Home / Fantasi / Segitiga Penguasa - Sudut Pertama / 2. Sebuah Pelarian (Bagian 2)

Share

2. Sebuah Pelarian (Bagian 2)

Author: NVR
last update Last Updated: 2022-02-01 21:31:18

Sebuah cangkir perak tergenggam erat di tangan seorang lelaki berpakaian perang lengkap. Riak air dalam cangkir itu terlihat bergerak cepat, tak teratur. Ada sebongkah amarah yang kapan saja siap meledak.

“Bagaimana bisa kedua cecunguk itu kabur?” tukas lelaki itu, galak.

“Sa—saya tidak tahu. Maafkan saya, Tuan.” Sambil berlutut, seorang prajurit yang sudah kepayahan dengan sederet luka di sekujur tubuhnya berkata dengan suara bergetar. Keringat dingin bercucuran. Batinnya jelas tengah dilanda ketakutan.

Lelaki itu mengeram. Kedua matanya membelalak. “Dasar bodoh!”

Bentakan itu tepat menghunjam ke sasaran. Prajurit itu semakin ketakutan. Buliran keringat kali ini meluncur deras, jatuh bebas ke tanah.

“Hanya membunuh kedua pengkhianat saja kalian tak sanggup! Kalian semua sungguh memalukan!” cangkir perak itu akhirnya diremas kuat-kuat. Isinya berhamburan keluar. Dan dalam sekejap, cangkir perak itu penyok, tak lagi berbentuk.

Dua utas tali berwarna merah menyala di atas meja tiba-tiba bergerak cepat. Melesat ke arah seorang prajurit yang masih berlutut ketakutan. Mulut prajurit itu menganga dengan sendirinya. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, kedua utas tali itu masuk ke dalam rongga mulut dengan leluasa. Sebuah erangan keras terdengar. Darah segar menyembur keluar.

Hanya dalam hitungan detik, kedua tali itu keluar kembali, bersamaan dengan semburan darah yang mulai terhenti. Tubuh prajurit itu melunglai bagai daun layu. Dan sesaat kemudian, ia tergeletak pasrah,  tak lagi bernyawa.

Beberapa lelaki yang menyaksikan kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Menikmati pembantaian layaknya sebuah pertunjukan.

Dari arah pintu, seorang prajurit lainnya bergegas masuk ke dalam ruangan semi permanen berbahan dasar bambu. Kedua bola matanya langsung membelalak ketika ia dapati tubuh temannya telah terbujur lesu tak bernyawa. Darah berceceran di mana-mana. Getir, ia pun menandaskan ludahnya.

“Ada berita apa?” lelaki berpakaian perang lengkap itu bertanya.

Prajurit itu tersadar dari lamunan. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya, menghadap ke arah Tuannya. “Agni telah ditemukan, Tuan. Dia telah berhasil dibunuh."

“Bagaimana dengan Yama?”

Prajurit itu tak langsung menjawab. Ada jeda panjang yang kembali memicu amarah.

“Jawab!”

“Ma—maafkan saya, Tuan. Yama masih belum bisa kami temukan, tetapi kami masih terus berusaha untuk mencari. Seluruh prajurit saat ini sedang melakukan pencarian di setiap wilayah desa.”

“Cepat temukan dia! Aku tak mau ada yang tersisa. Jika sampai matahari terbit dan masih tak kudengar kabar kematian Yama, maka kau akan bernasib sama dengan temanmu itu.”

Ancaman itu meneror telak. Tubuh prajurit itu seketika basah kuyup terguyur peluh. Rasa takut yang teramat besar kini melahap satu per satu degup jantungnya. Menciutkan nyalinya.

"Tunggu apa lagi, Bodoh!" hardik lelaki itu.

"Ma—maafkan saya, Tuan. Saya pamit."

Malam semakin gelap di luar sana. Namun tak sedetik pun penglihatannya terlepas dari jendela rumahnya. Tak ada bulan, bintang, atau penghias langit lainnya. Hanya mendung yang terus menghiasi, dan sesekali cahaya kilat menampakkan diri.

Seketika, seorang perempuan yang tengah menunggu kepulangan suaminya terkesiap dengan sesuatu yang mengusik penglihatannya. Dibukanya cepat pintu kayu bermotif ukiran bunga itu.

“Kenapa kau baru pulang? Bukankah kau bilang, kalau di pagi hari kau sudah akan sampai di rumah? Kenapa?” pertanyaan perempuan itu menggantung di udara. Kedua bola matanya membundar lebar. Ada kejanggalan mengerikan yang tak sengaja ia temukan. “Kenapa pakaianmu berlumuran darah?”

Seorang lelaki yang baru saja menapakkan kaki di lantai rumahnya hanya bisa terdiam ketika menerima sepaket pertanyaan. Mulutnya terasa kelu untuk mengucap kata. Ia terlalu enggan untuk bersuara. Nanar, lelaki itu hanya menatap lirih ke arah istrinya. Dibukanya segera kain penutup berwarna biru tua yang menutupi barang bawaannya.

Setelah melonggokkan kepala, sontak sang istri terperanjat ketika mendapati barang bawaan suaminya adalah seorang bayi yang masih berwarna merah muda. Tanpa tersadar, kedua kakinya pun bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. “Ba—bayi siapa itu?” tanya sang istri, terbata.

