun Naura berusaha tegar dan membuat Adam sadar bahwa merek
Tidak ada seorang Ibu yang bisa menahan tangisnya, jika melihat puteranya menderita. Halimah, ibu dari Adam bahkan berusaha tegar untuk menjaga puteranya tersebut.Halimah hanya akan menangis ketika malam menyapa dan meminta kepada Allah agar segera menyembuhkan dan menyadarkan anaknya kembali seperti dahulu. Selalu ceria dan bahkan menghibur hati Halimah.Halimah bahkan tidak berani marah pada putera satu-satunya itu, Halimah ingin melihat sendiri kalau puteranya itu bisa bangkit sendiri dengan kemauannya. Kesedihan Halimah selain dia hanya sendiri mengurusi Adam dan sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, Adam kini mengalami nasib buruk karena Adam ditinggalkan kekasihnya, Naura.Halimah sedikit terobati rasa sedihnya, Syarif yang merupakan sahabat baik Adam sejak kecil dan sudah dianggapnya sebagai anak juga. Syarif selalu datang dan menjenguk Adam dan selalu menyemangatinya agar segera sembuh. Meskipun belum ada respon dari Adam, tapi Halimah yakin bahwa tidak akan lama lagi Adam
Nasib cinta Adam benar-benar tragis. Naura yang meninggalkannya sudah beberapa waktu yang lalu tak pernah ada kabar darinya. Syarif yang mengerti soal Adam tak bisa memahami bahwa seorang wanita tega meninggalkan kekasihnya hanya karena uang atau hal lainnya.Kenyataan memang bukan seperti bayangan indah dari harapan. Kenyataan kadang pahit dan manis, namun kenyataan yang sering menimpa manusia adalah kenyataan pahit. Hal itu karena manusia harus paham bahwa dunia tempat tinggalnya tidak pernah abadi, sehingga mereka akan menjalani hidup dengan kenyataan yang harus mereka terima. Mereka harus kuat.Sejak hari berpisahnya cinta Adam dan Naura, Syarif selalu mendampingi Adam saat Ahad. Setiap hari Ahad datang, Syarif akan menemani Adam ke danau Kenanga. Sambil menunggui sosok Adam yang kini menyedihkan, Syarif selalu mencoba untuk menasehat Adam dan memintanya segera bangkit. Entah itu apakah didengar oleh Adam ataukah tidak.Syarif tak peduli.Rasa sakit yang diderita Adam dari hari S
Adam masih saja sibuk dengan khayalan cintanya, dia masih saja tak berdaya di tempat tidurnya. Dunia berjalan seperti biasanya, meninggalkan Adam yang pesakitan dan terbuai dengan cintanya yang semu. Semu karena tak akan pernah bertemu, semu karena sudah dipisahkan takdir.Takdir yang tak berpihak, takdir yang memisahkan harapan, dan takdir yang menghancurkan segala asa.Adam yang sakit, namun ibunya Halimah lebih sakit dari siapapun. Dia yang telah mengandung Adam di perutnya, dia paham betul bagaimana Adam saat ini tengah berjuang melawan ketidakberdayaannya. Hanya saja, butuh waktu. Adam butuh penguatan dan juga butuh waktu yang tepat untuk bangun dari ketidakberdayaannya.Di saat dia tengah mencoba untuk berdamai dengan jiwanya, Ibunya dan orang terdekatnya harus bersabar dan menunggunya dengan cinta. Benar, hanya cinta yang dapat menyembuhkan segala rasa, segala sakit yang menjelma. Untuk itulah, Halimah menahan setiap airmatanya untuk teus mengalirkan doa untuk agar Adam bisa se
Sesuatu yang terkadang tidak dipikirkan dan ingin dilupakan, namun terkadang selalu keluar begitu saja tanpa memikirkannya. Keinginan pak Karta untuk sembuh dan juga rasa ragu akan airmata yang mampu menyembuhkannya, sesuatu yang masih saja selalu muncul dalam pikiran pak Karta.Pak Karta tak peduli dan terus berusaha melupakan mimpi anehnya bertemu lelaki tua dan penyembuhan airmata Adam. Meski masih saja kadang terlintas pikiran aneh itu, namun kini Dia menganggap itu hanya bunga tidur semata, mungkin seperti khayalannya semata karena ingin sembuh.Kejadian hal selanjutnya membuatnya semakin ragu kembali. Iya benar! Mimpinya tentang lelaki tua dan memberitahunya jika ingin sembuh maka pak Karta bisa mengambil airmata Adam dan mengusapnya pada kaki yang lumpuh. Mimpi itu datang lagi, meskipun pak Karta sudah berdoa pada Tuhan untuk memberikannya mimpi yang lain saja.Mimpi kali ini serasa nyata bagi pak Karta. Lelaki tua itu bahkan seolah memaksa pak Karta untuk mendatangi Adam dan m
Kehidupan malam di desa itu seperti biasa. Suara hewan dan binatang malam masih sering terdengar dan membuat syahdu manusia yang tinggal di desa. Mereka yang pergi ke kota untuk merantau bahkan hanya sekedar merindukan suasana malam di desa.Indah dan tenang, ditimpali suara hewan malam yang syahdu indah.Malam itu menyapa, semua binatang malam memulai aktivitasnya mencari makan. Pagi pun datang. Matahari cerah menyembul dari ufuk timur, di keluarga pak Karta terjadi kehebohan. Pak Karta berjalan seperti biasa tanpa sadar dari bangun tidur.Semula, saat bangun dari tidurnya. Pak Karta mencoba mencari kayu penyangga yang biasa dia gunakan untuk membantu berjalan. Pak Karta mendapatkan tongkat kayunya, dan saat mulai berjalan dia merasakan sesuatu yang aneh pada kakinya. Tidak ada yang sakit, seperti tidak ada beban.Karta kemudian mencoba mengingat apa yang terjadi. Dan, dia teringat tentang airmata Adam. Benar! Semalam pak Karta sudah datang ke rumah Adam dan memint airmata pemuda itu
Dua tahun pun berlalu begitu saja.Orang-orang datang ketika senin hingga sabtu, karena ketika Ahad datang, Adam bangun dari pembaringannya dan pergi ke Danau Kenanga. Adam seharian akan memandangi jernihnya air danau di kursi bambu di bawah pohon jambu. Senyumnya mengembang, tak peduli ada apapun yang terjadi di dunia, dia menikmati pemandangan dan menatap wajah Naura dalam khayalannya.Syarif pun disana, berdiri bersandarkan pohon jambu yang sudah besar itu.Dua tahun berlalu sejak nama Adam terkenal dengan penyembuhan airmatanya. Syarif adalah teman setia, dia selalu menemani Adam apapun yang terjadi. Bahkan, dia membantu mengatur tamu yang datang ke rumah sahabatnya itu. Syarif hanya tak habis pikir, seberapa besar cinta Adam kepada Naura.Bahkan, ditinggalkan dan dikhianati, dia tetap saja mencintai wanita bernama Naura.Satu hal yang selalu didengar Syarif dari Adam. Mulutnya selalu mengucapkan tentang, agar Naura baik-baik saja.”Naura ..., Naura ..., apa kamu baik-baik saja di
Malam itu, keluarga Hamid makan bersaama. Diandra dan Ibunya sedang makan malam di meja makan. Perlahan, Diandra sudah terbiasa makan sendiri dengan sendoknya. Diandra hanya diambilkan makanan di piringnya oleh Ibunya, atau oleh asistennya kemudian dia akan memakannya sendiri dengan perlahan.Dia sudah terbiasa melakukannya, sehingga tidak merasa kesulitan apapun saat memilih makanan yang akan masuk ke mulutnya. Pertama, dia menanyakan lauk makanannya, lalu meraba letaknya dan kemudian menggunakan sendoknya.Beberapa menit berlalu, seseorang datang dengan langkahnya yang tegap. Diandra tersenyum, itu adalah suara langkah kaki Ayahnya, Abdul Hamid. Hamid pun tersenyum dan melihat senyuman puterinya itu, dia mendekati Puterinya dan mengecup rambut hitam terurai puterinya itu.”Ayah sudah makan malam? Ayo makan bersama dengan kami Ayah.”Senyum puterinya itu benar-benar membuat kepenatan di kantor seolah hilang seketika. Hamid memiliki beberapa perusahaan dan semuanya juga sudah terdafta