Share

2. Danau Cinta

Danau Kenanga adalah danau cinta menurut Adam. Jika orang lain melihat ketenangan dan air yang bening di danau Kenanga, Adam melihat kecantikan dari kekasihnya di permukaan air di Danau Cinta.

Orang yang sakit dan hanya bangun karena cinta.

Lagi-lagi, Syarif tak mengerti apa sebenarnya yang membuat Adam bisa mencintai begitu dalam. Sejak Adam mengenal kekasihnya, Naura. Tidak ada yang salah dengan cinta mereka, Adam sejak dulu mencintai Naura dengan cinta apa adanya.

Sayang, kehidupan itu tidak akan bisa diteruskan tanpa harta. Itu adalah kenyataan. Cinta Adam harus kandas dan Naura menikah dengan lelaki lain yang mungkin saja dijodohkan oleh orangtuanya. Naura pun tak berani menolak, saat hari perpisahan itu. Syarif menjadi saksi.

Hari dimana Adam kehilangan kehidupannya dan dimulainya Adam yang hidup namun tak lagi memiliki keinginan seperti manusia umumnya. Dia seperti mayat hidup yang berjalan setiap ahad, sisa hari lainnya. Tidur di kamar dan menjalani masa pesakitannya. Hari itu adalah ...

Hari Ahad.

***

Hari Ahad. Seperti biasa, Adam tak sabar menunggu hari ini. Hari dimana dia selalu bertemu pujaan hatinya, Naura. Seperti matahari yang tak sabar menunggu terbit, seperti bulan yang tak sabar menunggu malam, atau seperti kelelawar yang tak sabar petang menyapa. Kebahagiaan Adam membuncah setiap hari Ahad, karena wajah pualam nan cantik Naura akan kembali bisa ditatapnya.

Adam memakai baju terbaiknya, mengendarai sepeda jengki tua peninggalan almarhum Ayahnya. Adam Zulqarnain namanya, umurnya kini sudah 23 tahun. Sepanjang perjalanan, tak peduli jalanan terjal, Adam akan selalu tersenyum. Naura menunggunya, persis di danau Kenanga, tempat pertama kali mereka bertemu dan tempat mereka saling bicara setiap Ahad datang.

Mereka saling jatuh cinta, cinta tak tertahan, cinta sampai tak ada kenangan, karena mereka berjanji untuk bersama menggapai kebahagiaan.

Duh, indahnya.

Danau Kenanga sudah nampak disana, Adam melihat sosok wanita memakai jilbab krem duduk di kursi bambu di bawah pohon jambu, Adamlah yang menanam pohon jambu merah dan juga membuatkan kursi disana. Agar Naura betah, agar Adam bisa berlama menatap wajah pualam Naura ditimpa cahaya mentari yang menelisik dari balik daun-daun jambu.

Tak ada kebahagiaan tertinggi bagi Adam, kecuali senyum indah Naura, senyum yang apabila dilihat Adam maka seolah dunia dan seisinya ini tunduk kepadanya.

Adam terus tersenyum, bahagia hatinya membuncah. Disandarkannya sepeda jengkinya di bawah pohon jati, 10 meter dari pohon jambu di dekat danau tempat Naura sedang menatap air disana.

Silau air nampak bergoyang memantul dari sinar matahari, Adam berjalan perlahan mendekati Naura.

”Assalamu’alaikum Naura,” Adam memberi salam dengan kelembutan dari balik pohon jambu. Naura begitu indah wajahnya terlihat dari samping, Adam terpukau sekali lagi, wajah pualam yang begitu indah, lebih terang dari mentari, lebih lembut dari permukaan air di danau.

”Wa’alaikumsalam Adam, duduklah,” suara lembut Naura benar-benar membut hati Adam bergetar hebat. Seolah, jantungnya hendak loncat, sekujur tubuhnya benar-benar merasakan perasaan yang tak bisa digambarkan oleh pelukis sekalipun. Setiap hari, Adam hanya ingin hari Ahad, dimana dia bisa mendengar suara Naura atau melihat wajahnya yang membuatnya tergila-gila.

Adam melangkah pelan dan duduk di ujung kursi panjang bambu itu, berjarak dua meter dari Naura. Keduanya memandang air jernih danau Kenanga, setiap Ahad, itulah yang dilakukan kedua sejoli tersebut.

”Kau sudah makan Adam?” Naura masih lurus menatap air danau, tak memandang Adam yang memakai peci hitamnya yang sudah nampak kusam keputih-putihan. Peci itu sudah usang tentunya.

”Tak penting makan atau tidak bagiku Naura..., Asalkan, bisa melihat senyummu yang indah dan wajahnya yang suci, itu sudah cukup bagiku,” Adam kembali menatap sekilas Naura, desiran halus menyelubungi hatinya.

”Kau selalu begitu Adam..., Kau harus menjaga kesehatanmu,” Naura mendesah seolah ada beban pikiran yang sedang ditanggungnya. Naura amat mencintai Adam, mereka menautkan hati mereka dan bertemu setiap Ahad. Tak melakukan apapun, hanya berbincang dan menatap indahnya danau yang jernih dan ditimpali sinar mentari dari ufuk timur. Melepas kerinduan.

Keheningan tercipta, satu detik, satu menit, bahkan 30 menit. Tak ada suara kecuali suara binatang dan kecipak air yang tercipta karena Adam melemparnya dengan batu yang diambil di bawah kursi bambu yang didudukinya.

”Adam...,” Naura menatap wajah Adam dari samping, wajah itu tampan namun seperti pemuda desa umumnya, kecoklatan karena sehari-hari bekerja. Peci hitam selalu dipakai pemuda itu.

”Naura mau bilang rindu kan?” Adam kembali mengambil satu biji batu dan melemparkannya ke permukaan danau, tercipta lingkaran air yang berirama karena memantul dan batu itu jatuh ke pantulan keempat. Indah.

Adam masih terus tersenyum menatap danau, meski tak melihat wajah Naura dia merasa sudah berada di surga karena berdekatan dengan kekasih hatinya, Adam hanya berharap bahwa selama-lamanya dia akan selalu bersama Naura.

Hanya bersamanya saja, dia akan bahagia, itulah keyakinannya.

Naura kembali menatap wajah Adam yang terus saja tersenyum, sepertinya dia mulai resah, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Naura ragu hendak berujar, namun dia segera memberanikan diri dan mengepalkan tangannya untuk menguatkannya berbicara pada Adam.

”Adam..., Mulai Ahad depan tak usah kau tunggu Naura lagi. Adam...” suara Naura tercekat dan ada tetesan airmata yang tak bisa ditahannya lagi.

Adam terkaget, seperti tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar, ”A... Apa yang kau katakan Naura? Aku... Aku tidak mengerti?”

Tetes airmata kembali menyusul dari mata Naura, Naura berusaha mengusapnya dan terus berusaha tegar, dia ingin masalahnya cepat selesai dan harus tegar.

”Adam...” suara Naura bergetar.

Adam kini menatap Naura yang tertunduk, jilbab kain di sekitar dagu Naura basah oleh airmata.

”Adam pemuda yang shaleh, banyak wanita yang akan menemani Adam nantinya....” Airmata Naura semakin tak bisa dibendung.

Adam berdiri, kedua kakinya bergetar hebat, dia benar-benar tak percaya. Naura mengatakan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sama sekali di pikirannya, ada apa dengan hari ini, ada apa dengan Ahad ini?

”Tidak Naura, tidak... tidak..., jangan berkata apa-apapun lagi Naura, jangan bergurau di hari Ahad Naura, hari agung bagi kita. Tidak Naura... jangan menangis Naura,” Adam menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali, kedua tangannya hendak terhulur kearah Naura, kedua tangannya gemetaran.

”Tidak Adam. Dengarkan Aku... jangan pernah menunggu lagi di hari Ahad. Ini yang terakhir, lupakan Naura,” wajah Naura masih menunduk.

Adam mundur dua langkah, kakinya yang gemetaran membuatnya tak bisa menahan tubuhnya, seperti ada suara petir di siang bolong. Adam jatuh ke belakang di rerumputan hijau di pinggir Danau Kenanga.

”Tidak Naura....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status