Share

3. Aku Tak Bisa Hidup Tanpamu Naura

Halilintar seperti bersusulan di siang hari itu dalam pikiran Adam. Dia tak mengira sama sekali jika wanita yang selalu dipuja dan dicintai sepenuh jiwanya mengatakan sesuatu yang membuat dirinya seolah lemas dan tak lagi memiliki energi untuk hidup.

Bagaimana Adam bisa hidup tanpa Nuara, itu seperti siang tak bisa hidup tanpa matahari. Adam bahkan tidak mau lagi mendengar lelucon dari Naura karena menurutnya itu tidak lucu sama sekali dan menghancurkan seluruh hidupnya. Lebih baik mati daripada mendengar semua itu dari mulut wanita yang selalu dipujanya.

Adam menutup kedua telinganya, “Aku tidak mau dengar Naura…, jangan katakan itu lagi Naura... hidupku adalah untukmu Naura, cintaku hanyalah milikmu Naura, kebahagiaanku adalah dirimu Naura,” Adam masih terjatuh, tangannya mengarah ke Naura. Naura masih mengusap airmatanya.

Sepertinya, Naura amat berat untuk meneruskan kata-katanya. Dia terlihat terpaksa melakukan hal itu, namun Naura berusaha tegar dan membuat Adam sadar bahwa mereka tak ditakdirkan bersama. Naura juga harus kuat bahwa dia harus memutuskan hubungannya dengan Adam hari ini juga.

”Jangan bercanda lagi Naura, ini tidak lucu,” Wajah Adam memelas.

”Cukup Adam!” Naura menguatkan suaranya, ”Lupakan Naura, tak ada lagi Naura dalam hatimu. Kita sudahi hubungan kita Adam,” suara Naura sedikit keras, dia ingin menyadarkan Adam agar tidak berlarut merengek padanya dan membuatnya sulit untuk menyelesaikan masalahnya dengan Adam.

Naura menatap wajah Adam yang masih terjatuh di tanah, matanya terlihat tegar dan berusaha kuat. Adam masih tak percaya, matanya sayu dan memelas.

”Tidak Naura, Selamanya....”

”Cukup Adam! Terima kenyataan. Aku tak mencintaimu lagi Adam,” suara Naura kini terlihat tegas. Adam tak meneruskan kata-katanya, dia benar-benar diam menatap wajah Naura, wajah pualam yang selalu diingatnya setiap akan tidur malam dan selalu mendoakan kebaikan padanya.

”Naura... Aku...,” suara Adam bergetar sangat lirih, ”Aku...”

”Cukup Naura! Tinggalkan dia!” Sebuah suara tegas, lelaki setengah baya tiba-tiba muncul dan mendekati mereka. Itu adalah pak Hasan, ayah Naura.

Hasan memegang lengan tangan puterinya itu, ”Dengar Adam! Lupakan anakku, Ahad besok adalah hari pernikahannya. Dia akan menikah dengan Sandi, orang kaya dari kota. Kamu sadar Adam, kamu orang miskin dan mau kamu kasih makan apa anak orang? Lupakan Naura untuk selama-lamanya!”

Hasan menatap puterinya, ”Kamu pasti lama bicaranya, seharusnya Bapak saja yang langsung bicara padanya. Ayo sekarang pulang dan persiapkan pernikahamu,” Hasan menarik lengan puterinya itu, Naura pun mengikuti arah langkah ayahnya.

Beberapa langkah meninggalkan Adam, Naura menengok kearah belakang, melihat Adam yang masih terduduk di rerumputan dan menatapnya. Mata mereka saling bertatapan, tangan Adam masih terhulur keduanya kearah Naura. Wajah Adam terlihat memelas, airmatanya banjir.

Adam..., maafkan aku, hiduplah dengan baik. Naura meninggalkan tatapannya pada Adam, dia mengikuti ayahnya meninggalkan Adam, berharap Adam menemukan seseorang yang dapat menggantikannya dan menjaga Adam dengan baik. Airmatanya tak bisa ditahan, berguguran sepanjang jalan hingga meninggalkan hati yang hancur berkeping-keping.

Adam terus menatap Naura, matanya seperti tertancap pada Naura yang meninggalkannya. Tak mau lepas pandangan itu, hingga hilang bersama deru motor yang dikemudikan Hasan.

Adam tinggal sendirian. Ditemani suara burung dan binatang-binatang yang mencari rizki Allah. Semua bahagia di Ahad ini, mungkin hanya Adam yang seolah menjadikan Ahad ini sebagai petaka terbesar di dunia. Adam masih tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Seperti mimpi, seperti ilusi, seperti dunia yang tiba-tiba seluruhnya sunyi.

Adam perlahan berdiri, tanpa suara dan tanpa ekspresi. Dia berjalan perlahan, dua langkah hingga ke kursi bambu. Adam perlahan duduk, masih tanpa ekspresi. Pandangannya lurus kearah air di danau Kenanga yang airnya bening, sebening kaca, hingga ikan yang berenang nampak bermain-main di air.

Namun, bukan itu yang dilihat Adam. Adam hanya melihat wajah bersih Naura di air itu. Wajah indah bak pualam yang bersinar milik Naura nampak tersenyum di kejernihan air, Adam pun tersenyum menimpali senyum Naura yang nampak terlihat. Benar! Ini hari Ahad, Naura selalu bersamaku di hari Ahad. Adampun tersenyum, tak peduli apapun lagi, dia bahagia bersama Naura, biarkan sepanjang masa bersamanya.

”Naura... Aku tak bisa hidup tanpamu,” suara Adam terdengar lirih, Adam kembali tersenyum karena wajah guratan Naura di permukaan air itu nampak tersenyum dan menyukai ucapan Adam barusan.

Dan, matahari mulai meninggi, terus meninggi hingga menukik. Tak terasa, hari hampir gelap. Maghrib hendak datang, namun Adam masih saja tersenyum dan memandangi danau Kenanga yang jernih, sejernih wajah Naura yang dipandangi Adam di permukaan air tersebut.

”Ya Allah, Adam!” Sebuah suara dari kejauhan nampak keras terdengar, ”Kenapa kamu tidak pulang Adam! Ibumu mencarimu!” Lelaki itu mematikan motornya, ada seorang Ibu yang juga diboncengnya.

Itu adalah suara Syarif, teman karib Adam sejak kecil. Syarif pun membonceng Ibu Halimah dengan motornya karena merasa khawatir dengan Adam yang hingga sore belum pulang. Halimah pun mendatangi Syarif, biasanya hanya di rumah Syarif jika Adam pergi.

Syarif dan Ibu Halimah tergopoh-gopoh mendekati Adam yang diam saja menatap permukaan air danau.

”Nak, Kamu kenapa disini terus, kenapa gak pulang Adam?” Suara Halimah nampak resah, dia pun melihat wajah putera satu-satunya itu. Adam tak menjawab dan hanya tersenyum melihat kearah danau.

”Adam. Kamu kenapa Nak?” Halimah mulai melihat keanehan pada Adam, tak menyahut dan hanya tersenyum menatap lurus ke danau, ”Adam, jawab Ibu Nak?”

Masih tak ada sahutan, Halimah mulai mengerti ada kesedihan yang dialami puteranya itu. Sesuatu telah terjadi, apakah tentang Naura? Apa yang ditakutkan Halimah selama ini mungkin benar-benar terjadi, itu yang dipikirkan Halimah sekarang. Dia paham betul perasaan halus Adam, Halimah yang merawat Adam sejak dalam perutnya. Suaminya meningal dunia ketika Adam masih dalam kandungan. Halimah membesarkan Adam sendirian, hingga kini, dia paham betul siapa mereka?

Halimah merasa lemas, dia terduduk  di rerumputan, tangannya memegang kedua lutut puteranya yang masih terduduk di kursi bambu menatap danau dan masih tersenyum.

”Anakku Adam..., lupakan Naura... kamu anak yang kuat Nak,” Tangis Halimah pecah, ”Adam...”

Syarif kebingungan melihat Ibu Halimah. Dia mulai menerka apa yang terjadi, apakah Naura penyebabnya? Adam..., kau harus kuat, Syarif mendoakan Adam.

Namun, Adam tak bergeming sama sekali. Senyumnya masih tersimpan dengan baik, menatap danau yang jernih dan menatap senyuman Naura. Kebahagiaan dan hidupnya hanyalah Naura.

Langit menjadi saksi, bahwa cinta yang sudah terhunjam demikian dalam mungkin tak memiliki penawar hingga ujung masa. Gelap mulai terasa hendak menyergap, hanya tangisan Halimah yang masih lirih terdengar.

Tangisan Halimah seolah memecah suasana maghrib itu, suara seorang wanita yang sudah menjadi Ibu bagi Adam. Kesedihan yang membuatnya bahkan tak lagi bisa tersenyum sejak hari itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status