"Kamu yakin, Rein? Sekali kamu kubuka malam ini, aku nggak akan bisa berhenti." "Jangan berhenti, Kak Al. Aku juga pengen ngerasain gimana rasanya dicintai." "Malam ini ... kamu milikku sepenuhnya.” “Hmmmh! Teruskan, Kak!” Di malam pengantin, Bimo meninggalkan Reina tanpa menyentuhnya. Satu bulan menanti, Reina menyusul suaminya demi menyerahkan keperawanannya. Namun, saat mereka bersiap mereguk malam penuh hasrat, seorang wanita lain muncul di dalam kamar dengan pakaian seksi. Tanpa penjelasan, Bimo malah menceraikan Reina begitu saja. Hancur, Reina tak sengaja bertemu Alvano, sahabat sekaligus boss kakaknya. Reina dan Alvano yang sudah bersama sejak kecil, malam itu melakukan sesuatu diluar batas. Padahal Alvano sudah memiliki calon istri.
View More“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”
Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati. Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri. “Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.” Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedikit pun menoleh pada Reina. Tersenyum lebar pada seorang wanita hamil yang menunggunya di luar. Mereka berpelukan, saling mengecup, tanpa mempedulikan tatapan tajam orang sekitar. “Akhirnya kamu bercerai dengannya, Bim!” ucap Kinar setelah mengecup singkat bibir Bimo. “Jadi, kapan kamu akan menikahiku? Perutku semakin membesar.” Kinar merengek dengan bibir mengerucut. “Bulan depan.” Jawaban Bimo membuat Kinar tersenyum manis. Sementara itu, Arka menghampiri Reina yang masih termangu di tempatnya. Menggenggam erat tangan adiknya, menepuk pelan pundak wanita itu. “Kita pulang, Rein.” Reina menegakkan bahu, menahan napas yang terasa berat di dada, mengulas senyum tipis seraya menganggukkan kepala. Langkahnya tertatih, seakan menyeret beban berat. “Rein….” Suara lembut menyapa saat ia keluar dari pengadilan. Sasha, sahabat Reina sejak SMA, meraih tangannya. “Kamu yakin nggak apa-apa?” Reina tersenyum tipis sembari mengangguk. “Aku baik, kok. Aku lega sudah melepas pria bajingan itu.” “Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya!” Sasha menyeka pipi Reina yang sedang mengangguk. “Besok malam aku datang ke acara reuni SMA kita.” Reina tersenyum manis pada Sasha yang masih saja tampak mengkhawatirkan temannya itu. “Serius?” tanya Sasha. Tentu dia senang. Tapi, dengan keadaan Reina saat ini, dia ragu. “Hm!” Reina mengangguk lagi. “Aku baik-baik saja, Sasha.” “Baiklah.” Sasha mengulas senyum. “Malam besok, aku jemput, ya.” Reina tersenyum sebagai jawaban. Dia menghampiri Arka yang sedari tadi sudah menunggu di mobil. Wanita itu masuk, memakai sabuk pengaman dan menatap kosong ke luar kaca mobil. Tak ada pembicaraan apapun antara Reina dan Arka, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Mau makan sesuatu?” tanya Arka akhirnya, melirik adiknya yang tak menjawab karena masih melamun. “Rein ….” Arka menyentuh lengan Reina, mengejutkan wanita itu. “Ya?” sahutnya dengan suara parau. Matanya berkaca, tetapi tetap menyuguhkan senyum manis. Arka terdiam beberapa saat melihat manik mata adiknya yang memerah. Sejurus kemudian, dia tersenyum. “Mau ice cream?” Reina tertegun. Sedetik kemudian menutup wajahnya dengan tangan. Dia menggelengkan kepala, menangis sesenggukan hingga Arka menepikan mobil di pinggir jalan. “Jangan menangis, Rein.” “Maafkan aku, Kak!” ucap Reina. “Demi bisa menikah dengan Bimo, aku sampai melakukan hal-hal yang nggak seharusnya kulakukan. Nyatanya, Bimo pria sialan. Dia menghamili Kinar, bahkan mereka bercinta di depanku,” ujar Reina, kemudian tergugu. Arka menghela pelan sambil manggut-manggut. Dia menarik Reina dalam dekapan, mengusap lembut puncak kepala adiknya. “Jangan dipikirkan. Kakak lebih senang karena kamu memilih berpisah daripada menyimpan keburukan Bimo,” ucap Arka, suaranya sangat lembut. Reina menghentikan tangis setelah puas menangis sampai jas Arka basah. Mereka melanjutkan perjalanan. Reina menolak semua makanan atau barang yang ditawari Arka. Setibanya di rumah, Reina langsung masuk kamar tanpa menyapa Bi