Home / Romansa / Sehangat Dekapan Janda Muda / Gairah yang terpendam

Share

Gairah yang terpendam

Author: Liza zarina
last update Last Updated: 2025-07-09 15:00:44

Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.

“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”

Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.

Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai.

Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.

Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.

“Kenapa kamu sampai semabuk ini?” Alvano menoleh pada Reina yang tertidur. Terselip rasa cemburu, dia tahu alasan wanita itu mabuk malam ini. “Kamu hanya kehilangan satu pria bajingan, Rein.”

Alvano mengamati wajah cantik yang selama ini membuatnya merindu, tapi berusaha dijauhi. Ini pertama kali mereka sangat dekat setelah lima tahun Alvano selalu memberikan batasan.

“Siapa bilang?” Reina menyahut, menggeleng pelan sambil mengacungkan jari telunjuk. Dengan suara lirih, dia berkata dan mengacungkan jari tengahnya. “Aku kehilangan dua pria yang kusayangi.”

“Dua?” tanya Alvano, dahinya mengerut. “Sebelum ini kamu juga dicampakkan?” Alvano tersenyum simpul.

“Ya. Dan pria itu adalah kamu.” Jari telunjuk Reina menghunus tepat di dada bidang Alvano. Jari itu bergerak semakin maju hingga menyentuh kulit pria tersebut. “Bahkan kamu membuangku sejak lima tahun lalu.”

Alvano tertegun mendengar penuturan Reina. Perasaannya tak menentu, bergetar dan perih. Antara sadar dan tidak, Reina mendongak, menyentuh pipi Alvano sambil tertawa kecil.

“Kenapa dulu tiba-tiba mengacuhkanku? Aku melakukan kesalahan apa? Kenapa semua orang nggak menginginkanku, Kak Al? Orang tuaku, Bimo, dan … kamu? Hanya Kak Arka yang mencintaiku tapi, aku … malah mengecewakannya.”

Perkataan Reina mengungkit ingatan Alvano. Tanpa diminta, kilasan kejadian itu kembali berputar dalam kepalanya.

Mengetahui bagaimana Reina selalu menyukai Alvano sejak masih kecil, Alvano yang menganggap Reina sebatas adik temannya menjaga jarak. Lalu, tiga tahun lalu, Reina mulai berpacaran dengan Bimo.

Sikap Alvano selalu dingin, tak pernah menggubris Reina bicara, atau membantu gadis itu keluar dari masalah supaya tidak dimarahi Arka seperti biasa. Lima tahun diperlakukan demikian, Reina sadar.

Tetapi di sini lah dia sekarang, duduk di samping Reina yang masih sama, sesekali tertawa dan menangis secara bersamaan.

“Maafkan aku, Rein. Aku nggak akan menjauhi kamu lagi.”

Reina tertawa sumbang. “Kenapa aku harus percaya?”

“Karena aku berjanji akan selalu menjagamu,” ucap Alvano, dia ingin menggenggam tangan wanita itu, tetapi, hatinya ragu.

Reina tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. “Semua orang pernah berjanji akan terus berada di sisiku, tapi mereka menghilang pada akhirnya.”

“Kali ini aku takkan mengingkarinya, Reina. Kamu akan selalu menjadi milikku,” ujar pria itu penuh keyakinan.

Tangannya bergerak pelan, menyentuh jemari Reina yang dingin. Ia menggenggam erat, seolah ingin menyalurkan kehangatan lewat sentuhan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dari jauh. Namun, dibalik empatinya, ada bara yang menyala.

Matanya tak sengaja menangkap bibir Reina yang lembut dan ranum, sedikit bergetar karena tangis. Detik itu juga, napasnya tercekat. Ia menelan saliva, menahan gelombang hasrat yang mulai tak terkendali.

Ingin rasanya menyentuh bibir itu. Mengulum lembut. Menenangkan Reina dengan cara yang tak pernah berani ia lakukan. Tapi, Alvano hanya diam. Rahangnya mengeras, matanya kembali menatap ke arah lain, berusaha mengunci dirinya dalam kendali terakhir yang tersisa.

“Jangan pernah mendekati Reina, Alvano! Anggap dia seperti adikmu. Yang kamu rasakan itu bukan cinta, hanya suka sesaat. Jika kamu mencampakkannya karena perasaan itu hilang, dia akan terluka! Lagipula, cinta tak harus memiliki. Ingat, dia adik temanmu!”

Suara Anne, mamanya Alvano, kembali terngiang tajam dalam benaknya. Ucapan itu telah bersemayam selama beberapa tahun terakhir, membatu di sudut pikirannya. Sebuah larangan yang ditanamkan sejak ia mulai menyadari perasaannya pada Reina.

“Nyatanya, sampai detik ini aku masih mencintainya. Cinta tak harus memiliki? Cih, persetan! Aku harus memiliki wanita yang aku cintai,” gumam Alvano sembari menatap wajah Reina.