Tak menghiraukan semua pertanyaan yang deras menghujaninya, lelaki itu segera beringsut pergi dari hadapan istrinya. Masuk ke dalam rumah.

“Apa yang sudah terjadi?” tanya sang istri kembali, sembari mengikuti langkah kaki suaminya.

“Semua tidak berjalan dengan semestinya. Kami telah dikhianati. Kami telah diperdaya dan diperalat.”

“Oleh siapa?”

“Empat Jenderal busuk, dan seluruh sekutunya.”

Kali ini sang istri terlonjak kaget, langkah kakinya sekejap terhenti. Baru semalam ia bermimpi menyambut kedatangan suaminya dengan barisan makanan kesukaan dan sepaket hangat topik pembicaraan menyenangkan. Ia akan bertutur tiada henti, membicarakan perkembangan buah hati yang amat mereka cintai. Mimpi itu begitu indah, sampai-sampai ia tak ingin bangun dari tidurnya. Tetapi di hari ini semuanya berbanding terbalik. Ia benar-benar mendapat kejutan yang sama sekali tidak menyenangkan.

“Kita harus bergegas.”

“Ke mana?”

Lelaki itu tampak berpikir keras. “Kembali ke tempat asalku. Cepat, bangunkan anak kita.”

Desa Jamahitpa, dua puluh tahun lalu ….

Kedua mata perempuan itu tak beranjak dari sesosok bayi cantik yang baru beberapa hari dilahirkannya. Ia usap lembut rambut anaknya. Ia cium kening dan pipi malaikat kecilnya. Ada perasaan bahagia yang terpancar jelas di wajahnya.

“Putri kita sangat mirip denganmu,” seorang lelaki yang tengah berdiri di daun pintu berkata. Sudah sedari tadi ia berada dalam posisi yang sama, hanya mengamati. Tak lama ia pun memberanikan diri mendekati anak dan istrinya, yang tengah bergumul mesra dengan hangatnya mentari pagi di teras depan rumah mereka.

Perempuan itu termangu, memilih tak menanggapi perkataan suaminya. Suasana hatinya secepat kilat berubah. Amarah membuncah, dan kekesalan membeludak. Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi, kehadiran sesosok lelaki yang kini telah berada di dekatnya adalah hal yang paling tak diinginkannya.

Sadar dengan situasi yang tak berpihak, lelaki itu menghela napas. “Maafkan aku,” ucapnya pelan. Terdengar penuh penyesalan.

Perempuan itu tetap dalam ekspresi yang sama. Terdiam membisu di tempatnya.

Merasa harus bertindak lebih jauh, lelaki itu memilih untuk berlutut di hadapan istrinya. “Aku sadar betul, aku telah berbuat salah kepadamu,” katanya. “Sudah hampir sembilan bulan lebih kau menaruh rasa benci terhadapku. Tak pernah sekalipun bibirmu mengucapkan kata kepadaku. Apa tak ada secelah saja pintu maafmu terbuka untukku?”

Keheningan masih setia menggantung di bibir mungil perempuan itu. Rasa benci memang masih tertanam kuat di hatinya. Entah sampai kapan rasa benci itu menetap, ia masih tak tahu.

Sudah sembilan bulan lamanya lelaki di hadapannya mengurus dirinya dengan kasih sayang yang luar biasa, namun ia tak pernah meminta. Jika bukan karena lelaki itu menghamili paksa dirinya, sudah pasti tak mungkin ia mau tinggal bersama.

“Tolong. Beritahu aku. Beritahu aku bagaimana cara menebus dosaku,” kata lelaki itu, lirih. Kepalanya tertunduk lesu. “Aku tahu kau tak pernah mencintaiku. Bahkan, kau mungkin sangat membenciku. Tapi asalkan kau tahu, aku sangat menyayangimu. Begitu menyayangimu. Aku bahkan siap mati demi—”

Perempuan itu membelalakkan mata, memekik histeris. Semburan darah dari mulut suaminya menodai sebagian wajahnya.

Seorang pria separuh baya yang mendengar langsung suara jeritan itu bergegas mencari sumber suara. Sontak, ia ikut membelalakkan mata. Di ujung penglihatan, ia dapati sebuah anak panah menembus punggung menantunya.

Bersimbah darah, tubuh lelaki malang itu terkulai ke arah depan. Terlihat seolah tengah memeluk istri dan anaknya.

“Siapa yang melakukan ini?” pria itu berseru. Ia lalu beringsut cepat mendekat ke arah tubuh menantunya. Sorot matanya memindai sebuah anak panah yang serasa tak asing di ingatannya. “Ini … anak panah ini ….” tangan pria itu terjulur, meraih secarik kertas yang menempel di anak panah yang telah berlumuran darah. Dibukanya hati-hati kertas itu. “Biadab!” makinya. “Kita harus berlindung segera,” pria itu berseru kalap kepada anak perempuannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   75. Kebenaran Baru

    Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   74. Pintu Gerbang Istana

    Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   73. Detik-detik Akhir

    Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   71. Akhir Kesetiaan

    Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   72. Menjelang Gerhana Bulan

    Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   70. Dendam

    Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status