Halilintar seperti bersusulan di siang hari itu dalam pikiran Adam. Dia tak mengira sama sekali jika wanita yang selalu dipuja dan dicintai sepenuh jiwanya mengatakan sesuatu yang membuat dirinya seolah lemas dan tak lagi memiliki energi untuk hidup.
Bagaimana Adam bisa hidup tanpa Nuara, itu seperti siang tak bisa hidup tanpa matahari. Adam bahkan tidak mau lagi mendengar lelucon dari Naura karena menurutnya itu tidak lucu sama sekali dan menghancurkan seluruh hidupnya. Lebih baik mati daripada mendengar semua itu dari mulut wanita yang selalu dipujanya.
Adam menutup kedua telinganya, “Aku tidak mau dengar Naura…, jangan katakan itu lagi Naura... hidupku adalah untukmu Naura, cintaku hanyalah milikmu Naura, kebahagiaanku adalah dirimu Naura,” Adam masih terjatuh, tangannya mengarah ke Naura. Naura masih mengusap airmatanya.
Sepertinya, Naura amat berat untuk meneruskan kata-katanya. Dia terlihat terpaksa melakukan hal itu, namun Naura berusaha tegar dan membuat Adam sadar bahwa mereka tak ditakdirkan bersama. Naura juga harus kuat bahwa dia harus memutuskan hubungannya dengan Adam hari ini juga.
”Jangan bercanda lagi Naura, ini tidak lucu,” Wajah Adam memelas.
”Cukup Adam!” Naura menguatkan suaranya, ”Lupakan Naura, tak ada lagi Naura dalam hatimu. Kita sudahi hubungan kita Adam,” suara Naura sedikit keras, dia ingin menyadarkan Adam agar tidak berlarut merengek padanya dan membuatnya sulit untuk menyelesaikan masalahnya dengan Adam.
Naura menatap wajah Adam yang masih terjatuh di tanah, matanya terlihat tegar dan berusaha kuat. Adam masih tak percaya, matanya sayu dan memelas.
”Tidak Naura, Selamanya....”
”Cukup Adam! Terima kenyataan. Aku tak mencintaimu lagi Adam,” suara Naura kini terlihat tegas. Adam tak meneruskan kata-katanya, dia benar-benar diam menatap wajah Naura, wajah pualam yang selalu diingatnya setiap akan tidur malam dan selalu mendoakan kebaikan padanya.
”Naura... Aku...,” suara Adam bergetar sangat lirih, ”Aku...”
”Cukup Naura! Tinggalkan dia!” Sebuah suara tegas, lelaki setengah baya tiba-tiba muncul dan mendekati mereka. Itu adalah pak Hasan, ayah Naura.
Hasan memegang lengan tangan puterinya itu, ”Dengar Adam! Lupakan anakku, Ahad besok adalah hari pernikahannya. Dia akan menikah dengan Sandi, orang kaya dari kota. Kamu sadar Adam, kamu orang miskin dan mau kamu kasih makan apa anak orang? Lupakan Naura untuk selama-lamanya!”
Hasan menatap puterinya, ”Kamu pasti lama bicaranya, seharusnya Bapak saja yang langsung bicara padanya. Ayo sekarang pulang dan persiapkan pernikahamu,” Hasan menarik lengan puterinya itu, Naura pun mengikuti arah langkah ayahnya.
Beberapa langkah meninggalkan Adam, Naura menengok kearah belakang, melihat Adam yang masih terduduk di rerumputan dan menatapnya. Mata mereka saling bertatapan, tangan Adam masih terhulur keduanya kearah Naura. Wajah Adam terlihat memelas, airmatanya banjir.
Adam..., maafkan aku, hiduplah dengan baik. Naura meninggalkan tatapannya pada Adam, dia mengikuti ayahnya meninggalkan Adam, berharap Adam menemukan seseorang yang dapat menggantikannya dan menjaga Adam dengan baik. Airmatanya tak bisa ditahan, berguguran sepanjang jalan hingga meninggalkan hati yang hancur berkeping-keping.
Adam terus menatap Naura, matanya seperti tertancap pada Naura yang meninggalkannya. Tak mau lepas pandangan itu, hingga hilang bersama deru motor yang dikemudikan Hasan.
Adam tinggal sendirian. Ditemani suara burung dan binatang-binatang yang mencari rizki Allah. Semua bahagia di Ahad ini, mungkin hanya Adam yang seolah menjadikan Ahad ini sebagai petaka terbesar di dunia. Adam masih tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Seperti mimpi, seperti ilusi, seperti dunia yang tiba-tiba seluruhnya sunyi.
Adam perlahan berdiri, tanpa suara dan tanpa ekspresi. Dia berjalan perlahan, dua langkah hingga ke kursi bambu. Adam perlahan duduk, masih tanpa ekspresi. Pandangannya lurus kearah air di danau Kenanga yang airnya bening, sebening kaca, hingga ikan yang berenang nampak bermain-main di air.
Namun, bukan itu yang dilihat Adam. Adam hanya melihat wajah bersih Naura di air itu. Wajah indah bak pualam yang bersinar milik Naura nampak tersenyum di kejernihan air, Adam pun tersenyum menimpali senyum Naura yang nampak terlihat. Benar! Ini hari Ahad, Naura selalu bersamaku di hari Ahad. Adampun tersenyum, tak peduli apapun lagi, dia bahagia bersama Naura, biarkan sepanjang masa bersamanya.
”Naura... Aku tak bisa hidup tanpamu,” suara Adam terdengar lirih, Adam kembali tersenyum karena wajah guratan Naura di permukaan air itu nampak tersenyum dan menyukai ucapan Adam barusan.
Dan, matahari mulai meninggi, terus meninggi hingga menukik. Tak terasa, hari hampir gelap. Maghrib hendak datang, namun Adam masih saja tersenyum dan memandangi danau Kenanga yang jernih, sejernih wajah Naura yang dipandangi Adam di permukaan air tersebut.
”Ya Allah, Adam!” Sebuah suara dari kejauhan nampak keras terdengar, ”Kenapa kamu tidak pulang Adam! Ibumu mencarimu!” Lelaki itu mematikan motornya, ada seorang Ibu yang juga diboncengnya.
Itu adalah suara Syarif, teman karib Adam sejak kecil. Syarif pun membonceng Ibu Halimah dengan motornya karena merasa khawatir dengan Adam yang hingga sore belum pulang. Halimah pun mendatangi Syarif, biasanya hanya di rumah Syarif jika Adam pergi.
Syarif dan Ibu Halimah tergopoh-gopoh mendekati Adam yang diam saja menatap permukaan air danau.
”Nak, Kamu kenapa disini terus, kenapa gak pulang Adam?” Suara Halimah nampak resah, dia pun melihat wajah putera satu-satunya itu. Adam tak menjawab dan hanya tersenyum melihat kearah danau.
”Adam. Kamu kenapa Nak?” Halimah mulai melihat keanehan pada Adam, tak menyahut dan hanya tersenyum menatap lurus ke danau, ”Adam, jawab Ibu Nak?”
Masih tak ada sahutan, Halimah mulai mengerti ada kesedihan yang dialami puteranya itu. Sesuatu telah terjadi, apakah tentang Naura? Apa yang ditakutkan Halimah selama ini mungkin benar-benar terjadi, itu yang dipikirkan Halimah sekarang. Dia paham betul perasaan halus Adam, Halimah yang merawat Adam sejak dalam perutnya. Suaminya meningal dunia ketika Adam masih dalam kandungan. Halimah membesarkan Adam sendirian, hingga kini, dia paham betul siapa mereka?
Halimah merasa lemas, dia terduduk di rerumputan, tangannya memegang kedua lutut puteranya yang masih terduduk di kursi bambu menatap danau dan masih tersenyum.
”Anakku Adam..., lupakan Naura... kamu anak yang kuat Nak,” Tangis Halimah pecah, ”Adam...”
Syarif kebingungan melihat Ibu Halimah. Dia mulai menerka apa yang terjadi, apakah Naura penyebabnya? Adam..., kau harus kuat, Syarif mendoakan Adam.
Namun, Adam tak bergeming sama sekali. Senyumnya masih tersimpan dengan baik, menatap danau yang jernih dan menatap senyuman Naura. Kebahagiaan dan hidupnya hanyalah Naura.
Langit menjadi saksi, bahwa cinta yang sudah terhunjam demikian dalam mungkin tak memiliki penawar hingga ujung masa. Gelap mulai terasa hendak menyergap, hanya tangisan Halimah yang masih lirih terdengar.
Tangisan Halimah seolah memecah suasana maghrib itu, suara seorang wanita yang sudah menjadi Ibu bagi Adam. Kesedihan yang membuatnya bahkan tak lagi bisa tersenyum sejak hari itu.
Hari-hari berlalu. Dunia terus berjalan, mereka yang terus hidup menjalani hari-harinya. Orang yang sudah meninggal akan menghadapi ujiannya selanjutnya yaitu pertanyaan dari para Malaikat dan tentunya mendapatkan buah dari perbuatannya saat di dunia dahulu.Mereka yang sudah meninggal dan meninggalkan dunia ini, mereka tidak akan mengganggu kehidupan mereka yang masih hidup.Kehidupan terus berjalan. Dua tahun berlalu begitu saja.Diandra bersama Ibunya tengah menghadiri sebuah pernikahan yang cukup megah. Mereka melihat dua pengantin yang sudah melalui akad. Kini, mereka sedang menerima tamu.Di samping pasangan itu, ada lelaki yang sudah menjadi koki yang cukup lama melayani hotel di Mata Air Surga. Dia adalah pak Firman, hati ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi puternya, Nada Naura. Nada Naura menikah dengan lelaki yang shalih dan juga seorang pengusaha, dia bernama Rendra.Diandra kemudian mengucapkan selamat dan mendoakan Rendra dan Nada. Setiap orang akan berjalan d
Cinta yang sudah membuat Naura tak bisa lagi menentukan jalan hidupnya. Jika Adam masih memiliki cinta untuknya. Itu sudah cukup bagi Naura, seluruh hidupnya adalah penderitaan. Maka, ketika Adam sudah tak bisa bersamana. Dia hanya perlu untuk pergi dari dunia ini.Tangan Naura mulai menghilang di dalam derasnya aliran sungai. Adam mencoba berenang sekuat tenang. Beruntung dia dulu selalu berlatih berenang bersama dengan Syarif di danau. Itu mereka lakukan sejak kecil dan selalu bermain di danau.Adam terus berenang kearah Naura meskipun aliran airnya sangat deras. Adam harus bisa mencapai Naura, apapun yang terjadi. Dalam pikirannya sekarang adalah bahwa Naura harus selamat.Jemari Naura yang tersisa akhirnya hilang dalam permukaan air yang deras, Adam langsung menahan napasnya dan menyelam ke dalam air dan melihat di dalam air, Naura seperti sudah pingsan atau matanya menutup.Dalam derasnya aliran air sungai itu, air sungai yang dialirkan dari Danau Kenanga ke pemukiman desa dan pe
Perasaan seorang wanita mendekati hari pernikahan, sungguh sangat dilema. Semua hal bagaikan bunga dan rembulan, indah pada setiap apapun yang sedang dipikirkannya.Tersenyum sendiri beberapa kali, dan hampir tak bisa lagi menahan kebahagiaannya. Bingung hendak meluapkan ekspresi kebahagiaan. Ah! Semuanya akan segera berbeda jika Diandra menikah dengan seorang lelaki. Dia akan menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki tersebut.Bahkan, segala hal berubah. Setiap apapun yang ingin dilakukan oleh Dindra, maka dia harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan suaminya.Kadang, ada rasa ketidaksiapan dalam hal menikah, namun jika mengingat bahwa hati itu butuh seseorang untuk selalu menguatkannya ketika lemah dan sedih. Maka, menikah adalah satu-satunya jalan menemukan kebahagiaan dengan menemukan sosok yang tepat untuk saling berbagi apapun.Di semua kecemasan yang sedang dipikirkan Diandra, ada kebahagiaan yang terselip dalam hatinya. Diandra merasakan bahwa dia sudah tepat menemukan Adam.
Seorang wanita nampak menggendong bayi mungil di pinggir Danau Kenanga. Dia duduk di kursi yang kini telah terlihat indah dan diperbaiki dengan baik. Di bawah pohon jambu dia menghirup udara yang demikian sejuk. Itu adalah Naura, hari-harinya kini terasa hidup dengan melihat bayi mungil yang digendongnya.Bayi dari Sanda dan Firla. Dunai ini memang aneh, dia tak melahirkan namun dia yang merawat bayi mungil tersebut. Dunai memang segala sesuatunya penuh kejutan, tidak ada yang tahu detik berikutnya apa yang akan terjadi.Seorang wanita yang sangat muda mendekati wanita yang menggendong bayi tersebut.”Mbak Naura ya?” sapa wanita tersebut.Naura menoleh dan melihat gadis muda tersebut. Senyumnya sangat manis dan dia pun meminta izin untuk duduk di dekat Naura. Mereka meninkmati angin segara dari pinggir Danau Kenanga.”Aku sudah mendengar kisah cinta mbak Naura dan pak Adam. Kisah cinta kalian sungguh luar biasa.”Kalimat tersebut membuat Naura yang masih mendekap bayi tersebut kaget.
Adam sudah tahu apa yang terjadi dan dia sudah mendapatkan kabar soal kecelakaan maut yang menimpa Sandi dan isteri keduanya. Namun, Adam kaget karena mendapatkan kabar bahwa bayi lelaki yang bersama mereka selamat. Itu adalah sebuah keajaiban.Bayi kecil itu tak bisa tidak, membuat Adam untuk segera menggendongnya. Bayi yang tidak tahu apa-apa dan sudah kehilangan kedua ibu dan ayahnya. Adam mencoba menyunggingkan senyumannya pada bayi lelaki yang masih menangis itu. Bayi itu memahami, dia menatap Adam dengan pandangan bersinar. Dia diam dan menatap kedua mata Adam.Hingga, Naura dan ayahnya datang. Mereka melihat Adam yang menggendong bayi kecil itu dan duduk di kursi di koridor rumah sakit.”Hai... Sayang,” Naura menyentuh kulit bayi tersebut, matanya berkaca melihat bayi selucu itu harus terpisah dari kedua orangtuanya.Bayi laki – laki menggemaskan itu masih dalam dekapan Adam, Naura membungkuk dan jemarinya menyentuh pipi bayi tersebut. Tanpa terasa, airmata Naura pun jatuh perl
Hidup itu seperti sebuah air yang menempel pada daun talas, dia cukup lama hinggap di daun tersebut tanpa menembus daunnya. Dia bertahan menunggu air datang lagi dan dengan daya beratnya, air itu akan tumpah.Mereka tidak akan lama berada disana, air itu akan jatuh juga ke bumi. Seperti juga apa yang terjadi pada manusia yang tinggal di dunia ini. Semuanya akan kembali.Hakikat kehidupan, dan semua yang ada di dunia ini. Semuanya hanyalah fana, sebentar lagi, semua juga akan binasa. Seorang manusia hanya dituntut bijak dan menerima segala ketentuan yang sudah digariskan Tuhan padanya.Tangan Naura bergetar sambil tetap memegang telepon yang baru saja diangkatnya. Dia mendapatkan panggilan dari suaminya, sudah sangat lama suaminya tidak menghubunginya bahkan sudah lama suaminya itu tidak pernah menganggapnya ada.Jika mereka bertemu, seperti manusia yang bertemu dan tidak saling mengenal. Mereka seperti bukan suami isteri lagi, ketika bertemu hanya sekedar lewat. Masalah yang datang be