Malam yang tragis. Membuat seorang lelaki harus rela meninggalkan sahabatnya sendiri di tengah-tengah kejaran para prajurit kerajaan. Bersama istri, anak, dan seorang bayi titipan sahabatnya, ia kembali ke desa asalnya. Selang empat tahun setelah kejadian itu, seorang perempuan yang tengah memangku seorang bayi yang baru dilahirkannya, seketika menjerit histeris manakala melihat suaminya sendiri harus mati tepat di depan matanya. Sebelum punggungnya tertusuk panah, lelaki itu telah lebih dulu meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia perbuat. Kemudian, setelah dua puluh tahun berlalu, Marcapada, yang sewaktu kecil telah kehilangan ibunya, bersama Soma, anak sebatang kara yang tinggal di pinggir desa, serta puluhan pemuda lainnya, harus mengikuti kompetisi pertarungan demi mendapatkan gelar sebagai seorang Penjaga.
View MoreDi sebuah hutan, dua puluh empat tahun lalu …
Senja pergi begitu tergesa. Awan kelabu membola pekat, menculik paksa semburat jingga dari langit sore. Gerimis datang perlahan. Sesekali, kilatan cahaya di hamparan langit menyibak kegelapan. Suasana memuram. Menyisakan kengerian, sekaligus ketegangan.
Terengah-engah, kedua lelaki berbadan tegap, berpakaian perang lengkap, dengan sederet luka menghiasi sekujur tubuh, terus berlari tanpa henti. Salah seorang lelaki membawa buntelan kain yang ia peluk erat dalam dekapannya. Rimbunan semak dan perdu mereka trabas tanpa menghiraukan ratusan duri yang akan membuat luka baru. Tak jauh di belakang, puluhan orang memburu mereka dengan senjata teracung.
Nyawa kedua lelaki itu tengah menjadi perlombaan untuk sesegera mungkin dihabisi. Siapa saja yang dapat memenggal kepala salah seorang, atau keduanya sekaligus, akan mendapat kenaikan jabatan. Dan hadiah semacam itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan.
Sambil masih terus berlari kencang, jantung kedua lelaki itu pun berdebar tak keruan. Derasnya guyuran keringat membaur pasrah dengan tetes hujan. Udara di ujung hari mendadak terasa begitu dingin. Seolah menjelma bagai ribuan jarum yang menusuk. Menghadirkan rasa sakit yang tak mungkin diabaikan. Tak langsung mematikan, namun membunuh perlahan.
Masih di dalam pelarian, mendadak, salah seorang lelaki menghentikan langkah kakinya. Pandangannya sekilas berpaling ke arah buntelan kain yang ia bawa. Rona kesedihan terpancar dari air mukanya. Dibukanya perlahan buntelan kain itu. Dan seketika, wajah mungil seorang bayi mencuat dalam dekapannya.
Sadar dengan tindakan yang diambil oleh sahabatnya, lelaki lainnya ikut menghentikan pergerakan.
“Ada apa?” lelaki itu bertanya. Raut ketegangan jelas tergambar di wajahnya. Perhatiannya lalu beralih ke arah belakang. Celingak-celinguk ia menerawang, cemas. “Kita tak boleh berhenti di sini. Mereka semua semakin dekat.”
“Aku sudah tak kuat lagi. Tolong, bawa anakku bersamamu,” salah seorang lelaki menyodorkan buntelan kain berisikan bayi kepada sahabatnya. “Pergilah, biar aku yang mengadang mereka.”
“Tidak! Aku tidak bisa.”
“Kau tidak bisa menolaknya. Hanya ini jalan satu-satunya yang kita miliki,” potong lelaki itu, memaksa. Sebulir darah mengalir jatuh dari pelipis kanannya. “Harus tetap ada yang bertahan di antara kita,” lanjutnya.
Lelaki lainnya mantap menggelengkan kepala. “Tidak! Kita harus tetap bersama. Kita tak boleh terpisah.”
Perihnya sederet luka yang menganga, terkikis habisnya tenaga, dan beberapa luka tusuk yang terus mengeluarkan darah segar, membuat tungkai-tungkai kaki lelaki itu tak kuat lagi menopang berat tubuhnya sendiri. Ia tersungkur sambil terus memeluk buntelan kain berisikan bayi.
Melihat sahabatnya terjatuh, dengan sigap lelaki lainnya berusaha membantu. Ia memposisikan diri setengah berjongkok. “Sepertinya kau sudah tak mungkin lagi berjalan, biar aku yang menggendongmu.”
“Tidak usah. Bawalah saja anakku ini. Kumohon.” Sekali lagi, seorang bayi mungil yang berada dalam buntelan kain kembali disodorkan ke arah depan.
Lelaki penerima bayi itu tak dapat berkata apa pun lagi. Tak ada lagi kata-kata penolakan yang dapat ia ucapkan. Pasrah, ia pun menerima pemberian sahabatnya.
“Sembunyikan dia di tempat yang aman. Jaga ia agar terus bisa bertahan hidup.”
“Kita bisa melarikan diri bersama-sama,” lirih, lelaki itu bersuara.
“Tidak! Kau tidak akan kuat jika harus—”
“Kuat! Aku pasti kuat membawa kalian berdua.”
Lelaki dengan luka di sekujur tubuhnya itu tersenyum kecut. “Mungkin kau kuat, tapi pergerakanmu sudah pasti akan melambat. Kau seharusnya sadar betul siapa musuh kita. Walau dalam keadaan tidak terluka, kita belum tentu dapat mengimbangi mereka. Mereka ….” mati-matian, lelaki itu berusaha mengatur napas. Satu tangannya secara spontan bergerak memegangi bekas luka tusuk di bagian perut. Ia melenguh, menahan rasa nyeri yang terasa semakin menjadi-jadi. “Mereka … ditambah dengan keempat Jenderal keparat itu, sama saja bunuh diri jika melawan mereka semua.”
“Tapi ….” Buliran air mata tak dapat terbendung lagi. Tangis kegagalan menjadi penghias sempurna untuk suasana malam yang tengah memuram.
Dari celah kain yang sedikit terbuka, seorang bayi yang baru beberapa hari terlahir ke dunia merasakan lembut buliran air mata yang jatuh ke wajah mungilnya, bergerak perlahan menelusuri tubuhnya. Tanpa mengerti apa yang sedang terjadi, ia terus tersenyum bahagia di tengah-tengah gerimis yang sedari tadi mengecupi wajahnya.
“Pergilah. Kumohon.”
“Tapi ….”
“Kumohon.”
Getir, sambil bangkit berdiri, lelaki itu sekuat tenaga menahan tangis. Ia dekap erat buntelan kain berisikan bayi dalam gendongannya. Dengan kucuran air mata, ia memandang nanar ke arah sahabatnya.
Tanpa perlu ada lagi kata di antara mereka berdua, sebuah salam perpisahan diantar oleh rintik gerimis yang terus berjatuhan. Lelaki dengan sederet luka di sekujur tubuhnya itu tersenyum hangat ke anak semata wayang, dan satu-satunya sahabatnya yang tersisa.
Akhirnya, derap langkah seorang lelaki yang sejatinya tak ingin meninggalkan kawannya sendiri harus terjadi. Ia dihadapkan pada pilihan yang teramat sulit. Di situasi genting semacam ini, tak mungkin baginya berlama-lama untuk bernegosiasi. Keadaan mengharuskannya mengabaikan hati nurani. Jika ia tak segera melarikan diri, maka benar apa yang dikatakan oleh sahabatnya, tak akan ada lagi yang tersisa di antara mereka. Kisah perjuangan mereka akan pasti berakhir dengan akhir yang tragis.
Sambil memandang nanar ke arah punggung sahabatnya, lelaki itu berkata lembut kepada buah hatinya yang semakin dibawa jauh dari sisinya. Selamat tinggal, anakku. Dengan cerih-cerih tenaga yang sudah tak seberapa, ia pun berusaha bangkit berdiri.
Lelaki itu lalu membalikkan badan, bersiap kembali memulai pertarungan. Kedua tangannya kuat mengepal. Ini akan menjadi pertarungan terakhirku, batinnya menegaskan. Tak berselang lama, puluhan orang dengan senjata di tangan telah berada di dekatnya.
Menyaksikan banyaknya musuh di depan mata, lelaki itu justru menyeringai bak pemangsa. “Majulah, kalian semua!” serunya lantang.
∆
Di bawah guyuran sinar purnama, di atas hamparan bukit, seorang lelaki berambut panjang, mengenakan jubah putih, berdiri tegap menatap langit malam yang terang benderang. Kedua tangannya bertaut di belakang pinggang. Kedua bola matanya tetap awas mengamati riak air yang keberadaannya tak begitu jauh di depan.
“Tuan.” Seorang prajurit bertubuh kurus bergegas berlutut. Air mukanya memperlihatkan raut kepanikan.
“Apa anak itu sudah lahir?”
“Su—sudah, Tuan.”
“Lalu apa yang kau lakukan bersama dengan anak buahmu?”
Prajurit itu terdiam. Bingung harus menjawab apa.
Lelaki itu menoleh ke arah prajurit yang masih berlutut di dekatnya. “Berdirilah,” perintahnya.
Air muka prajurit itu pucat pasi. Meski ragu, perlahan ia mulai bangkit berdiri. “Ma—maafkan aku, Tuan. Aku sadar, aku sudah berbuat salah. Maafkan aku,” pinta prajurit muda itu. Penuh dengan ketidakyakinan, dan terselimuti rapat ketakutan.
“Kau tak perlu merasa bersalah. Semua ini sudah berjalan sesuai dengan apa yang aku rencanakan.”
“Benarkah itu, Tuan?”
Lelaki itu mengangguk. Tersenyum tipis.
Pelan-pelan, prajurit muda itu lalu memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, melihat wajah Tuannya. Tak ada raut kemarahan di sana. Sebersit senyum seketika tergambar. Kepanikan yang sempat hinggap seketika lenyap.
“Pergilah,” ucap lelaki itu seraya tersenyum.
“Terima kasih, Tuan.” Prajurit itu berbalik. Bersiap pergi.
Sambil menyunggingkan senyum simpul, prajurit yang baru beberapa hari menjalankan tugasnya itu akhirnya menjauh dari tempat keberadaan Tuannya. Langkahnya ringan. Kelegaan tergambar jelas di setiap embusan napasnya. Tapi tunggu, tepat setelah batinnya bersuara, langkah kakinya sejenak tertunda. Kenapa bayi itu dibiarkan hidup? Bukankah seharusnya bayi itu dihabisi?
“Ada apa prajurit?” tanya lelaki berambut panjang. Melihat ada gelagat tak baik yang kentara dari seorang prajurit di depannya.
Merasa telah melakukan tindakan yang keliru, prajurit itu buru-buru menoleh ke belakang. “Ti—tidak, Tuan. Tidak ada apa-apa. Saya permisi,” katanya, disisipi cengiran lebar. Langkah kakinya pun kembali berlanjut.
Sambil memandangi punggung prajurit yang mulai menghilang di dalam kegelapan malam, seorang lelaki dengan kedua tangan yang masih bertaut di belakang pinggang menyunggingkan senyum lebar. Bagus, rencanaku berjalan sempurna.
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments