Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.
“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!” Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa. Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga. Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya. “Kenapa kamu sampai semabuk ini?” Alvano menoleh pada Reina yang tertidur. Terselip rasa cemburu, dia tahu alasan wanita itu mabuk malam ini. “Kamu hanya kehilangan satu pria bajingan, Rein.” Alvano mengamati wajah cantik yang selama ini membuatnya merindu, tapi berusaha dijauhi. Ini pertama kali mereka sangat dekat setelah lima tahun Alvano selalu memberikan batasan. “Siapa bilang?” Reina menyahut, menggeleng pelan sambil mengacungkan jari telunjuk. Dengan suara lirih, dia berkata dan mengacungkan jari tengahnya. “Aku kehilangan dua pria yang kusayangi.” “Dua?” tanya Alvano, dahinya mengerut. “Sebelum ini kamu juga dicampakkan?” Alvano tersenyum simpul. “Ya. Dan pria itu adalah kamu.” Jari telunjuk Reina menghunus tepat di dada bidang Alvano. Jari itu bergerak semakin maju hingga menyentuh kulit pria tersebut. “Bahkan kamu membuangku sejak lima tahun lalu.” Alvano tertegun mendengar penuturan Reina. Perasaannya tak menentu, bergetar dan perih. Antara sadar dan tidak, Reina mendongak, menyentuh pipi Alvano sambil tertawa kecil. “Kenapa dulu tiba-tiba mengacuhkanku? Aku melakukan kesalahan apa? Kenapa semua orang nggak menginginkanku, Kak Al? Orang tuaku, Bimo, dan … kamu? Hanya Kak Arka yang mencintaiku tapi, aku … malah mengecewakannya.” Perkataan Reina mengungkit ingatan Alvano. Tanpa diminta, kilasan kejadian itu kembali berputar dalam kepalanya. Mengetahui bagaimana Reina selalu menyukai Alvano sejak masih kecil, Alvano yang menganggap Reina sebatas adik temannya menjaga jarak. Lalu, tiga tahun lalu, Reina mulai berpacaran dengan Bimo. Sikap Alvano selalu dingin, tak pernah menggubris Reina bicara, atau membantu gadis itu keluar dari masalah supaya tidak dimarahi Arka seperti biasa. Lima tahun diperlakukan demikian, Reina sadar. Tetapi di sini lah dia sekarang, duduk di samping Reina yang masih sama, sesekali tertawa dan menangis secara bersamaan. “Maafkan aku, Rein. Aku nggak akan menjauhi kamu lagi.” Reina tertawa sumbang. “Kenapa aku harus percaya?” “Karena aku berjanji akan selalu menjagamu,” ucap Alvano, dia ingin menggenggam tangan wanita itu, tetapi, hatinya ragu. Reina tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. “Semua orang pernah berjanji akan terus berada di sisiku, tapi mereka menghilang pada akhirnya.” “Kali ini aku takkan mengingkarinya, Reina. Kamu akan selalu menjadi milikku,” ujar pria itu penuh keyakinan. Tangannya bergerak pelan, menyentuh jemari Reina yang dingin. Ia menggenggam erat, seolah ingin menyalurkan kehangatan lewat sentuhan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dari jauh. Namun, dibalik empatinya, ada bara yang menyala. Matanya tak sengaja menangkap bibir Reina yang lembut dan ranum, sedikit bergetar karena tangis. Detik itu juga, napasnya tercekat. Ia menelan saliva, menahan gelombang hasrat yang mulai tak terkendali. Ingin rasanya menyentuh bibir itu. Mengulum lembut. Menenangkan Reina dengan cara yang tak pernah berani ia lakukan. Tapi, Alvano hanya diam. Rahangnya mengeras, matanya kembali menatap ke arah lain, berusaha mengunci dirinya dalam kendali terakhir yang tersisa. “Jangan pernah mendekati Reina, Alvano! Anggap dia seperti adikmu. Yang kamu rasakan itu bukan cinta, hanya suka sesaat. Jika kamu mencampakkannya karena perasaan itu hilang, dia akan terluka! Lagipula, cinta tak harus memiliki. Ingat, dia adik temanmu!” Suara Anne, mamanya Alvano, kembali terngiang tajam dalam benaknya. Ucapan itu telah bersemayam selama beberapa tahun terakhir, membatu di sudut pikirannya. Sebuah larangan yang ditanamkan sejak ia mulai menyadari perasaannya pada Reina. “Nyatanya, sampai detik ini aku masih mencintainya. Cinta tak harus memiliki? Cih, persetan! Aku harus memiliki wanita yang aku cintai,” gumam Alvano sembari menatap wajah Reina. Setibanya di rumah, Alvano meminta Bi Hanum membukakan pintu kamar Reina. Alvano merebahkan wanita itu di tempat tidur, mendesah keras menatap wajah cantik yang membuatnya enggan berpaling. Alvano mengusap kasar wajahnya untuk menghilangkan pikiran kotor yang menggerayangi. Dia keluar, memanggil-manggil Bi Hanum untuk mengganti baju Reina, tetapi tak ada sahutan dari wanita tua itu. Pria itu kembali ke kamar Reina. Dia terpaku dengan tangan terkepal dalam kebimbangan. Namun, melihat Reina yang tampak tak nyaman, dia mengunci pintu, menghela napas panjang ketika tangannya menyentuh resleting gaun wanita itu. “Aku … hanya ingin membantumu,” ucap Alvano, tapi tak ada jawaban dari Reina. Jakun Alvano naik turun melihat belahan dada Reina yang menantang. Tangannya bergerak sendiri membelai wajah cantik yang tengah terpejam. Dia ingin menjaga jarak seperti biasa. Tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Hatinya lebih dulu menyerah. “Sssttt!” Alvano mendesis. Membasahi bibir melihat bibir Reina yang sedikit terbuka. Sangat menggoda. Dia menunduk perlahan dengan keraguan. Tapi, hasrat mengalahkan akal sehat. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Reina. Namun, sentuhan itu membakar. Alvano menahan napas. Tubuhnya menegang. Kecupannya berubah jadi lumatan penuh hasrat. Tangannya, yang semula diam di pangkuan, bergerak tanpa sadar menyentuh hingga akhirnya menggenggam lembut dada Reina yang terasa kenyal. “Rein, bibirmu membuatku candu. Kamu sangat menggoda,” bisik Alvano. Alvano membuka kedua kaki Reina semakin lebar. Jarinya bergerak lembut di paha dan naik ke area terlarang. Dia menghujani leher dan dada Reina dengan kecupan, menggigit pelan dan meremas dengan napas memburu. “Ssshhh, Reina!” Pria itu tak ragu menyusupkan tangannya ke dalam gaun Reina tanpa melepaskan pagutan. Alvano bukan hanya melepaskan bajunya, tetapi juga membiarkan diri larut dalam hasrat yang terbelenggu selama bertahun-tahun. Dia menghisap bibir dan lidah sang wanita, sedangkan tangannya bermain-main di bawah sana. Alvano tak sanggup lagi menahan desakan gairah yang membara. Dia bersiap menyerang Reina dengan rudalnya. Sejenak, Alvano masih diam memperhatikan sang wanita yang terbalut gaun berantakan. “Bagaimana kalau dia bangun dan menjerit?” Alvano bimbang. Tetapi, sejurus kemudian dia malah tersenyum miring. Alvano mengarahkan miliknya pada Reina. Namun, dia terdiam sambil menahan napas. “Apa yang kulakukan?” Alvano berbaring di samping Reina, menggunakan tangannya sebagai bantal, memandangi Reina yang hampir saja ditelan. “Hampir saja aku kelepasan.” Jemari Alvano mengelus pipi Reina. “Meskipun aku mencintaimu. Untung saja aku bisa menahan diri.” Pernikahan Reina dengan Bimo pernah menjadi tamparan paling pahit dalam hidup Alvano. Saat kabar itu sampai di telinganya, Alvano merasa seperti ditikam dari belakang oleh orang yang tidak pernah tahu betapa keras usahanya melupakan gadis itu. Alvano lalu berusaha menjauhkan pikirannya dari Reina, mencari pelarian di balik kesibukan dan wanita-wanita yang tidak pernah berhasil menggantikan. Dan sekarang? Setelah semua usahanya nyaris berhasil, Reina justru kembali dalam keadaan paling rapuh, dikhianati dan dihancurkan. “Rein, aku merindukanmu,” lirih Alvano. "Dulu, aku memilih menjauh karena aku bukan siapa-siapa. Sekarang, aku sudah cukup kuat untuk menarikmu kembali. Setelah dia membuangmu, jangan harap aku membiarkanmu jatuh ke tangan siapa pun. Kamu milikku, Rein.” Tok! Tok! Suara ketukan pintu menarik perhatian Alvano. Tubuhnya menegang karena dia tahu siapa yang berdiri di luar. Alvano terus memandangi pintu, perasaannya tak menentu. “Rein, kamu udah tidur?”Ditatap begitu intens, Reina berusaha mengatur nafas dan tersenyum untuk mengurangi kegugupan yang melanda. Namun, entah apa kesalahannya, Velo malah tak berkedip menatap Reina yang tak berani menunduk, apalagi mengalihkan pandang. ‘Ke-kenapa dia terus menatapku? Aku tidak sopan? Atau penampilanku aneh?’ batin Reina, meskipun tersenyum dia merasa tidak enak hati. “Nanti malam ada acara penyambutanmu. Pacarmu nggak marah, kan?” tanya Velo sambil tersenyum, jelas tertarik pada Junior secretary baru itu.Reina menggeleng ringan, senyumnya tipis. “Saya nggak punya pacar, Pak.”Senyum Velo semakin melebar mendengar jawaban itu. Kepalanya mengangguk-angguk, tatapannya turun naik, seolah menilai Reina dari atas ke bawah. Rasa tertarik yang ia simpan semakin tampak jelas.“Malam besok saya ada meeting keluar kota,” ucap Velo kemudian, suaranya datar namun matanya menatap terlalu dalam. Pandangan intens itu membuat Reina salah tingkah, tak tahu harus bereaksi bagaimana.Dari samping, Karina
“Kenapa, Rein?” Arka panik melihat adiknya menjerit sekeras itu. Dia ikut berdiri, mengamati wajah Reina yang pucat pasi dan tegang. Reina melirik Alvano yang menaikkan sebelah alis, tak merasa bersalah. Kemudian menatap Arka, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Reina tak ingin pertemanan kakaknya hancur. Terlebih selama ini mereka hidup karena bantuan dari keluarga Dominic.“Aku kenyang, Kak.” Reina menampilkan senyum pahit, mengambil tas dan ponselnya. “Aku berangkat sekarang, ya.” Dia mengecup pipi kanan Arka, langsung pergi sebelum kakaknya sempat menanggapi.Arka menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Reina kehilangan selera makan. Perlahan, dia menoleh pada Alvano yang sibuk mengutak-atik ponselnya. “Apa yang terjadi padanya, Al?” tanya Arka, menatap lekat Alvano. “Dia duduk di sampingmu. Kamu pasti tau.” Alvano menoleh sekilas, mengangkat bahu. “Mungkin di
Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar pengakuan Reina. Pandangan mereka bergantian tertuju pada wanita itu, lalu beralih pada Alvano yang membisu. Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kepuasan terselubung.Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Fakta mengejutkan itu sudah cukup membungkam mulut mereka. Meski sulit dipercaya, sebab selama ini Reina dan Alvano sama sekali tak pernah terlihat dekat, bahkan Reina pernah menikah dengan pria lain.“Kita pulang,” desak Alvano pelan, menyentuh ujung jemari Reina.Namun, dengan cepat wanita itu menepisnya. Reina justru memeluk lengan kanannya sendiri, lalu menggeleng sambil terkekeh. Ia duduk di atas meja dengan kaki terlipat ke belakang. Jemarinya menyapu pelan leher Alvano kemudian menolak kening pria itu.“Aku nggak mau lihat kamu. Di mana para pria sexy itu? Aku mau mereka….” Reina memegangi kepalanya yang sakit, menjambak rambut agar lebih enakan. Ketika rasa mual mengaduk perut, dia langsung menutup mulut d
“Jangan kebanyakan mikir, Reina! Aku jamin, kamu nggak bakal nyesel.” Alaya berkata dengan wajah meyakinkan.“Kita bisa jaga rahasia, Rein. Ini pertama kalinya kita datang ke tempat ginian. Habisnya dulu kamu sibuk nge-bucin,” ledek Sani, menahan tawa melihat Reina malah mencebikkan bibir tanpa membalasnya.Sasha sejak tadi diam, tak memaksa Reina karena paham temannya itu pasti tidak nyaman. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa bersalah karena langsung membawa Reina ke club tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Kalau Reina nggak nyaman, jangan dipaksa. Salah kita juga maksa dia,” sela Sasha. “Kita cari tempat lain aja.”Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya. Wajah mereka langsung kecewa, meskipun mengangguk setuju. Dia buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun, tersenyum manis pada mereka semua sambil menggelengkan kepala.“Yakin bisa jaga rahasia?” tanyanya, jari telunjuknya mengarah pada ketiga temannya yang serentak mengangguk. “Come on!” Kita ajak kamu ke sini buat h
“Jangan seperti ini, Rein, aku benar-benar mencintaimu.” Alvano tak lagi peduli pada penolakan Reina, ia mendekat dan merengkuh pinggang wanita itu. Mereka saling menatap, tapi bibir tak bisa mengatakan apa-apa. Alvano langsung memeluk erat Reina, tangannya mengelus rambut panjang wanita itu yang tegerai. Reina mendengar suara detak jantung Alvano yang berpacu cepat, seakan menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, dia tetap tak nyaman dengan pelukan ini, kata-kata menyakitkan Alea terngiang dalam ingatan, membuatnya menangis sesenggukan.“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan perasaanku, Rein?” tanya Alvano, tak melepaskan Reina. Aroma wanita itu membuatnya begitu nyaman. “Aku bisa melakukan semua hal untukmu.” Reina bergeming dalam kebisuan. Masih tak mengerti sejak kapan cinta tumbuh dalam hati Alvano, pria yang sudah bersamanya sejak kecil. Benarkah kebencian yang diperlihatkan hanya untuk menutupi cinta? Reina menengadahkan wajah, menutup mata sejenak sambil membuang
“Kak Arka!” Reina berteriak memanggil kakaknya yang entah dimana. Dia memejamkan mata, menggeleng kuat dan menghentakkan kaki.Melihat perlawanan Reina yang menggemaskan, Alvano tersenyum tipis tapi tak melepas tangan wanita itu. Dia sengaja mencengkram tangan Reina di dadanya, memajukan bibir seolah ingin mencumbu wanitanya.“Kalau Kak Arka tau, kamu pasti akan dihabisi, Kak!” kecam Reina, matanya menyipit agar lebih meyakinkan.“Nggak masalah.” Alvano menaikkan bahu. “Bukannya lebih bagus kalau dia tau? Aku bisa secepatnya mendapat restu.” “Hahaha!” Reina tertawa mendengar penuturan Alvano yang dianggap sedang melucu. “Aku Reina Mayumi, bukan calon istrimu.” “Jangan katakan itu, Rein. Aku nggak suka kamu menyebut orang lain saat kita sedang berdua,” sanggah Alvano, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.Reina melirik dari ekor mata, menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sinis.“Yang barusan kusebut itu calon istrimu, Kak Al. Biar kamu ingat,” tegasnya.Alvano