Setengah berlari, Soma menuju ke tengah-tengah arena. Senyum semangat terlihat tak lepas dari wajahnya.
“Dan lawan untuk peserta bernomor dua puluh tiga adalah peserta nomor … dua puluh delapan ….” sambung Luca.
Sama seperti Soma, peserta bernomor dua puluh delapan dengan lincah bergegas ke tengah-tengah arena. Rambut jambulnya bergoyang-goyang lembut tertiup angin. Tubuhnya yang kurus sama sekali tak serasi dengan potongan rambutnya yang bervolume. Akan tetapi, otot-otot hasil latihan yang terlihat, menegaskan bahwa ia jelas bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan.
Seperti meletakkan cermin di tengah-tengah, jika diamati lebih teliti, keduanya seperti tak memiliki beda. Selain penampilan, kedua lelaki itu sama-sama memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi.
“Hai, Kawan. Sebaiknya kau segera melambaikan tangan. Aku tak tega jika harus melihatmu terluka,” ser
Semburat jingga mulai tampak mengintip dari balik tembok batu. Terik mentari yang menyengat berangsur memudar. Dari arah selatan, tiupan angin berdesir pelan. Tenang, membawa kesejukan. Akan tetapi, suasana sejuk yang terasa di sore ini berubah menegangkan tatkala kompetisi pertarungan untuk menjadi seorang Penjaga masih terus dilangsungkan. Riuh pekik di sekitar arena semakin semarak. Di tengah-tengah lingkaran, dua orang pemuda kembali dipertemukan untuk saling mengalahkan. Tetesan peluh yang mulai bercampur dengan bulir darah tak henti-hentinya terjun bebas ke tanah. Napas seorang peserta yang masih bertahan di pertarungan keduanya sudah tak teratur sejak lonceng di pinggir arena kembali berbunyi. Kali ini Soma benar-benar dibuat kewalahan oleh lawannya. Peserta bernomor delapan itu dapat mengimbangi pergerakan Soma dengan ketenangan yang luar biasa. Bahkan, bisa dikatakan, bahwa kekuatan Soma saat ini sudah berada jauh di bawah lawannya. Orang
Soma tak berkutik. Pikirannya benar-benar buntu. Lawannya kali ini seakan tak memiliki titik lemah. Dengan napas satu-satu, Soma memindai lawannya dari ujung kepala sampai ke mata kaki. Kenapa dia bisa sebegitu tenangnya? Soma terkesiap. Ada hal penting yang baru saja ia sadari. Sesaat, kelopak mata Soma menutup. Ia lakukan meditasi singkat. Di dalam diamnya, lamunan Soma berputar kepada kisah pertemuannya dengan seorang pria tua yang hidup seorang diri jauh di dalam hutan. Yang dulu ia temui karena ketidaksengajaan. Dulu, setelah tak menemukan makanan apa pun di dalam rumah orang-orang desa, Soma kecil yang kelaparan selalu menjadikan hutan sebagai opsi kedua untuk memenuhi kebutuhannya. Maklum, penduduk desa sudah lebih waspada ketika terlalu seringan mendapati stok persediaan makanan mereka menghilang dengan sendirinya. Dan mereka semua sama-sama tahu, siapa dalang di balik itu semua. Soma. Sambil celingak-celinguk kelaparan Soma yang mal
Awan mendung kali ini merampas paksa pesona langit malam. Meredupkan cahaya bulan, dan menyembunyikan kerlipan bintang. Di sekitar arena pertarungan, pendar cahaya dari beberapa titik obor pun sedikit memberikan penerangan. Meski telah terseok-seok dengan tenaga yang tak lagi mencukupi, namun Soma masih terus berdiri. Menatap lurus ke arah depan. Menganalisis dengan saksama seorang lelaki yang tengah berdiri tepat di hadapannya. Berperawakan lebar, berhidung pesek, berkumis tebal, serta berambut ikal panjang yang dibiarkan terurai, lelaki itu terlihat menyeringai ke arah Soma. Soma menakar, dari penampilan yang tampak di pandangan, lelaki di hadapannya memiliki usia yang jauh lebih tua daripada dirinya. Menyaksikan kondisi Soma saat ini, lelaki itu seolah telah memenangkan lotre tanpa harus bertaruh. Ia tak perlu bersusah payah mengeluarkan seluruh tenaga. Hanya dengan beberapa pukulan dan sekilas tendangan, harusnya lawan di depannya sudah bisa dikalahkan de
Pagi menjelang. Sinar mentari di ufuk timur perlahan memberikan kehangatan. Tak lagi berfungsi, satu per satu kobaran api di pucuk obor pun mulai dipadamkan. Sekelompok orang mengenakan jubah putih terlihat sibuk mengatur segala keperluan pertandingan. Hanya beberapa saat pertandingan dihentikan. Dan kini, tiba saatnya pertumpahan darah demi menjadi seorang Penjaga harus dimulai kembali. Orang-orang telah kembali berkumpul. Tak sabar ingin menyaksikan kelanjutan pertarungan. Para peserta yang tersisa telah lengkap menempati kursi mereka masing-masing. Akan tetapi, di jajaran kursi paling ujung, ada sebuah kursi kosong yang masih tak bertuan. Kedua kakinya kembali menapaki tempat yang sesaat ia tinggalkan. Ada hening yang tiba-tiba menjengahkan. Ribuan pasang mata tertuju ke arahnya. Ada sebongkah tanda tanya besar di dalam benak semua orang yang menyaksikan Marcapada kembali bertengger di kursinya. “Kenapa dia bisa duduk di kursi itu lagi?” “A
Pedang hitam itu tergeletak pasrah jauh di luar arena. Tak mungkin dijangkau lagi oleh pemiliknya. Angin bertiup kencang. Butiran debu beterbangan, menyelimuti sebuah senjata yang kini sudah tak bisa lagi dipergunakan di dalam pertarungan. Situasi tak menguntungkan. Peserta bernomor tujuh puluh tujuh saat ini bertarung tanpa satu pun senjata. Bagai telur di ujung tanduk. Peluangnya untuk menang semakin tipis. Kekalahan justru semakin dekat menghantui. Mundur beberapa langkah ke belakang menjadi pilihan terbaik. Sedikit mengulur waktu. Mencari cara untuk keluar dari situasi sulit, sekaligus mengantisipasi serangan yang bisa kapan saja datang menghampiri. Marca bangkit berdiri. Kini semua terasa mudah untuknya. Akan tetapi, ia sama sekali tak ingin menang dengan cara memalukan. Dalam benak, ia yakin lawannya masih mungkin memberikan banyak kejutan. “Aku tak ingin menang dengan cara seorang pengecut,” ujar Marca tiba-tiba. Peserta bernomor tujuh puluh tu
Rambut hitam panjang bergelombang itu tergerai tak beraturan, bibir mungil, wajah bentuk oval, alis lebat, bulu mata lentik, dan sepasang bola mata yang menyorot teduh. Wajah ayu itu mencuat manakala topeng hitam tak lagi menutupi pesonanya. Semua orang terperangah. Tak percaya dengan penampakan sesosok wujud perempuan yang kini tampak jelas di penglihatan. Peraturan kembali dilanggar. “Ku—Kuja. Kenapa kau bisa berada di sini?” tanya Marca terbata-bata di tengah-tengah keterkejutannya. Merasa identitas rahasianya telah terbongkar, peserta bernomor tujuh puluh tujuh langsung merebut paksa kembali topeng hitamnya dari tangan Marca. “Memang kenapa? Ada yang salah?” sahut Kuja, ketus. Topeng hitam itu kembali berpindah tangan. “Tentu. Tentu saja salah. Di dalam peraturan hanya seorang laki-laki yang boleh mengikuti pertarungan.” “Kenapa? Apa kau kira aku tak cukup kuat untuk menjadi seorang Penjaga?” tukas Kuja. Air mukanya menunjukkan kekes
Dua puluh tahun lalu …. Siapa sangka, anak laki-laki bertubuh mungil, berwajah pucat itu menyalahi ekspektasi semua orang. Seharusnya ia duduk termenung di bangku teras rumahnya. Memandangi setiap sudut kayu yang telah lapuk dimakan usia, setiap bagian besi yang telah berkarat tergerus cuaca, dan setiap sudut bagian rumahnya yang hanya tinggal menghitung mundur untuk masa penghabisan. Tungkai-tungkai mungil itu terus berlari tanpa henti. Mengejar segala sesuatu yang ia temui. Hewan bersayap sebesar kepalan tangan dengan dua tanduk di kepala, hewan berwarna cokelat dengan ekor menjuntai, hewan bertaring dengan enam kaki, dan hewan berbulu putih dengan empat kaki. Tak ada yang tak ia kejar selagi mereka masih terus bergerak. Hanya jika perutnya merasa perlu diisi, ia akan berhenti, dan pergi. Ke mana pun. Untuk mencari sesuap nasi, atau sepotong roti. Entah sejak kapan ia mengena
Di tengah-tengah arena, pertarungan untuk memperebutkan gelar sebagai seorang Penjaga masih terus berlanjut. Silih berganti para peserta saling berusaha mengalahkan. Korban terus berjatuhan. Tidak sedikit dari mereka terluka, dan tak sedikit dari mereka yang merenggang nyawa. Sudah berhari-hari pertandingan dilangsungkan. Deretan kursi yang tadinya penuh terisi kini mulai terlihat lengang. Hanya ada beberapa peserta yang masih duduk di atas kursi mereka dengan raut ketegangan. Seorang peserta yang telah berhasil mengalahkan lawan pertamanya tampak membusungkan dada. Tangan kiri lelaki itu mengepal kuat, terangkat ke udara. Sementara satu tangan lainnya menggenggam erat sebuah pedang. Senjata tajam milik lelaki itu tampak berlumuran darah segar. Berwarna merah, pekat, dan kental. Enam orang mengenakan jubah putih bergegas masuk ke tengah-tengah arena. Salah seorang dari mereka membawa sebuah tandu, dan salah seorang lagi membawa beraneka macam peralatan kebers