Setibanya di rumah, Alvano meminta Bi Hanum membukakan pintu kamar Reina. Alvano merebahkan wanita itu di tempat tidur, mendesah keras menatap wajah cantik yang membuatnya enggan berpaling.

Alvano mengusap kasar wajahnya untuk menghilangkan pikiran kotor yang menggerayangi. Dia keluar, memanggil-manggil Bi Hanum untuk mengganti baju Reina, tetapi tak ada sahutan dari wanita tua itu.

Pria itu kembali ke kamar Reina. Dia terpaku dengan tangan terkepal dalam kebimbangan. Namun, melihat Reina yang tampak tak nyaman, dia mengunci pintu, menghela napas panjang ketika tangannya menyentuh resleting gaun wanita itu.

“Aku … hanya ingin membantumu,” ucap Alvano, tapi tak ada jawaban dari Reina.

Jakun Alvano naik turun melihat belahan dada Reina yang menantang. Tangannya bergerak sendiri membelai wajah cantik yang tengah terpejam.

Dia ingin menjaga jarak seperti biasa. Tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Hatinya lebih dulu menyerah.

“Sssttt!” Alvano mendesis. Membasahi bibir melihat bibir Reina yang sedikit terbuka. Sangat menggoda.

Dia menunduk perlahan dengan keraguan. Tapi, hasrat mengalahkan akal sehat. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Reina. Namun, sentuhan itu membakar. Alvano menahan napas. Tubuhnya menegang. Kecupannya berubah jadi lumatan penuh hasrat.

Tangannya, yang semula diam di pangkuan, bergerak tanpa sadar menyentuh hingga akhirnya menggenggam lembut dada Reina yang terasa kenyal.

“Rein, bibirmu membuatku candu. Kamu sangat menggoda,” bisik Alvano.

Alvano membuka kedua kaki Reina semakin lebar. Jarinya bergerak lembut di paha dan naik ke area terlarang. Dia menghujani leher dan dada Reina dengan kecupan, menggigit pelan dan meremas dengan napas memburu.

“Ssshhh, Reina!” Pria itu tak ragu menyusupkan tangannya ke dalam gaun Reina tanpa melepaskan pagutan.

Alvano bukan hanya melepaskan bajunya, tetapi juga membiarkan diri larut dalam hasrat yang terbelenggu selama bertahun-tahun. Dia menghisap bibir dan lidah sang wanita, sedangkan tangannya bermain-main di bawah sana.

Alvano tak sanggup lagi menahan desakan gairah yang membara. Dia bersiap menyerang Reina dengan rudalnya. Sejenak, Alvano masih diam memperhatikan sang wanita yang terbalut gaun berantakan.

“Bagaimana kalau dia bangun dan menjerit?” Alvano bimbang. Tetapi, sejurus kemudian dia malah tersenyum miring.

Alvano mengarahkan miliknya pada Reina. Namun, dia terdiam sambil menahan napas. “Apa yang kulakukan?” Alvano berbaring di samping Reina, menggunakan tangannya sebagai bantal, memandangi Reina yang hampir saja ditelan.

“Hampir saja aku kelepasan.” Jemari Alvano mengelus pipi Reina. “Meskipun aku mencintaimu. Untung saja aku bisa menahan diri.”

Pernikahan Reina dengan Bimo pernah menjadi tamparan paling pahit dalam hidup Alvano. Saat kabar itu sampai di telinganya, Alvano merasa seperti ditikam dari belakang oleh orang yang tidak pernah tahu betapa keras usahanya melupakan gadis itu.

Alvano lalu berusaha menjauhkan pikirannya dari Reina, mencari pelarian di balik kesibukan dan wanita-wanita yang tidak pernah berhasil menggantikan.

Dan sekarang? Setelah semua usahanya nyaris berhasil, Reina justru kembali dalam keadaan paling rapuh, dikhianati dan dihancurkan.

“Rein, aku merindukanmu,” lirih Alvano. "Dulu, aku memilih menjauh karena aku bukan siapa-siapa. Sekarang, aku sudah cukup kuat untuk menarikmu kembali. Setelah dia membuangmu, jangan harap aku membiarkanmu jatuh ke tangan siapa pun. Kamu milikku, Rein.”

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menarik perhatian Alvano. Tubuhnya menegang karena dia tahu siapa yang berdiri di luar. Alvano terus memandangi pintu, perasaannya tak menentu.

“Rein, kamu udah tidur?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Cium!

    Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka. “Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu. Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?” Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu.Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower men

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Telpon dari wanita?

    "Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina. “Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan. "Mau ke mana?" "Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dala

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Menunda Bercinta

    Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina.***Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?”Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya.“Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Gairah yang terpendam

    Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.“Kenapa kamu sampai se

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Celaka

    Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Jadi Janda Muda

    “Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status