Hanum, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Arka. “Bi, nanti antarkan makanan ke kamar Reina. Kalau ada apa-apa, saya di ruang kerja.” “Baik, Tuan Arka,” jawab Bi Hanum sambil mengangguk. Reina mengunci kamar, melempar dirinya ke atas ranjang tanpa menyalakan lampu. Dia menelungkup wajah, menangis sesenggukan menumpahkan kesedihan yang tak terungkap. Tubuhnya bergetar, tangannya kuat mencengkram seprai, sesekali memukul tempat tidur tanpa mempedulikan suara ketukan pintu kamarnya. Urat leher Reina memegang saat dia menjerit, tapi membekap mulutnya sendiri. Menghentak kaki, dan memukul dadanya yang sesak. “Tuhan, kenapa Engkau mempertemukan aku dengan Bimo? Dua tahun kebersamaan kami nggak ada arti bagi pria bajingan itu!” Reina tergugu. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan masih terdengar di depan pintu. Bi Hanum resah berdiri sambil memegang nampan makanan. “Nona, buka pintunya! Nona belum makan dari pagi. Ini bibi bawakan makan.” Bi Hanum menaikkan intonasi suara. Bi Hanum menoleh ke belakang ketika mendengar suara langkah kaki. Dia memperhatikan pria bersetelan jas yang sedang berjalan ke arahnya, sesekali menoleh ke ruang kerja Arka yang berada di pojok ruangan. Melihat Bi Hanum membawa nampan, pria itu langsung paham. “Biar aku yang masuk.” Bi Hanum mengangguk kecil seraya menyerahkan nampan pada pria di hadapannya. “Ada kunci cadangan?” Bi Hanum mengangguk. “Ada. Tapi, sama Tuan Arka.” “Ambilkan kunci cadangan. Aku menunggu di sini. Tapi, jangan beritahu Arka kalau aku datang.” Pria itu selalu memasang tampang serius. “Kenapa, Tuan Alvano?” tanya Bi Hanum. Namun, melihat wajah datar yang selalu menyimpan ketegasan itu, Bi Hanum segera mengangguk. Tak lama, wanita berusia 50 tahun itu kembali sambil membawa kunci, membukakan pintu, membiarkan Alvano masuk. Aroma parfum Reina menyeruak dari kamar gelap di hadapannya. Tanpa ragu, Alvano masuk dan menutup pintu. Alvano meletakkan nampan di atas nakas. Dalam gelap, dia bisa mengingat area kamar Reina dengan baik. Srakk! Alvano menyibak gorden kamar Reina, membuat wanita itu terkejut dan langsung menatap ke arah jendela kamarnya. Reina tertegun melihat seorang pria berwajah datar yang tengah menatapnya. “Kak Alvano?” pekik Reina, tak percaya kini Alvano berdiri di depannya. “Masih menangisi bajingan itu?” Suara dingin Alvano membekukan tubuh Reina. “Ngapain kamu di sini?” tanya Reina, suaranya serak. “Keluar!” Alvano bergeming tanpa mengalihkan pandang dari Reina yang tampak kacau. Pria berusia 27 tahun itu melipat tangan di dada, sorot tajamnya tak lepas dari wajah sembab Reina. Reina berdecak kecil, tak suka dengan kehadiran Alvano. Dia menarik tangan pria itu, tapi Alvano seperti patung, tak bergeser sedikitpun. Reina menyeret pria itu dengan berbagai cara tapi, hasilnya nihil. Dalam sekejap, Alvano mengubah posisi. Dia mencengkram pergelangan tangan Reina, menarik wanita itu sampai punggungnya membentur dinding. Alvano mengukung Reina dengan tangannya, mengikis jarak hingga hembusan napas pria itu membelai wajah Rein. Debaran jantung Alvano terasa hampir menembus rongga dadanya. Wajahnya merona bisa sedekat itu dengan Reina. Tangannya bergerak membelai, rindu yang terpendam, cinta yang disembunyikan, dan rasa senang yang mendominasi. “Akhirnya kamu dan bajingan itu bercerai. Aku senang sekarang kamu menjadi janda,” ucap Alvano, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Reina."Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina. “Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan. "Mau ke mana?" "Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dala
Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina.***Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?”Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya.“Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari
Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.“Kenapa kamu sampai se
Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di
“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments